Konflik Warga dan TNI-AU di Rumpin, Wujud Manajemen Pertahanan tidak Jelas

andy_baex

New member
Konflik yang terjadi antara TNI-AU dari Lanud Atang Sanjaya dan warga Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, dinilai anggota DPRD Kabupaten Bogor akibat manajemen pertanahan di Kabupaten Bogor belum tertib dan tidak jelas.

Karena itu, anggota Dewan minta agar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor segera melakukan pembenahan menejemen pertanahan di wilayahnya."Konflik yang terjadi antara warga Desa Sukamulya, Rumpin dan aparat TNI-AU itu merupakan wujud akumulasi dari menejemen pertanahan yang tertib dan tidak jelas di Kabupaten Bogor," kata Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Bogor, Hidayat Royani, di Cibinong, Selasa.

Dijelaskannya, saat ini manajemen pertanahan di Kabupaten Bogor sangat lemah. Meskipun secara administratif aset-aset tanah sudah diklaim sebagai milik Pemkab, tapi bukti-bukti berupa sertifikat atas aset itu belum secara keseluruhan dilengkapi.

"Padahal, yang disebut dengan hak yang dimiliki, jika aset itu telah dilekati oleh hak pengelolaan dan hak pakai yang dinyatakan dengan tanda bukti surat yang di keluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)," katanya.

Berdasarkan aspek legalitas formal, menurut dia, ada beberapa jenis tanah yakni tanah negara bebas, tanah negara dikuasai, dan tanah yang telah dilekati hak kepemilikan.

Tanah negara bebas, adalah tanah atau aset negara yang belum dilekati oleh hak pengelolaan maupun hak pakai. Maka tanah tersebut hak pengelolaanya dikelola oleh BPN. Warga negara Indonesia dapat mengajukan alas hak atas tanah negara bebas itu, dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.

"Saat ini, banyak aset Pemkab berupa gedung perkantoran, sekolah dan sebagainya, yang dibangun di atas tanah yang belum dilekati oleh hak kepemilikan atau sertifikat atas nama Pemkab," katanya. Berdasarkan aturan yang ada, kata dia, tanah yang belum dilekati oleh alas hak yang kuat, dapat dimohon oleh semua warga negara Indonesia.

Hal ini sangat berisiko bagi Pemkab Bogor, karena bisa kehilangan asetnya. "Karena itu, Pemkab Bogor, sebaiknya segera melakukan sertifikasi aset-asetnya, berupa tanah dan bangunan," katanya. Ia juga menyoroti tanah-tanah yang diterlantarkan berstatus "sleeping land" di Kabupaten Bogor yang jumlahnya mencapai sekitar 9.000 hektar.

Jumlah itu belum termasuk tanah-tanah yang sudah dimohon (HGU dan HGB-red), tapi tidak dimanfaatkan sebagaimana peruntukannya. "Jika aset itu dikelola dengan baik oleh Pemkab Bogor atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga, maka akan sangat bermanfaat untuk membantu perekonomian masyarakat," katanya.

Ia minta agar Pemkab Bogor segera melakukan pengamanan terhadap aset tanah dan mengelolanya secara baik. Untuk memaksimalkan pengelolaan aset tanah, ia mengusulkan, agar dibentuk Dinas Pertanahan, bahkan jika perlu dibentuk bank tanah. "Nantinya, bank tanah yang mendata aset tanah dan mendata pemanfaatannya," katanya.

Sementara itu, Kabid Permasalahan Pertanahan BPN Kabupaten Bogor, Viktor mengatakan, saat ini masih banyak aset Pemkab yang belum dilekati oleh hak yang kuat. Ia juga mengusulkan agar Pemkab Bogor segera melakukan langkah-langkah untuk melakukan pengamanan terhadap aset-aset miliknya.

Terhadap sejumlah tanah HGB dan HGU yang tidak disesuai peruntukanya, menurut dia, hal itu perlu verifikasi lagi sebelum dilakukan pencabutan haknya. Hal tersebut mengacu pada PP No.36 tahun 1998 tentang Penanganan Tanah-tanah HGU dan HGB yang diterlantarkan. "Berdasarkan aturan itu, harus dilakukan verifikasi atas hak yang pernah dimohon, oleh tim penilai, sebelum dilakukan pencabutan hak," kata Viktor.
 
Back
Top