Ketidakadilan Dunia (1)

RayKhun

New member
Sashihara Rino, 21 tahun, seorang mahasiswa di sebuah universitas ternama di Tokyo, Jepang. Ia adalah seorang dari keluarga yang terpandang. Namun memiliki banyak harta dan wajah yang menawan serta peringkat tertinggi di universitas tempat ia belajar tidak membuat ia memiliki banyak teman seperti anak yang lain. Hal itu bukan karena tidak ada yang mau berteman dengannya melainkan karena ia sendiri yang membatasi diri dari pergaulan sehari hari. Mengapa? Itulah pertanyaan setiap orang. Tidak ada seorang pun yang mengetahui alasan Rino menutup dirinya kecuali seorang teman dekatnya yang bisa dikatakan sebagai temannya satu satunya, Oshima Ren.

Bukanlah hal yang mudah bagi Ren untuk bisa dekat dengan Rino. Ia membutuhkan kesabaran yang ekstra selama 1 tahun penuh untuk mendekati si calon ahli bedah itu. Ditambah lagi olok-olokan temannya yang menyuruhnya untuk menyerah dalam mendekati Rino. Tapi bukan Ren namanya jika langsung menyerah begitu saja. Hingga pada suatu hari saat ia mengikuti Rino pulang, ia menemukan bahwa Rino, si keturunan orang kaya, tidak tinggal di sebuah rumah yang besar ataupun megah melainkan tinggal di sebuah tempat kos yang sempit dan pengap.

Sejak hari itu, hari dimana Ren mengetahui satu hal baru tentang Rino, Rino pun mulai membuka diri terhadap Ren hingga setahun berlalu dan mereka menjadi sahabat. Selama setahun itu banyak fakta baru yang didapatkan Ren tentang Rino, salah satunya adalah sebuah kenyataan pahit yang di pendam oleh Rino sendiri yang terbongkar dalam sebuah pembicaraan yang berawal dari keingintahuan Ren.

“ Rino?” ucap Ren membuka pembicaraan.

“ Ya?” jawab Rino dengan dingin.

“kenapa kamu tinggal di tempat kumuh seperti ini? Orang tuamu kan kaya raya, kenapa mereka membiarkanmu tinggal disini?” Tanya Ren kepada Rino yang sibuk membaca buku anatominya.

“ Yang kaya kan orang tuaku, lagi pula mereka sudah pergi ke tempat yang jauh,”ucap Rino sambil menoleh ke arah Ren.

“ Eh? Maksudnya?”

“ Bukan urusanmu,” Jawab Rino sambil menggelengkan kepalanya lalu kembali fokus ke buku tebal yang dipegangnya.

“ Ayolah, beritahu aku,” rengek Ren.

“ Itu bukanlah hal yang penting dan aku tidak ingin membicarakan tentang hal itu, pembicaraan ini cukup sampai disini,” jawab Rino dengan nada dingin.

“ Ah… Kau benar benar tidak seru,” ucap Ren dalam kekalahan.

Ren sudah terbiasa diperlakukan seperti itu, jika mereka berdua sedang membahas sesuatu dan Rino menjawabnya dengan “Pembicaraan cukup sampai disini” maka itu pertanda bahwa hal yang mereka bahas sudah terlalu dalam, apalagi jika itu tentang kehidupan pribadi Rino. Bel berbunyi dan itu berarti mereka harus mengucapkan selamat tinggal kepada atap gedung fakultas kedokteran, tempat mereka menghabiskan waktu istirahat dengan berbincang ataupun hanya untuk menatap langit biru yang cerah seraya merasakan hembusan angin.

Para siswa telah bersiap di kursi mereka masing-masing saat dosen mereka memasuki ruangan bersama seorang gadis muda dengan kulit kecoklatan.

“ Perhatian anak-anak, hari ini kita kedatangan seorang teman baru dari Jerman,” ucap sang dosen yang diikuti oleh suara berbisik antarsiswa, terkecuali Rino tentunya. Ia tidak pernah memperdulikan keadaan sekitarnya dan hanya sibuk memperhatikan keluar jendela dari tempat duduknya.

“Perkenalkan nama saya Kitahara Rie, saya sebenarnya berasal dari Jepang tapi karena pekerjaan ayah saya, kami pindah ke Jerman, mohon bantuannya,” ucap sang gadis lalu membungkukkan badannya untuk memberi salam.

Rino yang mendengar nama yang tidak asing itu langsung melemparkan tatapannya ke sumber suara untuk memastikan. Ia terlihat terkejut dan tanpa disengaja tatapan mereka bertemu, Rino langsung membuang wajahnya kembali untuk melihat keluar jendela dan meninggalkan kebingungan di hati Rie.

“ Baiklah, nona Kitahara anda boleh duduk di belakang di samping tuan Sashihara,” ucap sang dosen.

Rie hanya mengangguk dan mulai melangkah ke arah kursi yang dimaksud, sebelum duduk ia menyempatkan diri untuk menyapa teman yang akan menjadi teman semeja nya itu.

“ Selamat pagi tuan Sashihara, aku akan banyak merepotkanmu mulai sekarang jadi mohon bantuannya,” sapa Rie sopan.

Namun, Rino tidak memberikan tanggapan apapun dan tetap menatap keluar jendela. Setelah tidak mendapat jawaban apapun, Rie memutuskan untuk duduk dan mengeluarkan buku beserta alat tulisnya untuk persiapan belajar.

Kelas berlangsung seperti biasanya bagi siswa-siswi lain terkecuali bagi Rino. Ia tidak bisa fokus selama pelajaran berlangsung. Saat bel berbunyi untuk menandakan kelas pertama selesai, Rino dengan terburu-buru pergi tanpa membereskan peralatan tulisnya. Ren yang kebingungan terhadap kelakuan tiba-tiba Rino pun langsung menyusulnya ke atap gedung.

“ Hey… Rino, ada apa? Mengapa kau kelihatan pucat?” Ren mulai menghujani Rino dengan pertanyaan setibanya mereka di atap gedung.

Rino tidak menanggapi, wajahnya memucat, tangannya berkeringat menunjukkan luapan emosi di dalam dirinya.

“ Hey… Jawab aku, kenapa kau diam saja? Apa kau terkena diare?” Ren kembali bertanya.

