Bikin Cerpern Yuk?

Megha

New member
Hai Den, saya suka sekali membaca karya orang tetapi tidak bisa membuatnya sendiri. Bersediakah anda membuatkan saya sebuah cerpen menarik? agar bisa dinikmati juga dengan Keluarga besar kita yang lain..


Terima kasih Tulisannya
Salam manis



Raeshartegha @-->
 
hy...
aq suka banget baca,kadang2 aku coba buat
tapi kenapa ya,kalau udah ditengah jalan pasti aku bingung.....
bisa gak kamu kasih tahu apa aja yang harus disusun sebelum buat tulisan....Tq..
aq juga setuju sama megha,kamu buat ya,biar kita juga bisa baca.hehehhehe..
 
hlu pRen cMua. . .
biKin cerpen tU nyenengin Loh. . .
gara2 sering baca novel ma sering nonton ma temen2
gW mLh kpkran bWt bkn cErpen.
gW jadi punya hoby baru.
prtma buat cerpen cuma 1minggu dah jadi
pertama sih masih sederhana2 aja
yng pntg kan buAt latihan dulu.
kmrn gW abz slesein cerpen k2
byangin 7 bulan baru selesai.
coz kalo bikin cerpen gW biasanya ceritain ttg yng gw alami
truz dikembangkan menjdi suatu cerita
walau ada banyak penambahan.
akhirnya jadi suatu cerpen. . .

ada yng mau baca cerpen gW?!?!?:)(=b=
 
hlu pRen cMua. . .
biKin cerpen tU nyenengin Loh. . .
gara2 sering baca novel ma sering nonton ma temen2
gW mLh kpkran bWt bkn cErpen.
gW jadi punya hoby baru.
prtma buat cerpen cuma 1minggu dah jadi
pertama sih masih sederhana2 aja
yng pntg kan buAt latihan dulu.
kmrn gW abz slesein cerpen k2
byangin 7 bulan baru selesai.
coz kalo bikin cerpen gW biasanya ceritain ttg yng gw alami
truz dikembangkan menjdi suatu cerita
walau ada banyak penambahan.
akhirnya jadi suatu cerpen. . .

ada yng mau baca cerpen gW?!?!?:)(=b=


Mau... mau banget!! :)(

bagi-bagi dong cerpennya dikiiiet aja
makaci sblum'a yah @-->
 
Ya sudah saya duluan yah, ini bukan ciptaan say melainkan saudara setanah air kita yang bernama wastatama. Semoga kalian nggak bosen baca ya, memang agak panjang sih.. saya tunggu komentarnya! @-->
 
(Bukan) Pecundang

Sekarang aku punya kebiasaan baru, duduk dan merenung di alun-alun kota sambil menunggu datangnya gerimis atau kabut. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa begitu akrab dengan gerimis kota ini. Kadang sesekali aku juga sering rindu kepada kabut yang turun pada sore dan pagi hari.
Aku juga tak perlu malu kepada siapapun, sebab di sini aku punya teman yang tidak aku kenal dan tidak mengenalku. Aku mengenalnya sekadar dia sering duduk disini sendiri, seperti aku. Wajahnya tak menampakkan kesedihan, hanya kebiasaannya duduk terpekur disini saja yang membuat aku menyimpulkan bahwa dia juga orang yang sama dengan aku, orang yang sama-sama muak kepada kehidupan, tapi masih begitu sayang untuk meninggalkannya. Sebatas itu.
Alun-alun inilah yang kemudian menjadi lambang keputusasaan dan kekecewaanku kepada nasib. Betapa tidak? Aku yang merasa telah melakukan semuanya dengan sungguh-sungguh, ternyata hanya melahirkan kekecewaan-kekecewaan orang-orang kepadaku. Aku kecewa kepada nasib yang tak berpihak kepadaku. Dan kekecewaan kepada nasib kemudian mengantarkan aku pada keputusasaan. Kemudian aku menyesal telah berbuat baik, aku menyesal telah berbaik sangka kepada kehidupan yang ternyata berlaku kejam kepadaku. Tapi aku tak sampai memaki Tuhan, Tuhan tidak pantas aku maki. Mungkin aku tidak berani.

Orang itu menoleh, kemudian tersenyum kepadaku, seperti menawarkan persahabatan. Aku membalas senyumnya, aku terima ajakan persahabatannya. Lantas dia mendekatiku dengan senyum yang masih tersungging dibibirnya.

Namanya Karta, mengaku berasal dari tempat yang jauh. Tapi aku tak mempersoalkan itu, toh seandainya dia berasal dari dekat pun, aku tak berniat untuk datang ke rumahnya. Seandainya dia penipu pun aku tetap tak peduli, aku tak punya apa-apa yang berharga untuk dibawanya pulang. Aku hanya membawa beberapa lembar uang ribuan sekadar untuk ongkos pulang jika aku sudah merasa bosan merenung atau jika hari sudah malam. Maka aku tak menolak ketika dia menawarkan pisang goreng kepadaku sebagai teman diskusi kami.
?Aku tak tahu, kenapa nasib itu begitu sulit berpihak kepada orang-orang baik. Apakah dia mengira bahwa orang baik mempunyai kesabaran yang tidak terbatas hingga dia dengan seenaknya mempermainkan orang-orang itu? Bagiku, nasib itulah yang tidak tahu diri,? katanya tiba-tiba, seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan tentang nasib.
?Kau jangan berpikiran buruk seperti itu dulu, siapa tahu Tuhan sedang menguji kita dengan hal-hak buruk yang tidak kita inginkan? Ingat bahwa anak kita yang kita sebut-sebut sebagai anugerah juga sebenarnya ujian Tuhan kepada kita,? kataku, masih terlalu takut untuk menuding-nuding nasib sebagai biang kegelisahanku.
?Kau terlalu pasrah, terlalu takut kepada Tuhan.?

