Ternyata Bukan Dia

xraith

New member
Kusigap selimut tebal yang menutup tubuhku. Dari balik jendela, mentari telah menyapaku. Mataku terbelalak melihat jarum jam yang telah menunjuk ke angka tujuh. Astaghfirullah.....ya Robbi..aku belum shalat Shubuh...jeritku. Aku mempercepat langkahku menuju kamar mandi satu-satunya di rumah mungilku. Sial, aku mendapat nomor antrean ketiga untuk masuk ke dalam kamar mandi. Sudah ketiga kalinya aku tidak shalat shubuh.

”Kamu terlambat bangun lagi Rin,” ujar Ibuku berusaha menegur. ”Ibu sudah membangunkanmu tadi waktu shubuh. Tapi susahnya bukan main,” tambahnya dengan wajah menyimpan amarah. Berbagai pertanyaan pun muncul dari mulut ibu yang telah mengajarkanku bangun pagi sejak aku kecil. ”Ya..Rabbi..apa yang terjadi denganku...,”

Sejenak aku menggerutu di depan cermin berukuran 4 x 6 sentimeter yang berada tepat di dalam kamarku. Suara omelan ibu masih terdengar nyaring di telinga. Yah..gara-gara kenal dengan Andi, aku jadi begini,” pekikku dalam hati. Beberapa hari setelah perkenalanku dengan seorang ikhwan bernama Andi, hari-hariku memang diselimuti aura kebahagiaan. Darahku seakan mendidih, jantungku serasa berdetak lebih kencang saat suara Andi terdengar menyapaku meski hanya melalui telepon genggam. Obrolan kami makin hari makin mengasyikkan. Apalagi, Andi termasuk orang yang pandai membuat hati wanita bahagia.

Andi tercatat di salah satu kampus swasta di wilayah Denpasar. Meski aku dan dia berada di kampus yang sama, anehnya kami baru kenal sejak tragedi mobil mogok beberapa minggu lalu.

Sosok Andi menjadi idaman banyak wanita di kampus tempat ku menuntut ilmu. Selain tampan, ia juga salah seorang mahasiswa berprestasi di tingkat universitas. Menjadi sebuah keberuntunganku bisa menjadi teman dekat laki-laki idola seluruh cewek di kampus itu.
Kedekatanku dengan Andi bermula saat mobil laki-laki berperawakan tinggi dan berkulit kuning langsat ini mogok. Karena tak ada seorangpun yang membantu, sebagai teman satu kampus, aku berusaha menolongnya. Sembari menunggu sang ahli otomotif datang memberi bantuan, kami isi waktu luang dengan basa-basi kesana kemari. Omongan yang tadinya sedikit dingin berubah menjadi mengasyikkan. ”Ternyata kamu orangnya asyik juga ya,” katanya menghiburku. Obrolan itu terhenti setelah sang montir datang. Tukar-menukar nomor teleponpun kami lakulan. Itulah awal mula cowok yang konon anak seorang pengusaha kaya-raya itu meneleponku saban malam hari hingga membuat waktu shubuhku hilang tersita oleh tidur.

Meski hubunganku dengan Andi makin dekat, tapi kedekatan itu hanya terjadi saat kami berbicara lewat telepon. Hal berbeda terjadi saat berada di kampus. Seperti biasa Andi yang keren dan cool menunjukkan sikap cuek saat berdekatan denganku. ”Ia tak seperti Andi yang selama ini aku kenal,” ujarku kepada Tarita sabahatku suatu hari di kantin sekolah. Kehangatan tawanya dan perhatiannya saat ia meneleponku, tak terdengar saat aku benar-benar berjumpa dengannya. ”Laki-laki itu memang aneh ya Rit,” kataku lagi. Kuteguk segelas air mineral, rasanya aku ingin cepat-cepat enyah dari kantin. Perasaanku yang gundah sedari tadi, tak menimbulkan empati dari Andi. Ia masih asyik berkelana di dunia maya dengan sebuah laptop dan secangkir kopi hangat yang menemaninya. ”Lihat saja Rit, padahal aku ada di hadapannya, sama sekali ia tak menyapaku. Pura-pura nggak kenal lagi,” gerutuku. Aku tarik lengan sahabat karibku. Tiba-tiba tak sengaja cangkir yang berisi kopi hangat tumpah tersenggol tas biru yang selama ini menemaniku menuntut ilmu. ”Eh..ga punya mata ya,” bentak Andi....Aku tak menyangka, ia tega berkata sekasar itu. Hatiku bergemuruh layaknya mendung yang akan segera memuntahkan airnya. Air mata yang telah aku tahan sedari tadi, tak lagi bisa aku bendung. Aku hanya bisa berlari, menjauhi laki-laki yang selama ini aku kagumi dan dambakan.