“ Rie…” gumam Rino.

“ Rie? Anak baru itu? Kau mengenalnya?” tanya Ren.

“ Tidak,” jawab Rino dingin.

“ Lalu?”

“ Aku akan menceritakannya kepadamu nanti, tapi bisakah kau menolongku?”

“ Baiklah, apa itu?”

“ Tolong sampaikan ke Pak Yokoyama bahwa aku tidak bisa menghadiri kelas nya nanti,”

“ Eh? Kenapa? Kau mau pergi kemana?”

“ Tolong,”

“ Baiklah, baiklah. Tapi berjanjilah bahwa kau akan memberitahuku nanti, ya?”

“ Iya, terima kasih. Aku pergi,” ucap Rino lalu melangkah pergi dari atap.

Kelas hari itu berakhir lebih lambat dari biasanya bagi Ren, ia sudah tak sabar ingin menemui Rino di tempat tinggalnya sore itu. Saat bersiap-siap untuk pergi, Ren dihadang oleh Rie, si anak baru.

“ Permisi nona, aku ingin lewat,”

“ Apakah kau tahu kemana tuan Sashihara pergi? Aku melihat kalian berdua pergi bersama tadi,” Tanya Rie.

“ Mengenai itu, dia pulang duluan tadi. Dia tidak enak badan,” bohong Ren.

“ Oh ternyata begitu, baiklah. Ini, dia meninggalkan buku catatannya di atas meja tadi,” ucap Rie sambil menyodorkan sebuah buku catatan kepada Ren.

“ Bisakah kau memberikan ini kepadanya?” Tanya Rie.

“ Baiklah,” ucap Ren sambil mengambil buku itu.

“ Terima kasih,” ucap Rie sambil tersenyum.

“ Tetapi kenapa tidak kau saja yang mengembailkannya kepada Rino besok pagi?” Tanya Ren.

“ Itu… Dia terlihat tidak nyaman berada di dekatku,” jawab Rie sambil menundukkan kepalanya.

“ Dia terlihat gelisah dan tidak tenang sepanjang kelas tadi, aku berusaha untuk membuka pembicaraan dengannya tapi tidak menerima tanggapan apapun, jangankan menanggapi menatapku saja dia tidak mau,” keluh Rie.

“ Sabar saja, dia begitu ke semua orang,” kata Ren sambil menepuk-nepuk kepala Rie.

“ Baiklah, aku harus pergi sekarang, supirku sudah menunggu di luar,” kata Rie lalu undur diri.

Setelah itu, Ren memasukkan buku catatan Rino ke dalam tas nya lalu bergegas menuju tempat tinggal Rino. Bahkan di dalam perjalanan pun sudah banyak pertanyaan dalam benak Ren yang siap dilimpahkan kepada Rino setibanya ia di tempat tinggal Rino nantinya.

Begitu setibanya di tujuan, Ren langung masuk kedalam tanpa mengucapkan salam apapun seperti yang biasanya dia lakukan. Ren mendapati Rino sedang duduk sambil menutupi wajahnya.

“ Rino... Kau berhutang penjelasan padaku,” ucap Ren seraya duduk disamping Rino.

“ Aku tidak tahu harus mulai menceritakannya padamu darimana,”

“ Pelan-pelan saja, aku siap mendengarkan semua ceritamu walaupun jika itu berarti aku harus duduk disini selama 2 hari penuh,”

“ Omong besar seperti biasanya,” ucap Rino.

“ Baiklah akan kuceritakan, pasang telingamu baik-baik karena aku hanya akan menceritakannya sekali,”

“ Iya, baiklah. Kau cerewet sekali,” ucap Ren mendengus.

Osaka, Jepang, XX-XX-19XX

“ Tidak… tolong maafkan kami,” pinta seorang ibu sambil memeluk anaknya yang berumur 7 tahun.

“ Hahahaha…” tawa seorang pria yang terdengar menggema di seluruh ruangan.

“Apa kau bilang? Maaf? Apa kau pikir dengan meminta maaf kau dapat mengembalikan nyawa ayahku yang telah kau dan suamimu renggut? Jangan bodoh nyonya Sashihara,” ucap pria itu sambil mengeratkan pegangannya terhadap sebilah pisau ditangannya.

Pria itu lalu melangkah perlahan, mendekati ibu dan anak itu.

“ Jangan mendekat, aku mohon,” pinta sang ibu sambil megeratkan pelukannya terhadap si anak.

“ Aku yakin kau masih memiliki hati nurani, kau boleh melakukan apa saja kepadaku tapi tolong lepaskan anakku,”

Pria itu berhenti melangkah lalu menatap tajam ke arah anak itu.

“ Aku juga seusiamu dulu, ketika perusahaan ayahku bangkrut karena perbuatan ayahmu. Apa kau tau betapa menderitanya keluargaku saat itu? Ayahku yang merasa malu karena ia bangkrut memutuskan untuk mengakhiri nyawanya sendiri,” jelas pria itu. Dalam perkataanya tersirat perasaan sedih yang mendalam, bercampur dengan rasa benci dan amarah.

“ Lalu setelah ayahku meninggal, ibuku berusaha mati-matian untuk menghidupi aku dan adikku,” ucap pria itu sambil tersenyum.

“ Tapi itu tidak bertahan lama, kau tahu kenapa?” Tanya si pria kepada anak kecil yang berusaha mati-matian untuk tidak meneteskan air matanya itu.

“ Ibuku menjadi gila dan membawa adikku untuk menabrak sebuah kereta api,” ucap si pria yang diikuti oleh tawanya yang menggelegar.

“ Apa kau tahu betapa menderitanya aku saat itu? Coba bayangkan, seorang anak berumur 7 tahun harus kehilangan keluarganya dan harus berjuang sendiri untuk mempertahankan hidupnya,” ucap pria itu. Raut kesedihan terpancar diwajahnya.

Sebuah keheningan yang menyesakkan memenuhi ruangan itu. Yang terdengar hanyalah isakan tangis dari seorang ibu muda yang sedang berdoa untuk keselamatan putranya tercinta. Keheningan yang berlangsung sekitar beberapa menit itupun dipecahkan oleh tawa dari si pria.

“ Hahahahaha… Bagaimana jika aku membuatmu berada dalam posisiku adik kecil?” Tanya pria itu sambil tersenyum kejam.