?Kau menyalahkan Tuhan??
?Siapa yang menyalahkan Tuhan? Aku hanya mengatakan bahwa kau terlalu pasrah. Kepasrahan yang dimaksud Tuhan bukan kepasrahan seperti itu. Kita hanya boleh pasrah setelah kita melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh.?
?Kau kira selama ini aku tidak bersungguh-sungguh? Bahkan kesungguhanku itulah yang mengantarkan aku kesini, mengantarkan aku pada kegelisahan yang aku sendiri tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menghilangkannya.?
?Berarti kau membenarkan apa yang tadi aku katakan, kau membenarkan apa yang tadi kau tolak.?
?Maksudmu apa??
?Bicaramu hanya berputar-putar saja,? katanya dingin.
Sore belum hendak berangkat malam, tapi aku yang terlanjur marah dengan kata-katanya, memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu. Aku ingin meninggalkan orang gila yang sepertinya aku menyesal telah mengenalnya. Aku ingin pergi, entah kemana saja, sekiranya aku tidak lagi melihat wajahnya lagi. Aku benci orang yang suka mengadili.

Aku memang muak pada Karta, pada kata-katanya yang sok bijak, tapi aku tak bisa marah kepada alun-alunku dengan kabut dan gerimisnya yang telah mengantarkan perkenalanku dengannya. Maka keesokan harinya aku kembali ke alun-alun, membawa harapan semoga aku tidak bertemu dengannya, agar kemarahanku tidak bertambah satu lagi. Masih dengan kegelisahan yang sama.
Tapi aku tetap menjumpainya di tempat yang sama seperti saat aku melihatnya pertama kali. Melihat kedatanganku, dia tersenyum dan mendekatiku. Aku diam saja, maksudku agar dia tahu jika aku sedang marah, atau setidaknya aku sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun. Tapi dia tetap tak beranjak dari sampingku. Masih dengan senyum.

?Kau memang kurang berani. Jika aku jadi kau, aku akan mengakhiri hidupku. Percuma saja kita hidup jika hanya menjadi beban bagi yang lain. Itu tak ada bedanya dengan menjadi sampah.?
Aku tersentak, belum pernah aku menjumpai orang yang baru aku kenal sehari yang lalu berani berkata seperti itu. Tak pernah sekali pun aku menjumpai orang yang begitu jujur mengatakan sesuatu yang tak menyenangkan di depan orang yang dimaksud. Baru pertama kali aku menemukan orang yang tidak munafik(?). Baru pertama kali aku merasakan bahwa kejujuran itu begitu menyakitkan. Pantas jika sekarang jarang ditemukan orang-orang yang jujur.

?Suatu saat sampah pun akan menjadi sesuatu yang berguna, ulat yang menjijikkan pun suatu saat akan menjadi kupu-kupu yang indah. Bunuh diri hanya untuk orang-orang yang putus asa,? kataku.
?Kau pikir kau bukan orang yang putus asa? Bilang saja bahwa kau terlalu takut dengan doktrin agamamu bahwa orang yang bunuh diri akan masuk neraka,? katanya sinis. Aku hanya tertunduk memainkan sandal lusuhku, dalam hatiku aku membenarkan kata-katanya. Tapi aku tidak boleh mengiyakan begitu saja kata-katanya.
?Kenapa? Apakah tidak boleh jika sampai sekarang aku masih percaya kepada Tuhan dan agamaku? Aku tidak akan mengatakan bahwa itu adalah doktrin, Tuhan tidak akan memaksa manusia untuk melakukan atau tidak melakukan apa yang manusia ingin lakukan. Tuhan telah memberi akal kepada manusia, karena akal inilah aku tidak akan melakukan apapun yang menjadi larangannya. Manusia boleh melakukan apa saja yang diinginkannya, Tuhan hanya memberitahu akibat dari perbuatannya.?

?Itu berarti bahwa kau memang takut mati. Kau mengatakan bahwa Tuhan mempersilahkan manusia untuk melakukan apa saja, tapi kau masih saja mengatakan alasan ketakutanmu dengan mangatasnamakan Tuhan.?
?Aku tidak takut mati, aku hanya ingin matiku tidak seperti itu. Aku ingin kematianku tidak sia-sia. Aku masih ingin berguna,? sangkalku. Entah apa lagi yang akan aku katakan jika dia kembali menyanggahnya. Mungkin mengiyakan saja kata-katanya agar dia puas dan segera pergi dari hadapanku.

?Kemarin kau merasa bahwa hidupmu tak berarti apa-apa. Tapi sekarang kau berkata seperti itu?? katanya. Aku kembali tersentak. Aku merasa tak pernah mengatakan kepada siapapun tentang keputusasaan ini, aku hanya merasakan dalam hati! Kenapa dia tahu? Siapa dia sebenarnya?
?Itu artinya aku bukan orang yang putus asa, itu artinya bahwa aku tidak akan melakukan apapun yang kau anjurkan!? jawabku ketus. Dia hanya tersenyum seperti sinis.
?Sudah, aku pergi saja. Tapi ingat, kau akan tetap merasa kalah,? katanya, kemudian bangkit dari duduknya dan pergi entah kemana. Aku tak peduli.
Sejak saat itulah, aku tak pernah lagi melihatnya. Pada mulanya aku merasa senang, sekarang tak ada lagi yang menggangguku saat aku sedang merenung, tak ada lagi orang yang menyalahkan kebimbanganku, setidaknya dalam hal ini.
Tapi entah kenapa kata-kata terakhirnya masih saja menghampiriku saat aku sedang dalam perenungan nasib di alun-alun, apalagi saat aku menatap tempat yang biasanya dia gunakan untuk duduk. Perlahan-lahan aku mengakui kebenaran kata-kata terakhirnya. Aku benar-benar merasa kalah, kepada siapapun yang mengenalku. Apalagi kepada Karta, yang dulu dalam hatiku aku tuduh sebagai setan yang membujuk aku untuk bunuh diri.
Lalu aku pulang, takut jika kemudian bayangannya saja yang ada dalam pikiranku. Kemudian kembali membujukku dengan kata-katanya yang seperti mengandung mantra, kemudian aku terbujuk kata-katanya, kemudian aku mati sia-sia?
Aku melanjutkan lamunanku dalam kamar. Tak sadar jika otak ini masih begitu kuat mengingat kejadian masa lalu. Tak sadar jika otak selalu membawa kemana saja kenangan-kenanngan itu. Kadang otak ini tak tahu diri, kali ini membawa Karta masuk kamar tanpa seizinku.

