Maut di Ketinggian 2000 Meter

fajarsany

New member
Mendaki gunung adalah hobiku. Aku mencintainya sejak masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Saat itu usiaku baru 15 tahun. Banyak orang bertanya kepadaku, kenapa aku hobi naik gunung, jawabannya adalah, karena aku suka, entah bagaimana menjelaskannya secara rinci. Hal yang paling aku sukai adalah ketika berada di puncak, kemudian dari sana aku dapat melihat pemandangan sebuah kota. Lampu-lampunya yang beraneka warna memberikan rasa tersendiri bagiku, apalagi kalau ditemani jagung bakar dan minum kopi.

Di usiaku yang saat itu sudah menginjak 27 tahun, sudah banyak gunung yang aku daki di seantero Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Dan sekarang aku kembali akan mendaki sebuah gunung di Jawa Barat yang sebelumnya pernah aku daki. Namun kali ini dengan orang-orang yang berbeda dengan sebelumnya, dimana dulu aku mendaki bersama teman-teman dan kakak-kakak kelasku semasa SMA, sekarang aku bersama teman-teman semasa kuliah. Aku suka gunung ini karena dapat melihat pemandangan sebuah kota, pas dengan kesukaanku.

Datanglah hari itu. Kami berempat, yaitu aku, Dika, Hendi, dan Roni berangkat menuju destinasi. Perjalanan kami berjalan dengan lancar, dan untungnya kami semua sudah cukup berpengalaman dalam pendakian gunung, hanya jam terbangnya saja yang berbeda. Roni memiliki jam terbang yang lebih tinggi daripada kami bertiga. Dengan begitu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan ketika pendakian nanti. Mereka semua adalah teman seangkatanku semasa kuliah, tapi berbeda jurusan.

Aku ingat ketika pertama kali mendaki gunung ini, waktu itu ada Kak Andi yang menjadi pembimbing, dia sangat berpengalaman. Kak Andi mengajarkan banyak ilmu tentang pendakian. Walaupun keilmuannya lebih tinggi dariku dan teman-teman yang lain, dia tidak arogan, tidak seperti seorang senior waktu aku mendaki gunung di masa awal-awal kuliah yang tinggi hati karena merasa dirinya lebih jago dari yang lainnya.

Salah satu hal yang tidak jauh dari dunia pendakian gunung adalah cerita mistis yang berhubungan dengan tempat pendakian. Setiap gunung memiliki ceritanya masing-masing. Beberapa ada yang nyata, ada juga yang mitos.

Singkat cerita, setelah melalui perjalanan panjang, kami berempat sampai di ketinggian sekitar 2000 meter diatas permukaan laut, lalu kami mendirikan kemah disana. Dari situ aku dapat melihat pemandangan kota Bandung yang indah. Lampu-lampu penerangan dari bangunan tampak berkelap-kelip seperti bintang di langit, sedangkan lampu-lampu dari kendaraan tampak seperti bintang jatuh yang bergerak sangat pelan. Cuaca saat itu cerah, tapi suhu terasa dingin hingga menusuk tulang.

Ketika melihat pemandangan itu, tak ada rasa lain yang muncul dari dalam diriku, selain rasa kagum pada keindahan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Kemudian, kami melakukan kegiatan biasa, membuat api unggun, memasak makanan-minuman, dan mengobrol. Ada pepatah kalau ketika kita berkemah, maka kita akan tahu karakter dari masing-masing anggota. Menurutku memang ada benarnya, tapi itu tidak mutlak. Manusia itu makhluk yang dinamis, bahkan aku lebih memilih menyelesaikan masalah fisika daripada memperdebatkan tentang karakter seseorang.

Malam itu kami jalani dengan menyenangkan. Selesai makan, aku kembali melihat pemandangan kota sambil merekamnya menggunakan kamera, membuat video dokumentasi pribadi, tak lupa aku memberikannya narasi. Dika, Hendi, dan Roni terlihat sedang bermain kartu sambil merokok dan minum kopi. Terkadang mereka tertawa terbahak-bahak. Mereka mengobrolkan banyak hal, termasuk hal mistis yang membuat mereka sama sekali tidak tertawa.

Setelah hampir satu setengah jam berlalu, aku kembali mendekati mereka bertiga. Awalnya aku mengira semuanya biasa saja, tapi ketika aku bercakap-cakap dengan Roni, ada yang aneh, bicaranya melantur seperti orang gila. Kulihat Dika dan Hendi, mereka diam seperti orang yang sedang pusing, tangannya memijit-mijit dahi, matanya sipit dengan kantong mata yang berat, dan kulit wajahnya merah. Aku curiga dengan apa yang terjadi pada mereka. Kutemukan botol minuman keras di belakangnya. Aku mencium bau alkohol dari mulut mereka masing-masing. Mereka mabuk.

Dari mereka bertiga, hanya Roni yang mabuknya lepas. Dia terus berbicara kesana-kemari, terkadang dia menceritakan tentang hal-hal pribadinya. Benar kata temanku, orang yang sedang mabuk akan berkata jujur, kecuali yang mampu menahan diri untuk diam seperti Dika dan Hendi. Sesekali mereka berdua merespon omongan Roni dengan pelan dan singkat, itupun seperti yang terpaksa.

