Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat

nurcahyo

New member
HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : 'Apa yang harus dilakukan oleh seseorang, apabila ia telah menyuruh keluarganya untuk mengerjakan shalat namun mereka tidak memperdulikannya, apa ia tetap tinggal bersama mereka dan bergaul dengan mereka atau keluar dari rumah itu ?'

Jawaban.
Jika keluarganya tidak mau melaksanakan shalat selamanya, berarti mereka kafir,murtad, keluar dari Islam, maka ia tidak boleh tinggal bersama mereka. Namun demikian ia wajib menda'wahi mereka dan terus menerus mengajak mereka, mudah-mudahan Allah memberi mereka petunjuk, karena orang yang meninggalkan shalat hukumnya kafir berdasarkan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta pendapat para sahabat dan pandangan yang benar.

Dalil dari Al-Qur'an adalah firman Allah tentang orang-orang musyrik.

'Artinya : Jika meerka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu segama' [At-Taubah : 11]

Artinya, jika mereka tidak melakukan itu, berarti mereka bukanlah saudara-saudara kita. Memang persaudaraan agama tidak gugur karena perbuatan maksiat walaupun besar, namun persaudaraan itu akan gugur ketika keluar dari Islam.

Dalil dari As-Sunnah adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

'Artinya : Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat'? [Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman (82)]

Disebutkan pula dalam Shahih Muslim sabda beliau dalam hadits Buraidah Radhiyallahu 'anhu dan kitab-kitab sunan.

'Artinya : Perjanjian (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir?€? [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/346) dan para penyusun kitab Sunnan denan isnad shahih, At-Turmudzi, kitab Al-Iman (2621), An-Nasa'i, kitab Ash-Shalah (1/232), Ibnu Majah, kitab Iqamatus Shalat (1079)]

Ucapan para sahabat : Amirul Mukminin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata, 'Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat'[Hadits Riwayat Malik, kitab Ath-Thaharah], Maksudnya, tidak ada bagian baik sedikit maupun banyak. Abdullah bin Syaqiq mengatakan, 'Para sahabat Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam tidak memandang suatu amalpun yang apabila ditinggalkan akan menyebabkan kekafiran, selain shalat'

Adapun berdasarkan pandangan yang benar, dikatakan, apakah masuk akal bahwa seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan sebesar biji sawi, ia mengetahui agungnya shalat dan pemeliharaan Allah terhadapnya, namun ia malah senantiasa meninggalkannya ? Tentu saja ini tidak masuk akal. Jika diperhatikan alasan-alasan orang yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat tidak menyebabkan kekufuran, maka akan ditemukan alasan-alasan itu tidak keluar dari lima hal.

[1] Karena tidak ada dasar dalilnya
[2] Atau, hal itu terkait dengan suatu kondisi atau sifat yang menghalanginya sehingga meninggalkan shalat
[3] Atau, hal itu terkait dengan kondisi yang diterima udzurnya untuk meninggalkan shalat.
[4[ Atau, hal itu bersifat umum kemudian dikhususkan dengan hadits-hadits yang mengkafirkan orang-orang yang meninggalkan shalat.
[5] Atau, hal itu lemah sehingga tidak bisa dijadikan alasan.

Setelah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, maka berlaku padanya hukum-hukum orang murtad. Lagi pula, tidak disebutkan dalam nash-nash bahwa orang yang meninggalkan shalat itu Mukmin, atau masuk surga, atau selamat dari neraka, dan sebagainya, yang memalingkan kita dari vonis kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat menjadi vonis kufur ni'mat atau kufur yang tidak menyebabkan kekafiran. Di antara hukum-hukum murtad yang berlaku terhadap orang yang meninggalkan shalat :

Pertama : Ia tidak sah menikah. Jika terjadi akad nikah maka nikahnya batal dan isterinya tidak halal baginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala tentang para wanita yang berhijrah.

'Artinya : Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka'? [Al-Mumtahanan : 10]

Kedua : Jika ia meninggalkan shalat setelah akad nikah, maka pernikahannya menjadi gugur sehingga isterinya tidak halal baginya. Hal ini juga berdasarkan ayat yang telah disebutkan tadi. Dan menurut rincian para ahlul ilmi, bahwa hukum ini berlaku baik setelah bercampur maupun belum.

Ketiga : Orang yang tidak melaksanakan shalat, jika ia menyembelih hewan, maka daging hewan sembelihannya tidak halal dimakan, karena daging itu menjadi haram. Padahal sembelihan orang yahudi dan nashrani dihalalkan bagi kita untuk memakannya. Ini berarti 'na'udzu billah- sembelihan orang yang tidak shalat itu lebih buruk daripada sembelihan orang yahudi dan nashrani.

Keempat : Ia tidak boleh memasuki Makkah atau batas-batas kesuciannya berdasarkan firman Allah Ta'ala.

'Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana' [At-Taubah : 28]

Kelima : Jika ada kerabatnya yang meninggal, maka ia tidak boleh ikut serta dalam warisan. Misalnya, ada seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak yang tidak shalat. Orang yang meninggal itu seorang muslim yang shalat, sementara si anak itu tidak shalat, disamping itu ada juga sepupunya. Siapakah yang berhak mewarisinya ? Tentu saja sepupunya, adapun anaknya tidak ikut mendapat warisan, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ?€˜alaihi wa sallam dalam hadits Usamah.

