Right Practice - Steady Pratice ~Ajahn Chah~

singthung

New member
Right Practice - Steady Pratice

Oleh: Ajahn Chah



Di Wat Wana Potiyahn (Salah satu cabang utama Vihara Achan Chah, Wat Ba Pong) ini sangatlah tenang, tetapi ini tidak akan berarti jika batin kita tidak tenang. Semua tempat sesungguhnya tenang. Bahwa beberapa tempat tampak kacau itu adalah karena batin kita yang kacau. Bagaimanapun, tempat yang sepi bisa membantu untuk menjadi tenang, dengan memberi orang kesempatan untuk berlatih sehingga menjadi harmonis dengan ketenangannya.

Kalian semua harus mengingat bahwa latihan ini sulit. Berlatih hal-hal yang lain tidaklah begitu sulit, bahkan mudah, tetapi batin manusia sangat sulit untuk dilatih. Sang Buddha melatih batin Beliau. Batin merupakan hal yang penting. Segala sesuatu yang ada dalam susunan batin-jasmani menjadi satu pada pikiran. Mata, telinga, hidung, lidah, dan tubuh, semuanya menerima sentuhan dan mengirimkannya ke dalam batin, yang merupakan pengawas dari semua alat indera. Oleh karena itu sangatlah penting untuk melatih batin. Jika batin terlatih dengan baik semua persoalan akan berakhir. Jika masih ada persoalan berarti batin masih ragu, ia tidak mengetahui sesuai dengan kebenaran. Itulah sebabnya mengapa timbul persoalan-persoalan.

Jadi sadarilah bahwa kalian semua sudah siap sepenuhnya untuk berlatih Dhamma. Apakah dengan berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, alat-alat yang kalian perlukan untuk berlatih sudah tersedia, di manapun kalian berada. Mereka ada di sana, sama seperti Dhamma. Dhamma merupakan sesuatu yang berlimpah ruah di mana saja. Di sini, di daratan atau di dalam air... di mana saja... Dhamma selalu ada di sana. Dhamma itu sempurna dan lengkap, tetapi latihan kitalah yang belum lengkap.

Sang Buddha yang Tercerahkan dengan Sempurna mengajarkan satu cara yang dengannya kita semua dapat berlatih dan mengenali Dhamma. Ia bukan sesuatu yang besar, hanyalah sesuatu yang kecil, tetapi benar. Misalnya, lihatlah rambut. Jika kita mengenali hanya sehelai rambut, maka kita mengetahui setiap helai, baik milik kita maupun orang lain. Kita mengerti mereka hanya sekedar "rambut". hanya dengan mengenali sehelai rambut kita mengetahui semuanya.

Atau lihatlah manusia. Jika kita melihat kondisi-kondisi alamiah/sebenarnya di dalam diri kita sendiri maka kita juga akan mengerti semua orang lainnya di dunia ini, karena semua orang adalah sama. Begitu pula Dhamma. Ia merupakan sesuatu yang kecil tetapi juga besar. Jadi untuk melihat kebenaran satu kondisi haruslah melihat kebenaran dari mereka semuanya. Bilamana kita mengetahui kebenaran sebagai apa adanya, semua persoalan akan berakhir.

Meskipun begitu, latihannya cukup sulit. Mengapa hal itu sulit? Ia menjadi sulit karena keinginan, tanha. Jika kalian tidak "menginginkan" maka kalian tidak akan berlatih. Tetapi jika kalian berlatih atas dasar nafsu-keinginan maka kalian tidak akan melihat Dhamma. Ingatlah hal itu. Jika kalian tidak ingin berlatih maka kalian tidak bisa praktek. Pertama kalian harus ingin berlatih agar benar-benar melaksanakan praktek. Apakah melangkah maju atau melangkah mundur kalian menemukan nafsu. Inilah sebabnya para pelaksana di masa lalu mengatakan bahwa praktek ini merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dikerjakan.

Kalian tidak melihat Dhamma karena adanya nafsu-keinginan. Kadang kala nafsu ini sangat kuat, kalian ingin segera melihat Dhamma, tetapi Dhamma bukanlah batin kalian ?batin kalian belum menjadi Dhamma. Dhamma merupakan satu hal dan batin adalah hal yang lainnya. Bukanlah berarti apa yang kalian sukai adalah Dhamma dan apa yang tidak kalian sukai bukan Dhamma. Bukan begitu rumusannya.

Sesungguhnya batin kita hanyalah satu keadaan dari Alam, seperti sebuah pohon di hutan. Jika kalian menginginkan papan atau balok ia harus dihasilkan dari pohon, tetapi pohon itu tetap saja pohon. Ia belum menjadi balok atau papan. Sebelum ia dapat dimanfaatkan, kita harus menebang pohon serta menggergajinya menjadi balok atau papan. Ia merupakan pohon yang sama tetapi berubah menjadi sesuatu yang lain. Pada hakikatnya ia hanyalah sebatang pohon, satu keadaan dari Alam. Tetapi dalam keadaan mentahnya ia tidaklah banyak bermanfaat bagi mereka yang memerlukan kayu. Batin kita adalah seperti keadaan itu. Ia merupakan satu keadaan Alam. Seperti ia merasakan buah pikiran, ia membedakannya ke dalam indah, jelek, dan sebagainya.