“ Dengan begitu kau akan merasakan penderitaan yang aku rasakan, bukan?” lanjutnya.

“ Tapi aku akan membuatmu merasakan sakit yang lebih daripada apa yang kurasakan,”
Pria itu lalu melangkah perlahan, mendekati sang ibu.
Setelahnya yang terdengar hanyalah teriakan seorang wanita yang melengking tajam dan diikuti oleh sebuah gelak tawa seorang pria yang telah membalaskan dendamnya.

Tokyo, Jepang, XX-XX-20XX

“ Eh?” ucap Ren bingung.

“ Itu bukannlah tanggapan yang tepat,” Rino mendengus.

“ Aku tidak tau mau mengatakan apa,” Ren berkata sambil memijat pelipis kepalanya yang terasa menegang setelah mendengar cerita Rino.

“ Jadi, kau kehilangan ibumu?” Tanya Ren dengan hati-hati, tidak ingin menyentuh luka lama Rino.

“ Tidak, hari itu aku tidak hanya kehilangan ibuku, aku juga kehilangan ayahku,” jawab Rino singkat.

“ Eh?”

“ Hari itu ayahku juga di bunuh di tempat yang sama, hanya saja ruangannya berbeda, ibuku berusaha membawaku kabur tapi kami justru terjebak di ruangan sempit itu,” lanjut Rino.

“ Kau mengatakannya seolah-olah itu bukanlah hal yang besar,” ucap Ren.

“ Itu adalah hal besar tapi dulu, sekarang setelah bertahun-tahun berlalu itu hanyalah sebuah kenangan pahit yang perlu untuk dilupakan,” Rino berkata sambil tersenyum pahit.

“ Lalu apa hubungannya dengan si anak baru?” Tanya Ren.

“ Rie, tidak, anak baru itu adalah teman masa kecilku,” jawab Ren singkat.

“ Eh?”

“ Katakan eh sekali lagi maka kau akan ku usir keluar,” ucap Rino ketus.

“Kalau begitu, apakah si anak baru juga mengetahui tentang orang tua mu?” Tanya Ren tanpa memperdulikan ancaman Rino.

“ Tentu saja,” jawab Rino.

“ Lalu mengapa-“

“ Diam dan dengarkan ceritaku,” potong Rino.

Osaka, Jepang, XX-XX-19XX

“ Sssh… Tenanglah Rino, aku disini,” ucap seorang anak perempuan sambil menepuk pundak seorang anak laki-laki yang sedang menangis.

“ Aku merindukan ibu, aku mau ibu,” ucap anak laki-laki itu di tengah tengah tangisnya.

“ Ibumu sekarang berada di tempat yang jauh, di tempat yang indah, bahkan lebih indah dari taman keluargamu itu,” ucap sang anak perempuan, berusaha untuk menghibur.

“ Benarkah? Dimana itu? Aku ingin ke sana,” ucap anak laki-laki itu sambil memegang tangan anak perempuan itu erat.

“ Itu tempat yang khusus Rino, tidak sembarangan orang yang bisa kesana. Nanti jika saatnya tiba, aku dan kau juga akan pergi ke sana suatu saat,” ucap si anak perempuan sambil menghapus air mata anak laki-laki yang berada didepannya.

“ Benarkah? Kita akan kesana?” Tanya anak laki-laki itu, matanya berbinar-binar.

“ Ya, tentu saja. Bukan hari ini ataupun besok tapi kita pasti akan kesana,” ucap si anak perempuan.

“ Kita bersama?” Tanya si anak laki-laki lagi.

“ Ee… kalau masalah itu akupun tidak tahu. Mungkin aku akan pergi duluan atau kau yang pergi duluan,” jawab anak perempuan itu ragu.

“ Tidak mau, kita harus pergi bersama,” ucap anak laki-laki itu sambil cemberut.

“ Baiklah, baiklah. Ayo pergi bersama nanti,” ucap anak perempuan itu, tidak ingin membuat si anak laki-laki kecewa.

“ Kalau begitu ayo kita siap-siap,” ucap anak laki-laki, lalu bangkit berdiri.

“ Untuk apa?” Tanya si anak perempuan bingung.

“ Tentu saja untuk pergi ke tempat itu,” ucap si anak laki-laki itu dengan semangat.

Osaka, Jepang, XX-XX-19XX

“ Rie… Tunggu aku!!!” teriak seorang anak laki-laki sambil mengejar sebuah mobil hitam yang terus melaju tanpa memperdulikan teriakannya.

“ Rie!!! Kenapa kau tiba-tiba pergi begitu saja?” Anak laki-laki itu berteriak, masih berlari mengejar mobil itu tetapi ia mulai kelelahan, napasnya tersenggal-senggal.

Tapi anak laki-laki itu tetap mengejar, ia tidak menyerah sampai akhirnya mobil itu menambah kecepatannya tanpa memperdulikan anak laki-laki itu. Ia tetap berlari tapi keberuntungan benar-benar tidak memihaknya saat itu, ia tersandung oleh kakinya sendiri dan jatuh ke atas tanah. Ia pun mulai menangis, bukan semata-mata karena rasa sakit yang ia dapatkan akibat terjatuh melainkan karena perasaan kecewanya.

Ya, ia benar-benar kecewa terhadap Rie, satu-satunya teman yang ia miliki setelah kematian orang tuanya, satu-satunya orang yang bersedia membagi air mata dan tawa bersamanya, satu-satunya orang yang ia percayai. Rie meninggalkannya tanpa sepatah katapun melainkan selembar surat singkat yang dititipkan ke salah satu pembantu di rumahnya.
Rino, aku minta maaf. Ayahku di pindah tugaskan ke Jerman dan kami harus pindah ke sana. Maaf karena aku tidak mengucapkan salam perpisahan padamu karena aku yakin bahwa suatu saat nanti kita akan kembali bertemu, bukan?
Semangatlah!!! Dan jadilah dokter bedah yang hebat seperti yang kau cita-citakan, berjanjilah padaku bahwa kau tidak akan menyerah, oke? Kalau begitu sampai jumpa lagi…

Teman baikmu, Rie

Bersambung

Halo! Aku penulis baru yang datang dari planet bumi.
Ini cerita bersambung pertamaku dan aku harap kalian menyukainya...
Mohon bantuannya...
Ah, dan latar cerita ini adalah Jepang jadi nama karakter maupun tempatnya bernuansa Jepang.
Terima kasih...
 
