Cinta Sejati Itu Masih Ada

d-net

Mod
lpwl3mzwjlihm1jkj0i0.jpg

Masih adakah cinta sejati saat ini? Perihal cinta pandangan pertama, aku secara pribadi percaya atas pernyataan ini. Tapi, mampukah dua insan saling mencintai satu sama lain dalam kurun waktu yang lama? Bisakah kedua insan ini hanya mencintai pasangannya saja hingga ajal menjemput?

Bosan adalah rasa yang pasti dirasakan oleh semua orang. Sifatnya manusiawi. Namun, apa jadinya jika rasa ini tidak mampu untuk diatasi? Terlebih rasa bosan pada pasangan dalam ikatan pernikahan.

Di dalam hubungan setingkat lebih serius diatas pertemanan saja, hubunganku dengan orang tersebut tidak bisa bertahan lama. Semua hanya berakhir dalam hitungan tahun, bahkan bulan. Tidak sampai puluhan tahun apalagi hingga ajal menjemput.

Pernikahan merupakan proses penyatuan dua insan dalam sebuah ikatan. Tapi, tidak semua pernikahan dapat berlangsung untuk selamanya. Sebagian pasangan memilih berpisah. Mungkin, itu jalan terbaik yang bisa mereka tempuh untuk kebaikan bersama.
Lalu, dimanakah kita bisa mencari pasangan hidup yang mampu bertahan untuk selamanya? Bagaimana cara kita mengetahui siapa yang sudah ditakdirkan menjadi jodoh kita? Apakah di zaman seperti ini masih bisa kita temukan cinta sejati?

Perihal ketiga pertanyaan diatas. Hanya pertanyaan terakhir yang mampu untuk aku jawab. Mungkin, sulit untuk menemukan pasangan yang mampu bertahan hingga ajal menjemput. Namun, Kakek dan Nenekku bisa menjadi bukti dari cinta sejati itu sendiri.

Yang aku tahu. Kakek dan Nenek menikah saat usia mereka belasan tahun. Saat itu, Nenek sempat bercerita kepadaku. Katanya, saat menikah Nenek bahkan belum mengalami proses pendewasaan atau akil baligh.

Walau menikah di usia yang sangat belia. Kakek dan Nenek dapat mempertahankan rumah tangganya. Sulit sudah pasti ku bayangkan. Terlebih pada awal pernikahan mereka. Bagaimana tidak, remaja melekat dengan egonya yang sangat besar.

Tidak semua jalan yang Kakek dan Nenek lalui merupakan jalan yang lurus dan mulus. Terkadang, mereka harus melewati jalan yang menikung dan berbatu. Naik turunnya kehidupan sudah mereka arungi bersama. Manis pahitnya kehidupan sudah mereka kecap bersama.

Kebahagiaan dan cobaan datang silih berganti pada Kakek dan Nenek. Ada kebahagian abadi yang dianugerahkan Tuhan pada mereka, yakni memiliki empat putri yang sangat sayang pada mereka. Tapi, dibalik kebahagiaan yang turut serta pasti ada cobaan yang mengikutinya. Kakek dan Nenek harus kehilangan putra mereka satu-satunya untuk selamanya. Bahkan, mereka belum cukup lama menimang putra semata wayangnya itu. Tepatnya, setelah tiga bulan Nenek melahirkan, putranya itu sudah dipanggil oleh Sang Pencipta.

Tahun ini mungkin akan menjadi tahun tersulit bagi Kakek. Karena, pada awal tahun, Kakek dipaksa berpisah dengan Nenek. Bukan untuk sebulan atau dua bulan. Melainkan untuk selamanya.

Kejadian-kejadian di saat hari kematian Nenek sangatlah berjalan begitu cepat. Ingin rasanya aku menangisi kepergian Nenek sekencang-kecangnya. Namun, tak sanggup aku luapkan kesedihanku di depan Kakek. Di hadapanku, cucunya, Kakek sangat kuat menghadapi kepergian Nenek yang amat mendadak. Padahal, aku mengetahui Kakek meneteskan air matanya dalam diam.

Sebelum Nenek dikebumikan. Kakek hanya duduk disamping jenazah istri tercintanya itu. Sesekali, Kakek memukul kakinya sambil bergumam, “Salah apa aku sama kamu, Ni?”. Melihat kejadian itu, hatiku sangat rapuh tak kuasa menahannya. Sesekali memori tentang mereka berdua terlintas dipikiranku. Tentang bagaimana mereka menghabiskan waktu untuk berjuang bersama, bercanda gurau bersama, dan bersedih bersama pula.

Saking tak kuasanya menahan rasa sakit kehilangan Nenek. Kakek tak turut serta saat penguburan Nenek. Yang ku dengar, saat proses penguburan jenazah Nenek berlangsung. Kakek menangis dan selalu bertanya-tanya mengapa istri sudah yang setia mendampingi hidupnya itu pergi meninggalkan dirinya.

Beberapa hari setelah kepergian Nenek. Kakek masih menolak untuk makan. Bahkan, ia juga enggan untuk sekadar berbincang dengan pelayat yang datang. Waktu banyak dihabiskannya dengan melamun. Mungkin, masih terbayang-bayang dengan sosok yang telah menemaninya selama kurang lebih 50 tahun itu.

Demi membuktikan cintanya pada Nenek. Setiap pagi, Kakek pergi ke pusara makam istri tercintanya, wanita yang telah menjadi ibu dari anak-anaknya. Tak lupa ia melafalkan do’a dan memohon pada Tuhan agar mengampuni dosa yang telah diperbuat oleh orang terkasihinya itu.

Bukan hanya saat berkunjung ke rumah baru Nenek saja, saat sembahyang pun tak lupa Kakek memanjatkan do’a untuk keselamatan Nenek disana. Itulah hal terakhir yang bisa Kakek lakukakn untuk Nenek.

Satu pintaku pada Sang Pencipta, pertemukanlah kembali mereka di kehidupan selanjutnya. Biarlah saat ini Nenek pergi dengan damai, asal suatu saat nanti ia akan kembali pada tulang rusuknya, yakni Kakekku.

(Diani Ratna Utami / Politeknik Negeri Jakarta)
kumparan.com


.
 
Back
Top