Maafkan Sifatku Teman

wrep17

New member
Dengan senang hati aku membantunya. “ayo berdiri. Memang begitu kelakuan kakak kelas disini” bergegas mendatanginya dan tangan kananku terjulur mencoba membantunya berdiri. Kakak kelas sudah puas mengganggunya. Dia menatapku tajam. Mengacuhkan tanganku. Tidak perduli. Bangkit, membereskan baju dan berlalu pergi begitu saja. Terima kasih ? bahkan tidak sama sekali. Mukaku kebas, tanganku kaku. Diacuhkan. Siapa dia ? mengacuhkanku begitu saja. Berniat baik malah tidak dibalas sama sekali.

Hari ini adalah hari pertama masuk kuliah. Bangku yang sebagian orang idamkan. Iyap, hanya sebagian. Sebagiannya lagi ? dengan berbagai alasan mereka menolak untuk berkuliah. Biaya mahal, pelajaran susah. Terkesan mengerikan. Namun tidak dengan diriku. Demi janji kehidupan yang lebih baik aku langkahkan kaki maju menuju bangku yang lebih tinggi. Dengan harapan dan cita-cita mulia. Serta dengan doa kedua orang tua dan orang-orang yang mencintai aku.

“MATR01 kumpul disini” seru salah satu orang yang mengenakan jas berwarna biru tua. Aku yakin itu adalah kakak kelas. Aku harap ia baik dan tidak menakutkan. Dengan rapi kami berbaris. Ada banyak manusia disini. Dengan berbagai latar belakang, sifat serta watak yang berbeda satu sama lainnya.

Dibagian belakang sana ada orang yang waktu itu akan aku tolong. Ingat, baru AKAN, belum kejadian. Wajahnya menyebalkan, menyeringai tajam dengan pawakan badan gendut. Rambutnya tipis. Kepalanya terlihat membulat besar. Mengerikan. Mungkin kah ia satu kelompok bersamaku ? gumamku dalam hati.

selepas apel pagi kami dibimbing masuk kelas masing-masing. Berbaris rapi satu persatu bagai semut yang berbaris di dinding. Terik matahari hari ini terasa hangat menyehatkan. Seperti hati yang semakin hangat merasa lebih dekat satu langkah dengan cita-cita dan janji kehidupan yang lebih baik. “selamat pagi, coba keluarkan barang bawaan kalian” sosok wanita berjas biru rapi, berkerudung merah dengan senyum merekah tergurat jelas diwajah manisnya. Dia sangat cantik, rapi, bersih.

“semuanya lengkap” ketua kelas yang sudah terpilih melapor. Kegiatan dimulai. Pagi hingga sore, barang bawaan aneh, busana yang sebenarnya mudah dicari menjadi sulit dicari karena gugup diburu oleh waktu. Begitu seterusnya selama satu minggu. Benar-benar hari yang melelahkan namun juga menyenangkan. Hanya satu yang aku herankan. Siapa nama manusia dingin, gendut, dan menyebalkan itu ?

***

Perwalian. Walikelas masuk. Mencoba berkenalan. Memberi pengarahan dan motivasi belajar serta kiat-kiat agar cepat lurus. “ini dia, rico” puas sudah hatiku mengetahui namanya. Dengan begitu aku dapat dengan mudah berteman dengannya.

Satu minggu berlalu perkuliahan perdana pun dimulai. Materi demi materi disampaikan. Satu persatu dapat diserap dengan baik.

“co tugasmu sudah ?” tersenyum ramah mencoba memecah keheningan kelas. Hari ini masih terlalu pagi untuk berangkat kuliah. Kuliah dimulai pada pukul 08.40 nanti.

“sudah” jawabnya pendek. Tidak memandangku sama sekali. Ia tidak perduli dengan kehadiranku dibelakangnya. Tidak bertanya siapa namamu, darimana asalmu seperti teman-teman pada umumnya. Sungguh manusia yang aneh.

Satu dua bulan perkuliahan terlalui. Masih dengan sifat yang sama. Dengan dingin, tatapan mata acuh tidak perduli.

Sebenarnya aku ingin sekali berteman dengan ia. Namun sifat dan perlakuan ia yang membuat aku dan teman-teman lainnya malas berteman dengannya. Ditegur tidak membalas, diajak bercanda tidak bisa. Bahkan diajak bicara pun seperti tidak berminat. Manusia langka~

***

Wuss.. asap tebal mengepul, suara bising kota terdengar, manusia berlalu lalang sibuk dengan aktifitas masing-masing. Melangkah gugup untuk segera sampai kantor. Sedangkan aku ? masih bersantai di kantin kampus, ngobrol kesana kemari. Tertawa puas meledek satu sama lain. Menyenangkan.

