Kekerasan di Rumah Berdampak Permanen pada Mental Anak

Kalina

Moderator
KOMPAS.com - Anak-anak membutuhkan lingkungan yang aman, bebas dari kekerasan, dan orangtua yang mencintai mereka. Sayangnya, bagi sebagian anak rumah mereka jauh dari kata aman.

Setiap tahun, ribuan anak terpapar kekerasan dalam rumah tangga. Bukan hanya dilanda ketakutan, dampak dari kekerasan itu akan menetap selamanya.

Anak-anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang harmonis dan penuh cinta, akan tumbuh menjadi anak yang tangguh dan bahagia. Sebaliknya dengan anak yang orangtuanya sering bertengkar atau mengalami kekerasan.

Konflik yang terus menerus terjadi di dalam rumah tangga bisa membuat anak mengalami trauma, bahkan walau anak tersebut tidak mengalami kekerasan.

Hal itu juga dibuktikan dalam penelitian terhadap 22.500 orang dewasa di Kanada. Terbukti, 17 persen orang yang di masa kecilnya menyaksikan kekerasan domestik orangtuanya memiliki niat untuk bunuh diri. Sementara pada orang yang masa kecilnya bahagia, hanya 2 persen yang punya niat serupa.

"Suasana rumah yang ribut dan tidak tenang berdampak jangka panjang," kata Fuller-Thomson, peneliti, seperti dikutip dari HealthDay.

Konflik dalam keluarga memang hal yang normal, tetapi jika ketegangan antara orangtua terus menerus terjadi, bahkan melibatkan kekerasan dalam rumah tangga, anak bisa mengalami trauma yang dibawa hingga dewasa.

Bukan hanya itu, penelitian yang dilakukan oleh Unicef menunjukkan anak-anak yang jadi korban kekerasan sekitar 40 persennya memiliki keluarga yang juga melakukan kekerasan.

Anak-anak yang sejak usia dini sudah terpapar kekerasan di rumahnya akan mengalami stres emosional. Hal itu tentu berpengaruh pada perkembangan otaknya.

Anak juga rentan mengalami gangguan perilaku, misalnya sulit tidur, rewel, takut sendirian, serta gangguan kemampuan bicara. Semakin besar, anak juga akan kesulitan konsentrasi dan fokus. Mereka cenderung memiliki hasil yang buruk dalam pendidikan di sekolahnya.

Memang tidak semua anak akan terperangkap menjadi korban atau pelaku kekerasan nantinya. Banyak anak yang berhasil bangkit dan tumbuh menjadi orang dewasa dengan kondisi mental yang sehat.

Dukungan dari orang di sekitarnya berperan penting. Mereka butuh orang dewasa yang bisa dipercaya untuk mengungkapkan perasaannya dan mengatasi traumanya.
 
KESIMPULAN
Salah satu faktor pencetus seseorang menjadi tindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah menyaksikan kekerasan orang tua saat masih kanak-kanak, bersikap agresif terhadap istri, dan berperilaku agresif terhadap anak adalah resiko yang mempengaruhi tindak kekerasan suami (Koss, Heise, & Russo, 1994 dalam Taylor, dkk 2009). Oleh karena itu sebaiknya orang tua yang sedang bertengkar agar tidak melibatkan anak dan tidak bertengkar di depan anak-anak karena akan menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan kepribadian anak.Anak-anak yang pernah mengalami tindak kekerasan agar diberi pendampingan bantuan moril dari orang terdekat seperti keluarga, teman atau seorang tenaga ahli seperti seorang psikolog supaya anak bisa tumbuh menjadi orang yang lebih percaya diri. Perlunya pendampingan dari seorang psikolog atau tenaga ahli agar dapat menumbuhkan sikap terbuka sehingga anak mau bercerita mengenai masalah yang sedang dihadapinya untuk mengurangi trauma, beban psikologis dan emosi-emosi yang terpendam. Saran kepada masyarakat yang melihat anak korban kekerasan dalam rumah tangga agar tidak mengejek atau mencemooh, tetapi memberikan dukungan dan bantuan bagi korban. Segala bentuk dukungan dan bantuan moril yang diberikan oleh masyarakat, keluarga terdekat, teman maupun seorang psikolog kepada anak yang pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan dalam rumah, semoga dapat mengurangi potensi untuk menjadi pelaku KDRT yang akan datang.


SUMBER
 
Back
Top