Menghormati Ulama

nurcahyo

New member
MENGHORMATI ULAMA


Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-?Abbad Al-Badr
Bagian Terkahir dari Dua Tulisan 2/2




Sa?id bin Al-Musayyab (wafat 93H) berkata, ?Seorang ulama, orang yang mulia, atau orang yang memiliki keutamaan tidak akan luput dari kesalahan. Akan tetapi, barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangannya itu akan tertutup oleh keutamaannya. Sebaliknya, orang yang kekurangannya mendominasi, maka keutamaannya pun akan tertutupi oleh kesalahannya itu?

Para salaf yang lain berkata, ?Tidak ada seorangpun ulama yang terbebas dari kesalahan. Barangsiapa yang sedikit salahnya dan banyak benarnya maka dia adalah seorang ?alim. Dan barangsiapa yang salahnya lebih banyak dari benarnya maka dia adalah orang yang jahil (bodoh)? [Lihat Jami? Bayan Fadhli Al-Ilmi karya Ibnu Abdil Barr (II/48).

Abdullah bin Al Mubaraak (wafat 181H) berkata,?Apabila kebaikan seorang lebih menonjol daripada kejelekannya maka kejelekannya tidak perlu disebutkan. Sebaliknya, apabila kejelekan seseorang lebih menonjol daripada kebaikannya maka kebaikannya tidak perlu disebutkan? [Lihat kitab Siyar ?Alam An Nubala karya Adz-Dzahabi VIII/352 cetakan pertama]

Imam Ahmad (wafat 241H) berkata, ?Tidak ada seorangpun yang melewati jembatan (keluar) dari Khirasan seperti Ishak bin Ruhawaih, meskipun beliau berselisih dengan kami dalam banyak hal. Manusia memang akan senantiasa saling berbeda pendapat? [Lihat kitab Siyar A?lam An-Nubala? XI/371]

Abu Hatim ibnu Hibban (wafat 354H) berkata, ?Abdul Malik ?yaitu anak dari Abu Sulaiman- adalah termasuk penduduk Kuffah yang terbaik dan termasuk seorang penghafal hadits. Akan tetapi, orang-orang yang menghafal dan meriwayatkan hadits darinya biasanya akan salah. Termasuk tindakan yang tidak adil meninggalkan seluruh hadits dari seorang syaikh yang kokoh hapalannya dan telah jelas kejujurannya, hanya dikarenakan beberapa kesalahannya dalam meriwayatkan hadits. Kalau kita menempuh cara seperti ini, maka konsekwensinya adalah kita akan meninggalkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri, Ibnu Juraij, Ats Tsauri, dan Syu?bah. Hal ini karena meskipun mereka adalah para penghafal hadits yang kokoh hapalannya, yang meriwayatkan hadits dari hafalan mereka, akan tetapi mereka bukanlah orang yang ma?shum (terjaga dari kesalahan) sehingga maungkin saja mereka terjatuh dalam kesalahan. Jadi, tindakan yang tepat adalah bahwa seorang yang kuat hafalannya (selagi periwayatannya benar) kita terima riwayatnya dan kalau periwayatannya salah kita tinggalkan. Ini apabila secara keseluruhan kesalahan mereka tidak mendominasi. Apabila kesalahan mereka lebih mendominasi, maka dalam keadaan seperti itu periwayatan mereka kita tinggalkan? [Lihat kitab Ats Tsiqat VII/97-98]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728H) berkata, ?perlu diketahui bahwa kelompok-kelompok yang menisbatkan kepada figure-figur tertentu dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) dan juga kelompok ahli kalam, mereka terdiri dari beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang menyelisihi sunnah pada masalah yang sangat prinsipil dan ada juga yang menyelisihi sunnah pada persoalan samar (sulit diketahui benar tidaknya).

Bila ada dari mereka yang membantah kebatilan kelompok lainnya yang lebih menyimpang dari sunnah, maka kita puji bantahan mereka dan kebenaran yang mereka ucapkan. Akan tetapi, sayang, terkadang mereka melampui batas dalam menyampaikan bantahan tersebut. Terkadang dalam bantahan tersebut mereka menyalahi kebenaran dan mengatakan hal-hal yang batil. Terkadang mereka membantah bid?ah yang besar dengan bid?ah yang lebih ringan ; membantah kebatilan dengan kebatilan yang lebih ringan. Ini sering kita jumpai di kalangan ahli kalam yang menisbatkan diri mereka kepada Ahlussunnah wal Jama?ah.

Orang-orang seperti mereka itu, meskipun perbuatan bid?ahnya tidak membuat mereka keluar dari jama?ah kaum muslimin, tetapi karena bid?ah tersebut mereka jadikan dasar saling loyal dan saling memusuhi, maka tetap saja perkara tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan. Akan tetapi, Allah mengampuni orang-orang mu?min yang melakukan kesalahan seperti ini.