?Benarkah orang yang tidak berani mengakhiri hidupnya adalah seorang pecundang? Aku seorang pecundang? Ya, aku memang pecundang bagi mereka dan bagi diri sendiri. Nyatanya aku tak bisa membahagiakan diriku sendiri,? kata sisi hatiku.
?Bukan! Aku bukan seorang pecundang, aku hanya orang yang merasa marah pada mereka yang tak pernah mengertiku. Merekalah manusia-manusia egois yang tak berhati. Mereka seperti itu karena mereka kecewa kepadaku atas kebaikanku yang bukan hanya kepada ego-ego mereka. Kejujuran memang menyakitkan, tapi ketidakjujuran itu lebih menyakitkan. Aku hanya korban dari ketidakjujuran mereka,? kata sisi hati yang lain.
?Jujur atau tidak jujur, aku tetaplah manusia kalah. Percuma mengerti mereka jika mereka tak pernah mengertiku. Memang benar kata Karta, aku memang tak layak untuk hidup.?

?Aku tak peduli dengan sikap mereka atas sikapku, yang aku lakukan bukan berasal dari manapun, tapi dari hatiku,? kata sisi hatiku, terdesak.

Tidak! Aku tidak peduli dengan kata-kata hatiku, mereka bertengkar dengan sama-sama mengatasnamakan aku! Aku memang sepi, tawa mereka yang terdengar nyaring itu semakin menyiksaku. Seperti menertawakanku dengan segala kemarahan dan kegelisahanku. Aku muak!
Aku menutup mata hendak menghentikan pertengkaran antara dua sisi hatiku, aku berusaha untuk tidak melibatkan mereka dalam masalah ini. Aku menganggap mereka tak tahu apa-apa tentang hal ini.

Saat aku membuka mataku, aku tak melihat apapun. Tak ada cahaya yang mampu menembus ruangan ini. Gelap, segelap gelap! Hanya ada setitik cahaya yang tak mampu menjangkau tubuhku. Aku mendekatinya, dia menjauh seperti enggan dekat denganku. Aku tak peduli, aku akan mengejarnya sampai aku mendapatkannya. Tiba-tiba dia berubah menjadi tali yang diam tapi bersahabat.

Benar kata Karta, aku memang tidak berguna. Tak ada artinya aku hidup jika hanya untuk menyiksa diriku sendiri. Biarlah aku sedikit menderita, kemudian aku akan tenang tanpa tawa mereka, tanpa ejekan Karta, tanpa senyum pahitku. Agar Karta dan semua orang tahu, bahwa aku bukan pecundang.

Kemudian aku berlari pada seutas tali yang tersenyum ramah kepadaku. Dia melambaikan tangannya kepadaku. Aku dekati dia, aku peluk dia dengan penuh kasih. Berharap dia tidak akan bersikap seperti manusia-manusia egois itu.

Temali itu menyeringai melihat leher jenjangku. Dengan penuh nafsu dia menjilati leher dan belakang telingaku. Aku mendesis, pelukanku padanya semakin erat, semakin nikmat. Belum pernah aku merasakan nikmat senikmat ini. Aku ingin mengulanginya lagi, tapi dengan mesra dia mengatakan bahwa ini tidak akan terulang lagi. Tubuhku menggelinjang, ada senyum puas pada wajah temali itu. Seperti aku.

Aku membuka mata, aku melihat orang-orang menatapku iba. Aku tersenyum kepada mereka, tapi mereka tak membalas senyumku, bahkan diantara mereka ada yang menangis. Jelas bahwa mereka tidak pernah merelakan aku bahagia seperti ini.

Kemudian mereka membawaku pergi, aku menolak dan meronta. Tapi mereka seperti tak peduli, mereka seperti tak tahu jika aku tak ingin dibawa pergi. Aku ingin tetap disini bercumbu dengan temali jika nanti ada kesempatan lagi. Dan aku tak berdaya, aku biarkan mereka membawaku kemana saja mereka suka. Orang-orang semakin banyak mengerumuniku. Aku tersenyum, membodohkan mereka.

Aku bangga, kelak jika aku bertemu dengan Karta, aku akan mengatakan bahwa aku bukan pecundang seperti mereka yang menyembunyikan kepecundangan mereka dengan mengatasnamakan Tuhan. Aku sang pemberani yang berani hidup dan tak takut mati.
 
nyumbang atu ya dan silakan di comment :)

cerita pendek di kala hujan

sedang hujan gerimis, ada kopi dan rokok, tanpa teh manis hangat,tapi ada kecap kok]


"gw suka sama lo"

"lo tahu kan kalo gw udah punya (menyebut sebuah nama).."

"gw tetap suka sama lo. karena gw memang suka sama lo yang punya pacar."

