Sejarah Cadar

spirit

Mod
7c6ae684-c8e2-4ab9-9756-10e67fde8e6b_169.jpeg

Dikutip dari islami.co, cadar atau dalam bahasa Arabnya disebut niqab sudah biasa dikenakan oleh perempuan di wilayah gurun pasir. Bahkan kebiasaan ini sudah berlangsung sejak zaman jahiliah sebelum datangnya agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Pakaian model niqab ini berlangsung hingga masa dakwah Rasulullah.


Di sejumlah riwayat, Rasulullah tak pernah melarang penggunaan cadar namun juga tidak mewajibkan. Abdullah Ibnu Umar RA pernah meriwayatkan bahwa, Ketika Nabi Muhammad SAW menikahi Shafiyyah, beliau melihat Aisyah mengenakan niqab di tengah kerumunan para sahabat dan Nabi mengenalnya juga tak melarangnya.

Kisah tersebut juga diriwayatkan dalam hadits riwayat Ibn Majah yang diinformasikan dari Aisyah, bahwa ia berkata, "Pada saat Nabi SAW sampai di Madinah -di mana saat itu beliau menikahi Shafiyyah binti Huyay- perempuan-perempuan Anshar datang mengabarkan tentang kedatangan Nabi. Lalu saya (Aisyah) menyamar dan mengenakan niqab kemudian ikut menyambutnya. Lalu Nabi menatap kedua mataku dan mengenaliku. Aku memalingkan wajah sembari menghindar dan berjalan cepat, kemudian Nabi menyusulku". (HR. Ibnu Majah)

Di masa setelah Islam, pemakaian cadar diketahui digunakan oleh orang-orang Suku Thawariq yang hidup sebagai pengembara di Padang Sahara. Ibnu al-Khathib yang dikutip Philip K. Hitti dalam History of The Arabs (2014) menyebut bahwa cadar merupakan pakaian adat.

"Adat mereka yang aneh ini memunculkan nama lain, Mulatstsamun (para pemakai cadar) yang kadang-kadang menjadi sebutan lain bagi kaum Murabithun," tulis Philip K. Hitti (2014: 689) seperti dilansir dari islam.nu.or.id.

Dinasti Murabithun pada awalnya merupakan sebuah paguyuban militer keagamaan. Kelompok ini didirikan oleh seorang Muslim yang shaleh di sebuah ribath, sejenis padepokan masjid yang dibentengi di sebuah pulau di Senengal, - kini salah satu negara di Afrika bagian barat. Dari sinilah kemudian muncul nama Murabithun.

Anggota-anggota pertama kelompok Murabithun ini berasal dari Lamtunah, sempalan dari suku Sanhaji. Mereka hidup sebagai pengembara di Padang Sahara. Salah satu keturunan mereka adalah Suku Thawariq (Touareg) yang memiliki kebiasaan mengenakan cadar untuk menutupi mata di bawah wajah.

Musabab suku ini hidupnya mengembara di Padang Sahara, waktu itu cadar tak hanya digunakan oleh kaum perempuan saja, tetapi juga laki-laki. Mereka pun disebut sebagai kaum Mulatstsamun atau para pemakai cadar.

Asal Muasal Dinasti Murabithun

Dinasti Abbasiyah mengalami keruntuhan pada 1258 setelah 500 tahun lebih berkuasa. Musababnya adalah berdirinya dinasti-dinasti kecil akibat konsep pengembangan wilayah berbasis otonomi. Salah satu dinasti kecil itu adalah Dinasti Murabithun yang berdiri pada abad ke-11.

Dinasti Murabithun salah satunya didirikan oleh Yusuf ibnu Tasyfin yang memerintah pada 1061-1106. Pada tahun 1062 dinasti pimpinan Yusuf membangun Maroko, sebagai ibu kota pemerintahan dan diteruskan oleh keturunannya.

Mereka juga membangun ibu kota kedua di Kota Seville sebuah dataran di Andalusia (Spanyol). Para raja Murabithun mempertahankan otoritas penguasa dan menyandang gelar amirul muslimin. Menjelang pertengahan abad ke-12 Dinasti Murabithun mulai retak. Para penguasa Dinasti Murabithun ditolak di Spanyol oleh kelompok Muluk al-Thawaif.

Begitu juga di Maroko, gerakan keagamaan bernama muwahidun juga menolak mengakui Dinasti Murabithun mulai retak. Pada tahun 1147, Marakesy penguasa terakhir Murabithun terbunuh.

Beda Pendapat Hukum Memakai Cadar

Sejumlah ulama dan pakar hukum Islam masih berbeda pendapat terkait kewajiban mengenakan cadar bagi perempuan. Prof.Dr.Hj.Huzaemah Tahido Yanggo, MA dalam buku Problematika Fikih Kontemporer menyebut bahwa pihak yang mewajibkan perempuan memakai cadar merujuk pada pendapat Imam Ahmad.

Menurut Imam Ahmad dalam salah satu riwayat dan pendapat Abu Bakar bin Abd. Rahman dari kalangan Tabi'in yang menyebut bahwa seluruh badan wanita adalah aurat. "Sehingga menurut pendapat ini, wanita wajib menutup muka (pakai cadar)," tulis Prof Huzaemah yang juga Ketua Komisi Fatwa MUI itu seperti dikutip detikcom dari buku Problematika Fikih Kontemporer.

Dilansir dari nu.or.id, mayoritas fuqaha baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali masih berbeda pendapat terkait wajah dan tangan termasuk aurat atau bukan. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa di masa sekarang wanita muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajah di antara laki-laki yang bukan muhrimnya. Ini untuk menghindari fitnah, bukan karena wajah merupakan aurat.

Madzhab Maliki berpendapat makruh hukumnya wanita menutupi wajah atau memakai cadar baik saat sholat maupun di luar shalat karena ini termasuk perbuatan berlebih-lebihan (al-ghuluw). Sementara di kalangan madzhab Syafi'i, juga masih terjadi beda pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa wanita wajib memakai cadar. Pendapat kedua adalah sunah dan ketiga ada dari madzhab Syafi'i yang menilai menggunakan cadar bagi wanita adalah khilaful awla atau menyalahi yang utama karena utamanya tidak bercadar.


sumber
 
Back
Top