Nilai Sebuah Keikhlasan

T-Rex

New member
Ikhlas kepada Allah maknanya ?seseorang memaksudkan ibadahnya untuk taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan menjadikannya perantara untuk mengantarkannya ke negeri yang mulia (surga)?. Jika seorang hamba dalam ibadahnya menginginkan sesuatu yang lain, maka terdapat perincian sebagaimana pembagian berikut,

Pertama, dengan ibadah yang dilakukannya dia ingin mendekatkan diri kepada selain Allah subhanahu wa ta'ala dan memperoleh pujian makhluk atas perbuatannya itu, maka yang seperti ini menggugurkan amal dan termasuk syirik. Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah shalallahu alaihi wa salam bersabda, ?Allah subhanahu wa ta'ala berkata:

?Sesungguhnya Akulah yang paling tidak membutuhkan persekutuan di antara sekutu-sekutu (yang dijadikan oleh manasia). Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang dalam amalnya itu dia menjadikan selain-Ku sebagai sekutu bersama-Ku, maka Aku tinggalkan dia dengan sekutunya itu.? (HR Muslim)

Maksudnya bahwa Allah tidak mengacuhkannya di akhirat (dimasukkan ke neraka-Nya)

Kedua, dia memaksudkan ibadahnya untuk tujuan-tujuan duniawi, serperti kekuasaan, pengaruh, dan harta benda, tanpa memaksudkan pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Yang seperti ini pahala amalnya terhapus dan tidak mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta'ala, sebagaimana firman-Nya,

?Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh bagian di akhirat, kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.? (QS Hud: 15-16).

Perbedaan antara jenis ini dengan yang sebelumnya adalah bahwa yang pertama tujuannya mengharapkan pujian bahwa dia adalah seorang hamba Allah subhanahu wa ta'ala, sedangkan yang kedua tidak memaksudkan perbuatannya untuk (mendapatkan) pujian bahwa dia hamba Allah, tidak juga peduli dengan pujian manusia atas perbuatannya.

Ketiga, dia memaksudkan dengan ibadahnya pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala sekaligus tujuan-tujuan duniawi yang dihasilkannya, seperti di samping bermaksud ibadah, ketika bersuci dia bermaksud menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran-kotorannya, ketika shalat dia bermaksud mengolah dan menggerakkan tubuh, ketika puasa dia bermaksud melangsingkan badan dan mengurangi kegemukan, ketika haji dia bermaksud dapat melihat syiar-syiar Islam dan para jamaah haji. Yang seperti ini mengurangi pahala ikhlas. Jika keinginannya ini lebih mendominasi daripada niat beribadah, maka dia kehilangan kesempurnaan pahala, tetapi tidak menjadikannya berdosa atau maksiat, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala,

?Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu.? (QS. Al-Baqarah: 198).

Jika niat selain ibadah yang lebih mendominasi, maka dia tidak mendapatkan pahala di akhirat, tetapi pahalanya adalah apa yang dia dapatkan di dunia. Saya khawatir dia berdosa karenanya, karena telah menjadikan ibadah, yang merupakan tujuan tertinggi, sebagai wasilah untuk mendapatkan dunia yang hina. Keadaannya seperti orang-orang yang Allah subhanahu wa ta'ala katakan dalam firman-Nya,

?Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian dariny, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, dengan serta mereka menjadi marah.? (QS. At-Taubah: 58).

Diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah shalallahu alaihi wa salam bahwa seorang lelaki berkata, ?Wahai Rasulullah, seorang laki-laki ingin berjihad dan juga ingin mendapatkan bagian dari perkara dunia.? Nabi shalallahu alaihi wa salam menjawab, ?Dia tidak mendapat pahala.? Orang itu mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali dan Nabi shalallahu alaihi wa salam (tetap) menjawab, ?Dia tidak mendapat pahala.? (HR Abu Dawud).

Diriwayatkan pula di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Umar bin al-Khattab radhiallahu anhu bahwa Nabi shalallahu alaihi wa salam bersabda,

?Barangsiapa berhijrah untuk mendapatkan kepentingan dunia atau wanita yang ingin dia nikahi, maka (pahala) hijrahnya (sekadar) apa yang dia hijrahi.?

Jika kedua niat tersebut sama, tidak ada yang lebih mendominasi, baik niat beribadah maupun niat selain beribadah maka hal ini menjadi masalah yang diperselisihkan (memerlukan penelitian). Namun, yang lebih dekat pada kebenaran adalah bahwa dia tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal untuk Allah dan juga untuk selain-Nya.

Perbedaan antara jenis ini dan yang sebelumnya, bahwa tujuan selain ibadah pada jenis sebelumnya timbul karena kebutuhan, sehingga keinginannya adalah terhadap yang dihasilkan dari kebutuhannya. Sepertinya dia ingin apa yang dihasilkan dari perbuatannya adalah perkara-perkara dunia.

Jika ada yang bertanya, ?Apa timbangan untuk dapat menentukan bahwa keinginannya pada jenis ini lebih mendominasi kepada beribadah kepada selain-Nya??

Kita jawab, ?Timbangannya adalah jika dia tidak peduli dengan tujuan selain ibadah, baik itu diraihnya atau tidak, maka hal itu menunjukkan bahwa niat beribadah lebih mendominasi. Begitu pula sebaliknya.?

Yang jelas bahwa niat yang merupakan ucapan hati. Perkaranya amatlah penting dan merupakan hal yang amat urgen, bisa mengantarkan seorang hamba ke derajat shiddiqin, bisa pula menjerumuskannya ke tempat yang paling rendah. Berkata sebagian salaf, ?Tidaklah aku bersungguh-sungguh terhadap diriku atas sesuatu daripada kesungguhan berikhlas.?

Kita meminta kepada Allah agar memberikan kita niat yang ikhlas dan kesalehan dalam beramal.

Sumber: Majalah Fatawa Vol 02/Th II/ 1425 H ? 2004 M, dari fatwa Syaikh Muhammad Al-Utsaimin.
 
Back
Top