Ketidakadilan Dunia (2)

Maaf, aku membuat kesalahan ketik, jadi aku mengulangi post nya.
Silahkan di baca di bawah ini
 
Last edited:
Ketidakadilan Dunia (2)

Tokyo, Jepang, XX-XX-20XX

“ Dia pergi?” Tanya Ren dengan nada tidak percaya.

“ Ya, dia pergi,” jawab Rino singkat.

“ Tanpa menemuimu untuk terakhir kalinya?” Tanya Ren lagi.

“ Tanpa menemuiku lagi,” jawab Rino.

“Lalu?” Tanya Ren.

“ Maksudmu?”

“Lalu apa yang terjadi?”

Osaka, Jepang, XX-XX-20XX

“ Pergi!!! Pergi kau anak sial!!!” bentak seorang pria paruh baya kepada seorang pria muda.

“ Apa kau tidak tahu berapa harga pot yang kau pecahkan itu?!” sambungnya.

Pria muda itu, Sashihara Rino, tidak berani menatap ke arah pamannya yang sedang marah. Dia tahu bahwa pot yang pecah itu harganya sangat mahal terlebih lagi itu adalah pot antik yang sudah tua. Tapi satu hal yang dia tahu pasti adalah bahwa ia tidak akan berani menyentuh pot itu sedikit pun apalagi sampai memecahkannya. Sebenarnya ia mengetahui siapa pelaku dibalik pecahnya pot itu. Sashihara Ryu, sepupunya sekaligus anak dari sang paman. Ia dengan jelas melihat senyum licik yang terlukis di wajah sepupunya itu, seolah-olah mengolok-oloknya.

“ Kenapa hanya diam saja?! Aku sedang berbicara denganmu, apa kau tidak mendengarkan? Lancang sekali kau tidak memperdulikan aku saat bebicara,” ucap pria paruh baya itu.

“ Apa boleh buat? Kau memanglah anak dari seorang wanita pe-“

“ Diam!!! Hentikan semua omong-kosongmu itu paman!!!” Rino tiba-tiba berteriak.

“ Aku tidak masalah jika paman memakiku, aku tidak masalah akan hal itu. Tapi jika paman berani merendahkan ibuku maka aku tidak akan tinggal diam,”

“ Oh… Sudah pintar kau rupanya, sudah berani melawanku ya?!” kata pria itu lalu mengambil pedang Kendo nya dan memukul Rino dengan keras.

“ Ayo lawan aku jika memang kau sudah merasa mampu,” tantang si pria.

Namun Rino diam seribu bahasa, ia tentu tidak ingin melawan paman yang telah menghidupinya selama bertahun-tahun itu. Semarah apapun ia kepada pamannya itu karena telah diperlakukan dengan tidak adil, Rino tidak akan pernah berani melawan sang paman yang telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri itu.

“ Kenapa hanya diam saja? Apa kau takut aku akan mengusirmu dari rumah ini dan kau akan menjadi gelandangan?” ucap pria itu berusaha untuk memancing amarah Rino.

“ Hahahahaha… Tadi berusaha untuk melawan seolah-olah memiliki harga diri, apa sekarang kau sadar bahwa kau hanyalah sampah yang menjadi mahal karena lahir di keluarga Sashihara ini?” ucap pria itu sambil menepuk-nepuk pundak Rino.

“ Jangan berharap terlalu banyak nak, ingatlah posisimu saat ini hanyalah menumpang sambil mengharapkan hidup dari kami,” ucap pria itu sambil tersenyum licik.

“ Hahahaha…. Paman ini lucu sekali,” ucap Rino tiba-tiba yang mengakibatkan si pria dan para pembantu yang ada disitu terkejut.

“ Apa yang paman katakan tadi? Aku menumpang dan mengharapkan hidup dari kalian? Bukankan itu terbalik? Bukankah kalianlah yang hidup menumpang di rumah ayahku ini?” ucap Rino sambil tersenyum sinis.

Rino mulai membuka suara, walaupun ia tidak yakin bahwa ia akan menang dalam melawan pamannya itu. Ia sudah tidak tahan lagi, ia tahu bahwa pamannya hanya bertindak sebagai ahli waris sementara menunggu ia siap untuk mewarisi perusahaan ayahnya.

“ Anak kurang ajar!!! Beraninya kau melawanku!!!” ucap si pria lalu mulai memukuli Rino dengan pedang kayunya.

Semua orang yang menyaksikan itu ingin menyelamatkan Rino tetapi mereka tidak berdaya mengingat bahwa mereka mungkin akan dipecat jika melakukan itu. Mereka hanya bisa menundukkan kepala mereka agar tidak melihat ketidakadilan yang sedang berlangsung di hadapan mereka itu. Mereka tahu benar bahwa apa yang diucapkan Rino itu tadi adalah hal yang benar, mereka juga mengasihi Rino tapi sekali lagi mereka tidak berdaya.

“ Hahahaha…” Rino tertawa, tapi yang terdengar justru adalah rasa sakit dan marah.

“ Terima kasih paman karena telah merawatku selama ini,” ucap Rino lalu membungkukkan badannya.

“ Aku akan pergi sekarang, aku harap perusahaan bisa semakin berkembang ditangan paman, aku serahkan semuanya kepada paman,” ucap Rino lalu pergi.

“ Maafkan aku Rie, tapi untuk yang satu ini aku harus menyerah,” gumam Rino.


Tokyo, Jepang, XX-XX-20XX

“ Jadi begitulah,” ucap Rino mengakhiri cerita nya.

“…”

“ Hey… Kenapa kau diam saja?” Tanya Rino kepada Ren yang tidak memberikan tanggapan apapun.

“ Kau sangat menderita ya?” ucap Ren.

“ Tidak juga, aku yakin semenderita apapun aku pasti ada orang lain yang hidupnya jauh lebih menderita,” jawab Rino.

“ Aku bersyukur karena aku masih bisa tidur di dalam ruangan walaupun sempit dan pengap, aku juga masih bisa melanjutkan pendidikanku,” lanjutnya.

