Kosong

Wong_Ngalah

New member
Assalamu'alaikum

Seorang hamba pasti akan mengalami keadaan serba susah karena himpitan banyak masalah, terasa semua masalah mendesak dan memaksa untuk berbuat sesuatu. Tapi, apapun yang diusahakan berujung pada timbulnya masalah baru, usaha lagi tetap berujung tambahnya masalah. Rasa Putus Asa menghampiri dari segala arah, bingung, sedih, jengkel, Bete, Boring datang bersamaan.

Tanya apa, bagaimana dan mengapa selalu ada dalam alam pikir.
Bagai komputer yang banyak program dijalankan akibatnya pusing, penat dan jenuh menemani perjalanan arung samudra kehidupan.

Masalah Yang ada hampir pada semua segi kehidupan, dengan orang tua ada masalah, dengan teman ada masalah, dengan saudara ada masalah, keuangan ada masalah, pekerjaan ada masalah. semua terasa ada masalah. Jadi numpuk sampai kadang kita tidak mampu mengingat apa ja masalah yang ada.

Panas, kering dan keras semua terasa bersama sama.
Merasa jadi orang yang paling apes dan terhina didunia ini, rasa rasanya ga kuat lagi untuk hidup.

pertanyaan yang timbul !!!!
Kemanakah kita? apa dan siapa yang kita tuju untuk mendapat jalan keluar yang pasti (tidak timbul masalah baru)?

Mudah kita mengatakan bahwa Alloh Yang Maha Segala-galanya pasti akan menolong hambanya. Siapa saja pasti bisa ngomong seperti itu?

Nyatanya dengan nambah sholat, banyak berdoa yang dikerjakan terasa seakan tidak menyelesaikan semua masalah.

Terlintas dalam alam pikir dan angannya, Alloh tidak adil, Alloh tidak mendengar doa hambanya, Pada orng lain ko di kasih yang enak-enak tapi padaku ko serba sulit dan berat.

Seperti Itu Siapakah Yang Salah? apakah Orang tua? saudara? teman atau siapa saja yang tidak mau bantu dengan alasannya masing-masing.

Ataukah Alloh yang salah?

Disitulah kelemahan seorang manusia akan terlihat dengan serba ketidak mampuan dan kehinaan yang dialami.

Perlu di sadari Bahwa Alloh itu Al-Haq. jadi Kebenarannya. Semua yang diberikan Alloh pada hamba disesuaikan pada kapasitasnya masing masing. Karena Alloh Sang Pencipta pasti tahu segalanya yang di cipta.

Kebanyakan dari kita itu lupa asal uslnya, ato lupa diri. bahwa sesuatu yang ada itu pasti ada yang mengadakan [sesuatu berati selain Alloh]. Manusi ada diadakan Oleh Alloh. Alloh Mengadakan Lengkap dengan aturan mainnya. jadi kita ja yang lupa ato ga mau tau aturan main yang ditetapkan oleh Alloh pada kita masing-masing.

sementara cukup, bila Alloh menghendaki kita sambung.

sebagai manusia biasa sepatutnya mengharap kritik dan saran pada pembaca yang dicintai Alloh. Barokalloh

Wassalamu'alaikum
 
Bls: Kosong

Nyatanya dengan nambah sholat, banyak berdoa yang dikerjakan terasa seakan tidak menyelesaikan semua masalah.

Terlintas dalam alam pikir dan angannya, Alloh tidak adil, Alloh tidak mendengar doa hambanya, Pada orng lain ko di kasih yang enak-enak tapi padaku ko serba sulit dan berat.

Seperti Itu Siapakah Yang Salah? apakah Orang tua? saudara? teman atau siapa saja yang tidak mau bantu dengan alasannya masing-masing.

Ataukah Alloh yang salah?
Mungkin yang perlu dipahami dari awal, tujuan sholat itu sebenarnya apa sih? Niat sholat itu untuk apa sih? Cuma untuk menyelesaikan masalah? Kalau gitu bisa diartikan juga ketika kita ada masalah, baru kita memperbanyak sholat. Kalau ga ada masalah ya berarti ga sholat pun ga papa. Bukankah tujuan utamanya itu untuk menyembah Tuhan?