Batin kita ini harus dilatih lebih lanjut. Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja. Ia merupakan satu keadaan dari Alam... latihlah untuk menyadari bahwa ia merupakan satu keadaan dari Alam. Naikkan pada Alam sehingga ia cocok dengan kebutuhan kita, yaitu Dhamma. Dhamma merupakan sesuatu yang harus dipraktekkan dan dihasilkan.

Jika kalian tidak berlatih kalian tak akan mengetahuinya. Terus terang kalian tidak akan memahami Dhamma dengan cara membaca atau mempelajarinya. Atau jika kalian mengetahuinya pengetahuan kalian masih tetap kurang. Misalnya, tempolong ini. Setiap orang tahu bahwa ini tempolong tetapi mereka tidak sepenuhnya mengetahui tempolong. Mengapa mereka tidak sepenuhnya mengetahuinya. Jika saya menyebut tempolong ini sebagai panci-gagang, apa yang kalian katakan? Seandainya setiap kali saya memerlukannya saya berkata, "tolong ambilkan panci-gagang itu kemari", hal itu akan membingungkan kalian. Mengapa begitu? Karena kalian belum sepenuhnya mengetahui tentang tempolong. Jika kalian mengetahuinya maka tak akan ada persoalan. Kalian hanya akan mengambil barang itu dan memberikannya kepada saya, karena sesungguhnya tidaklah ada tempolong. Apakah kalian paham? Ia menjadi tempolong karena kebiasaan. Kebiasaan ini diterima di seluruh negeri, jadi ia merupakan sebuah tempolong. Tetapi sesungguhnya tidak ada "tempolong" sejati. Jika seseorang ingin menyebutnya panci-gagang ia bisa menjadi panci-gagang. Ia bisa menjadi apa saja yang kalian sebutkan. Ini disebut "konsep". Jika kita sepenuhnya mengerti tentang tempolong, bahkan jika seseorang menyebutnya panci-gagang tak akan ada persoalan apapun. Apapun sebutan orang terhadapnya kita tidak ragu karena kita tidak buta terhadap keadaan sebenarnya. Inilah orang yang mengerti Dhamma.

Sekarang marilah kita kembali pada diri kita sendiri. Seandainya seseorang berkata, "Kamu gila!" atau "Kamu bodoh", misalnya. Meskipun hal itu tidak benar, kalian akan merasa tidak enak. Segala sesuatu menjadi sulit karena ambisi kita untuk memiliki dan mencapai. Karena nafsu-nafsu untuk memperoleh dan manjadi ini, karena kita tidak mengetahui sesuai dengan kebenaran maka kita tidak mempunyai kepuasan. Jika kita mengerti Dhamma, memahami Dhamma, keserakahan, kebencian, dan khayalan akan lenyap. Jika kita memahami benda-benda sebagaimana mereka adanya maka tiada lagi sandaran bagi mereka.

Mengapa praktek ini begitu sulit dan sukar? Karena nafsu-keinginan. Begitu kita duduk untuk bermeditasi kita ingin tenang. Jika kita tidak ingin mencari ketenangan kita tidak akan duduk, kita tidak akan berlatih. Begitu kita duduk kita ingin ketenangan langsung ada di sana, tetapi menginginkan batin menjadi tenang malah membuat kita bingung dan kita merasa resah. Begitulah prosesnya. Jadi Sang Buddha bersabda, "Janganlah berbicara dikarenakan oleh nafsu, janganlah duduk karena nafsu, janganlah berjalan karena nafsu... Apapun yang kalian kerjakan; janganlah melakukannya dengan nafsu. Nafsu berarti menginginkan. Jika kalian tidak ingin melakukan sesuatu kalian tidak akan mengerjakannya. Jadi praktek kita sampai pada titik ini kita bisa agak patah semangat. Bagaimana kita bisa berlatih? Begitu kita duduk ada nafsu di batin.

Karena hal inilah jasmani dan batin sulit untuk diamati. Jika mereka bukan pribadi ataupun milik pribadi lalu milik siapakah mereka itu? Sangat sulit untuk memutuskan hal ini, kita harus bersandar pada kebijaksanaan. Sang Buddha bersabda kita harus berlatih dengan "melepaskan". Sungguhlah sulit untuk benar-benar mengerti "berlatih dengan melepaskan" ini, bukan? Jika kita melepaskan maka kita tidak berlatih, bukan? ...Karena kita sudah melepaskan.

Seandainya kita pergi membeli beberapa butir kelapa di pasar, dan ketika kita membawanya pulang seseorang bertanya:

"Untuk apa Anda membeli kelapa itu?"

