Cinta Yang Tak Pernah Padam

spirit

Mod
3887882803.jpg

Semua pekerjaan rumah sudah aku selesaikan. Aku duduk menghadap jendela yang mengarah ke halaman belakang rumahku. Aku memperhatikan kolam ikan kecil, sekumpulan bunga anggrek berwarna ungu, putih, dan merah muda, dan pohon mangga setinggi tiga meter dari tempat dudukku. Rumah ini terasa sunyi sekali saat suamiku sudah berangkat kerja dan anak bungsuku sudah pergi ke sekolah. Maika, anak sulungku, sedang menempuh pendidikan sarjana tingkat satu di luar kota. Saat-saat seperti ini yang membuatku termenung dan pikiranku berkelana.

Aku sudah hampir berumur 45 tahun. Tentu aku merasa tidak muda lagi. Setiap hari seperti bertambah satu kerut di wajahku. Walaupun beberapa teman dan keluargaku yang lain selalu memuji dengan mengatakan aku awet muda tapi aku tidak percaya. Mungkin mereka hanya ingin menyenangkan hatiku atau berbasa-basi. Aku sudah menikah, mempunyai suami yang pengertian, dua anak yang sangat baik hati dan pintar, dan rumah yang nyaman untuk ditempati hingga hari tua. Terasa sudah lengkap, bukan? iya semuanya terasa lengkap tapi seperti ada sesuatu yang dulu sangat kuinginkan tapi belum kudapatkan.

Perasaan itu seperti hidup kembali dan membuatku mengenang masa lalu. Apalagi saat aku kembali bertemu dengan dia setelah 25 tahun berlalu. Saat itu aku mempunyai janji dengan temanku, Asri. Kami akan bertemu di salah satu cafe di Mall. Aku berjalan agak terburu-buru karena sudah terlambat setengah jam, benar-benar macet saat menuju kesini. Aku hendak berbelok dan saat itulah aku menabrak lengan seseorang yang tiba-tiba muncul.
“Maaf,” kataku dan orang yang telah kutabrak hampir bersamaan.
Dia melihat wajahku, dan aku melihat wajahnya. Hampir tiga detik dia terdiam, lalu menaikkan sebelah alisnya.
“Mia?”
Iya…. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku seperti tertegun dan tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Akhirnya aku hanya mengangguk.
“Kalian duluan saja, nanti aku menyusul,” ia berbicara kepada tiga pria lain yang baru aku sadari kehadirannya.
Mereka mengangguk lalu berjalan pergi.
“Mia, si baik hati,” katanya sambil tersenyum. Senyum yang tak pernah pudar dari ingatanku dan juga panggilan anehnya untukku.
“Sudah berapa tahun kita tidak bertemu? 20? 25 tahun? Wah lama sekali ya,” Ia mengulurkan tangannya. Aku hanya tersenyum dan dengan kaku membalasnya.
“Apa kabar? Tidak berubah ya kamu, hanya terlihat lebih…” dia tidak meneruskan kata-katanya seperti sedang berpikir.
“Tua?” sahutku.
“Tidak, lebih dewasa,” ia tertawa.
“Kenapa kamu diam saja, jangan bilang kalau kamu lupa siapa aku.” dia memandang dengan khawatir.
Lupa padamu? Yang benar saja. Takdir apa yang membawaku hingga kesini dan bertemu denganmu lagi. Aneh!
“Lionel,” kataku.
“Ada perlu apa hingga datang kemari?” tanyanya lagi.
“Aku ada janji dengan temanku,”
“Ah iya, ini kartu namaku. Hubungi aku kapan-kapan ya! Maaf mengganggu waktumu. Aku juga ada meeting dengan teman-temanku,” Lionel menyerahkan kartu namanya. Pamit pergi dengan senyuman itu lagi dan melambai ke arahku.
Lionel Wirajaya. CEO Bright Foundation. Kontak perusahaan dan kontak pribadinya tertera di dalamnya.

Aku berjalan perlahan dan saat menemukan kaca yang memantulkan diriku, aku memperhatikan dengan seksama dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku tidak terlihat seperti ibu-ibu tua kan. Aku merapikan rambutku. Lionel, Lionel, Lionel, tanpa sadar aku menyebut namanya dalam hatiku.