“ Tidak pernah merasa lelah?” Tanya Ren.

“ Lelah? Tentu saja pernah, tapi aku punya janji untuk tidak menyerah,” ucap Rino bangga.

“ Janji?” Tanya Ren.

“ Ya, aku telah berjanji kepada Rie, bahwa aku tidak akan menyerah,” jawab Rino.

“ Kau masih mempertahankannya? Dia telah meninggalkanmu,” protes Ren.

“ Tentu saja, aku tahu bahwa dia meniggalkanku lalu apa? Aku masih menunggunya,” jawab Rino.

“ Dia berjanji bahwa kami akan bertemu lagi dan dia menepatinya, bukankah aku juga harus menepati janjiku?” ucap Rino lalu menoleh ke arah sahabatnya itu.

“ Bolehkah aku bertanya?” Tanya Ren.

“ Kau sudah bertanya,” jawab Rino lalu tertawa.

“ Aku belum pernah melihatmu tertawa sebelumnya,” ucap Ren.

“ Sudahlah, apa yang ingin kau tanyakan?” ucap Rino ketus, lalu mengembalikan postur tubuhnya menjadi tegak seperti sedia kala.

“ Kenapa kau mau mempercayaiku? Maksudku kenapa kau mau berteman denganku dan menceritakan kisah hidupmu padaku?” Tanya Ren.

“ Karena kau berbeda,” ucap Rino.

“ Maksudmu? Apa karena kulitku kecoklatan?” Tanya Ren bingung.

“ Bukan,”

“ Aku sudah melihat berbagai jenis manusia sejak aku kecil, ayahku sering membawaku untuk bertemu dengan teman bisnisnya, setelah pertemuan itu ayahku dan aku akan bermain sebuah permainan,” jelas Rino.

“ Sebuah permainan?”

“ Ya, aku akan menebak sifat orang yang kami temui itu dan ayahku akan memberitahu sifat orang itu sebenarnya,” lanjut Rino.

“ Aku tidak mengerti,”

“ Kau tidak perlu mengerti,”

“ Lalu apa hubungannya dengan berteman denganku?”

“ Suatu saat kau akan mengerti,” jawan Rino singkat.

Hari itupun berlalu begitu saja. Persahabatan Rino dan Ren pun semakin erat. Hari itu Ren sadar bahwa Rino yang terlihat kuat dan apatis itu memiliki sisi lain tersendiri. Tapi masih banyak hal lain yang belum ia ketahui tentang Rino dan ia sendiri memastikan bahwa ia akan mengetahuinya segera.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasanya. Rino sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Rie didekatnya. Rino pun menyadari satu hal yang menyakitkan, yaitu bahwa Rie tidak mengenalinya. Tapi dia tidak mau ambil pusing akan hal itu, dia berusaha untuk merelakannya walaupun sejujurnya hati kecilnya tidak mau menerima hal itu. Ren mengetahui hal itu dan berusaha untuk membantu temannya itu menyadari perasaannya yang sesungguhnya, walaupun ia masih tidak menyukai Rie karena telah meninggalkan Rino. Tapi demi kebahagiaan sahabatnya itu, Ren akan melakukan apapun walaupun itu berarti ia harus berteman dengan musuhnya.

“ Kau benar-benar keras kepala,” keluh Ren di suatu siang yang cerah, di atap gedung fakultas.

“ Kau sudah sering mengatakan hal itu,” jawab Rino singkat, tetap mengarahkan pandangannya ke buku ditangannya.

“ Tapi kali ini berbeda,” sambung Ren dengan nada kesal.

“ Aku masih sama,belum berubah,” Rino membela dirinya, menutup buku tebalnya itu dan menatap tajam ke arah Ren.

“ Kau tahu itu bukan maksudku yang sebenarnya,” ucap Ren, nada bicaranya menjadi serius.

“ Aku tidak tahu, coba jelaskan padaku,” ucap Rino.

“ Ini mengenai Rie,” ucap Ren sambil melipat tangannya dan memasang wajah serius yang sangat jarang ditunjukkannya.

“ Kenapa? Apa ada yang salah dengannya?”

“ Bukan dia, tapi kau,” jawab Ren ketus.

“ Aku?”

“ Ya, berhentilah menyiksa dirimu sendiri Rino,”

“ Eh? Apa maksudmu?”

“ Kau masih mengharapkannya kan?”

“ Tidak, untuk apa aku mengharapkan orang yang bahkan telah melupakanku?”

“ Siapa yang bilang dia telah melupakanmu?” Tanya Ren.

Namun Rino tidak menjawab, mulutnya tertutup, dia diam seribu bahasa. Memang benar tidak ada orang yang mengatakan kepadanya mengenai hal tersebut bahkan tidak dari Rie sendiri. Tapi satu hal yang membuatnya yakin akan hal tersebut adalah sikap Rie yang seolah olah tidak mengenalinya selama beberapa hari ini.

“ Tidak ada,” jawab Rino dingin

“ Lalu kenapa kau berpikir seperti itu?”

Kilas Balik, Kelas pagi hari itu

“ Tuan Sashihara, bolehkah aku meminjam buku catatanmu? Aku sedikit ketinggalan tadi,” pinta Rie kepada teman semejanya.

Tanpa memandang Rie, Rino memberikan buku catatannya. Rino memang selalu bersikap dingin kepada semua orang tapi Rie menyadari bahwa Rino hanya bersikap sedingin itu terhadap dirinya.

“ Terima kasih,” ucap Rie sambil tersenyum.

“ Apa kau tahu? Dosen kita hari ini sangat galak, kan?” ucap Rie, berusaha membuka pembicaraan.

Namun tetap seperti biasanya, Rino tidak memberi tanggapan apapun. Jangankan tanggapan, Rie sendiri tidak yakin apakah Rino mendegarkan ia berbicara.

“ Kau tahu? Dulu aku punya teman masa kecil. Seorang anak laki-laki yang tampan tapi dia cengeng,” ucap Rie sambil tertawa kecil.

“ Hidupnya memang sangat menderita, itulah kenapa aku tidak heran jika dia sangat cengeng,” lanjut Rie.

“ Ah, apa kau tahu? Kalian memiliki nama yang sama,” lanjut Rie sambil menoleh kearah Rino.

