Siklus Pendidikan

nurcahyo

New member
Siklus Pendidikan



Ketika seseorang berniat melanjutkan studi di Perguruan Tinggi banyak sekali motive yang melatarbelakanginya. Mungkin saja orang tersebut tergerak hatinya untuk menempuh studi di Perguruan Tinggi dengan harapan bisa meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.
Namun bisa jadi seseorang tersebut memiliki motive untuk meningkatkan status sosial-nya. Motif yang disebutkan terakhir inilah yang sebenarnya identik dengan paradigma feodalis. Lebih jauh lagi, paradigma feodalis selalu menilai bahwa kredibilitas seseorang dinilai dari segi titel yang diperoleh dari proses pendidikan.
Seberapa banyak titel yang diperoleh, semakin kuat penilaian orang akan kredibilitasnya. Akibatnya, banyak orang yang bertitel akademik mulai dari pendidikan S-1 seperti Drs (Doktorandus), S.Ag (Sarjana Agama), SHI (Sarjana Hukum Islam), Ir (Insinyur) dan sebagainya. Atau titel untuk pendidikan S-2 seperti MA (Master of Art), M.Ag (Master Agama), M.Pd (Master Pendidikan), M.M (Master of Management) dan sebagainya. Atau pula pendidikan S-3 dengan gelar Dr (Doctor), Ph.D (Phylosopy of Doctor) dan sebagainya. Kesemuanya itu akan menjadikan seseorang dihormati dalam suatu masyarakat. Akan lebih dihormati lagi ketika seseorang menggondol lebih dari satu titel.
Dampak dari makin maraknya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia kemudian menciptakan permasalahan baru. Logisnya, ketika semakin banyak peminat dalam dunia pendidikan berarti persaingan semakin kuat. Untuk sekarang ini tidak sulit mencari tenaga sarjana dalam hitungan lusinan, ratusan atau bahkan ribuan orang. Karena persaingan mutu dalam pendidikan yang menjadi acuan dalam dunia kerja, maka hanya bagi mereka yang memiliki kualitas bagus dalam segi pengetahuan maupun skill yang dibutuhkan oleh pasar kerja. Persoalannya kemudian, bagaimanakah dengan mereka yang kurang berkualitas ?. Inilah yang kemudian menjadi persoalan baru dalam dunia pendidikan kita.

Kepentingan pasar kerja hanyalah membutuhkan tenaga yang berkualitas. Karena itulah kemudian memunculkan problem pengangguran. Jika sebelumnya pengangguran itu mudah ditengarai melalui tipe ?pengangguran riil?. Namun untuk sekarang ini terdapat tipe pengangguran yang disebut sebagai ?pengangguran terselubung?. Tipe pengangguran terakhir inilah yang sebenarnya dari mereka para insan akademik yang kalah bersaing dengan lainnya.
Terdapat sebuah siklus yang memang bersumber dari paradigma feodalis di atas. Siklus ini dimulai dari persoalan ketika seseorang dengan masing-masing motive mereka untuk meneruskan studi di Perguruan Tinggi. Ketika motive itu langsung pada niatan untuk meningkatkan status sosial seseorang atau mungkin saja orang tersebut tidak berniat demikian, namun dalam realitas prosesnya berdampak seperti itu.
Persoalan yang berkembang kemudian adalah makin maraknya peminat sekolah di Perguruan Tinggi. Karena makin marak persaingan di Perguruan Tinggi maka persoalan yang paling dibidik oleh pasar kerja adalah persoalan mutu. Sementara paradigma feodalis di atas selalu memberikan pemahaman bahwa mutu seseorang akan dinilai dari segi titel yang disandangnya. Namun akibat persaingan ketat dalam pendidikan untuk saat ini, segala macam titel pendidikan dalam jenjang S-1 sudah tidak laku lagi.

Sebagai solusinya, program pendidikan mengalami rekonstruksi sistem dengan masih berpegang pada paradigma feodalis di atas. Solusi yang ditawarkan ialah dengan mematok kualitas tenaga kerja melalui tingkatan kedua dalam jenjang pendidikan tinggi, yakni melalui program S-2.. Orang kemudian ramai-ramai melanjutkan studinya di program S-2. Persoalan yang satu ini tampaknya sudah mulai menggejala di lingkungan akademik Jogja. Bahkan di IAIN Sunan Kalijaga sendiri memberikan standar pendidikan bagi calon dosen (harus S-2).

Persoalan belumlah selesai. Justru semakin memperbesar volume persoalan ke depan berkaitan dengan kriteria mutu melalui paradigma feodalis di atas. Dalam pembacaan yang lebih jauh, suatu saat akan tibas saatnya status pendidikan S-2 itu tidak lagi menjadi standar kualitas. Dampak ini diakibatkan dari semakin banyaknya peminat pendidikan S-2 nanti, sementara persaingan pun tidak bisa dihentikan lagi. Tentunya, bagi penyelenggara pendidikan S-2 yang kurang bisa menghasilkan out put yang berkualitas, hanya akan menciptakan pengangguran-pengangguran akademis saja. Persoalan yang satu inipun tampaknya sudah mulai menggejala di kalangan kita.
Saat ini semakin banyak lembaga-lembaga pendidikan yang menggelar program S-2 dengan gampang. Sepertinya menggelar program pendidikan yang satu ini bagaikan membuka ?warung nasi lesehan? di jalanan saja. Persoalannya kemudian, apakah mutu yang dihasilkan bisa bersaing dengan yang lain ?. Lantas, apakah kemudian yang menjadi standar ukuran dalam menilai kualitas seseorang itu ?
Disinilah titik jenuh itu bertemu dengan motivasi awal seseorang untuk sekolah, yakni menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Karena motivasi seseorang dalam menempuh studi itu didasarkan atas dua pokok persoalan ini, maka kedepan kurikulum pendidikan harus bisa menjadi sarana yang mampu mengembangkan potensi-potensi manusia (kurikulum berbasis kompetensi ?). Inilah persoalan fundamental yang harus dipahami oleh tiap-tiap lembaga penyelenggara pendidikan. Siklus pendidikan ini mungkin bisa diantisipasi sejak dini melalui perombakan sistem pendidikan yang ada.





*) Penulis adalah mantan direktur Forum Studi Freire IMM IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini menjadi wartawan pada majalah Suara Muhammadiyah.
 
Back
Top