"Saya membeli mereka untuk dimakan".

"Apakah Anda akan memakan sabutnya juga?"

"Tidak".

"Saya tidak percaya. Jika Anda tidak akan memakan sabutnya mengapa Anda membelinya juga?"

Nah, sekarang apa yang akan kalian katakan? Bagaimana kalian akan menjawab pertanyaan mereka? Kita berlatih dengan nafsu. Jika kita tidak mempunyai nafsu kita tak akan berlatih. Praktek dengan nafsu adalah tanha. Merenungkan dengan cara ini, kalian tahu, bisa menimbulkan kebijaksanaan. Misalnya, kelapa tadi: apakah kalian akan memakan sabutnya juga? Tentu tidak. Lalu mengapa kalian membawa mereka juga? Karena waktunya belum tiba bagi kalian untuk membuang mereka. Mereka berguna untuk membungkus kelapa. Jika, setelah memakan kelapanya, kalian buang sabutnya, maka tidak ada persoalan.

Begitulah praktek kita. Sang Buddha bersabda, "Jangan bertindak berdasarkan nafsu, jangan berbicara berlandaskan nafsu, jangan makan berlandaskan nafsu". Berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring... apapun... jangan melakukannya dengan nafsu. Ini berarti mengerjakan dengan melepaskan. Seperti membeli kelapa di pasar. Kita tak akan memakan sabutnya tetapi belum waktunya untuk membuang mereka. Pertama kita simpan mereka. Begitulah dengan praktek. Konsep dan Yang melampaui Konsep (Konsep (sammutti) menunjuk pada kenyataan semu atau sementara, sedangkan yang melampaui/transenden (vimutti) menunjuk pada kebebasan dari kemelekatan atau khayalan yan ada di dalamnya.) saling berdampingan, seperti kelapa. Daging, kulit dan sabut semua menjadi satu. Ketika kita membelinya kita membeli semuanya. Jika seseorang ingin menuduh kita memakan sabut kelapa, itu urusan mereka, kita tahu apa yang kita lakukan.

Kebijaksanaan adalah sesuatu yang harus kita temukan untuk diri kita sendiri. Untuk melihatnya kita harus berjalan tidak terlalu cepat maupun lambat. Apa yang harus kita lakukan? Pergilah ke mana tidak ada cepat maupun lambat. Berjalan dengan cepat atau berjalan dengan lambat bukanlah sang jalan.

Tetapi kita semua tidak sabar, kita tergesa-gesa. Begitu kita mulai, kita ingin bergegas mencapai akhir, kita tidak ingin tertinggal. Kita ingin berhasil. Ketika saatnya untuk mengatur batin untuk bermeditasi, beberapa orang berjalan terlalu jauh... Mereka menyalakan dupa, bersujud dan bertekad, "Selama dupa ini belum habis terbakar saya tak akan bangkit dari duduk saya, sampai pun saya pingsan atau mati, tidak jadi persoalan apapun... aku akan mati duduk?" Setelah mengucapkan tekadnya mereka mulai duduk. Begitu mereka duduk gerombolan Mara (Mara: personifikasi Buddhis untuk kejahatan, si Penggoda, yang kekuatannya menentang setiap usaha untuk mengembangkan kebajikan dan sila.) datang menyerang mereka dari semua sisi. Mereka baru duduk sejenak lalu sudah berpikir bahwa dupanya telah habis terbakar. Mereka membuka mata mengintip... "Oh, masih tersisa begitu banyak!"

Mereka menggertakkan gigi dan duduk lebih lama, merasa panas, bingung, gelisah, dan kacau... Sampai akhir batas mereka berpikir, "Pasti sudah habis sekarang" ...Mengintip lagi... "Oh, tidak! Bahkan belum separuh jalan!"

Dua atau tiga kali ia begitu dan dupa itu tetap belum habis, jadi mereka meyerah, memasukkannya dan duduk di sana membenci diri sendiri. "Aku begitu bodoh, aku begitu tak ada harapan!" Mereka duduk dan membenci diri sendiri, merasa tidak ada harapan. Ini hanya menimbulkan frustasi dan rintangan. Ini disebut rintangan dari itikad-jahat (vyapada). Mereka tidak bisa menyalahkan orang lain jadi mereka menyalahkan diri sendiri. Mengapa begini? Semuanya karena keinginan.

Sesungguhnya tidaklah perlu seperti itu. Memusatkan perhatian berarti konsentrasi dengan melepaskan, bukan mengkonsentrasikan diri kalian sendiri ke dalam ikatan-ikatan.

Tetapi kita mungkin membaca kitab suci, tentang kehidupan Sang Buddha, bagaimana beliau duduk di bawah pohon Bodhi dan memutuskan untuk diri sendiri, "Selama Aku belum mencapai Penerangan Sempurna Aku tak akan bangkit dari tempat ini, biarpun darahku mengering".