'Artinya : Seorang muslim tidak mewarisi yang kafir dan seorang kafir tidak mewarisi orang muslim?€? [Muttafaq 'alaihi, Al-Bukhari, kitab Al-Fara'idh (6764), Muslim, kitab Al-Faraidh 91614)]

Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

'Artinya : Bagikan harta warisan kepada apara ahlinya, adapun sisanya adalah untuk laki-laki yang paling berhak'? [Al-Bukhari, kitab Al-Faraidh (6732), Muslim, kitab Al-Fara'idh (1615)]

Keenam : Jika ia meninggal, maka mayatnya tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan dan tidak dikubur di pekuburan kaum muslimin. Lalu, apa yang harus kita lakukan ? Kita keluarkan mayatnya ke padang pasir, lalu dibuatkan lobang, kemudian kita kubur langsung dengan pakaiannya, karena mayat itu tidak terhormat. Berdasarkan ini, tidak boleh seseorang yang ditinggal mati oleh orang yang tidak shalat, untuk mempersilahkan kaum muslimin menyalatinya.

Ketujuh : Bahwa pada hari kiamat nanti ia akan dikumpulkan bersama Fir'aun, Haman, Qarun, Ubay bin Khalaf dan para pemimpin kaum kafir -na'udzu billah-, dan tidak akan masuk surga. Kemudian, tidak boleh keluarganya untuk memohonkan rahmat dan ampunan baginya, karena ia seorang kafir yang tidak berhak mendapatkan itu, hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala.

'Artinya : Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam' [At-Taubah : 113]

Jadi, saudara-saudaraku, masalah ini sangat berbahaya, namun sayangnya, masih ada orang yang menganggap remeh masalah ini, diantaranya ialah dengan menempatkan orang yang tidak shalat dirumahnya, padahal itu tidak boleh. Wallahu 'alam

Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. [Risalah Shifat Shalatin Nabiy, hal-29-30, Ibnu Utsaimin]

[Disalin dari bukuAl-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 180-184 Darul Haq]
 
Last edited:
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu
Langsung saja, sedikit komentar dari saya. Syeikh Al-Utsaimin terlalu gegabah dalam menghukumi kekafiran seseorang. Kesemua hadis di atas tidak ada yang menunjukkan secara tegas bahwa orang yang tidak shalat murtad secara otomatis. Padahal iman atau kafirnya seseorang adalah hal sangat fundamental, tentulah ketentuannya akan sangat tegas dijelaskan oleh Rasulullah. Hadis "Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat'? [Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman (82)" hanya menunjukkan pengumpamaan bahwa seorang mukmin yang tidak shalat perilakunya sama dengan orang kafir, tapi tidak secara otomatis menjadi kafir (kecuali kalau dia sampai mengatakan bahwa shalat tidak wajib). Lagi pula terjemahan Akhi kaya'nya juga salah. coba dichek lagi text hadis aslinya, sebab kalau Akhi salah publikasikan sesuatu yang salah, AAkhi bertanggung jawab dunia akhirat.
Kemudian akan saya kritisi juga pendapat Syeikh, "Adapun berdasarkan pandangan yang benar, dikatakan, apakah masuk akal bahwa seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan sebesar biji sawi, ia mengetahui agungnya shalat dan pemeliharaan Allah terhadapnya, namun ia malah senantiasa meninggalkannya ? Tentu saja ini tidak masuk akal." Yang saya tangkap dari ungkapan ini adalah tidak mungkin orang yang memiliki iman di dalam hatinya akan meninggalkan shalat. Maka, orang yang meninggalkan shalat pasti telah tanggal keimananya dan menjadi kafir. Logika seperti ini sama dengan logika kaum mu'tazilah yang mengatakan, "Apakah mungkin orang yang di dalam hatinya ada iman akan melakukan dosa besar?" Sehingga kesimpulan akhirnya adalah bahwa orang yang melakukan dosa besar status kemukminannya tercabut. Bukankah argumen seperti Syaikh persis logika kaum mu'tazilah yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar tidaklah mu'min. Bedanya adalah kaum mu'tazilah menganggap pelaku dosa besar, seperti meninggalkan shalat, tidak juga menjadi kafir, sedangkan Syeikh Al-Utsaimin secara tegas memasukan orang yang meninggalkan shalat sebagai kafir. Apa persamaannya? 1. Kedua-duanya menganggap bahwa orang yang meninggalkan sholat statusnya murtad. 2. Keduanya akhirnya menggunakan logika yang sama, yakni hilangnya iman seseorang di saat melakukan dosa besar. Saya harap Akhi melihat semua pendapat ulama juga dengan cara pandang yang kritis supaya tidak menjadi taqlid. Biasanya ketika memandang pendapat seorang ulama, kita akan mengatakan, "Beliau sangat luas ilmunya, sementara kita siapa? Kita tidak pantas mengkritisi beliau." Inilah yang disebut taklid, seperti yang terjadi pada saudara-saudara kita dari kelompok yang lain.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu
 
Back
Top