"terus ngapain lo bilang2 ke gw. toh ga bakal ada apa2."

"dengerin.
gw punya masalah ama lo.
masalahnya gw suka sama lo.
soal lo suka ama gw ato enggak, itu bukan urusan gw.."

"ok."

"ok juga."


[hening. hening. hening..]

"gw tetep penasaran kenapa lo bilang itu ke gw."

"kenapa? apa yang salah?"

"hmm, gw memang seneng berada di deket lo. mungkin itu bikin sikap gw jadi lebih gimana ke elo. tapi lo jangan salah sangka, gw ga ada maksud apa-apa."

"lah,, kan tadi gw bilang , itu bukan urusan gw."

[hening.hening.hening..]


"kok lo ga seneng sih? gw kan ternyata juga senang kalo bareng sama lo."

"hehe.. ya gimana,, lo ga usah seneng ama gw, gw juga uda seneng kok. ngobrol ama lo gw seneng. ketemu ama lo gw seneng. ngegaring bareng gw seneng. ngeliat lo pacaran aja gw seneng."

"lo itu... munafik. masak sih ga mau lebih, cuma bisa suka doang."

"mungkin gw munafik. ga ada masalah dengan itu."

"uda berapa orang lo giniin?"

"diginiin?"

"iya, lo giniin. lo bikin gantung."

"apanya yang gantung? gw cuma bilang gw suka."

"uda berapa lama lo suka gw"

"hahaha,, emangnya kantor ada waktu buka ama tutup."


[hening..hening..garing..]


"gw sayang banget sama (menyebut sebuah nama)!"

"gw tahu."

"gw ga bisa mutusin dia dan membuka pintu buat lo."

"emang kantor, ada pintunya..."

"gih sana ke kantor, belum tutup nih, belum jam 4.."

"ayok.. hahahahaha"

" hahahahahaha"

" goblok..."

"gw serius."

"gw (menyebut nama diri)"

"dasar garing!! capek de."


[beberapa orang datang. suasana jadi ramai, pembicaraan terputus dan tidak pernah berlanjut sampai beberapa bulan ke depan]


"gw lagi berantem sama (menyebut sebuah nama)"

"katanya sayang, kok berantem. payah."

"lo kan ga puya pacar,, kalo gw ceritain paling lo juga nyela2 gw, lo mana ngerti.."

[diam sesaat]

"duh.. jadi sedih nih."

"gara2 gw berantem sama pacar gw ya. ga usah kok. gw hargai empati lo. hehehe"

".. gw berharap lo putus, dan itu jahat. makanya gw sedih. padahal kan gw (menyebut nama diri)"

-pletak (gelas akua dilempar)-

"gw pikir serius, sialan lo.."

"serius sedihnya"

[hening lagi. lama sekali.]

[kehidupan berjalan seperti biasa, kerap bertemu, tapi ya sudah itu saja,, bulan berlalu, sebulan, dua bulan, empat bulan, sampai akhirnya ada momen buat ngobrol berdua]


"capek ya?"

"ngantuk gw. lo ga balik?"

"ga, tidur sini, besok subuh kan musti kerja lagi, lo ga balik?"

"bentar lagi"

"btw, gmana lo ama (menyebut sebuah nama). gw dpt shift bareng dia melulu nih. anaknya menyenangkan. Dan.. dia sayang banget ama lo"

"jangan bilang lo belum tahu."

"eh?"

"(menyebut nama lawan bicara)! selama ini kita ngapa2in bareng-bareng dan lo ga tahu. ampun de.."

"gw bener2 ga tahu"

"gw udah ga sama dia lagi. uda 2 bulanan ini.."

"wow,, gw sampe2 ga tahu, mejik bgt. pantesan kalo ngomongin lo mukan jadi mellow gitu. goblok banget gw!"

"bukannya mustinya lo up to date soal gw?? hohohoho"

"sejak kapan lo narsis begini,,"

[ tiba-tiba menjadi hening. hangat rasanya]

"ini pertanyaan aneh, tapi,, lo masih suka ama gw? hehehe..."

"enggak, gw (menyebut nama diri)"

"buset... uda jaman kapan sekarang,,, masih ngetren ya begituan??"


[memang benar2 garing]


"ya, menurut lo sendiri gimana? gw masih suka ama lo?"

"menurut gw, lo itu (menyebut nama lawan bicara)"

"hahahahahahaha.. ngikut2"

"hahahahahahaha.."

"ngomong2, siapa yang mutusin? tak pa2 kan nanya2?"

"ga usah dibahaslah,,, itu sudah basi"

".... karena?"

"ye,, ngotot.."

"iya, jadi kenapa putus"

"cerita ga ya.. cerita ga ya..."

"yasuw,, kalo ga mau"

"gw pikir, apa yang ada antara gw dan dia semakin absurd. gw menikmati kegiatan gw, dan dia ga bisa ngerti kenapa gw lebih memilih menghabiskan waktu buat ini itu daripada buat dia."

"geblek,, malah cerita,, hahaha...lagian gw ga ngerti juga soal begituan, gw kan ga punya pacar,,,"

-pluk, pulpen dilemar-

"ni orang, mau dengerin apa enggak??"

"ampun.. lanjut,,"

"masalahnya bukan cumaa itu. gw juga berpikir, mungkin karena .. hmmm,,, karena obrolan waktu itu ama lo."

"bagian mananya?"

"ga tahu, mungkin bagian lo-nya dan bagian perasaan gwnya"

-pletak (botol dilempar)-

-plak (sepatu balas dilempar)-

[diam lama banget..]

"lo kok bodoh gitu sih"

" gw (menyebut nama diri)"

"hahahahahaha"

"hahahahahahaha.."


[hening.hening.hening..]


