Membedah Pasal Karet UU ITE yang Dinilai Layak Direvisi

spirit

Mod
w1200

Presiden Jokowi menyiratkan soal revisi UU ITE jika aturan dalam UU itu memberikan ketidakadilan kepada masyarakat dalam berpendapat maupun berorganisasi. Hal itu didasarkan karena banyak pihak yang saling melaporkan atas dasar UU ITE ini dan tak sedikit yang merasa dirugikan.

"Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya, saya akan minta pada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini, UU ITE ini," kata Jokowi dalam rekaman video yang baru diunggah di akun YouTube Setpres, Senin (15/2) malam.

Beberapa pasal dalam UU tersebut, sebenarnya memang sejak lama jadi sorotan. Baik datang dari pakar hukum hingga organisasi masyarakat sipil, yang menilai pasal-pasal tersebut bermuatan multitafsir, sehingga kerap disebut 'pasal karet'.

Apa saja pasal karet dalam UU ITE?

Pasal 27 ayat (1)

Pasal ini berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan".

Koalisi Masyarakat Sipil menilai pasal ini salah satu yang layak direvisi. Koalisi ini terdiri dari ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFENet, YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, LeIP, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), WALHI.

Menurut Koalisi, rumusan pasal-pasal dalam UU ITE, yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi. Hal ini dinilai menyebabkan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar akibat penggunaan pasal-pasal duplikasi dalam UU ITE. Termasuk soal Pasal 27 ayat (1) UU ITE.

"Selama ini Pasal 27 ayat (1) UU ITE justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan diterapkan berbasis diskriminasi gender," bunyi keterangan Koalisi kepada wartawan.

w1200

Koalisi berpendapat, pasal ini seharusnya dikembalikan kepada tujuan awalnya seperti yang diatur dalam Pasal 281 dan pasal 282 KUHP dan atau UU Pornografi bahwa sirkulasi konten melanggar kesusilaan hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang dan ditujukan untuk publik.

"Bukan justru diatur dengan konteks dan batasan yang tidak jelas," ujar Koalisi.

Pasal 27 ayat (3)

Pasal ini berbunyi: "Melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".

Koalisi berpendapat pasal ini juga bermasalah. Sebab dinilai kerap digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online.

"Meskipun dalam penjelasan telah dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311, namun dalam praktik seringkali diabaikan sebab unsur 'penghinaan' masih terdapat di dalam pasal. Pasal ini seharusnya dirumuskan dengan sangat jelas," kata Koalisi dalam keterangannya.

Koalisi merujuk komentar umum PBB Nomor 34 yang merekomendasikan dihapusnya pidana defamasi (pencemaran nama baik), jika tidak memungkinkan aplikasi diperbolehkan hanya untuk kasus paling serius dengan ancaman bukan pidana penjara.

"Selain itu, pidana penghinaan pun tidak lagi relevan dalam banyak aspek menggunakan hukum pidana, aparat sudah mulai harus mengarahkan delik penghinaan ke ranah perdata yang memang sudah diakomodir misalnya dalam 1372 KUHPerdata," kata Koalisi.

Pasal 28 ayat (2)

Pasal ini berbunyi: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)".

Rumusan pasal ini dinilai melenceng dari tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian. Pasal ini dinilai justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah.

"Lebih memprihatinkan pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, sesuatu yang oleh Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional saat menghapus pasal tentang penghinaan terhadap Presiden," kata Koalisi.

Membedah Pasal Karet UU ITE yang Dinilai Layak Direvisi (2)
Dosen FH Universitas Tri Sakti, Abdul Ficar Hadjar diwawancarai usai Diskusi bertajuk ‘Rombongan Koruptor Mengajukan PK’ di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (13/3). Foto: Ajo Darisman/kumparan
Pendapat yang sama diungkapkan Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Ia menilai Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE perlu dicabut.

Fickar mengatakan, UU ITE pada dasarnya dibuat dengan semangat mengatur bisnis dan perdagangan melalui internet (online). Sehingga, ia menilai pasal-pasal yang berujung delik pencemaran nama baik atau ujaran kebencian tak cocok masuk di dalamnya.

"Tidak cocok ada ketentuan yang mengatur tentang pencemaran nama baik atau ujaran kebencian yang menyebabkan permusuhan berdasarkan suku agama ras dan antar golongan," ujar Fickar.

"Bisnis (jual beli) kan tidak mengenal agama atau suku, jadi justru pasal 28 ayat (2) UU ITE itu mengaburkan substansi UU tersebut. Seharusnya ketentuan tersebut dihapus saja, karena sudah diatur dalam Pasal 310-311 KUHP (pencemaran nama baik)," sambung dia.

Membedah Pasal Karet UU ITE yang Dinilai Layak Direvisi (3)
Ahli hukum pidana, Abdul Ficar Hadjar Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Sama seperti Koalisi, Ficar juga menilai kedua pasal itu para praktiknya digunakan untuk membungkam suara orang-orang kritis yang beda pendapat dengan pemerintah.