Tragedi kantin masih menyisakan dendam dan amarah dalam hatiku. ”Rin, makan dulu. Dari tadi siang kamu tidak makan, nanti sakit lo,” bujuk rayu ibuku terdengar di luar kamar. Kakiku masih enggan melangkah. Aku hanya ingin menangis dan menangis. Entah berapa roll tisu yang telah aku habiskan untuk menghapus air mataku yang mengalir hingga membuat mataku sembab. Seperti biasa, tepat pukul sembilan malam, telepon selularku berdering, Andi menelponku. Amarah dan dendam masih membuatku enggan menjawab telepon dari pria aneh itu. Dengan kondisi perut lapar dan hati terluka, kusigap selimut hingga menutupi seluruh tubuhku yang kedinginan. Telepon genggam hadiah ulang tahun dari ayah aku biarkan tergelatak di meja dengan sembilan kali panggilan tak terjawab dari Andi.

Pagi ini aku bisa menunaikan kewajibanku menjalanku shalat Shubuh. Aku bersimpuh memohon kepada sang pencipta melapangkan hati dan perasaanku untuk menerima segala apa yang menjadi kehendaknya.

Belum sempat aku buka mukena yang menutupi auratku, suara Ibuku memanggil. ”Rin, dicari tuch ama Rita,”. Kedatangan Tarita membuatku sedikit heran. ”Tumben-tumbenan nich anak pagi-pagi sudah nongol. Mau ngajak olahraga kali ya,” tebakku sekenanya. Tanpa mengetok pintu terlebih dahulu, Tarita nyelonong masuk ke kamarku dengan tergesa-gesa. ”Rin, gawat, sang idola yang kemarin membentakmu kecelakaan tadi malam. Mobilnya ditabrak truk,” jelas Tarita. Rasa kaget, cemas, sedih, marah, dendam berkecamuk menjadi satu. ”Sudahlah Rin nggak usah berpikir panjang, kita harus cepat-cepat ke rumah sakit,” ajak Tarita.

Lorong panjang rumah sakit kami lewati. Dengan sedkit berlari kami tengok kanan-kiri mencari ruang UGD yang sedang menangani Andi. ”Akhirnya ketemu juga,” bisikku. Di luar ruangan UGD, tampak keluarga Andi yang masih diliputi perasaan sedih. Wajah mereka menunjukkan kecemasan. Tampak juga beberapa orang dosen dan teman dekat Andi.

Kursi panjang yang telah disiapkan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien aku duduki. Aku masih tak percaya dengan musibah yang dialami laki-laki yang selama ini aku anggap misterius. ”Bukankah tadi malam Andi meneleponku tepat pukul sembilan malam. Dan, kejadian kecelakaan itu pada pukul sembilam malam juga. Ahhh..itu membuatku bingung. Sebenarnya apa yang terjadi. Apa mungkin telepon Andi digunakan kerabatnya untuk menghubungi aku guna memberitahu bahwa Andi kecelakaan. Tapi, tidak mungkin, karena kerabatnya baru tahu Andi mengalami musibah pada pukul 10 malam. Aku hapus keringat yang membasahi keningku. ”Rin, kamu kenapa,” tanya Tarita. Sulit menceritakan misteri ini kepada Tarita. Jika aku cerita, paling-paling dia akan menyalahkanku dan mengomel tak henti-hentinya. Jadi aku memilih diam. Di tengah lamunanku, seseorang menepuk pundakku dengan lembut. ”Rin apa kabar,” katanya. Spontan aku tak bisa menahan rasa kaget. Mulutku hanya bisa mengatakan satu kata yang tak jelas..

A..a...a...n..d..i....Keanehan ini makin membuatku gila. Kalau kamu Andi, terus yang di dalam siapa?

Dengan enteng laki-laki yang menyerupai wajah Andi berkata, ”Emangnya kamu tidak tahu siapa aku? Aku Andi Pramono saudara kembar dari Andi Permana teman kampusmu yang kini terbaring lemah di sal UGD Rin. Aku yang tiap malam menelponmu bukan Andi Permana. Selama ini aku memang tak pernah menceritakan hal ini. Karena aku sibuk mengurusi bisnis orangtuaku di luar kota. Jadinya yang selama ini kamu temui adalah adikku,” papar Andi meyakinkan.

Misteri ini akhirnya terjawab. Aku terasa melayang merasakan semua bebanku menjadi ringan. Keangkuhan Andi saat di kampus dan kelembutan Andi saat ia meneleponku di malam hari kini sudah kutemukan jawabnya. ”Ternyata mereka kembar,” bisikku.
 
udah terbit kemaren itu di majalah....
trus di blog saya..

makanya saya post disini juga...
biar orang indonesiaindonesia tau....
 
Back
Top