New York Larang Diskriminasi Rambut, Bagaimana dengan Indonesia?

spirit

Mod
24b25bd0-528a-48b2-813d-9e7077331962.jpeg

Komisi Hak Asasi Manusia Kota New York telah melansir panduan kepada masyarakat untuk tidak mendiskriminasikan orang berdasarkan gaya rambut mereka.

Panduan itu bertujuan melindungi hak warga New York di sekolah, tempat kerja, dan tempat umum.

Di area-area inilah komunitas orang berkulit hitam kerap terdampak oleh kebijakan yang melarang gaya rambut tertentu, seperti afro, gimbal, dan kepang ala Afrika-Amerika atau biasa disebut cornrow.

Laporan komisi itu menyebutkan gaya rambut orang-orang berkulit hitam kerap dipandang "tidak profesional". Padahal, menurut laporan tersebut, pembatasan gaya rambut justru "melanggengkan stereotipe rasis".

Ketua Komisioner HAM Kota New York, Carmelyn P Malalis, mengatakan kebijakan gaya rambut bukan soal menjaga profesionalisme, melainkan "membatasi perilaku orang berkulit hitam di tempat kerja, area publik, dan tempat lainnya".

Dia mengatakan panduan yang dikeluarkan akan membantu berbagai organisasi "memahami bahwa warga kulit hitam di New York punya hak menerapkan gaya rambut apapun tanpa khawatir mendapat stigma atau pembalasan".

Perusahaan yang didapati melanggar panduan tersebut terancam dikenai denda hingga US$ 250.000 (Rp 3,5 miliar).

Pengalaman pribadi

Brittny Saunder dan Demoya Gordon merupakan dua perempuan yang menjadi bagian tim penyusun panduan tersebut. Mereka mengaku punya pengalaman pribadi terkait diskriminasi rambut.

"Ketika saya pertama kali bekerja, saya meluruskan rambut dengan cairan kimia karena saya paham ekspektasinya adalah saya bekerja dengan rambut lurus. Bisa bertentangan dengan ekspektasi jika saya bekerja dengan rambut alami," kata Saunders.

"Anda harus menjadi polisi untuk diri sendiri," timpal Gordon.

"Tatkala saya menjalani wawancara kerja di firma hukum, saya tahu sudah banyak skeptisisme tentang keberadaan saya sebagai perempuan berkulit hitam dan bergaya rambut gimbal dianggap tidak 'profesional'," paparnya.

_105710588_brittnyanddemoya.jpg

Brittny Saunders dan Demoya Gordon mengalami diskriminasi karena gaya rambut yang mereka kenakan. (Alicia McCauley)​


Bagaimana dengan di Indonesia?

Masalah soal rambut ternyata tidak hanya terjadi di Kota New York.

Di Indonesia, pada awal 1970-an, artis-artis berambut panjang alias gondrong dilarang tampil di TVRI. Larangan ini kemudian merembet ke gedung-gedung pemerintahan, sekolah, kampus, serta tempat publik.

Presiden Soeharto bahkan menginstruksikan agar anggota ABRI dan karyawan sipil yang bekerja di lingkungan militer beserta anggota keluarga mereka untuk tidak berambut gondrong.

Razia terhadap orang berambut gondrong dan denda digelar di jalan-jalan, melibatkan anggota pasukan teritorial bersenjatakan gunting. Puncaknya, rezim Orde Baru membentuk Bakorperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong).

Praktik ini dipaparkan Aria Wiratma Yudhistira dalam buku bertajuk Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda awal 1970-an terbitan Marjin Kiri.

Kasus di Papua: Dianggap pelaku kriminal dan pemberontak

Di Provinsi Papua, ada sejumlah kasus yang memperlihatkan kecenderungan bahwa anak muda Papua yang memelihara gaya rambut gimbal dicurigai sebagai pemberontak dan pelaku kriminal, kata seorang pengamat.

Apa yang disebut sebagai pembedaan berdasarkan gaya rambut gimbal itu, menurut pegiat adat dan budaya Papua, Ibiroma Wamla, beberapa kali menimpa anak-anak muda Papua yang kemudian rambutnya digunduli oleh aparat.

"Kemudian oleh masyarakat, (mereka) dilihat juga sebagai pelaku kriminal atau (anggota) OPM (Organisasi Papua Merdeka)," kata Ibiroma kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, Rabu (20/02).

Padahal, sepengetahuan Ibiroma, gaya rambut seperti itu juga menjadi tren di kalangan oleh anak-anak muda Papua yang tertarik dengan gaya rambut musisi tenar Bob Marley.

"Yang menjadi masalah gaya rambut itu menjadi ukuran dan digeneralisasi, bahwa pemilik rambut gimbal itu orang jahat, tidak teratur, atau pemberontak," ujar Ibiroma yang menjadi staf pengajar tidak tetap di Universitas Cenderawasih, di Jayapura, Papua.

Dia menduga kasus-kasus seperti itu masih terjadi di Papua, karena "ada masalah di seputar konsep yang dipopulerkan di masa rezim Orde Baru yang melarang anak muda berambut gondrong".

"Frame seperti itu kemudian akhirnya dipakai di sini (Papua) oleh aparat untuk memandang orang Papua," katanya. "Yang kemudian dipakai juga oleh masyarakat untuk melihat orang Papua."

Padahal, menurut Ibiroma, bentuk atau model rambut seperti itu merupakan identitas yang melekat pada masyarakat Papua, karena sudah dipraktikkan ratusan tahun.

"Yang saya temukan, sejak tahun 1800-an, ada model rambut yang sudah dibentuk seperti itu, selain model rambut lainnya," katanya. "Di Papua, mode rambut itu beragam dan unik, dan saya jarang melihat di tempat lain."

"Di sini, berdasarkan arsip lama, ada model rambut seperti Ronaldo (di Piala Dunia 2002, dengan sejumput rambut di bagian depan), ada seperti Balotelli (pesepakbola Italia) seperti gaya Mohawk, kemudian ada rambut seperti Bob Marley," paparnya.

Seharusnya, lanjutnya, keanekaragaman model rambut itu dihormati oleh siapapun.

"Tapi tidak semua bersikap rasisme seperti itu, rambut saya yang saya anyam kecil-kecil, dulu justru diapresiasi oleh warga di kota Malang, saat saya kuliah di sana," kata Ibiroma, mengenang.



sumber
 
Back
Top