Untuk menyelesaikan masalah tidak cukup dengan sholat dan berdoa, tapi juga dengan kita berusaha. Allah ga akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu tidak berusaha. Semisal kita miskin, apa memperbanyak sholat dan berdoa aja tanpa kita melakukan usaha, semisal cuma tidur2an, duduk2 manis, apa tiba2 bisa punya harta melimpah saat itu juga?

Allah pasti selalu mendengar doa hambanya...
Dan Allah lah yang paling tahu yang terbaik untuk hambanya.
Doa bisa dikabulkan sekarang, besok, atau puluhan tahun lagi, tentunya hanya Allah lah yang tau pasti kapan yang terbaik untuk hambanya. Atau Allah belum mempercayakan apa yang kita minta itu, mungkin karena beberapa sebab, mungkin meskipun sholat kita rajin, berdoa kita rajin, tapi mungkin makanan kita, pakaian kita, di dalam tubuh kita masih banyak hal hal yang haram. Atau jika ssuatu yang diminta dalam doa itu dikabulkan bisa membuat kita takabur, riya, dsb. Dan mungkin juga belum dikabulkannya doa itu karena Allah sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih baik buat kita. So, positif thinking aja

Intinya manusia jangan berburuk sangka kepada Allah, jangan menyalahkan Allah, banyak instropeksi aja, sudahkah kita selalu menjalankan perintah Tuhan, sudahkah kita menjauhi larangan Tuhan, sehingga kita sudah pantas membuat menuntut Tuhan untuk selalu mengabulkan doa kita... berburuk sangka juga bisa berarti kita ga pernah mau mensyukuri buanyak nikmat yang sudah Allah beri.

Dan yang perlu diingat, Allah itu sesuai dengan prasangka hambanya....
Jadi kalau kita selalu berprasangka buruk kepada Allah, siapa yang rugi? Bukankah kita sendiri...:)
 
Last edited:
Bls: Kosong

‘Barangsiapa mengenal diri (sejati)nya, akan mengenal Tuhannya’. Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu. Konon itu kata-kata Baginda Rasulullah SAW (walaupun masih ada banyak perdebatan mengenai siapa sebenarnya yang mengucapkan kata-kata tersebut, tapi di kalangan pejalan ruhani yang pernah mimpi bertemu dengan Baginda Rasul SAW, konon Beliau membenarkan bahwa kata-kata tersebut adalah kata-katanya

Tapi seberapa susahnya sebenarnya mengenal diri itu? Sebegitu pentingnya kah hal itu sehingga bisa mengantarkan seseorang pada suatu pengenalan yang sungguh agung, sesuatu yang dicita-citakan oleh siapa saja yang percaya, pengenalan akan Tuhan? Bukankah yang disebut “saya” ini ya saya, ya yang ini? Tidakkah kita semua tahu dan kenal diri kita sendiri?

Mari kita resapi kisah berikut ini.

Dalam keadaan sakratul maut, seseorang tiba-tiba merasa berada di depan sebuah gerbang. “Tok, tok, tok,” pintu diketuk.

“Siapa di situ?” ada suara dari dalam.

Lalu dia seru saja, “Saya, Tuan.”

“Siapa kamu?”

“Watung, Tuan.”

“Apakah itu namamu?”

“Benar, Tuan.”

“Aku tidak bertanya namamu. Aku bertanya siapa kamu.”

“Eh, saya anak lurah, Tuan.” Wajahnya mulai plonga-plongo.

“Aku tidak bertanya kamu anak siapa. Aku bertanya siapa kamu.”

“Saya seorang insinyur, Tuan.”

“Aku tidak menanyakan pekerjaanmu. Aku bertanya: siapa kamu?”

Sambil masih plonga-plongo karena nggak tahu mau menjawab apa, akhirnya ditemukanlah jawaban yang rada agamis sedikit.

“Saya seorang Muslim, pengikut Rasulullah SAW.”

“Aku tidak menanyakan agamamu. Aku bertanya siapa kamu.”