“ Sashihara Rino,” gumam Rie, matanya tampak berbinar saat menyebutkan nama itu.
Kilas balik selesai

“ Eh?” ucap Ren

“ Dia tidak mengingatku, bukan?” ucap Rino lalu menghela napas panjang.

“ Tapi aku rasa kau lah yang salah,” ucap Ren

“ Kenapa?”

“ Kau lah yang pertama kali bersikap dingin padanya, bukan? Jadi mungkin saja dia berpikir bahwa kau bukanlah Sashihara Rino yang dia kenal,” jelas Ren.

“ Tidak mungkin, itu tidak mungkin. Dia sangat mengenal wajahku, kami berteman sejak kecil,” bela Rino.

“ Sudah berapa lama kalian tidak bertemu?” Tanya Ren.

“ Dia pergi saat kami berusia sekitar 8 tahun dan sekarang aku berusia 21 tahun, jadi kira-kira kami-“

“ 13 tahun Rino, kalian tidak bertemu selama 13 tahun,” potong Ren.

“ Dan 13 tahun itu bukanlah waktu yang singkat,” lanjut Ren.

“ Kau benar,” ucap Rino.

“ Tapi, bagaimana kau bisa mengenalinya?” Tanya Ren.

“ Kalungnya,” jawab Rino singkat namun dengan nada yang hangat.

Tiba-tiba mereka mendengar suara isak tangis atau lebih tepatnya suara seseorang yang sedang menahan tangisannya. Mereka segera bangkit dari tempat duduk mereka dan pergi ke arah sumber suara. Ternyata isak tangis itu berasal dari Rie yang sedang duduk sambil memeluk lututnya dan menangis dalam diam.

“ Hey, kenapa kau menagis?” Tanya Ren bingung.

Rie lalu menatap ke arah mereka, khususnya ke arah Rino yang terlihat tanpa ekspresi namun dapat di lihat sekilas kekhawatirannya yang berusaha ia tutupi dengan ekspresi datar. Rie lalu bangkit berdiri dan dengan perlahan berjalan kearah Rino yang justru berjalan mundur seolah-olah menghindarinya.

“ Apa kau mendengar semuanya?” Tanya Rino dingin, masih berjalan mundur tapi kemudian merasakan dinding telah menyetuh punggungnya.

“ Kenapa? Kenapa kau bersikap dingin padaku?” Tanya Rie yang telah menghetikan langkahnya tepat 3 meter dari Rino.

“ Kau tidak memiliki hak untuk bertanya setelah kau pergi begitu saja,” jawab Rino ketus lalu menghindari tatapan Rie dengan membuang wajah.

“ Aku…” ucap Rie, tidak tahu ingin mengatakan apa.

“ Kau bahkan tidak mengenaliku,” lanjut Rino, berusaha untuk menyudutkan Rie.

“ Kau sangat berbeda, dan kau bahkan bersikap dingin padaku,” Rie berusaha membela diri.

“ Aku rasa aku harus pergi dan membiarkan kalian berdua menyelesaikan masalah kalian,” ucap Ren lalu mengambil langkah untuk pergi.

“ Berani pergi 1 langkah saja dari tempat mu berdiri saat ini maka aku akan pastikan bahwa besok kau tidak dapat melihat telingamu lagi,” ancam Rino.

“ Baiklah, baiklah,” ucap Ren lalu duduk bersila ditempatnya berdiri tadi.

“ Jadi, apa yang kau inginkan dariku sekarang?” Tanya Rino dingin kepada Rie yang sudah bisa mengendalikan luapan emosinya.

“Bisakah kau mendengar penjelasanku sebentar saja?” Pinta Rie.

“ Baiklah,” jawab Rino singkat lalu ikut duduk bersama Ren.

Osaka, Jepang, XX-XX-19XX

“ Ayah tidak mengizinkanmu untuk berteman dengan Sashihara lagi,” ucap seorang pria kepada anak perempuannya dengan nada yang agak kasar.

“ Tapi kenapa ayah? Ayah tidak pernah melarangku untuk berteman dengannya sebelumnya, kenapa ayah tiba-tiba melakukannya?” protes anak perempuan itu sambil berusaha menahan air matanya.

“ Itu adalah perintah dari ayah dan itu berarti kau harus melakukannya,” jelas sang ayah.

“ Tapi ayah, Rino sedang kesepian,” bela sang anak, berusaha untuk mengubah keputusan ayahnya.

“ Tidak ada tapi-tapian, apa kau mau melawan ayah?”

“ Tidak, tentu saja aku tidak mau melawan ayah. Tapi... tapi...” ucap sang anak.

Air mata mulai berjatuhan, melewati pipi mungil si anak perempuan itu. Ia ragu, ia tentu saja tidak ingin melawan ayah yang telah merawatnya dengan kasih sayang sendirian setelah kematian ibunya saat melahirkannya dulu. Tetapi di sisi lain ia juga tidak tega meninggalkan Rino, sahabatnya, sendirian di saat ia tahu bahwa Rino benar-benar membutuhkan teman saat ini. Rie memanglah masih berumur 7 tahun, tapi cara berpikirnya sudah seperti orang dewasa, mungkin tinggal bersama ayahnya membawa pengaruh yang besar dalam pola berpikir anak perempuan itu.

“ Kemarilah nak,” ucap pria itu lalu memangku anak gadisnya.

“ Kau tahu? Keluarga pebisnis seperti keluarga Sashihara itu sangat berbahaya. Mereka akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan walaupun itu berarti mereka harus membunuh seseorang,” jelas pria itu.

“ Dan ayah yakin, dengan meninggalnya Tuan dan Nyonya Sashihara maka keselamatan nyawa temanmu Sashihara juga berada dalam bahaya,” ucap pria itu lalu ia menghela napas, berusaha untuk meredamkan perasaan ngeri saat ia membayangkan apa yang mungkin akan terjadi.

“ Apa Rino akan dibunuh?” tanya anak perempuan itu polos.

“ Ayah tidak tahu akan kepastian hal itu nak, tapi satu hal yang dapat ayah pastikan
adalah nasib Sashihara tidak akan sebagus dan seindah yang ia harapkan,” jawab pria itu.

