Revisi UU ITE, Pelaku Mesum Tak Lagi Dijerat Pidana

spirit

Mod
w1200

Bisnis.com, JAKARTA--Menteri Koordinator (Menko) Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menegaskan pelaku mesum yang videonya viral di media sosial kini sudah tidak bisa dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut mengatakan bahwa hal itu sudah diatur di dalam revisi UU ITE yang baru.

Menurutnya, pihak yang bisa dijerat dengan UU ITE adalah seseorang yang menyebarkan video mesum pertama kali dengan niat menyebarkan video agar diketahui oleh orang lain melalui sarana media elektronik.

"Jadi orang yang melakukan kesusilaan tidak bisa dijerat UU ITE. Tetapi yang dijerat adalah orang yang memiliki niat menyebarluaskan video untuk diketahui oleh masyarakat umum," tuturnya, Jumat (11/6/2021).

Menurut Mahfud hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang telah direvisi oleh Kemenko Polhukam. Kendati demikian, menurut Mahfud, pelaku mesum tetap bisa diganjar hukum menggunakan UU Pornografi.

"Lalu apakah pelaku mesum bisa dihukum? Tentu bisa tetapi bukan memakai UU ITE. Pakainya UU Pornografi," katanya.

Dia mengimbau Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin serta Menteri Komunikasi dan Informatika Jhonny G Plate memedomani aturan baru yang tertuang di dalam UU ITE tersebut.

"Surat keputusan bersama ini sudah dikeluarkan dan ditandatangani oleh Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri untuk dipedomani," ujarnya.

.
 
w1200

Sederet Pasal Kontroversial di Draf RKUHP Terbaru

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali menjadi sorotan publik usai munculnya draf RKUHP terbaru di kalangan publik. Sederet pasal-pasal kontroversial kembali bermunculan dalam draf yang sempat ditunda pembahasannya pada 2020 lalu. Pasal-pasal kontroversial tersebut menuai polemik di kalangan publik karena dianggap tidak mencerminkan keadilan untuk rakyat.

Pasal soal penghinaan presiden, wakil presiden dan lembaga negara

Draf RKUHP yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memuat aturan yang memungkinkan seseorang dipidana penjara selama 4,5 tahun atau denda paling banyak Rp200 juta jika menyerang kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden melalui media sosial. Hal tersebut tertuang pada BAB II terkait Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden Pasal 219.

Bukan hanya di media sosial, melakukan serangan di muka umum atau di luar media sosial juga bisa diancam hukuman pidana. Namun, tindak pidananya lebih ringan, yaitu 3,5 tahun penjara atau denda paling banyak sebesar Rp200 juta seperti yang tertuang pada Pasal 218 Ayat 1.

Selanjutnya, ancaman pidana juga akan diberlakukan jika ada yang menghina kekuasaan umum dan lembaga negara seperti DPR. Ancaman tersebut berupa pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau denda paling banyak kategori II setara Rp10 juta. Aturan tersebut terdapat pada Pasal 353 ayat 1. Namun, ancaman pidana tersebut tidak akan berlaku jika penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri, serta tidak ada aduan dari pihak yang dihina, yaitu Presiden, Wakil Presiden serta lembaga negaranya sendiri.

Loh, jadi petinggi negara bisa dianggap antikritik dong?

Ngga, kok. Anggota Komisi III DPR RI dari fraksi PPP Arsul Sani berharap pasal penghinaan presiden dalam RKUHP agar bisa lebih diberi penjelasan antara menghina dengan kritik. "Untuk itu PPP menghendaki ada penjelasan pasal yang memagari apa yang dimaksud penghinaan untuk membedakannya dengan kritik terhadap pemerintah atau presiden," kata Arsul.

Dia mengakui, saat pembahasan RKUHP, pasal tersebut memang mendapatkan perdebatan. Terlebih ada putusan Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal penghinaan presiden di KUHP sekarang.

Ada pasal yang mengatur untuk pelaku konten prank, ya?

Betul. Ancaman bagi pelaku prank itu diatur dalam Pasal 335.

"Setiap orang yang di tempat umum melakukan kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, atau kesusahan dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II."

Lebih jauh, dalam Pasal 79 ayat 1 RKUHP disebutkan, ancaman denda kategori II maksimal Rp10 juta. Para korban yang terkena prank dan merasa tak terima juga bisa melaporkannya menggunakan Pasal 439 RKUHP yang dapat disimak selengkapnya DI SINI.

Terus, pasal apa lagi nih yang menimbulkan polemik?

Selain pasal penghinaan presiden dan wakil presiden serta pasal untuk pelaku konten prank, dalam draf RKUHP diatur soal orang yang bergelandangan. Dalam Pasal 431, mereka akan didenda maksimal Rp1 juta. Ancaman tersebut diketahui lebih rendah dari denda Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta yaitu Rp20 juta atau penjara 60 hari.

Kemudian, perzinaan dan juga hidup bersama layaknya suami istri diluar hubungan pernikahan alias kumpul kebo turut diatur dalam draf RKUHP dalam Pasal 417 dan 418.

Pasal 417 berbunyi, “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda kategori II maksimal Rp 10 juta."

Sementara itu, Pasal 418 mengatur terkait pasangan yang melakukan hidup bersama layaknya suami istri atau kumpul kebo dapat diancam pidana 6 bulan penjara.

“Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II atau Rp 10 juta."

Orang yang melakukan perzinaan serta kumpul kebo tidak dituntut kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anaknya.

Lebih lanjut, RKUHP mengatur ketentuan pidana terhadap proses perekaman dan publikasi dalam proses persidangan. Hal ini tercantum pada Bab VI berjudul "Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan" bagian kesatu yakni gangguan dan penyesatan proses peradilan, yang diatur sejumlah ketentuan padaPasal 281 dengan denda paling banyak kategori II (maksimal Rp 10 juta).

Apakah ada konfirmasi dari pihak DPR terkait draf RKUHP yang beredar?

Arsul Sani mengatakan draf tersebut bukan draf baru. Sebab, draf RKUHP terkahir yang diterima DPR batal disahkan pada September 2019. "Draf baru kalau pemerintah sudah resmi kirim dan ajukan ke DPR. Yang beredar itu tidak bisa disebut draf baru RKUHP," kata Arsul saat dikonfirmasi. Ia menyebut sejak RKUHP batal disahkan, pemerintah belum mengeluarkan draf baru RKUHP. "Belum ada draf final," katanya.


 
Back
Top