masykur
Mod
Penguasaan bahasa Al-Quran
Sebagai Penangkal ‘Gombalisasi’ Umat Islam
Sebagai Penangkal ‘Gombalisasi’ Umat Islam
Seorang dosen agama di IKIP Jakarta bercerita tentang pengalamannya pertama kali datang ke Arab. Ia yang sudah begitu tekun mempelajari bahasa Arab di tanah airnya setibanya di Arab menjadi bingung karena setiap orang yang dijumpainya tidak ada yang memahami kata-katanya, sehingga ia terpaksa menggunakan bahasa Inggris.
Namun ketika menginap di hotel ia ‘beruntung’ karena bertemu seorang porter yang memahami bahasa Arabnya. Kepada orang inilah ia bertanya mengapa orang orang Arab yang dijumpainya tidak memahami kata-katanya. “Sungguh, saya merasa malu karena saya pikir bicara saya mungkin salah,” katanya.
“Tidak, bahasa anda baik sekali,” kata si porter, tapi, “kalamuka laysa kalamuna wa lakin kalamul-anbiya’ wal-mursalin wal-’ulama’.” (Bahasa yang anda gunakan itu bukan bahasa kami tapi bahasa para nabi, para rasul, dan ulama).
Setelah terbengong agak lama, sang dosen bertanya, “Tapi kok anda bisa mengerti?”
“Saya pernah belajar di perguruan tinggi.”
Tuntutan logis peradaban?
Dalam sebuah buku yang memuat sepuluh nasihatnya, Hassan Al-Banna menyatakan keprihatinannya :
“Mula-mula musibah yang menghancurkan bangsa Arab merobohkan potensi yang ada, adalah keteledoran mereka sendiri. Mereka banyak menyia-nyiakan waktu dan meremehkan bahasa agama (Islam).
Mereka tidak berani menekuni secara menyeluruh dalam mempelajari bahasa itu sehingga menjadi bahasa tulis dan percakapan.
Mereka lebih cenderung dan lebih fasih menggunakan bahasa asing.
Lebih fasih dalam memakai, menyusun kata dalam berbicara. Semakin kuat kefasihan berbahasa, kebanyakan manusia cenderung memakainya, kecuali orang yang benar-benar dipelihara Allah.
Demikian Hassan Al-Banna dalam Washa al-’Asyr Li-l-Imam Asy-Syahid Hassan Al-Banna.
Bahasa dan Islam
Islam adalah satu-satunya agama yang memandang bahasa sebagai alat yang penting untuk memelihara keutuhan dan kemurnian ajarannya. Karena itulah ada kelompok ulama yang berpendapat bahwa Quran tidak boleh diterjemahkan ke bahasa lain. Namun segolongan lain berpendapat bahwa penerjemahan itu boleh, bahkan harus dilakukan, namun naskah aslinya tidak boleh diabaikan.
Pendapat pertama nampak kaku dan sempit. Namun sebenarnya di situ tersirat suatu sikap bertanggung-jawab yang mendalam. Dengan tidak boleh diterjemahkan, berarti tidak perlu ada kitab-kitab tandingan bagi Quran. Dengan demikian juga berarti bahwa siapa pun yang ingin memahami Quran maka ia harus mempelajari bahasanya. (Ini dilakukan para orientalis, namun jarang dilakukan umat Islam!).
Bila prinsip ini ditegakkan, maka kegiatan mempelajari bahasa Quran akan digalakkan. Bahasa Quran akan menjadi bahasa kedua umat Islam setelah bahasa ibunya. Bahasa Quran akan menjadi bahasa pergaulan, menjadi alat pemersatu, menjadi identitas umat Islam sedunia.
Dengan kata lain, terjadilah globalisasi bahasa Quran. Keutuhan Quran akan semakin terjamin.
Bila bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris (dan bahasa-bahasa lain) tidak mau menerjemahkan buku-buku ilmiah mereka ke bahasa Arab (dan bahasa-bahasa lain), karena alasan ingin mempertahankan nilai ilmiahnya, maka Quran pun tidak perlu diterjemahkan ke bahasa apa pun demi memelihara nilai ilmiahnya!
Dengan demikian, umat Islam pun akan mendapatkan pengetahuan agama yang obyektif, karena akrab dengan kitab sucinya, karena peran bahasa difungsikan dalam pendidikan, dalam proses pembentukan kepribadian Islami.