"trus sekarang lo mau ngapain?'

" merenung, menata hidup gw lagi. gw butuh di upgrade"

"hahahaha, secara lo dari dulu pentium 1/4... ya iyalah musti di upgrade,,,"

"cela aja terus,,,"

"tapi lo masih SAYANG sama dia ga?"

"gw tahu dia berhak akan sesuatu yang lebih baik."

" hiyah... alasan buat putus yang penuh kepalsuan, bilang aja pingin yang baru. ckckckck.."

"berisik."

[bintang bintang semakin terang, tumben ga hujan]

"gw udah puas dengan hubungan kita yang kayak sekarang kok"

"heh, jangan gr lo.. siapa bilang gw putus semata2 buat macarin lo?"

"ye.. lo juga yang jangan gr,, siapa juga yang ngiyain kalo lo mau macarin gw,,,"

"loh,, kan lo dulu suka ama gw, mustinya iya dong."

"lah, lo bukannya juga seneng sama gw."

"hahahahaha..."

"hahahahaha..."


[hening.hening. semakin garing]


"lo mau nunggu gw?"

"hahaha.. gw baru tahu kalo lo itu tukang pos, harus ditunggu"

"emang tukang pos musti ditunggu?"

"hahahahahaha"

"hahahahahaha"


[hening.hening.hening..]

"masih panjang,, ya gw emang suka ama lo. ga tahu sampai kapan. orang datang dan pergi dalam kehidupan gw dan juga lo. mungkin suatu ketika lo akan nemuin the one buat lo... tapi gw rasa untuk soal kita itu engga sekarang."

"...."

"gw yakin lo sayang sama (menyebut sebuah nama), bentar lagijuga balik.."

"sebenernya gw ga bisa ngerti. gw nunggu momen ini, buat ngomongin hal ini ama lo sejak gw putus. tau ga? ketika lo datang dan tiba2 bilang lo suka ama gw, itu ngengganggu gw banget. gw udah ngerasa kayak selingkuh! begitu gw akhirnya memilih, lo malah ga ngasih respon apa-apa ke gw. lo itu,, aneh banget. gw juga ga bermaksud jadiin lo pacar gw, cuma kata2 lo barusan itu bikin gw merasa gw sudah melakukan kesalahan besar sama (menyebut sebuah nama).?

?lo maunya gimana??

? ini semua bukan karena akhir-akhir ini lo kerja ama dia kan..?"

" ya, kita liat aja nanti de. gw juga ga ngerti.?

? terlalu cepet ya??

?mustinya kayak lagunya john legend aja. We should take it slow. We?re just ordinary people. We don?t know which way to go. Cause we?re ordinary people, baby we should take it slow.."

"baby we should take it slow?..?

"hahahaha.. uda lama ga nyanyi bareng"

"hoahem.. iya.. kurang gitar.."

"ya, mungkin kita bakal bareng, mungkin enggak, ga masalah kok. hal ini ga seserius dan seberat yang lo kira. lo kan tahu gw ga nunggu apa-apa dari lo, gw ga minta apa-apa dari lo. I enjoy myself for being your admirer. I'm a weirdo. gw ga yakin lo bakal lebih enjoy ama gw kalo akhirnya ada apa-apa. I?m not your type, I guess. Menurut lo gimana?"

".."

"yah, ni anak, tidur lagi. katanya mau balik?"

"gw ga kuat. ngantuk. sekalian nemenin lo deh."


[percakapan berhenti. malam itu mereka tidur berdekatan, di antara yang lain yang juga pada kecapekan, di atas lantai dingin, dengan bantal tas masing-masing. Besoknya, salah satu sudah pergi duluan. Dan karena kesibukan masing-masing, jarang bertemu].

"hoi, ke mana aja?? ga pernah keliatan?"

"kerja!"

"halah.."

"sorry ya soal yang waktu itu."

"ga pa2"

"gimana lo ama (menyebut sebuah nama)?"

"baik kok. ya standard orang pacaran de."

"baguslah. masih seneng deket-deket gw tapi?"

"lah, elo, masih suka ga ama gw?"

"hahaha,, ga gw sangka gw bakal ngomongin soal beginian sama lo."

"dia juga tahu soal elo kok, gw ceritain semua."

"dia cemburu ga?"

"jelas enggak, lo sama dia ga bisa dibandingin, dia tahu itu. buang-buang waktu cemburu ama orang aneh kayak lo"

"jadi?"

"kita tetep temenan kan?"

"ya enggak. gw (menyebut nama diri) dan lo (menyebut nama lawan bicara). bukan temenan"

"hahahaha....."

"hahahahaha....."

(hatiku selembar daun, melayang jatuh di rumput. Nanti dulu, ada yagn masih ingin kupandang yang selama ini senantiasa luput. Sesaat adalah abadi, sebelum kau sapu tamanmu setiap hari.)
 
karya anda bagus mas BC, maaf saya singkat aja ya namanya. nggak kalah bagusnya dengan yang punya mas imnanay
semoga ruangan ini menjadi kelahiran para sastrawan-sastrawati berbakat indonesia
 
karya anda bagus mas BC, maaf saya singkat aja ya namanya. nggak kalah bagusnya dengan yang punya mas imnanay
semoga ruangan ini menjadi kelahiran para sastrawan-sastrawati berbakat indonesia

makasih mbak dian btw saya tidak begitu pandai menulis cerpen tadi itu ngasal aja;) tapi kalo puisi yg melo-melo sedikit bisalah :)
tapi gimanapun terimakasih.....
 
makasih mbak dian btw saya tidak begitu pandai menulis cerpen tadi itu ngasal aja;) tapi kalo puisi yg melo-melo sedikit bisalah :)
tapi gimanapun terimakasih.....
Ah mas BC (maaf namanya saya singkat) bisa aja, ceritanya bagus kok. :mantapp:
saya harap sih tetep semangat buat mengasah Skill-nya mas, kayaknya bakat sastranya mas emang udah jadi bakat alam. Semangat terus mas, saya tunggu karya berikutnya :wink:=b=
 
cerita mas BC cocok banget buat dijadiin naskah film ato sinetron. Ada bakat kenapa nggak dikembangin aja mas? (nggak pake bohong, beneran!)
 