“Saya ini manusia, Tuan. Saya setiap Jumat pergi jumatan ke masjid dan saya pernah kasih sedekah. Setiap lebaran, saya juga puasa dan bayar zakat.”

“Aku tidak menanyakan jenismu, atau perbuatanmu. Aku bertanya siapa kamu.”

Akhirnya orang ini pergi melengos keluar, dengan wajah yang masih plonga-plongo.

Dia gagal di pintu pertama, terjegal justru oleh sebuah pertanyaan yang sungguh sederhana: siapa dirinya yang sebenarnya.

: : : : : : :

Nggak mudah, tho? Coba pikir, kita nggak paham siapa kita, maka kita punya tradisi besar mengasosiasikan sesuatu terhadap diri kita: nama, profesi, titel, jenis kelamin, warna kulit dan rambut, foto wajah (seperti yang di KTP, our identification!). Kita melabeli diri kita dengan sesuatu itu, kita pun nyaman dengan label itu, lalu merasa bahwa label itulah diri kita. Think again: apakah ‘aku’ sama dengan ‘tubuhku’?

Ah, Watung, itu cuma permainan kata!

Mungkin saja. Tapi perhatikanlah kalimat orang-orang agung itu: “Barangsiapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya.”
 
Last edited:
Bls: Kosong

“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalat-nya dan cara tasbih-nya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Q. S. An-Nuur [24] : 41)

Inilah ibadah (pengabdian) yang sejati: beribadah dengan cara melaksanakan pengabdian pada Allah dengan menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa kita diciptakan-Nya sejak awal. Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan ‘misi hidup’ atau ‘tugas kelahiran’, untuk apa kita diciptakan.

Sebagaimana sabda Rasulullah:

Dari Imran ra, saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah saw. menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk (amal) itu.” (H. R. Bukhari no. 2026).

Juga,

“…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau saw. menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.”(H. R. Bukhari no. 1777).

Tiap-tiap diri. Setiap orang. Spesifik. Masing-masing memiliki suatu alasan penciptaan, sebuah tugas khusus, sebuah amanah ilahiyah. Ketika seseorang menemukan tugas dirinya, Allah akan memudahkan dirinya beramal dalam pengabdian sejati berupa pelaksanaan akan tugas itu. Ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut. Jalan ‘yang dimudahkan kepadanya’ inilah jalan pengabdian yang sesuai misi hidup, sesuai untuk apa kita diciptakan Allah, sebagaimana Q. S. 16 : 69 tadi, “… tempuhlan jalan Rabb-mu yang dimudahkan (bagimu).”

Agama-agama timur mengistilahkan hal ini dengan kata ‘dharma’. Para wali songgo di Jawa zaman dahulu memberi istilah ‘kodrat diri’ atau kadar diri, sesuai istilah dalam Qur’an. Ada juga yang menyebutnya dengan ‘jati diri’.

Segala sesuatu diciptakan Allah dengan ketetapan, dengan tugas, dengan ukuran fungsi spesifik tertentu. Demikian pula kita masing-masing, dan berbeda untuk tiap-tiap orang. Al-Qur’an mengistilahkan hal ini dengan qadar. “Inna kulli syay’in khalaqnaahu bi qadr.”


“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadr.” (Q. S. Al-Qamar [54] : 49)

Kita, karena ke-Mahapenciptaan Allah, mustahil diciptakan-Nya secara ‘murahan’ dan ‘tidak kreatif’ sebagai sebuah produk massal. Kita sama sekali bukan mass-product, karya generik. Masing-masing kita dirancang Allah secara spesifik, tailor-made orang-per-orang, dengan segala kombinasi kekuatan dan kelemahan yang diukur dengan presisi oleh tangan-Nya sendiri.

Masing-masing kita diciptakan-Nya dengan dirancang untuk memiliki sekian kombinasi ‘kadar’ keunggulan pada sisi tertentu dan kelemahan pada sisi lainnya, demi kesesuaian untuk melaksanakan sebuah tugas, demi melaksanakan sebuah misi.