Membaca hal itu di dalam buku, kalian mungkin berpikir untuk mencobanya sendiri. Kalian akan melakukannya seperti Sang Buddha. Tetapi kalian belum mempertimbangkan bahwa kendaraan kalian hanyalah kecil. Kendaraan Sang Buddha sungguh besar, beliau bisa membawa semuanya mungkin kalian membawa semuanya sekaligus? Ini merupakan cerita yang sungguh berbeda.

Mengapa kita berpikir seperti demikian? Karena kita terlalu ekstrim. Kadang-kadang kita berjalan terlalu rendah, kadang kala kita berjalan terlalu tinggi. Titik keseimbangan begitu sulit untuk ditemukan.

Sekarang saya berbicara hanya dari pengalaman. Pada waktu yang lalu, praktek saya seperti itu. Praktek dalam rangka melampaui keinginan... jika kita tidak ingin, dapatkah kita berlatih? Saya terhenti di sini. Tetapi berlatih dengan nafsu-keinginan merupakan penderitaan. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, saya bingung. Kemudian saya menyadari bahwa praktek yang mantap adalah hal yang penting. Orang harus berlatih dengan terus-menerus. Mereka menyebutnya praktek yang "teguh dalam semua sikap badan". Tetaplah membersihkan praktek/latihan kita, jangan biarkan ia menjadi malapetaka. Praktek merupakan satu hal, malapetaka adalah yang lainnya (Di sini permainan kata-kata Thai "pbadtibut" (praktek) dan "wibut" (malapetaka) tak terdapat di dalam bahasa Inggris.). Orang pada umumnya menciptakan malapetaka. Ketika mereka merasa malas mereka tidak mempedulikan latihan, mereka hanya berlatih ketika mereka merasa bersemangat. Begitulah kecenderungan saya saat itu.

Sekarang kalian bertanyalah pada diri sendiri apakah ini benar? Berlatih ketika kalian menyukainya, tidak ketika tidak menyukainya: apakah ini sesuai dengan Dharma? Apakah ini bersungguh-sungguh? Apakah ini sejalan dengan ajaran? Inilah yang membuat praktek tidak teratur.

Apakah kalian merasa suka atau tidak, kalian harus berlatih yang sama: demikianlah yang diajarkan oleh Sang Buddha. Orang pada umumnya menunggu sampai mereka berselera berlatih; ketika mereka tidak suka, mereka tidak peduli. Beginilah cara mereka. Inilah yang disebut malapetaka, ini bukanlah praktek. Dalam praktek yang sebenarnya, tak peduli apakah kalian berbahagia atau tertekan, kalian tetap berlatih; apakah mudah atau sulit kalian berlatih; apakah panas atau dingin, kalian berlatih. Praktek benar-benar seperti ini. Dalam praktek yang sebenarnya, apakah sedang berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring kalian harus berkehendak untuk meneruskan praktek secara mantap, buatlah sati kalian tetap di semua sikap badan.

Pada pemikiran pertama, tampaknya kalian seperti harus berdiri selama kalian berjalan, berjalan selama kalian duduk, duduk selama kalian berbaring... Saya telah mencobanya tetapi saya tidak bisa melakukannya. Jika seorang pemeditasi harus membuat berdiri, berjalan, duduk, dan berbaring semua sama, selama berapa harikah ia bisa mewujudkannya? Berdiri selama lima menit, duduk selama lima menit, berbaring selama lima menit... saya tak bisa melakukannya untuk waktu yang lama. Maka saya duduk dan memikirkannya lagi beberapa saat. "Apakah arti semua ini? Orang di dunia tidak dapat berlatih seperti ini!"

Lalu saya menyadari... "Oh, itu tidak betul, itu tak benar karena itu tidak mungkin dikerjakan. Berdiri, berjalan, duduk, berbaring... buatlah semuanya konsisten. Untuk menjadikan sikap badan tetap seperti dalam cara yang mereka terangkan dalam buku adalah tidak mungkin".

Tetapi mungkin untuk melakukan ini: Batin... hanya perhatikan batin. Milikilah sati ?ingatan, sampaja??a ?kesadaran-diri, dan pa??a ?kebijaksanaan menyeluruh... ini bisa kalian lakukan. Ini merupakan sesuatu yang sangat berharga untuk dipraktekkan. Ini berarti ketika berdiri kita mempunyai sati, ketika berjalan kita mempunyai sati, ketika duduk kita mempunyai sati, dan ketika berbaring kita mempunyai sati ?secara terus-menerus. Ini memungkinkan. Kita menempatkan kesadaran di dalam sikap-sikap badan kita seperti ketika sedang berdiri, berjalan, duduk, berbaring.

Ketika batin sudah terlatih seperti ini ia akan terus-menerus mengingat Buddho, Buddho, Buddho... yang berarti "mengetahui". Mengetahui apa? Mengetahui apa yang benar dan apa yang salah pada setiap saat. Ya, ini mungkin. Ini mendekati praktek yang sesungguhnya. Yaitu, apakah sedang berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, di sana terdapat sati yang berkesinambungan.