“ Kalau begitu kenapa tidak kita ajak saja Rino untuk tinggal bersama kita ayah?” tanya anak perempuan itu lagi.

“ Kita tidak mampu nak, keluarga Sashihara tidak akan senang jika kita ikut campur dalam urusan mereka dan itu bisa membahayakan keselamatanmu,” ucap pria itu.

“ Kalau begitu apa yang bisa kita lakukan untuk menolong Rino ayah?” tanya anak perempuan itu.

“ Ada satu hal yang dapat kita lakukan,” ucap pria itu yang membuat mata anak perempuan di atas pangkuannya menjadi berbinar-binar dan dipenuhi oleh harapan.

“ Apa itu ayah?” ucap anak perempuan itu.

“ Sekarang kemasilah barang-barangmu kita akan pindah ke Jerman,” ucap si pria.

“ Jerman?”

“ Ya, ayah dipindah tugaskan kesana,” jawab si pria.

“ Tapi bagaimana dengan Rino?”

“ Kalau kita pergi maka ia akan selamat,” ucap si pria.

Dengan begitu Rie dan ayahnya mengemasi barang mereka dan mempersiapkan diri untuk pergi ke Jerman. Sesungguhnya ada sedikit rasa tidak yakin dihati Rie, tetapi jika ayahnya berkata bahwa Rino akan baik-baik saja jika ia pergi maka ia akan pergi untuk keselamatan sahabat yang sangat disayanginya itu. Ia juga semakin bingung saat ayahnya menyuruhnya untuk merahasiakan kepergian mereka dari Rino, tapi sekali lagi, ia percaya kepada ayahnya.

Malam sebelum keberangkatan mereka, Rie menuliskan sebuah surat kepada Rino

Hey Rino, maaf sekali karena aku tidak memberitahumu tentang hal ini. Tapi aku dan ayah akan pindah ke Jerman besok pagi. Ayah bilang bahwa dengan kepergian kami maka kau akan aman. Aku benar-benar minta maaf karena aku pergi dengan tiba-tiba tapi percayalah bahwa suatu saat kita akan bertemu lagi.
Ini, aku membeli 2 buah kalung yang sama untuk kita berdua, satu akan kupakai dan satu lagi akan kau pakai. Aku harap kita akan saling mengenali saat bertemu nanti.
Berjanjilah padaku bahwa kau akan menjadi dokter ahli bedah yang hebat nanti, ya? Dan jangan pernah menyerah!!! Sesulit apapun kehidupan yang akan kau jalani jangan pernah menyerah!!!
Baiklah aku harus pergi untuk mengecek barang bawaan ku sekali lagi. Sampai jumpa!!!

Teman baikmu, Rie

“ Rie… Tunggu aku!!!” seorang anak laki-laki berteriak.

“ Ayah, Rino mengejar kita,” ucap seorang anak perempuan kepada ayahnya sambil menengok ke jendela belakang mobil yang dinaikinya.

“ Ayah, bisakah ayah menghentikan mobilnya? Rino pasti kelelahan,” pinta sang anak perempuan tapi ayahnya tidak mengindahkan permintaannya itu dan tetap melaju.

“ Ayah, aku mohon. Rino pasti sudah kelelahan, dia tidak memiliki stamina yang kuat,” ucap sang anak perempuan.

Anak perempuan itu mulai menangis, ia tidak tega melihat perjuangan teman baiknya itu untuk mengejar mobil yang ditumpanginya.

“ Rie!! Aku mohon jangan pergi!! Aku berjanji tidak akan cengeng lagi!! Aku berjanji akan makan dengan teratur!!! Tolong jangan tinggalkan aku!!!” teriak anak laki-laki itu.
Mendengar teriakan temannya, Rie pun berusaha untuk membujuk ayahnya lagi.

“ Ayah aku mohon, sebentar saja. Biarkan aku turun sebentar dan menemuinya. Lalu kita bisa melanjutkan perjalanan kita lagi, kan?” bujuk anak perempuan itu.
Bukannya mengindahkan permintaan si anak untuk memberhentikan mobil, si ayah justru menambah kecepatan mobil yang sedang dikendarainya.

“ Rino!!!” teriak anak perempuan itu ketika ia melihat temannya terjatuh ketanah.

Tapi si anak laki-laki tidak menyerah, ia bangkit dan berusaha mengejar mobil yang ditumpangi Rie walaupun dengan terpincang-pincang. Rie tidak tahan menyaksikan penderitaan temannya lebih lama lagi.

“ Ayah, jika ayah tidak mau berhenti tolong tambahi saja kecepatan mobil ini,” ucap si anak perempuan.

Dan kali ini si ayah mengindahkan permintaan anaknya. Ia menambah kecepatan mobil yang sedang dikendarainya dan meninggalkan si anak laki-laki tertinggal jauh dibelakang.

Tokyo, Jepang, XX-XX-20XX

“ Eh?” Ren merespons cerita Rie.

“ Isi suratnya berbeda,” lanjut Ren

“ Maksudmu? Isi suratnya berbeda?” tanya Rie bingung. Ia masih ingat dengan jelas isi surat yang ditulisnya 13 tahun yang lalu.

“ Ini,” ucap Rino sambil menunjukkan sebuah kertas usang kepada Rie.

Rie lalu mengambil surat itu dari tangan Rino dan membacanya. Memang benar isinya sangat berbeda terkecuali bagian terakhirnya yang hanya di ubah sedikit dari yang asli.

“ Kepada siapa kau menitipkan suratmu itu dulu?” tanya Ren.

“ Kepada Paman Sashihara, pamannya Rino,” jawab Rie.

“ Kalau begitu dialah yang mengubah isi suratnya,” ucap Rino membuka suara.

“ Aku tahu dia kejam tapi aku tidak menyangka bahwa ia juga setega itu untuk mengubah surat anak kecil,” ucap Ren.

“ Tapi di bagian surat yang ada pada Rino tidak ada tentang kalung, jadi bagaimana kau bisa mengenali Rie dengan kalungnya?” tanya Ren heran.

“ Ini, kalungnya diberikan oleh bibi penjaga rumah setelah aku menerima suratnya, dia bilang kalung ini dari Rie,” jelas Rino sambil menunjukkan sebuah kalung yang melingkari lehernya.

“ Dia juga tidak memberi kalungnya,” ucap Ren kesal.