“Mia, sini!” Asri melambai saat melihatku sudah memasuki bagian depan cafe.
Aku lalu menghampirinya dan duduk menatap kosong ke arahnya.
“Mia… Are you okay?” ia melambaikan jarinya di depan wajahku.
“Lionel,” dengan wajah serius aku menangkap tangannya.
“Lionel? Maksud kamu siapa?” Asri malah memandang wajahku dengan heran.
“Lionel, Lionel yang teman kamu SMA dan kuliah itu?” kata Asri setelah mencoba mengingat.
Aku mengangguk, ternyata Asri tidak lupa dengan lelaki yang dulu selalu menjadi topik yang aku ceritakan kepadanya.
“Kenapa kamu menyebut nama Lionel tiba-tiba? Seingatku terakhir kali kamu menyebut namanya saat sebelum kamu menikah,”
“Aku bertemu Lionel beberapa menit lalu di Mall ini,”
“Gila! Yang benar? Wah sulit dipercaya, kayak takdir aja.” Asri menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataanku. Jangankan dia, aku saja masih tidak percaya setelah berpuluh tahun aku bertemu dengannya lagi.
“Jangan bilang kalau kamu masih ada perasaan dengan dia? Haha.. Mia, Mia, itu kan cinta monyet, yah bukan monyet-monyet banget sih secara kamu masih ada rasa sama dia saat kuliah,” Asri tertawa mendengar perkataannya sendiri.
“Bukan gitu As, aku hanya sedikit kaget karena sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan dia,” sekarang aku yang tidak percaya dengan omonganku sendiri.

Aku memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan mengenai Lionel lalu memberikannya beberapa brosur mengenai acara amal yang akan kami adakan minggu depan. Walaupun aku masih menangkap pandangan aneh Asri saat melihatku yang tiba-tiba berhenti bicara mengenai Lionel.

Aku sampai di rumah hampir pukul empat sore. Hari ini suamiku akan pulang terlambat. Anakku, Mario, akan mengikuti les tambahan jadi aku sendiri dan bisa mengenang kenangan masa lalu tentang Lionel.

Lionel adalah anak baru di SMA tempat aku menuntut ilmu. Dia terlihat sangat ramah walaupun sebagai anak baru, murah senyum, dan dia terlebih lagi menjadi teman sebangkuku. Lionel selalu meminjam catatanku untuk semua pelajaran. Dia malas mencatat saat di kelas, jadi dia akan meminjam catatanku saat sekolah sudah usai.

“Mia, kamu baik banget, nanti aku traktir bakso di kantin ya,”
Aku lalu memberikan jempol sebagai tanda persetujuan.
Mungkin bukan hanya perasaanku, saat jam istirahat pasti ada beberapa anak perempuan dari kelas lain yang mampir dan pura-pura mengobrol bersama anak perempuan dari kelasku. Aku mungkin sedikit agak pendiam saat di bangku sekolah, baiklah bukan sedikit, memang aku tipe yang pendiam. Tapi aku bisa memperhatikan mereka melirik ke arah mejaku, maksudku melihat Lionel. Lionel yang sedang sibuk mengerjakan PR yang akan dikumpul saat istirahat berakhir.

“Mia, aku tidak akan menyontek PR-mu tapi kamu harus bantu aku memeriksa PR-ku, oke?”
“Mia!” aku yang sedang memperhatikan anak-anak lain jadi tidak mendengar panggilan Lionel.
“Iya,” jawabku saat dia menyikut tanganku perlahan.

Lionel cepat beradaptasi. Beberapa hari saja dia sudah dapat berbaur dengan anak di kelasku. Belum lagi dia jago bermain basket sehingga dia mendapatkan teman dari kelas lain. Saat aku berjalan sendiri menuju kantin, aku melihat beberapa anak perempuan mengobrol dengannya di pinggir lapangan basket.

“Mia, tunggu!” Lionel ternyata melihatku yang berjalan di lorong lalu menghampiriku.
“Mau ke kantin kan? Ayo bareng!”
Aku mengangguk dan sekilas sepertinya aku melihat pandangan tidak senang dari anak-anak perempuan yang baru saja dia tinggalkan.