Aku terkejut karena baru kali itu melihat mereka mabuk. Entah sejak kapan mereka mulai menenggak minuman keras, karena selama kuliah dahulu mereka tidak pernah melakukannya.

Karena muak, aku kembali ke tempat dimana aku memandang pemandangan kota. Kupikir, mungkin nanti mereka akan tertidur sendiri, dan besoknya akan sadar.

Sekitar setengah jam kemudian terdengar suara teriakan kecil dan suara orang yang dipukul. Aku segera berlari menuju tenda dan... ya ampun, aku melihat pemandangan yang mengerikan. Terlihat Roni sedang berdiri tegak, kepalanya menunduk, tangannya memegang botol minuman keras tadi yang sudah pecah. Dika dan Hendi terkapar dengan darah segar mengalir dari kepala. Roni kemudian mengamuk sendiri, lalu mengacak-acak api unggun di depannya. Kayu-kayu yang terbakar berhamburan kesana-kemari, membakar Dika dan Hendi, serta barang-barang disekitar tenda.

Spontan aku berlari menuju tenda dan segera mengambil jeriken air untuk memadamkan api, tapi Roni memukul kepalaku dari belakang dengan botol di tangannya, membuatku pusing untuk sementara, tubuhku jatuh ke tanah, tapi aku segera bangkit. Setelah berdiri dan membalikkan badan, aku tepat menghadap kewajahnya. Kulihat kedua bola matanya berwarna merah, ekspresi mukanya seperti orang yang sangat marah; kemudian dia komat kamit dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Sekilas aku ingat dengan yang namanya Genderuwo.

Roni melayangkan pukulannya ke arah kiri mukaku, tapi aku mampu menangkisnya. Terasa pukulannya sangat keras, aku terpental dengan rasa sakit yang luar biasa di lengan kiri. Tulangku rasanya patah atau remuk, tapi ternyata tidak.

Dalam keadaan berusaha untuk bangkit, aku melihat api semakin membesar dan membakar tenda beserta apapun di sekitarnya. Roni mengamuk seperti orang gila, lalu berjalan menuju kobaran api.

Beberapa detik kemudian aku merasakan sakit yang luar biasa di kepala, diikuti dengan pandangan yang mulai kabur, dan pusing yang membuat dunia seakan berputar, menggelap, kemudian aku tidak dapat mengingat apa-apa lagi.

Sore itu suara tangisan anak kecil membangunkanku. Kubuka mata dan aku tahu aku sedang berada dalam sebuah kamar, infusan terhubung denganku. Kulihat terdapat poster-poster medis terpampang di dinding. Sekujur tubuhku rasanya sakit, terutama kepala bagian belakang dan lengan kiri. Aku bangkit dari pembaringan dan berjalan pelan keluar kamar. Setelah kubuka pintu, aku tahu aku sedang berada di sebuah Puskesmas.

Seorang laki-laki berpakaian pendaki datang menghampiriku. Dia menanyakan tentang diriku. Lelaki itu bernama Yudi.

Yudi menjelaskan kalau tadi malam kelompok pendakinya melihat kobaran api yang cukup besar dari tempat aku mendirikan kemah; kemudian dengan susah payah dia dan tiga orang rekannya menuju asal kobaran api tersebut; sesampainya disana, dia menemukan diriku tak sadarkan diri, tidak jauh dari tenda yang terbakar; mereka kemudian membawaku dan menghubungi pihak penyelamat serta kehutanan. Yudi dan teman-temannya rela menggotongku hingga ke perkemahannya sebelum dibawa ke sini.

Dia juga memberitahu kalau tim penyelamat menemukan tiga jasad laki-laki yang terbakar, dua jasad berada di dekat bekas api unggun, dan seorang lagi di dekat tenda. Mereka semua hangus.

Mendengarnya, perasaanku menjadi kacau, entah apa yang mesti kulakukan. Aku kembali ke kamar untuk beristirahat sebelum diizinkan pulang dan mengurusi masalah itu.

Beberapa hari kemudian, aku memberikan kesaksian atas apa yang terjadi ketika malam horor itu terjadi. Awalnya aku menemui kendala karena banyak yang tidak percaya, malah aku sempat divonis bersalah, tapi Yudi dan teman-temannya membantuku sehingga aku bisa melewatinya dengan lancar.

Setelah kejadian itu, aktivitas pendakian gunungku terhenti, untuk sementara. Aku menyibukkan diri dengan mengikuti kegiatan keagamaan, berusaha melakukan banyak hal yang bermanfaat bagi masyarakat. Ada yang lebih penting daripada hobiku. Itu semua semakin menguatkan keyakinanku kalau ketika mati nanti, hanya amal baik yang akan menjadi teman sejati.

Meskipun demikian, aku tidak pernah kehilangan keinginan untuk kembali mendaki gunung, kembali melihat pemandangan sebuah kota, mengagumi ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Jika Tuhan kembali memberikanku kesempatan untuk mendaki gunung, mungkin aku akan melakukannya lagi.
 
Back
Top