“ Pria tua itu membuatku kesal saja,” ucap Ren.

“ Sudahlah, kejadiaannya sudah berlalu. Tidak perlu diungkit kembali.” Ucap Rino santai.
Lalu tiba-tiba, telepon genggam Rie berdering.

“ Hallo, ayah ada apa? Tumben ayah meneleponku pagi-pagi seperti ini,” ucap Rie.

“ Hallo, apakah Nona Rie sedang sibuk?” tanya seorang pria di sisi lain telepon.

“ Eh? Pak Yamamoto? Ada apa? Kenapa kau menelepon dengan telepon milik ayah?” tanya Rie bingung.

“ Erm... Jadi begini nona, saat ini kami sedang berada di rumah sakit Y,” jawab pria itu gugup.

“ Kami? Maksudmu kau dan ayah?” tanya Rie lagi, entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak.
“ Benar nona,” jawab pria itu.

“ Apa yang terjadi? Kenapa kalian berada di rumah sakit?” tanya Rie khawatir.

“ Sebenarnya tadi mobil kami di serang oleh sekelompok orang di perjalanan menuju kantor,”

“ Dan saat membela diri, Tuan Besar tertembak,” jawab pria itu.

“ Apa? Apa ayah baik baik saja?” tanya Rie.

“ Saat ini Tuan Besar sedang ditangani di UGD dan baru saja dokter yang menanganinya memberi tahu bahwa Tuan Besar harus di operasi dan membutuhkan transfusi darah secepatnya,” jelas pria itu.

“ Baiklah aku akan segera kesana,” jawab Rie yang lalu mematikan panggilan itu dan bergegas menghampiri Rino dan Ren.

“ Ada apa? Apa terjadi sesuatu?” tanya Ren yang melihat kepanikan di wajah Rie.

“ Ayahku di tembak dan membutuhkan darah segera,” jawab Rie.

“ Kalau begitu ayo pergi,” ucap Rino lalu bangkit berdiri.

“ Kita akan pergi dengan apa?” tanya Rie.

“ Tanya saja kepada anak dari ketua yayasan yang berdiri disampingmu itu,” jawab Rino ketus lalu mulai mengambil langkah pergi.

“ Kau-“

“ Iya, aku adalah anak dari ketua yayasan. Aku tidak suka dipanggil seperti itu,” potong Ren sebelum Rie menyelesaikan perkataannya.

“ Ayo cepat,” kata Rino yang telah bersiap membuka pintu.

Dan mereka bertiga pun melaju ke rumah sakit yang disebutkan dengan menggunakan mobil Ren yang ternyata diparkirkan di tempat khusus di universitas. Ren mengemudikan mobilnya dengan cepat sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama bagi mereka untuk sampai di tempat tujuan.

Setibanya mereka di rumah sakit Y, Rie dan Rino langsung bergegas menuju UGD sedangkan Ren memarkirkan mobilnya terlebih dahulu. Di ruang tunggu UGD mereka menjumpai Tuan Yamamoto, supir pribadi ayah Rie, sedang mondar-mandir tidak tenang.

“ Ah... Nona Rie akhirnya anda sampai juga,” ucap Tuan Yamamoto lega, namun saat ia mendapati Rino yang berdiri disamping Rie, ia menunjukkan ekspresi bingung.

“ Dia Rino temanku,” ucap Rie seolah-olah mengetahui apa yang ada dipikiran Tuan Yamamoto dan menerima anggukan mengerti dari Tuan Yamamoto sendiri.

“ Jadi, bagaimana keadaan ayah, paman?” tanya Rie.

“ Seperti yang sudah saya sampaikan tadi nona, Tuan Besar membutuhkan transfusi darah untuk operasinya, dan pihak rumah sakit mengatakan bahwa persediaan darah bergolongan AB sedang kosong,” jawab Tuan Yamamoto.

“ Tapi golongan darah saya O, jadi tidak bisa banyak membantu,” ucap Tuan Yamamoto lagi dengan nada sedih.

“ Aku juga tidak bisa paman. Golongan darah ku B, sama seperti ibu,” ucap Rie sedih.
“ Aku AB,” jawab Rino singkat.

“ Benarkah?” ucap Rie, matanya memancarkan sinar pengharapan.

“ Tapi, aku tidak mau membuatmu repot, apalagi aku sudah me-“

“ Jadi dimana aku dapat mendonorkan darahku?” potong Rino sebelum Rie dapat menyelesaikan ucapannya.

“ Mari saya antarkan Tuan,” jawab Tuan Yamamoto segera.

“ Eh... Tunggu, biarkan aku ikut,” jawab Rie.

“ Tidak, kau tunggu saja disini,” ucap Rino dingin.

“ Baiklah,” jawab Rie patuh.

Setelah Rino dan Tuan Yamamoto beranjak pergi ke ruang donor darah, Ren pun tiba di ruang tunggu UGD dengan terburu-buru.

“ Mana Rino?” tanya Ren setibanya ia di ruang tunggu

“ Sedang di ruang donor darah,” jawab Rie lalu menepuk kursi di sebelahnya mengisyaratkan Ren untuk duduk.

“ Untuk apa dia di ruang donor darah?” tanya Ren lagi, lalu duduk di kursi di depan Rie.

“ Tentu saja untuk mendonorkan darahnya,” jawab Rie sambil tersenyum.

“ Bukankah dia menderita anemia? Tidakkah itu berbahaya?” tanya Ren lagi.

“ Anemia? Rino menderita anemia?” tanya Rie terkejut.

“ Iya, apa kau tidak tahu? Itulah kenapa dia sering terlihat tidak berstamina,” jawab Ren.

“ Aku tidak tahu,” ucap Rie lalu menundukkan kepalanya.

“ Ah, benar juga. Kalian tidak bertemu selama 13 tahun. Tapi sejauh yang kutahu dia menderita anemia sejak kecil dan kalian adalah teman kecil, bagaimana bisa kau tidak mengetahuinya?” tanya Ren, kekesalannya terhadap Rie belum menghilang.

“ Sejak kecil?” tanya Rie lagi.

Bersambung

Yoo! Maaf karena aku sangat lama meng-update kelanjutan ceritanya...
Terima kasih karena sudah membaca...
 
Back
Top