“Bang, Es teh dua, bakso dua!” katanya kepada Mang Supri, penjual bakso di kantin sekolah kami.
“Kamu mau bakso kan?”
“Iya,”

Menurutku Lionel merupakan tipikal orang yang sangat terbuka. Dia seperti sebuah buku, setiap orang dapat membaca mengenai dia. Dia suka bercerita, dan aku suka mendengar ceritanya. Terkadang dia bercerita mengenai keluarganya, atau kucing peliharaan kakak perempuannya. Dia dapat bercerita mengenai apapun dan membuatnya terdengar menyenangkan.

“Kamu mau masuk universitas dimana?” tanyanya suatu hari kepadaku.
“Aku belum tahu,” aku memang sedang bingung menentukan hendak memilih yang mana.
“Aku mau masuk Universitas XY, dan mengambil jurusan manajemen,”
Lalu Lionel bercerita mengenai universitas tersebut, cita-citanya, dan rencana masa depannya. Setelah mendengarkan Lionel, aku menjadi tertarik untuk masuk ke Universitas XY. Bukan karena sudah menentukan pilihan, tapi ada Lionel disana yang aku rasa akan membuat masa kuliah menyenangkan.

Akhirnya aku dan Lionel kuliah di kampus yang sama. Aku mengambil jurusan akutansi dan Lionel mengambil jurusan manajemen, walaupun berbeda jurusan tapi kami sering bertemu karena kelas kami berada di gedung yang sama.
“Mia, si baik hati. Bagaimana kuliahnya?” Tanyanya saat kami berjumpa di tangga.
“Bagus, dan menarik,”
Kami mengobrol sebentar mengenai dosen dan teman-teman sekelas, walaupun lebih banyak Lionel yang bercerita.

“Aku pergi dulu ya. Aku ada janji. Oh iya ini tadi aku beli minuman, ambil ya,” Lionel memberikan jus dalam kemasan kotak dan terburu-buru pergi.
Aku memandangi punggungnya yang meninggalkanku. Iya, aku menyukai Lionel semenjak kami duduk di bangku SMA dulu, hingga hari ini, mungkin hingga nanti rasa ini tak akan padam. Mungkin juga dia tidak akan pernah menyadari perasaanku karena aku malu mengakuinya dan berusaha hanya menjadi ‘teman yang baik’.

Aku tidak mau dia mengetahui aku selalu memperhatikan pakaiannya, memperhatikan wajahnya saat kami makan bersama, memperhatikannya saat dia bertanding basket, dan memperhatikannya saat ia melakukan apapun. Dia tidak boleh tahu karena aku… malu.

Aku tahu dia punya banyak teman perempuan tapi tidak pernah mendengar dia punya pacar. Aku yakin Lionel pasti cerita jika dia mempunyai pacar, karena dia selalu bercerita mengenai apapun. Aku mau tahu, tapi aku tidak berani bertanya. Setidaknya aku merasa special karena dia selalu bersamaku.

Tiba saat kami sudah lulus. Suatu hari Lionel mengajakku bertemu di sebuah restoran.
Aku merasa berdebar-debar, aku sudah gila mungkin. Bukankah sudah biasa aku pergi bersama Lionel. Tapi pikiranku mengatakan hal berbeda. Mungkinkah… mungkinkah? Tidak… tidak, aku belum tahu pasti. Jangan berharap lebih.

“Mia, aku akan mengambil S2 di luar negeri. Hari sabtu nanti aku akan berangkat. Maaf baru memberi tahumu sekarang. Papaku tiba-tiba saja mendaftarkan aku sekolah disana karena kami sekeluarga juga akan pindah.”
Aku tidak berlebihan, seperti ada petir yang menyambar hatiku. Aku terdiam dan menatap wajahnya.
“Semoga sukses ya, aku akan merindukanmu Lionel,” aku tersenyum dan untuk sejuta kalinya aku menutupi perasaanku.
“Terimakasih Mia, kamu memang yang terbaik, aku akan selalu menghubungimu, jangan putus kontak ya,”

Aku pulang, mengunci kamarku, dan menangis sejadi-jadinya tanpa suara hingga tengah malam. Keesokan harinya mataku bengkak. Seharian aku berusaha mengompres mataku dengan es agar aku tidak kelihatan buruk saat mengantar Lionel ke Bandara.