Kemudian kalian harus memahami kondisi-kondisi yang harus dilepaskan dan yang harus dikembangkan. Kalian mengerti kebahagiaan dan ketidak-bahagiaan, batin kalian akan berada pada titik yang bebas dari kebahagiaan dan ketidak-bahagiaan. Kebahagiaan adalah jalan yang longgar, kamasukhallikanuyogo. Ketidak-bahagiaan adalah jalan sempit, attakilamathanuyogo (Ini merupakan dua ekstrim yang dinyatakan sebagai jalan yang salah oleh Sang Buddha dalam Khotbah Pertama Beliau. Mereka biasanya diterjemahkan "Menuruti berbagai kesenangan inderawi" dan "penyiksaan diri). Jika kita mengetahui kedua ekstrim ini, walaupun mungkin batin cenderung pada satu atau yang lainnya, kita bisa menariknya kembali. Kita tahu ketika batin cenderung ke arah kebahagiaan atau ketidak-bahagiaan dan kita menariknya kembali, kita tidak mengizinkannya untuk mengikutinya. Kita mempunyai kesadaran semacam ini, kita taat pada Satu Jalan, Dhamma yang tunggal. Kita taat pada kesadaran, tidak mengizinkan batin untuk mengikuti kecenderungannya.

Dalam praktek, yang penting adalah patipada. Apakah patipada itu? Ia hanyalah berbagai kegiatan kita, berdiri, berjalan, duduk, berbaring dan yang lainnya. Inilah patipada dari jasmani. Sekarang patipada dari batin: dalam sepanjang hari ini berapa kalikah kalian merasa tertekan? Berapa kali kalian merasa tersanjung? Adakah perasaan-perasaan yang kelihatan jelas? Kita harus memahami diri kita seperti ini. Setelah mengenali perasaan itu dapatkah kita melepaskannya? Apapun yang belum dapat kita lepaskan, kita harus mengusahakannya. Bila kita tahu bahwa kita belum bisa melepaskan perasaan tertentu maka kita harus mengambil dan memeriksanya dengan kebijaksanaan. Carilah alasannya. Benahilah. Inilah praktek. Sebagai misal, ketika kalian merasa bersemangat, berlatihlah, dan ketika kalian merasa malas, cobalah untuk terus berlatih. Jika kalian tidak bisa meneruskan dengan "kecepatan penuh", paling tidak gunakan separuh kecepatan. Jangan buang-buang waktu dengan bermalasan dan tidak berlatih. Dengan bersikap seperti itu, akan membawa malapetaka, itu bukan cara seorang pelaksana.

Saya mendengar beberapa orang berkata,

"Oh, tahun ini saya sungguh tidak beruntung".

"Bagaimana bisa?"

"Sepanjang tahun saya sakit. Saya sama sekali tak bisa berlatih".

Oh! Jika mereka tidak berlatih ketika kematian sudah mendekat, kapan mereka akan pernah berlatih? Jika mereka merasa baik apakah kalian pikir mereka akan berlatih? Tidak, mereka hanya terlena dalam kebahagiaan. Jika mereka menderita mereka tetap tidak berlatih, mereka terlena di sana. Saya tidak tahu kapan orang berpikir bahwa mereka akan berlatih! Mereka hanya bisa melihat bahwa mereka sakit, nyeri, hampir mati karena demam... itu benar, bawalah beban itu, di situlah praktek itu. Ketika orang merasa bahagia itu hanya memenuhi kepala mereka dan mereka menjadi somsong dan congkak.

Inilah sebabnya para pelaksana di masa lalu semuanya mempertahankan latihan batin yang mantap. Jika ada yang salah, biarlah itu hanya kesalahan jasmani, bukan kesalahan di dalam batin.

Suatu ketika dalam praktek saya, setelah saya berlatih sekitar lima tahun, saya merasa bahwa hidup bersama orang lain merupakan rintangan. Saya duduk di kuti dan mencoba untuk bermeditasi, tapi orang-orang tetap datang untuk berbincang dan mengganggu saya. Saya pergi untuk hidup sendiri. Saya pikir saya tidak bisa berlatih dengan orang yang mengganggu. Saya bosan, saya pergi untuk hidup di satu vihara kecil yang sepi di hutan, dekat sebuah desa kecil. Saya tinggal di sana seorang diri, tidak berbicara pada siapapun ?karena tidak ada orang lain untuk diajak berbicara.

Setelah saya berada di sana selama kira-kira lima belas hari, muncul pikiran, "Hm. Akan sangat baik jika saya ditemani oleh seorang samanera atau pa-kow ("Pa-kow": seorang calon yang menjalani delapan sila, yang sering tinggal bersama para bhikkhu dan, selain melakukan praktek meditasi untuk dirinya, mereka juga membantu para bhikkhu dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu yang tidak boleh dilakukan para bhikkhu berdasarkan vinaya.) di sini. Ia bisa membantu saya dalam beberapa pekerjaan ringan". Saya tahu itu akan muncul, dan pasti, inilah dia!