Sebuah Luka Bagi Sang Demonstran

Saya ikutan ya Mbak Megha :wink:


Sebuah Luka Bagi Sang Demonstran

Oleh : Peri Umar Farouk


Inilah representasi rakyat kecil yang aku bela, secuil kehidupan di sederet gerbong kereta api kelas ekonomi. Pertama kali kuinjakkan kaki di lantai kereta ini, aku telah mencium bau rakyat. Hawa yang panas dan suasana kumuh mempertegasnya. Aliran deras pedagang asongan dan teriakan teriakannya yang cerewet, lucu bahkan cabul, memberikan kepusingan tersendiri.

?Koran, koran, koran, koran? Koran Oom??

?Cel, pecel. Pecelnya bu? Pak? Pecel, pecel??

?Kacang ibu rambutan, kacang ibu rambutan, telor bapak rambutan??

?Akua, akua? Teh kotak, kolonyet, pe pe o??

Kuperhatikan, sepanjang aku berjalan mencari tempat duduk, kaca kaca yang menjadi dinding kereta ini tak satupun yang bersih. Semuanya kotor dan berdebu. Juga jok jok bangku dan meja kecil dengan warna karatnya. Cermin kesehatan rakyat.

?Bang, bang, korannya bang!? untuk tidak jatuh terbengong bengong saja aku mencoba membeli koran.

?Ini, Mas. Seratus rupiah saja!?

?Seratus rupiah?!? tanyaku.

?Ini koran lama, Mas. Buat tikar duduk.? jawab si tukang koran acuh tak acuh.

?Yang baru??

?Wah, saya nggak jual.? sembari jawab si tukang koran ngeloyor pergi, seolah olah tahu betul bahwa aku tak lagi berminat pada koran korannya.

Kampung demi kampung berlari bagai gambar pemandangan yang panjang sedang digulungkan dari arah timur yang entah di mana persisnya. Sawah sawah yang kekeringan air, bukit bukit kecil yang tandus, genangan lumpur di lobang lobang tanah yang bergerenjul batu batu serta suara suara binatang di sepinya makam makam menawarkan selera abadi bagi perjalanan ini.

Di dalam kereta aku telah bermandi keringat. Orang orang lain juga. Ada percakapan dalam bahasa Jawa, Sunda dan lebih sedikit lagi dalam bahasa Indonesia. Dengan fokus yang bermacam macam pula, dari lingkup yang remeh sekali semacam pembicaraan kerumahtanggaan sampai ke hal hal yang menjurus politik(?).

?Toh rakyat tidak sebodoh yang diperkirakan banyak ?orang pintar?,? benakku berkata. ?Mereka punya bergudang gudang permasalahan yang mereka coba jawab sendiri. Apa itu bukan suatu kecerdasan??

Dari pikiran itu berkembang nostalgia nostalgia petualanganku sebagai salah seorang yang sering disebut oleh banyak pihak sebagai demonstran. Berawal dari persiapan persiapan patriotik yang kulalui bersama kawan kawan sesama mahasiswa, mengetik naskah naskah yang kontroversial, mengecat spanduk serta mencorat coret kertas karton dengan kata kata advokatif bahkan terkadang radikal, sampai meneriakkan yel yel pembelaan dan gelar demonstrasinya itu sendiri.

Lalu kubandingkan jerih payah itu dengan keadaan rakyat yang sebenarnya, yang terpampang kini di depan mata kepalaku sendiri. Ada rasa tak percuma. ?Ya, perjuangan perjuanganku mempunyai akar yang kuat, yakni kesengsaraan rakyat dan ketertindasannya dalam perikehidupan yang lebih besar. Lebih penting lagi, adalah ketulusan dan kejujurannya.? Lihatlah, mereka mempunyai wajah yang pasrah, penuh sabar dan jauh sekali dari bayangan bayangan pamrih. Tetapi struktur yang diciptakan bagi keseharian mereka, penuh lorong yang bengis dan jahat. ?Apakah, bila Anda seorang manusia dengan hati yang orisinal manusia, melihat hal itu semua hati Anda tidak tergerak sedikitpun untuk membela? Atau tidakkah merasa bersyukur dan berbangga bahwa Anda, dalam satu ruang waktu tertentu pernah melakukan hal hal yang bisa membela keadaan mereka?? Berat juga ternyata mempunyai pikiran pikiran besar seperti itu. Karena beratnya untuk beberapa menit aku pun tertidur.

+++

Setelah mendengar derit kereta yang sepertinya berhenti secara tiba tiba, aku membuka mata. Menggeliat sebentar, lalu melihat ke luar jendela. Sebuah stasiun bangunan tua ramai dengan hilir mudik manusia. Bangku di depanku persis sudah kosong dari orang yang mendudukinya tadi. Disamping kiriku, nenek kurus yang mulutnya kembung oleh susur, sebentar menoleh kepadaku. Kemudian tanpa menawarkan kesan apa apa kembali melihat ke luar jendela, melihat hiruk pikuk yang mungkin pernah dilalui dalam bagian tertentu usianya.

Tiba tiba bahu kananku ada yang menepuk. Halus tetapi memberat pada akhirnya. Aku menoleh. Seorang lelaki kurus dengan muka senyumnya, nyengir. Di bahu kirinya tergantung tas kumal yang berbau anyir.

