Aermokla, Benteng Terakhir Tan Malaka

spirit

Mod
1_tan.jpg

Aermokla merupakan kampung yang berada di wilayah TNUK. Lokasi itu dulu menjadi tepat bersembunyi pemberontak yang berujung pada pembantaian.

Aermokla. Nama ini mungkin asing bagi masyarakat Indonesia. Namun, bagi masyarakat Kecamatan Cibaliung, Pandeglang, Banten, nama itu menyimpan banyak kisah berdarah. Karena kisahnya itulah masyarakat Desa Rancapinang, yang membawahi Kampung Aermokla, menyebut Aermokla sebagai Air Darah.

Di lahan seluas 15 hektare yang saat ini masuk dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) itu terjadi banyak peristiwa berdarah pascakemerdekaan Republik Indonesia 1945.

Kisah Aermokla juga sempat terekam dalam sebuah jurnal “Masyarakat dan Budaya” yang ditulis oleh Suharto, dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, pada 2010. Di jurnal itu disebutkan Aermokla merupakan benteng terakhir pasukan Tentara Rakyat, yang berinduk pada Pasukan Perjuangan bentukan Tan Malaka di Banten Selatan.

Saat itu Tentara Rakyat, yang berjumlah sekitar 400 orang, pada 1949 berupaya menguasai Cibaliung, yang secara administratif berbentuk kawedanan. Di wilayah itu Tentara Rakyat bertempur melawan pasukan Belanda yang menjaga perkebunan, Tentara Nasional Indonesia, dan Darul Islam (DI).

dsc00739-7ab1jm.png

Asep, Kepala Desa Rancapinang, Pandeglang, Banten.

Hingga akhirnya anggota Tentara Rakyat wilayah Banten Selatan, Tubagus Ahmad Chatib, bergeser ke Aermokla, yang dahulu masuk wilayah Desa Cibadak. Namun pelarian pasukan yang loyal terhadap Tan Malaka ini tidak bertahan lama.

Pada Oktober 1949, gerombolan Tentara Rakyat ditumpas TNI lewat Brigade Tirtayasa di bawah pimpinan Letnan Satu Jambar Wardana, yang dibantu Batalion Brigade Suryakencana Sukabumi pimpinan Kosasih.

Sel-sel Tentara Rakyat di Cibaliung, Cibadak­Air Jeruk, hingga Aermokla menjadi target TNI. Pertempuran pun tak terelakkan. Ratusan anggota Tentara Rakyat terbunuh di Aermokla. Sisanya ada yang menyerah, ada pula dan melarikan diri ke Gunung Honje hingga ke Semenanjung Ujung Kulon.

Sementara itu, kubu TNI, yang dibantu polisi dan rakyat, kehilangan sepuluh anggota pasukan. Salah satunya M. Yusuf Martadilaga, Kepala Kepolisian Karesidenan Banten, yang tewas dalam pertempuran di Kampung Tugu, Desa Cibadak, dengan Tentara Rakyat.

Kisah berdarah di Aermokla tidak sampai di situ. Setelah Tentara Rakyat hengkang, beberapa tahun kemudian giliran gerombolan DI yang menguasai kawasan hutan itu. Kisah DI di Aermokla disampaikan Asep, Kepala Desa Rancapinang, saat ditemui tim detikXpedition.


1_tan2.jpg

Tim detikXoedition bersama pegawai Taman Nasional Ujung Kulon dan WWF Indonesia saat melintas di Aermokla usai melacak jejak badak jawa di Ujung Kulon.

Menurutnya, hutan di Aermokla dikuasai DI pada 1950-an. Banyak warga di Cibadak yang direkrut serta diminta harta bedanya. Jika warga menolak, pengikut Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo itu tidak segan membunuh. Yang jadi sasaran umumnya aparat desa, seperti penghulu, pamong, ketua RT, sampai kepala desa.

“Bapak sewaktu jadi Kepala Desa Cibadak (sebelum pemekaran) juga sempat diculik. Tapi bapak saya berhasil lolos, padahal dirantai sama orang DI,” ujar Asep mengenang.

Namun Asep tidak bisa menjelaskan peristiwa penculikan, termasuk peristiwa penumpasan DI di Aermokla. Sebab, saat peristiwa itu terjadi, dia masih berusia 6 tahun dan bapaknya meninggal pada 1970-an.

Yang ia tahu dari keterangan warga desa yang lebih tua, penumpasan gerombolan DI ada dua versi. Yakni ada yang dilakukan oleh tentara, ada pula yang menyebut dilakukan oleh harimau.