"Hei! Kamu memang aneh! Kamu katakan bosan dengan teman-temanmu, bosan dengan para bhikkhu dan samanera, dan sekarang kamu menginginkan seorang samanera. Apa ini?"

"Tidak", katanya, "aku menginginkan seorang samanera yang baik".

"Nah! Di manakah semua orang yang baik, dapatkah kamu menemukannya? Di mana kamu akan menemukan orang baik? Di seluruh vihara hanya ada orang tidak baik. Kamulah satu-satunya orang yang baik, yang harus melarikan diri seperti ini!"

...Kalian harus mengikutinya seperti ini, mengikuti jalan pikiran kalian sampai kalian melihat...

"Hm. Inilah yang terpenting. Di manakah bisa ditemukan orang baik? Tidak ada orang baik, kalian harus menemukan orang baik di dalam diri kalian sendiri!"

Sampai sekarang saya tetap mengajar murid saya seperti ini. Kalian tak akan menemukan kebaikan di manapun, kalian harus mencari di dalam diri sendiri. Jika kalian baik maka ke manapun kalian pergi akan jadi baik. Apakah orang lain mengkritik atau memuji kalian, kalian tetap baik. Jika kalian tidak baik, maka ketika orang mengkritik kalian, kalian menjadi marah, dan ketika mereka memuji, kalian menjadi senang.

Saat itu saya merenungkan hal ini dan merasa bahwa itu benar dari saat itu sampai sekarang. Kebaikan harus dicari di dalam. Segera setelah saya melihatnya, perasaan ingin melarikan diri lenyap. Selanjutnya, setiap saya mempunyai keinginan itu saya melepaskannya. Kapan saja ia muncul saya menyadarinya dan menempatkan kesadaran saya di sana. Dengan cara itu saya mempunyai landasan yang kokoh. Di manapun saya hidup, apakah orang mencela saya atau apapun yang akan mereka katakan, saya akan merenungkan bahwa masalahnya bukan "mereka" itu baik atau jahat. Baik dan jahat harus dilihat dalam diri kita sendiri. Bagaimanapun orang lain, itu adalah urusan mereka.

Janganlah berpikir, "Oh, hari ini terlalu panas", atau, "hari ini terlalu dingin", atau "hari ini..." Bagaimanapun hari ini itulah perwujudannya. Kalian mencela cuaca hanya karena kemalasan kalian sendiri. Kita harus melihat Dhamma di dalam diri sendiri, maka di sana ada jenis kedamaian yang lebih pasti.

Walaupun beberapa di antara kalian mungkin merasakan kedamaian ketika sedang duduk bermeditasi, janganlah tergesa-gesa untuk menyalami diri kalian. Demikian pula jika terjadi kebingungan, janganlah mencela diri sendiri. Jika sesuatu terlihat baik, jangan menyenangi mereka dan jika mereka tidak baik janganlah membenci mereka. Amati saja mereka semua, amati apa yang kalian miliki. Hanya mengamati, jangan mengadili. Jika baik jangan menggenggamnya erat-erat; jika buruk, jangan melekat padanya. Baik dan buruk keduanya bisa menggigit, jadi jangan menggenggam mereka.

Praktek ini adalah hanya duduk, duduk dan mengamati semuanya. Suasana hati yang baik dan buruk datang dan pergi sesuai dengan alamiahnya. Jangan hanya memuji batin kalian atau hanya mencelanya, ketahuilah saat-saat yang tepat untuk hal-hal ini. Jika saatnya untuk memberi salam maka salamilah, tetapi sedikit saja, jangan berlebihan. Tepat seperti mengajar seorang anak, kadang kala kalian boleh memukul pantatnya sedikit. Di dalam praktek kita, kadang kala kita harus menghukum diri sendiri, tetapi janganlah menghukum dirimu sepanjang waktu. Jika kalian selalu menghukum dirimu sepanjang waktu, maka kalian akan berhenti berlatih. Tetapi kalian juga tidak boleh memanjakan diri dan menganggap enteng. Itu bukan cara berlatih. Kita berlatih sesuai dengan Jalan Tengah. Apakah Jalan tengah itu? Jalan Tengah ini sulit diikuti, kalian tidak bisa mempercayakan pada suasana-hati atau keinginan-keinginan kalian.

Jangan berpikir bahwa duduk dengan mata terpejam saja adalah praktek. Jika kalian berpikir seperti itu cepatlah ubah pikiran kalian! Praktek yang mantap adalah mempunyai sikap praktek saat berdiri, berjalan, duduk, dan berbaring. Jika berhenti dari meditasi duduk jangan berpikir bahwa kalian berhenti bermeditasi, renungkan bahwa kalian hanya mengubah sikap badan. Jika kalian merenungkan seperti itu maka kalian akan mendapatkan kedamaian. Di manapun kalian berada, kalian akan memiliki sikap praktek ini terus-menerus, kalian akan mempunyai kesadaran yang mantap di dalam diri kalian sendiri.