?Depan kosong ya, Mas ya?? mukanya masih nyengir.

?Kayaknya kosong,? jawabku.

?Jo, sini kosong, Jo!? ia menarik lengan lelaki yang berada di belakangnya. Lelaki yang dipanggil ?Jo? itu menoleh, berusaha menyegarkan tampangnya yang agak kaget.

Dua orang lelaki kini duduk di depanku.

+++

Kini kereta berjalan dengan agak lambat, sengaja mungkin untuk menepatkan waktu tiba di stasiun yang bakal dilalui di depan. Kereta api kelas ekonomi memang harus selalu mengalah terhadap aturan cepat lambatnya kereta api kelas kelas lain. Tidak ada aturan yang pasti dan tersendiri bagi kelas ekonomi.

Bosan dengan segala pikiran yang muncul di otakku, kucoba mengobrol dengan lelaki kurus bermuka senyum itu. Dia menempati bangku persis berhadapan denganku. Pas di lutut celananya terdapat robek yang dengan jelas memperlihatkan luka yang masih baru. Ada darah segar di luka itu, sedangkan di sisi sisi robekan celananya bercak bercak darah mengental hitam.

?Kena apa itu Pak, lututnya?? tanyaku membuka percakapan.

?Wah, ketabrak nih,? jawabnya sambil dengan cepat melihat ke arah lukanya. ?Tadi pas saya berangkat ke stasiun.?

?Ooo?? sahutku.

?Saya, dari rumah jalan kaki. Lumayan jauh, Mas. Ada mungkin lima kiloan dari rumah saya ke stasiun,? ia melanjutkan bercerita. Dalam hatiku muncul rasa simpati yang makin besar terhadap nasib rakyat kecil seperti bapak ini. Coba bayangkan, untuk bepergian mereka masih harus berjalan kaki sekian jauhnya, padahal banyak kendaraan yang berlalu lalang hanya berpenumpang satu dua orang. Kemubadziran yang sungguh sungguh.

?Ee, di perempatan jalan, kira kira setengah kiloan lagi sampai di stasiun, tiba tiba ada sedan be em we menyerempet dari belakang. Saya terjatuh. Lutut saya agak terseret di aspal butut. Masih untung tidak banyak yang kena.?

?Terus be em we nya lari?? tanyaku.

?Untungnya nggak.? lelaki itu tersenyum.

?Sekarang ini sudah terlalu biasa, orang nabrak terus lari. Jaman sudah biadab!? umpatku.

?Terus sopirnya bagaimana?? tanyaku lagi.

?Sopirnya keluar dari mobil. Yang menumpang mobil itu sebetulnya dua orang. Sepertinya suami istri. Tapi yang keluar hanya yang laki laki. Wuih, pakaiannya bagus. Pakai jam tangan emas, ada cincin batu yang? wah, gagah pokoknya. Saya yang masih terduduk di aspal jalan, sambil mengaduh aduh diangkatnya. Saya terus saja mengaduh,? dia menceritakan itu dengan gerak tangan dan mimik yang lucu. Sepertinya tidak ada beban dengan kejadian sial yang menimpanya. Ya, begitulah rakyat kecil adanya, tidak pernah menuntut macam macam dan bertele tele. Segala sesuatunya bisa menjadi gampang bila berhubungan dengan rakyat kecil, seperti lelaki kurus ini.

Kemudian dia menoleh kepada kawannya yang dari tadi diam saja. Di mataku tampak kawannya itu adalah orang yang baru kali ini naik kereta, naik ke keramaian yang tak teratur. Dari wajah dan gaya duduknya tidak salah lagi, ia adalah orang yang mudah sekali menjadi bingung.

?Jo! Kamu mau makan ya, Jo. Sudah lapar kan?? tanya dia kepada kawannya.

Jauh dari dugaanku, ternyata kawannya itu bisu. Ia hanya membalas pertanyaan lelaki itu dengan aa uu dan gerak tangan yang tidak jelas.

?Oh, sudah lapar juga toh kamu,? kesimpulan lelaki itu dari aa uu kawannya. Dari tas kumalnya ia keluarkan sebungkus nasi. Lalu diserahkannya pada si bisu.

Ia memandangku lagi sambil menepukkan kedua tangan ke pahanya. ?Hheah?? hembus nafasnya.

?Terus yang punya be em we itu ngasih apa apa sama Bapak?? tanyaku mencegat lirikan kanan kiri matanya.

?Sebetulnya sopir itu mau memberi saya?? ia berhenti sejenak, lalu menggelengkan kepala sedikit dan mulutnya berbunyi ?ck?.

?Tapi saya dengan cepat menolaknya. Kebetulan si Sarjo ini menarik saya untuk dipapahnya berjalan.? matanya melihat ke si bisu, yang ternyata bernama Sarjo itu. Sarjo sedang lahap menyuapkan nasi bungkus yang berwarna kuning oleh zat pewarna dengan lauk ikan asin ke mulutnya.

?Jadi Bapak tidak menerima apa apa dari be em, eh? dari yang punya be em we itu?? selidikku.

?Yaah?? jawabnya sambil tersenyum dan membuka tangannya. Bisa dipastikan, bagaimana makin meningkatnya rasa simpatiku padanya, pada seluruh rakyat kecil yang dalam niat, pikiran pikiran, ucap, teriakan, yel yel dan demo demo yang kulakukan aku bela. Kata yaah nya, senyum kecil dan gerak membuka tangannya hanya bermakna satu dalam otakku, ia tak menerima sesuatu. Tepatnya ia tidak berpamrih pada hal hal yang dirasa bukan haknya. Sebegitu besar ia menghargai kenyataan kenyataan, sehingga kecelakaan, ya hanya sebuah kecelakaan, tidak berusaha diruwet dan dilebih lebihkan. Sungguh jarang aku mendengar kenyataan seperti yang kudengar barusan, dimana orang orang lain selalu memanfaatkan peluang sekecil apapun demi mendapatkan uang, ini malah samasekali menolak apa yang sesungguhnya bisa menjadi selayaknya diterima.