“hai ko mau kemana ?” tegur wahyu. Rico bahkan tidak menoleh dan berlalu begitu saja. Tidak perduli. Wahyu ? terdiam malu, mukanya kebas. Sapaan hangat tanda persahabatan tidak diperdulikan. Mungkin bila ia mati akan menggali kuburannya sendiri. Ia tidak butuh orang lain. Olok teman-teman yang sedang sibuk meniup-niupkan asap tebal berwarna putih. Tertawa kembali.

Benarkah ia teman ? apakah begitu caranya berteman ? kadang pertanyaan demi pertanyaan timbul dari benakku. Mengapa ia begitu acuh dan tidak mudah bergaul ? ah perduli apa. Itu pun urusan dia.

“oke saya rasa cukup perkuliahan hari ini. tugas ya, kerjakan dari halaman 90-99. Kerjakan lengkap dengan caranya serta ditulis di kertas folio bergaris. Dikumpulkan 3 hari lagi. Sekian. Selamat pagi”

“pagi pak”

Seketika kelas gaduh. Ribut mencari tempat belajar bersama. “nanti malam di cafe biasa ya” “oke”.

Malam datang begitu saja. Semakin larut semakin ramai. Begitu pula pojok ruangan tempat kami bersama. Ramai. “akhirnya selesai, yok pesen makanan”. Puas makan kami beranjak pulang. Membelah tengah kota. Gemerlip cahaya lampu penerangan jalan. Satu dua orang berlalu lalang. Musisi-musisi jalan raya mencoba memamerkan karya terbaik mereka.

“teman-teman tugas kalian sudah selesai ?” tanya rico lewat diskusi kelas. Tidak ada satupun yang menjawab. Hanya dilihat. Tidak ada yang perduli. Kasihan sekali.

Tiba hari pengumpulan tugas. Rico datang terlambat. Muka cemas berkeringat nafas tersengal-sengal. Ngos-ngosan. “tugasmu sudah selesai belum ?” tanya rico pada teman sebangkunya. “sudah dikumpulkan semua tadi” pendek, tidak perduli dan asik dengan handphone super canggihnya. Muka rico mendadak lesu. Tugas istimewa dengan nilai besar terpaksa tidak bisa dikumpulkan. Ia tidak tahu bagaimana cara mengerjakannya. Tidak ada yang mau membantunya. Dia menghela nafas menerima kejadian itu.



***

Aku menatapnya prihatin. Aku tidak bisa membantu apapun. Aku pun sedang sangat sibuk hari itu. hingga tak sempat membaca pesan singkat darinya. Aku penasaran dengan dirinya. Aku putuskan untuk mengikutinya pulang.

Mengikuti kesehariannya. Kemana ia pergi, apa yang ia lakukan. Aku mengikutinya kemana saja. Tentunya ia tidak menyadari kehadiranku. Bisa kacau kalau ia tahu aku mengikutinya.

Mataku terbelalak. Haru menatap. Lamat-lamat rico berdoa. Dibawah patung Tuhannya ia meminta diberi kesabaran menghadapi ujian serta teman-teman yang sering mengolok oloknya. Ia tahu bahwa balas dendam tidak baik. Ia memilih diam untuk menghadapi mereka. Tidak ingin marah, tidak ingin ada yang tersinggung bila ia menanggapi percakapan teman-teman.

Aku berjalan berlahan. Menepuk pundaknya. Menoleh tersentak kaget melihatku berdiri disampingnya. Mencoba menyeka air mata yang ada pipinya. “maafkan aku, aku sering tidak perduli pada kalian” ia mencoba memperbaiki posisinya, membuka perkataan terlebih dahulu. Ia pelan-pelan bercerita tentang teman lamanya. Teman setia. Teman kecil. Teman segala-galanya. Ia tahu segala hal tentang rico. Dari hal sederhana hingga urusan keluarga. Rico bercerita pada orang yang salah. Yang ia anggap teman justru menusuknya dari belakang. Semua aib keluarganya diceritakan pada teman lainnya. Membuat rico malu sekali. Memutuskan pergi dan memulai hidup baru di lain daerah di kota yang sama. Ia menyadari betapa sakitnya di khianati oleh teman hingga ia belum bisa membuka hatinya untuk berteman dengan siapapun.

Sumber : https://salahtempat.com/maafkan-sifatku-teman/
 
Back
Top