Mereka yang setelah menyelesaikan saat duduk di malam hari, lalu menuruti suasana-hati mereka, menghabiskan waktu sepanjang hari dengan membiarkan batin berkelana ke mana ia suka, akan merasa pada malam selanjutnya ketika duduk bermeditasi, semua yang mereka dapatkan adalah "akibat buruk" dari berpikir tanpa tujuan di siang hari. Tidak ada landasan ketenangan karena mereka telah membiarkannya beku sepanjang hari. Jika kalian berlatih seperti ini batin kalian secara bertahap akan menjauh dari sang praktek. Ketika saya menanyai beberapa murid saya, "Bagaimana dengan meditasi kalian?" Mereka berkata, "Oh, semuanya sudah hilang sekarang". Kalian lihat? Mereka bisa mempertahankan untuk satu atau dua bulan tetapi dalam satu atau dua tahun semuanya sudah berakhir.

Mengapa bisa begini? Karena mereka tidak menerapkan pokok penting ini ke dalam praktek mereka. Ketika mereka telah selesai duduk mereka melepaskan samadhi mereka. Mereka mulai duduk untuk masa yang lebih singkat dan singkat lagi, sampai mereka mencapai titik di mana begitu mereka mulai duduk mereka segera ingin mengakhirinya. Akhirnya mereka bahkan tidak duduk sama sekali. Sama halnya dengan bersujud di hadapan arca Sang Buddha. Pada awalnya mereka berusaha untuk bersujud setiap malam sebelum mereka tidur, tetapi sesaat kemudian batin mereka mulai menyimpang. Seterusnya mereka tidak peduli dengan bersujud lagi, mereka hanya mengangguk, sampai akhirnya semua hilang. Mereka membuang semua prakteknya.

Oleh karena itu, sadarilah pentingnya sati, berlatihlah terus-menerus. Latihan yang benar adalah latihan yang mantap. Apakah sedang berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring latihan harus berkelanjutan. Ini berarti bahwa praktek, atau meditasi, dikerjakan di dalam batin, tidak di dalam jasmani. Jika batin kita bersemangat, bersungguh-sungguh dan sangat rajin, maka di sana ada kesadaran. Batin merupakan sesuatu yang penting. Batinlah yang mengawasi segala sesuatu yang kita lakukan.

Jika kita memahami dengan benar maka kita berlatih dengan benar. Jika kita berlatih secara benar kita tak akan tersesat. Biarpun kita hanya melakukan sejenak ia tetap benar. Misalnya, ketika kalian selesai duduk bermeditasi, ingatkan diri kalian bahwa sesungguhnya kalian tidak selesai meditasi, kalian hanyalah mengubah sikap badan. Batin kalian tetap tenang. Apakah ketika berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, kalian tetap memiliki sati. Jika kalian memiliki kesadaran semacam ini kalian dapat mempertahankan praktek di dalam batin kalian. Pada malam hari ketika kalian kembali duduk, praktek kalian berlanjut tanpa terganggu. Usaha kalian tidak gagal, mengantarkan batin untuk mencapai ketenangan.

Ini disebut latihan yang mantap. Apakah kita sedang berjalan atau mengerjakan hal lain kita harus berusaha menjadikan praktek tetap berlanjut. Jika batin kita mempunyai ingatan dan kesadaran secara terus-menerus, praktek kita dengan sendirinya akan berkembang, ia akhirnya akan menyatu. Batin akan menemukan kedamaian, akrena ia akan mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Ia akan melihat apa yang terjadi dalam diri kita serta menemukan kedamaian.

Jika kita mau mengembangkan sila (pengendalian moral), atau samadhi (ketetapan batin) pertama-tama kita harus mempunyai pa??a (kebijaksanaan). Sebagian orang berpikir bahwa mereka akan mengembangkan pengendalian sila selama setahun, samadhi pada tahun berikutnya dan setelah itu mereka akan mengembangkan kebijaksanaan. Mereka pikir tiga hal ini saling terpisah. Mereka pikir bahwa tahun ini mereka akan mengembangkan, tetapi jika batinnya tidak kokoh (samadhi), bagaimana mereka bisa mengerjakannya? Jika tidak ada pemahaman (pa??a) bagaimana mereka bisa melakukannya? Tanpa samadhi atau pa??a, sila akan lemah.

 
Pada kenyataannya ketiga hal ini terjadi bersamaan pada titik yang sama. Jika kita memiliki sila kita memiliki samadhi, jika kita memiliki samadhi kita memiliki pa??a. Mereka semuanya satu, seperti mangga. Apakah kecil atau besar, ia tetap mangga. Ketika masak ia tetap mangga yang sama. Jika kita berpikir secara sederhana seperti ini kita bisa lebih mudah melihatnya. Kita tak perlu belajar banyak hal, cukup pahami hal ini, pahami praktek kita.