Kulihat lagi ia, rakyat kecilku. Tersenyum dengan sinar matanya yang polos. Kubalas ia dengan senyumku yang paling tulus.

?Yaah?,? ia mengulang keikhlasannya. Lalu berkata melanjutkan, ?Saya, mm saya harus cepat cepat meninggalkan yang punya mobil itu. Untung si Sarjo ini tindakannya tepat. Coba bayangkan kalau tidak! Wah, pasti ketahuan saya??

?Ketahuan apa? Seharusnya Bapak mendapatkan sejumlah uang untuk mengobati luka lutut Bapak,? potongku, tidak sabar untuk membuatnya mengerti sedikit tentang hak hak yang seharusnya diperolehnya.

?Soalnya, ketika ia berusaha mengangkat saya, tanpa diketahuinya saya curi dompet di saku belakang celananya. Dan waaah sukses sekali saya hari ini,? kembali ia menggeleng gelengkan kepalanya sambil tangan kanannya menepuk nepuk saku depan celananya. ?Bayangkan kalau ketahuan??

Dan kemudian, terdengar di telingaku suara setengah empuk dari saku celana lelaki itu. Terlihat di mataku senyuman yang amat licik dan kurang ajar. Terasa di bawah tulang paruku sebelah kiri sakit yang mendadak.

Aku tak punya hasrat lagi berbicara?

+++
 
Ujung Penantian

Hari itu... tanggal 12 januari 2003, aku bertemu dengan seorang cowok yang keren banget.... dan aku mulai merasakan desiran2 hangat yang menjalari hatiku... telah lama tak kurasakan getar2 cinta yang menyelusup direlung jiwa... tapi ini lain... kekaguman yang berujung cinta mungkin masih seperti obsesi.. tapi bagiku... ini love at the first sight!
Namanya mas Rian, kakak kelas kakakku... sejak saat itu aku memproklamirkan diriku sebagai secreet admirernya... kuakui, hubunganku dengan dia semakin dekat begitu dia sering main kerumahku... aku masih ragu dengan statusnya, dia jomblo g sih? kalau tanya sama kakakku, duch! mau ditaruh mana mukaku... akukan pemalu abis...
Tapi, jika aku pendam terus perasaan ini malah jadi penasaran melulu... duch jadi bingung sendiri, melihatmu begini... kau buat aku jadi pucing... (kok malah T2 ikutan nyanyi...?) pokoknya harus ngomong jujur... aku mulai nulis surat malem tadi, soalnya... pulsanya abis... jadi aq jadi juga ngirim tu surat kerumah dia.. intinya cuma mau ngobrol... duch, klo dia ternyata udah g jmblo gmn? sorenya... mas Rian sms aq, ktanya mau ajk orang... yach, gmn bisa bls, pulsanya kan abis... ya udah, pasti dia kira boleh kali..
Sore itu, sore penentuan, apakah aku bisa berhasil masuk keruang hatinya ato g? yang pasti aku udah berusaha dan hasil akhir itu hanya tuhan yg tahu... tapi, aku sempat shock begitu tahu klo mas Rian bawa cewek. itu adiknya? sodaranya? ato temennya? paling parah klo itu adl cweknya.. bisa berabe...
"mmm..." sebenarnya aq ingin mulai pembicaraan ini, tapi bingung mau mulai darimana?
"Ra, ada apa sih?"
"mmm..." masih bingung nich mas... batinku kacau
"eh iya, aku juga mau ngenalin seseorang kekamu... tau g? klo kakakmu ini lagi bahagia..?" tanyanya sambil mengedipkan matanya.... dan cewek manis disampingnya juga tersenyum tipis...
"kenapa?"
"kakak sudah menemukan tambatan hati..."
ini sudah siaga satu, aku sudah goyah dalam berdiri... dan sebentar lagi bakal ambruk....
"siapa?"
"ni cewek kakak, kenalin, namanya Dian..."
STOP! hancur sudah hatiku, segala penantian yang sia-sia ini, sudah menjadi sebuah cerita menyakitkan....
"Ira" ucapku bergetar, bergetar seperti tanganku yang berjabat dengan tangannya....
"Dian" balasnya sambil tersenyum tulus...
" mau bicara apa sih Ra?"
"g jadi... lain kali aja..." kataku sambil berlalu pergi membawa linangan airmata dan sisa puing cinta yang remuk... hancur berkeping2... tak ada lagi yang harus kita bicarakan, biarlah waktu yang menghapus lukaku..

ni cerpen pendek banget dan kubuat waktu masih SMP kelas 1...
 
@ Miyuki
@ BC
@ nadhesiko <-- penulis kecil pemalu yang paling pemberani. berani menantang dan berontak pada bakat minder, itu hebat. saya aja nggak pernah berani buat at the least "niat menyolek" keberanian saya untuk bicara sama orang yang saya suka (saat masih smp). berani hancur untuk kepuasan batin, NEKAT!! ditunggu karya berikutnya =b=

Makaci banget ya, Kalian itu sastrator yang baik. Nggak hanya mengedepankan semilir kata-kata indah pada sebuah mahakarya tulisan tapi juga kejujuran. Saya merasakan apa yang kalian tuturkan, untuk kalian.. @-->

Stars is sended
 
Back
Top