Banyak para Salaf dan para imam yang terjatuh pada kesalahan yang semacam itu. Mereka lontarkan perkataan-perkataan berdasarkan ijtihad mereka yang ternayat bertentangan dengan Al-Qur?an dan Sunnah. Akan tetapi, tindakan para Salaf tadi berbeda dengan orang-orang yang mau loyal terhadap orang-orang yang menyetujui pendapatnya, sementara memusuhi orang-orang yang menyelisihi pendapatnya, serta memecah belah jama?ah kaum muslimin, mengkafirkan dan memberi cap fasiq ; bahkan menghalalkan jiwa orang-orang yang menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang didasarkan pada pendapat dan ijtihad.Mereka ini adalah kelompok yang suka memecah belah dan senang bertengkar? [Lihat kitab Majmu ?Al-Fatawa III/348-349]

Beliau berkata pada halaman lain (XIX/191-192) , ?Banyak para ulama ahli ijtihad yang Salaf maupun khalaf, mereka mengatakan sebuah perkataan atau melakukan perbuatan yang termasuk kebid?ahan sementara mereka tidak mengetahui bahwa perkara tersebut adalah bid?ah. Hal itu dikarenakan beberapa sebab, di antaranya karena mereka menetapkan shahih sebuah hadits padahal dha?if, atau dikarenakan pemahaman yang salah terhadap ayat-ayat Al-Qur?an. Ada kalanya hal itu juga dikarenakan mereka ijtihad dalam sebuah masalah, padahal dalil-dalil yang menjelaskannya,namun dall-dalil tersebut belum sampai kepada mereka. Apabila tindakan mereka itu masih dalam rangka melakukan ketakwaan kepada Allah semampu mereka, maka mereka termasuk dalam firman Allah Ta?ala.

?Artinya : Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kamu tersalah? [Al-Baqarah : 286]

Dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Allah menjawab, ?Sungguh, telah Aku lakukan?.

Adz-Dzahabi (wafat 748H) mengatakan, ?Sesungguhnya seorang ulama besar, apabila kebenarannya lebih banyak, dan diketahui bahwa dirinya adalah pencari kebenaran, luas ilmunya, tampak kecerdasannya, dikenal kepribadiannya yang shalih, wara? dan berusaha mengikuti sunnah maka kesalahannya dimaafkan. Kita tidak boleh mencap sesat, tidak boleh meninggalkannya, dan melupakan kebaikannya. Memang benar, kita tidak boleh mengikuti bid?ah dan kesalahannya. Kita do?akan semoga dia bertaubat dari perkara itu. [Lihat Siyar A?lam An-Nubala V/271]

Beliau menambahkan, ?Kalau setiap kali seorang ulama (kaum muslimin) salah berijtihad dalam suatu permasalahan yang bisa dimaaflkan kita bid?ahkan dan kita jauhi, maka tidak ada seorang pun yang selamat, apakah itu Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau orang yang lebih hebat dari keduanya sekalipun. Allah yang memberi petunjuk kebenaran kepada makhlukNya, dan Dia adalah dzat Yang Maha Penyayang. Kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan perangai yang kasar? [Lihat Siyar A?lam An-Nubala XIV/39-40]

Beliau juga berkata, ?Kalau setiap orang-orang yang salah berijtihad kita tahdzir dan kita bid?ahkan, padahal kita mengetahui bahwa dia memiliki iman yang benar dan berusaha keras mengikuti kebenaran, maka amat sedikit ulama yang selamat dari tindakan kita. Semoga Allah merahmati semuanya dengan karunia dan kemuliaanNya? [Lihat Siyar A?lam An-Nubala XIV/376]

Beliau menambahkan, ?Kami mencintai sunnah dan para pengikutnya. Kami mencintai ulama dikarenakan sikap mereka yang berusaha mengikuti sunnah dan juga sifat-sifat terpuji yang mereka miliki. Sebaliknya, kami membenci perkara-perkara bid?ah yang dilakukan ulama yang biasanya dihasilkan dari penakwilan-penakwilan. Sesungguhnya yang menjadi parameter adalah banyaknya kebaikan yang dimiliki? [Lihat Siyar A?lam An-Nubala XX/46]

Ibnul Qayyim (wafat 751H) berkata, ?Mengenal keutamaan, kedudukan, hak-hak dan derajat para ulama Islam, dan mengetahui bahwa keutamaan mereka, ilmu mereka miliki, dan keikhlasan yang mereka lakukan semata-mata karena Allah dan Rasulullah, tidak mengharuskan kita menerima seluruh perkataan mereka. Begitu juga, apabila ada fatwa-fatwa mereka tentang permasalahan yang belum mereka ketahui dalil-dalinya, kemudian mereka berijtihad sesuai dengan ilmu yang mereka miliki, dan ternyata salah, maka hal itu tidak mengharuskan kita membuang seluruh perkataan mereka atau mengurangi rasa hormat kita, atau bahkan mencela mereka. Dua sikap diatas menyimpang dari sikap yang adil. Sikap yang adil adalah tengah-tengah di antara kedua sikap tersebut. Kita tidak boleh menganggap seseorang selalu dalam kesalahan dan juga tidak boleh menganggapnya sebagai orang yang maksum (terbebas dari kesalahan)?

Dia menambahkan, ?Barangsiapa yang memiliki ilmu tentang syari?at dan kondisi riil masyarakat, maka dia akan mengetahui secara pasti bahwa seseorang yang terhormat serta memiliki perjuangan dan usaha-usaha yang baik untuk Islam, bahkan mungkin seorang yang disegani di tengah-tengah umat Islam, bisa saja melakukan kekeliruan dan kesalahan yang bisa ditolerir, yang malah mendapatkan pahala karena telah berijtihad. Akan tetapi, kesalahan yang dilakukannya tidak boleh kita ikuti, dan dia tidak boleh dijatuhkan kehormatan dan kedudukannya dari hati kaum muslimin? [Lihat kitab I?lam Al-Muwaqqi?in III/295]

Ibnu Rajab Al-Hambali (wafat 795H) berkata, ?Allah Ta?ala enggan memberikan kemaksuman untuk kitab selain kitabNya. Orang yang adil adalah orang yang memaafkan kesalahan orang lain yang sedikit karena banyak kebenaran yang ada padanya? [Lihat kitab Al-Qawa?id hal.3]

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir & Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al?Abbad Al-Badr, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]
 
Back
Top