“Mia, aku janji begitu aku kembali aku akan menemui kamu,”
Aku tersenyum dan dia memelukku.
“Ceritakan padaku mengenai hari-harimu ya, baik-baik disini, bye Mia,”
Lionel pergi. Satu sampai dua bulan kami masih saling menghubungi hingga lama-kelamaan intensitasnya semakin berkurang karena dia sibuk dan aku pun sibuk. Setahun setelahnya tidak ada kabar, dan aku takut untuk menyapanya, lagi.

Janji yang aku tunggu akan ditepatinya tak pernah terjadi. Tapi masih saja foto kami bersama tersimpan di handphoneku. Aku sibuk bekerja dan bekerja, mengikuti banyak kegiatan dan sesekali berkumpul bersama teman lama. Terkadang aku merasa seperti melihat sesorang yang mirip Lionel, tapi aku pikir itu karena aku merindukannya.

Seorang lelaki datang dalam hidupku, Adam. Teman kerja yang aku tidak tahu dia menyukaiku. Suatu hari dia datang ke rumahku dan melamarku. Orangtuaku senang menerima lamarannya karena mereka menganggap aku terlalu sibuk bekerja dan tidak memikirkan mengenai pernikahan.

“Kamu mau menunggu Lionel? Lionel saja tidak jelas dimana keberadaannya. Mia, sadarlah! Kamu yakin dia punya perasaan yang sama denganmu?” Asri menasehatiku saat aku meminta saran.

Aku tak ingin membuat orangtuaku sedih dan akhirnya aku pun setuju untuk menikah dengan Adam. Beberapa kali menghabiskan waktu bersama Adam, aku merasa bahwa dia tahu aku menyukai seseorang.
“Apa yang kamu pikirkan? Sepertinya kamu memikirkan seseorang atau sesuatu yang sangat jauh,” Adam membuyarkan lamunanku, entah berapa lama aku melamun hingga ia berkata seperti itu.
“Tidak, Adam. Aku hanya memikirkan mengenai persiapan pernikahan kita.” Menyembunyikan perasaanku lagi. Aku benar-benar ahlinya.

Aku menikah dengan Adam, hidup bahagia, dan mempunyai dua orang anak. Adam menyuruhku untuk berhenti bekerja saat anak kedua kami lahir. Aku menuruti perintahnya dan hanya menyibukkan diriku sebagai ibu rumah tangga. Sesekali aku dan teman-temanku mengadakan kegiatan sosial sehingga aku mempunyai sedikit kegiatan di luar rumah.

Lalu aku bertemu Lionel lagi setelah berpuluh-puluh tahun kemudian. Pasti dia sudah menikah dan hidup bahagia. Cerita mengenai kami mungkin hanyalah cerita cinta satu sisi, cerita lama yang sudah terkubur seiring waktu. Lionel mungkin saja menganggap kedekatan kami sebagai pertemanan di masa muda. Tapi kenapa perasaan itu muncul padaku lagi setelah aku bertemu dengannya?

Aku menghubungi Lionel dan mengundangnya dalam acara amal yang diadakan aku dan teman-temanku. Lionel dengan senang hati datang.
Untuk pertama kalinya Asri bertemu dengan Lionel.
“Mia, ganteng ya Lionel, kayak artis Hollywood,” bisiknya saat Lionel meninggalkan kami untuk ke kamar kecil.
“Kamu ada-ada aja, As. Ingat suami di rumah,”
“Ah biarin, cuma memuji sedikit. Kayaknya Lionel tertarik untuk bekerja sama dengan yayasan kita, berhubung dia bergerak di bidang yang sama juga. Kamu bakalan sering ketemu, hati hati cinlok,”
“Apaan sih,” aku lalu mencubit lengannya.
“Aduh, kok aku dicubit,”
“Aku ini udah tua, gak ada tuh cinlok-cinlokan,”
“Cinta tak mengenal usia. Duh kok aku malah ngawur,” Asri menghentikan godaannya saat Lionel kembali. Dia lalu pamit meninggalkan kami sebentar.