Kisah pembantaian oleh harimau ini dipicu oleh penculikan warga yang dilakukan DI. Kebetulan ada warga Kampung Tugu yang memiliki ilmu kesaktian yang bisa memanggil harimau. Warga ini bernama Makmur, yang oleh warga Desa Cibadak kemudian kesohor dengan nama Abah Pelen (Lelaki Sejati).

dsc00827-n91hgh.png

Mad Husein, warga paling sepuh di Kampung Cegog


Cerita Makmur yang sakti ini dibenarkan Mad Husein, warga paling sepuh yang merupakan sepupu Makmur. Husein saat ini tinggal Kampung Cegog. Usianya saat ini menginjak 87 tahun.

Menurut Mad Husein, pascapenumpasan pasukan Tentara Rakyat, sepupunya tersebut membuka ladang huma di hutan itu dekat Kampung Aermokla. Hanya Makmur dan Ruhada, anaknya, yang membuka lahan di sana. Rupanya anggota DI belakangan juga masuk ke wilayah itu.

“Puluhanlah paling ogeh (jumlahnya). Tapi tiap orang bawa senjata api. Jadi gerombolan itu awal datang tahun 1948 sampai tahun 1950. Jadi 2 tahun dia di Aermokla,” jelas Mad Husein.

Gerombolan DI ini kemudian berulah dengan menyandera Ruhada, yang sedang berladang yang berujung pada pembunuhan. Saat kejadian itu, Makmur sedang membuka lahan di Legon Pakis, sisi utara TNUK, yang berjarak dua jam perjalanan dari Aermokla.

Kabar kematian Ruhada tentu saja membuat Makmur terpukul. Apalagi pembunuhan itu dilakukan dengan sadis. Kepala Ruhada dipenggal. “Ayahnya (Makmur) murka, dan langsung memanggil harimau. Ada 20 orang gerombolan itu kira-kira yang mati dimakan harimau,” kenang Husein.

fhd0057-jxb5y9.png

Aermokla yang kini dimanfaatkan menjadi basecamp bagi petugas RMU/RHU Taman Nasional Ujung Kulon.

Diakui Husein, sepupunya itu memang punya kesaktian. “Dia itu aduh… saktilah. Sudah mati pukul 08.00. Tapi jam satu siang, masih kelihatan (lagi) di sana (kawasan TNUK),” ucap Husein.

Lantaran agak ragu terhadap keterangan Husein, kami pun bertanya soal ilmu pemanggil macan itu. Namun pertanyaan kami dijawab dengan tantangan. “Kalau Anda mau lihat harimau, gampang saja. Saya masih bisa. Berani kamu lihat harimau?” tantang Husein sambil tertawa.

Namun kami memilih mengalah terhadap tantangan Husein dan mengalihkan pembicaraan ke seputar Aermokla. Husein kemudian menjelaskan asal-usul dirinya, yang mengaku berasal dari Kampung Tugu, kampung yang sama dengan Makmur atau Abah Pelen.

Pria yang lahir pada 1930 ini sejak usia 15 tahun pergi mencari ilmu ke sejumlah pesantren di wilayah Pandeglang, seperti Saketi, Menes, hingga Cibaliung. Selesai mondok, sekitar 1960, Husein kemudian menikahi gadis Kampung Cegog dan tinggal di kampung itu hingga sekarang.

“Saya mondok sejak umur 15 tahun di Menes, kemudian lanjut ke Cibaliung. Tahun 1960 menikah sama orang Cegog. Makanya tinggal di sini sampai sekarang,” ucap Mad Husein.

fhd0049-9v4f5a.png

Sungai di kawasan Aermokla

Setelah kejadian berdarah di Aermokla, warga Desa Cibadak tidak ada yang berani memasuki kawasan itu. Baru pada 1970-an ada beberapa warga mulai membuka ladang dan membangun rumah di hutan itu.

“Hanya ada 17 keluarga di sana. Tapi pada 1976 mereka tidak boleh tinggal di sana. Hanya ladang yang dibolehkan,” terang Husein.

Dan begitu kawasan tersebut dijadikan hutan lindung TNUK, warga akhirnya tidak boleh lagi berladang atau berkebun di sana sejak 2007.

Dari pantauan detikXpedition, lahan itu kini sudah tertutup ilalang. Ada beberapa petak lahan kemudian ditanami tumbuhan yang menjadi makanan utama badak Jawa yang tinggal di sana.


sumber
 
Back
Top