"Pelaksanaan UU ITE ini mengesankan seolah olah penegak hukum kepolisian dan kejaksaan menjadi alat dari kekuasaan untuk membungkam kritik. Demikian juga nampak proses pidana ketentuan pasal ini menjebak penegak hukum menggunakannya untuk mengejar pangkat dan jabatan baik di kepolisian maupun kejaksaan," papar Ficar.

"Jadi Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE sebenarnya meskipun sudah tidak cocok digunakan pada era demokrasi, tetap masih menjadi hukum positif dalam pasal 156, 156 a dan pasal 157 UU Pidana (KUHP). Seharusnya dihapus saja agar masyarakat tidak saling melapor karena pengertian tindak pidananya sangat longgar," pungkasnya.

9 Pasal Bermasalah UU ITE

Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, perkumpulan yang fokus menyoroti kriminalisasi terhadap pengguna internet karena ekspresi di internet sudah sempat mendaftar pasal-pasal karet UU ITE.

Mengutip dari situs SAFEnet, ada 9 pasal UU ITE yang dinilai bermasalah. Berikut rinciannya:

Pasal 26 ayat (3)

Bunyi Pasal:

Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

Tentang:

Hapus Informasi Tidak Relevan.

Masalah:

Sensor informasi.

Pasal 27 Ayat (1)

Bunyi pasal:

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Tentang:

Asusila.

Masalah:

Digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.

Pasal 27 ayat (3)

Bunyi pasal:

Melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Tentang:

Defamasi.

Masalah:

Untuk represi ekspresi legal warga, aktivis, jurnalis/media, dan represi warga yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan presiden.

Pasal 28 ayat (2)

Bunyi pasal:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Tentang:

Ujaran kebencian.

Masalah:

Untuk represi minoritas agama dan untuk represi warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah.

Pasal 29

Bunyi pasal:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Tentang:

Ancaman kekerasan.

Masalah:

Dipakai untuk mempidana orang yang mau melapor ke polisi.

Pasal 36

Bunyi pasal:

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

Tentang:

Kerugian.

Masalah:

Dicuplik untuk memperberat hukuman pidana defamasi.

Pasal 40 ayat (2) a

Bunyi pasal:

Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tentang:

Muatan yang Dilarang.

Masalah:

Hoaks termasuk muatan yang dilarang.

Pasal 40 ayat (2) b

Bunyi pasal:

Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Tentang:

Pemutusan Akses.

Masalah:

Penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.

Pasal 45 ayat (3)

Bunyi pasal:

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Tentang:

Ancaman penjara tindakan defamasi.

Masalah:

Penahanan di saat penyidikan dan perlukah dipidana penjara?



 
Kapolri Akui Penerapan UU ITE Sudah Tidak Sehat

w1200

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengamini bahwa penggunaan UU ITE sudah tidak sehat (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)​

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut penggunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi (UU ITE) dalam beberapa waktu terakhir di masyarakat sudah tidak sehat.

Listyo mengatakan bahwa payung hukum yang mengatur soal dunia digital di Indonesia itu malah acap kali menciptakan polarisasi di tengah masyarakat.

"Undang-undang ITE yang selama beberapa hari ini kita ikuti bahwa suasananya sudah tidak sehat," kata Listyo dalam arahannya di Rapat Pimpinan (Rapim) Polri, Jakarta, Selasa (16/2).

Dia menyinggung banyak pihak yang malah saling lapor menggunakan UU ITE. Selanjutnya, kata Listyo, pihak kepolisian bakal menentukan langkah-langkah lanjutan untuk lebih selektif dalam mengusut kasus-kasus serupa.

Polisi akan berlaku demikian untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dalam penerapan UU ITE.

"Ada kesan bahwa UU ITE ini represif terhadap kelompok tertentu. Tapi tumpul terhadap kelompok yang lain," ucap dia lagi.

Sebelumnya, Presiden Jokowi juga telah meminta agar UU ITE direvisi. Terutama pasal-pasal karet yang selama ini menimbulkan polemik di masyarakat.

"Semangat awal UU ITE adalah untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, dan produktif," kata Jokowi lewat cuitannya dalam akun @jokowi di Twitter, Selasa (16/4).

Jokowi pun meminta agar kepolisian dapat merumuskan aturan dalam menafsirkan pasal-pasal dalam UU ITE agar semakin jelas. Polri, diminta Jokowi untuk dapat lebih selektif dalam menangani kasus-kasus UU ITE.

Terpisah, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan pemerintah tengah mendiskusikan ihwal revisi UU ITE. Pemerintah mengambil sikap demikian lantaran UU tersebut sudah dianggap tidak baik di masyarakat.

"Jika sekarang UU tersebut dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet, mari kita buat resultante baru dengan merevisi UU tersebut. Bagaimana baiknya lah, ini kan demokrasi," kata Mahfud.



 
Back
Top