Ketika bermeditasi ada orang yang tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, sehingga mereka menyerah, dengan berkata bahwa saat ini mereka belum memiliki cukup kebajikan untuk praktek meditasi. Mereka bisa melakukan hal-hal buruk, mereka mempunyai bakat semacam itu, tetapi mereka tidak berbakat untuk berbuat baik. Mereka mengabaikannya dengan mengatakan bahwa mereka belum mempunyai cukup dasar. Begitulah orang pada umumnya, mereka berdampingan dengan kekotoran-kekotoran batin mereka.

Sekarang kalian memiliki kesempatan untuk berlatih, cobalah pahami bahwa apakah kalian merasa sulit atau mudah untuk mengembangkan samadhi, semuanya terserah pada kalian, bukan pada samadhi. Jika sulit, itu karena kalian berlatih secara salah. Di dalam praktek, kita harus mempunyai "Pandangan Benar" (sammaditthi). Jika pandangan kita benar maka yang lainnya juga benar. Pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, konsentrasi benar ?Jalan Mulia berunsur delapan. Jika ada pandangan benar, semua faktor lainnya akan mengikuti.

Apapun yang terjadi, jangan biarkan batin kalian keluar dari jalur. Lihatlah ke dalam diri sendiri dan kalian akan melihat secara jelas. Untuk praktek yang terbaik, seperti yang saya lihat, tidaklah perlu untuk membaca terlalu banyak buku. Ambillah semua buku itu dan simpanlah. Bacalah hanya pikiran kalian. Kalian semua sudah mengubur diri di dalam buku sejak saat kalian bersekolah. Saya pikir sekarang kalian berkesempatan serta mempunyai waktu, ambillah semua buku, tempatkan mereka dalam lemari dan kuncilah pintunya. Bacalah hanya pikiran kalian.

Ketika sesuatu muncul di dalam batin, apakah kalian menyukainya atau tidak, apakah ia tampak betul atau salah, potonglah dengan "ini bukanlah sesuatu yang pasti". Apapun yang muncul pangkaslah, "tidak pasti, tidak pasti". Hanya dengan satu kapak ini kalian bisa memotong semuanya. Semuanya "tidak pasti".

Selama bulan depan di mana kalian akan tetap tinggal di vihara hutan ini, kalian harus mencapai banyak kemajuan. Kalian akan melihat kebenaran. "Tidak pasti" ini sangatlah penting. Ia mengembangkan kebijaksanaan. Lebih banyak kalian mengamati, lebih banyak kalian akan melihat "ketidak-pastian" ini. Setelah kalian memotong sesuatu dengan "tidak pasti" ia akan berputar dan akan muncul lagi. Ya, itu sungguh "tidak pasti". Kalian melekat pada tanda... "tidak pasti" ...dan sebentar kemudian giliran muncul, ia bersemi lagi... "Ah tidak pasti". Galilah di sini! Tidak pasti. Kalian akan melihat hal tua yang sama ini telah membodohi kalian selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, sejak kalian dilahirkan. Hanya satu inilah yang telah mengelabui kalian selama ini. Amatilah hal ini dan sadarilah bagaimana ia sebenarnya.

Ketika praktek kalian mencapai titik ini kalian tak akan melekat pada sensasi/perasaan, karena mereka semua tidak pasti. Pernahkah kalian memperhatikannya? Mungkin kalian melihat sebuah jam dan berpikir, "Oh, ini bagus". Belilah dan amati... tidak berapa lama kalian sudah bosan padanya. "Pena ini sungguh indah", maka kalian bersusah-payah membelinya. Dalam beberapa bulan sekali lagi kalian bosan padanya. Begitulah adanya. Di manakah ada kepastian?

Jika kita melihat semua hal ini sebagai tidak pasti maka nilainya jadi memudar. Semuanya menjadi tidak berarti. Mengapa kita harus menggenggam benda-benda yang tidak bernilai ini? Kita menyimpannya hanya seperti kita menyimpan keset tua untuk membersihkan kaki kita. Kita melihat semua sensasi sama nilainya karena mereka semua bersifat sama.

Ketika kita memahami sensasi, kita memahami dunia ini. Dunia adalah sensasi dan sensasi adalah dunia. Jika kita tidak dikelabui oleh sensasi kita tidak dikelabui oleh dunia. Jika kita tidak dikelabui oleh dunia kita tidak dikelabui oleh sensasi/perasaan.

Batin yang melihat hal ini akan mempunyai landasan kebijaksanaan yang kokoh. Batin seperti itu tidak akan mempunyai banyak persoalan. Persoalan-persoalan apapun yang datang akan dapat ia selesaikan. Jika tidak ada persoalan lagi, maka tidak ada lagi keraguan. Kedamaian muncul sebagai manfaatnya. Inilah yang disebut "Praktek". Jika kita benar-benar berlatih ia haruslah seperti ini.

 
Back
Top