Menemukan ‘misi hidup’ adalah menemukan qadr diri kita sendiri sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas, sehingga kita memahami untuk (fungsi) apa kita diciptakan. Kita menemukan qudrah Allah yang ada dalam diri kita sendiri. Inilah maksudnya ‘mengenal diri’ dalam hadits “man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu.”.

“Siapa yang mengenal jiwa (nafs)-nya, akan mengenal Rabb-nya.”

Tentu saja, dengan mengenal jiwa (nafs) otomatis juga mengenal Rabb, karena pengetahuan tentang fungsi dan kesejatian diri kita hanya bisa turun langsung dari sisi Allah ta’ala dan bukan dikira-kira oleh kita sendiri. Turunnya pengetahuan sejati (’ilm) tentang ini bukan kepada jasad maupun kepada otak di jasad kita ini; melainkan hanya kepada jiwa (nafs), diri kita yang sesungguhnya. Dalam jiwa (nafs) kitalah tersimpan pengetahuan tentang diri dan pengetahuan tentang Allah, karena nafs-lah yang dahulu mempersaksikan Allah dan berbicara dengan-Nya, sebagaimana diabadikan oleh Al-Qur’an di surat Al-A’raaf [7] : 172;


“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan dari bani Adam, dari punggung mereka, keturunan-keturunan mereka, dan mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa (nafs-nafs; anfus) mereka (seraya berkata): ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu.’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi’….” (Q. S. [7] : 172)

Ketika kita mengenal jiwa (nafs), kita mendapatkan pengetahuan tentang Allah, qudrah Allah dan qadr diri yang tersimpan dalam jiwa kita. Dengan demikian, kita pun mengenal Allah dan juga mengenal fungsi spesifik untuk apa kita diciptakan-Nya (mengenal diri). Dengan melaksanakan fungsi tersebut, maka kita pun melaksanakan pengabdian yang sejati kepada Allah sesuai tujuan-Nya menciptakan kita. Kita mulai mengabdi (ya’bud) di atas agama-Nya (Ad-Diin) dengan hakiki. Inilah maksud perkataan sahabat Ali r. a. yang termasyhur: “Awaluddiina Ma’rifatullah.”

“Awal Ad-Diin adalah mengenal Allah (ma’rifatullah)” (Sahabat Ali r. a.)

Demikianlah pengabdian (ibadah) yang hakiki. ‘Ibadah’ bukanlah sekedar puasa, shalat, zakat, dan semacamnya; melainkan jauh, jauh lebih dalam dari itu. ‘Ibadah’ berasal dari kata ‘abid, bermakna, ‘abdi’, ‘hamba’, atau ‘budak’. ‘Ibadah’ pada hakikatnya adalah sebuah pengabdian, atau penghambaan diri. Dan pengabdian yang hakiki adalah pengabdian dengan menjalankan tugas ilahiyah sesuai dengan keinginan-Nya, menurut kehendak-Nya, untuk fungsi apa Dia menciptakan kita.

Demikian pula, status ‘Abdullah’ (’abdi Allah/hamba Allah) maupun ‘Abdina’ (hamba Kami) adalah mereka yang sudah mengenali tugasnya dan sudah berfungsi sesuai dengan yang sebagaimana Allah kehendaki bagi dirinya. ‘Hamba Allah’ adalah sebuah status yang tinggi.

Sekarang, insya Allah kita jadi sedikit lebih memahami makna ‘dalam’ dari ayat tujuan penciptaan jin dan manusia, “wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun.”


“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah mengabdi/menghamba (ya’bud) kepada-Ku.” (Q. S. Adz-Dzariyaat [51] : 56)

Demikian pula pada Q. S. Al-Faatihah [1] : 5,


“Kepada Engkau kami mengabdi/menghamba (‘na’bud’,* dari ‘abid,), dan kepada Engkau kami memohon pertolongan.” (Q. S. Al-Faatihah [1] : 5)

Semoga kelak kita diizinkan Allah mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki, dengan dijadikan Allah termasuk ke dalam golongan ‘Abdullah’.

Semoga bermanfaat,
 
Back
Top