”Mia, sibuk apa saja kamu?”
“Jadi Ibu rumah tangga dan yah kegiatan seperti ini saja. Bagaimana dengan kamu? Sudah berapa anakmu?”
“Aku mempunyai 1 anak lelaki, dia sekarang menetap di Australia.”
“Istrimu?” entah kenapa perasaanku tidak karuan menunggu jawabannya.
“Aku bercerai 5 tahun yang lalu dan belum menikah lagi, sekarang sedang sibuk mengurus perusahaan yang baru aku dirikan beberapa tahun belakangan ini,”

Bayangan Lionel yang dulu memang tak pernah pudar dari ingatanku, rambutnya yang memutih malah terlihat semakin tampan. Sesekali aku menangkap tatapan Lionel yang seolah-olah memperhatikanku dan aku malah membalasnya dengan senyuman.

Aku melihat Adam datang, lalu menghampirinya. Aku memperkenalkan Adam pada Lionel. Mereka terlibat percakapan mengenai bisnis saat aku mengambil minuman untuk suamiku.

Saat aku pulang ke rumah, aku seperti melihat ada tatapan aneh dari Adam. Aku bertanya ada apa, dan dia hanya menggelengkan kepalanya, tersenyum, dan kembali melakukan aktivitasnya.

Aku bertemu beberapa kali dengan Lionel setelah itu untuk membicarakan mengenai proyek amal yang akan kami adakan. Rasanya seperti mengulang kembali masa-masa dulu. Lionel tetap saja sama, dia bercerita mengenai kegiatannya, dan aku terlihat senang mendengarnya.

“Mia, ada sesuatu yang mau aku bicarakan,”
“Iya,” aku mulai gugup.
“Maaf dulu kita sempat hilang kontak, aku disibukkan oleh sekolah dan pekerjaan. Lalu semuanya beriringan tahun berganti tahun, dan saat aku akan menghubungimu lagi, aku dengar kamu akan menikah. Lalu aku mengurungkan niatku untuk menghubungimu,”
Aku diam, menunggu penjelasannya lagi.

“Kamu masih secantik seperti yang aku ingat dulu, dan selalu menjadi Mia si baik hati,”
Dia menganggapku cantik dulu?
“Mia, aku mengatakan ini bukan berharap apa-apa atau ada niat apa. Tapi aku sudah merasa ada sesuatu diantara kita dulu, dan aku selalu senang berada di dekatmu dan bercerita tentang apapun. Kamu pendengar yang baik bahkan teman yang terbaik. Tapi aku ingin menjadi orang sukses terlebih dahulu, sebelum menyatakan perasaanku padamu. Tiba-tiba saja aku harus pindah, dan aku pikir aku akan kembali untuk menemuimu. Tapi disinilah kita, kamu sudah bahagia dengan hidupmu, dan aku bertemu kamu lagi,”
Aku hanya terdiam, aku memegang cincin pernikahanku dan memutarnya di jariku. Terkenang kembali mengenai cerita masa lalu tentang aku dan Lionel.

“Mia, ada yang salah? Kenapa kamu diam saja? Maaf kalau aku lancang berbicara seperti ini,”
Seketika saja ada dorongan yang membuatku berdiri dan meninggalkan tempat itu.
“Mia!”
Aku tak menoleh dan meninggalkan Lionel sendiri disana. Aku lalu buru-buru pulang dan menyiapkan makan malam untuk suamiku.

“Sayang, aku pulang,” kata Adam saat masuk ke rumah.
“Selamat datang, kamu capek? Aku sudah siapkan makan malam,”
“Apa saja kegiatanmu hari ini?” Tanya Adam.
“Bertemu teman untuk membicarakan proyek amal selanjutnya,”
Aku merasa seperti Adam ingin menanyakan sesuatu, tapi aku berusaha mengabaikannya. Adam malah diam dan tidak bertanya lagi.

Setelah makan malam, Adam mandi dan aku menunggu di kamar.
Aku langsung memeluk Adam saat ia keluar dari kamar mandi.
“Ada apa? Sesuatu terjadi?”
“Tidak,” jawabku.

Sekarang sudah jelas, mungkin aku hanya terbawa oleh suasana dan perasaan masa lalu. Seketika aku lupa apa yang sudah aku miliki sekarang. Aku lupa bahwa ada cinta Adam, cinta yang tak pernah padam. Walaupun dia dulu tahu hatiku bersama orang lain, tapi dia dengan sabar menunggu aku untuk membalas cintanya.

Cinta yang tak pernah padam itu adalah cinta Adam. Cinta yang tak akan kuganti dengan cinta yang lainnya. Demi keluarga kami.


Cerpen Karangan: ResMul
source
 
Back
Top