Sayang, akhirnya pendapat kedualah yang menang, meskipun mungkin cuma sementara. Pendapat yang kedua ini memang terasa moderat (lunak) dan praktis, sehingga bisa diterima secara umum. Karena itulah kini kita menjumpai banyak buku terjemahan maupun tafsir Quran, dengan tulisan aslinya yang selalu diletakkan di sisi terjemahannya; seolah mengingatkan bahwa penerjemahan Quran tidak akan pernah berhasil sempurna. Namun yang tidak sempurna itulah (dalam arti bisa salah fatal) yang akhirnya dicekokkan kepada umat yang awam.
Bahkan kita lihat dalam kenyataan sehari hari bagitu banyak orang yang ‘fanatik’ terhadap Islam, lancar berbicara tentang Islam, namun membaca mushaf mereka tidak bisa, atau cuma bisa terbata-bata seperti anak kecil yang belum hafal nama-nama huruf.
Bagi mereka bahasa Quran memang merupakan bahasa yang sangat asing, bila dibandingkan dengan bahasa Inggris dan “bahasa-bahasa penting” lainnya, karena mempelajarinya pun mereka tidak mau. Ironisnya, mereka justru punya setumpuk argumen untuk menentang pentingnya mempelajari bahasa Quran.
Teman penulis, seorang sarjana ilmu dakwah IAIN, suatu ketika berkata, “Kenapa harus susah-susah belajar bahasa Arab? Bukankah terjemahan Quran sudah banyak dibuat orang, dan buku-buku agama sudah banyak yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia?”
Itulah contoh dari sekelompok orang yang cenderung instant minded, mau serba cepat, sehingga agama pun dianggap sebagai sejenis fast food, seperti mie instant, yang bisa dimakan setelah dimasak lima menit, atau langsung saja disantap seperti kerupuk, bila perlu.
Mereka tidak menyadari fungsi bahasa sebagai alat pembentukan kepribadian; tidak memahami bahwa dalam suatu bahasa terkandung suatu bentuk kebudayaan.
Pengasingan bahasa Quran terjadi karena kecerobohan dan kelalaian umat Islam, politik penjajah, dan selanjutnya karena ‘kepanikan’ para juru da’wah. Yang terakhir, mungkin karena ingin mengislamkan orang secara cepat, demi mengejar dan kemudian mempertahankan kuantitas, maka langsung atau tidak langsung mereka memandang bahasa Quran sebagai penghambat bagi “syi’ar Islam”.
Padahal dalam Quran ada sejumlah ayat yang melarang kita bersikap tergesa-gesa, dan beberapa ayat lain, yang didukung banyak Hadis, menyuruh kita berusaha mempelajari Quran secara perlahan. Lagipula, Allah sendiri menurunkan Quran secara bertahap, selama sekitar 23 tahun.
Belakangan ini telah tumbuh subur taman kanak-kanak Al-Quran yang menggunakan metode IQRA dan sebagainya. Metode pengajaran membaca Quran yang praktis telah ditemukan di Indonesia (dan konon sudah diekspor ke Arab!).
Namun kesadaran untuk mempelajari bahasa Quran masih memprihatinkan. Bahkan cukup sulit menemukan guru agama, guru mengaji, imam masjid, pengajar IQRA, yang mengenal bahasa Quran.
Alangkah baiknya bila setelah lancar membaca Quran anak-anak itu (juga para orang dewasa) kemudian dibimbing mempelajari bahasa Quran dengan cara mudah dan menyenangkan.
Alangkah baiknya bila lagu-lagu yang diajarkan kepada anak-anak itu digubah dalam bahasa Arab, bukan dalam bahasa Inggris seperti yang kini banyak beredar. Syair-syair berbahasa Inggris yang diiringi lagu-lagu indah sudah banyak dibuat orang. Haruskah kita membantu usaha mereka lagi?
diedit dari : http://ahmadhaes.wordpress.com/penguasaan-bhs-al-quran/
artikel ini juga sebagai undangan resmi buat teman2 yang yang bergabung di forum Islam untuk meramaikan forum bahasa arab, berikut beberapa linknya :
Code:
https://indonesiaindonesia.com/f/59151-download-materi-belajar-bahasa-arab-super/
https://indonesiaindonesia.com/f/68745-materi-dasar-b-arab-1-percakapan/
https://indonesiaindonesia.com/f/68751-materi-dasar-b-arab-2-percakapan/
https://indonesiaindonesia.com/f/68755-materi-dasar-b-arab-3-percakapan/
https://indonesiaindonesia.com/f/71068-materi-dasar-b-arab-4-tata/
https://indonesiaindonesia.com/f/71076-materi-dasar-b-arab-5-tata/
https://indonesiaindonesia.com/f/71078-materi-dasar-b-arab-6-tata/
https://indonesiaindonesia.com/f/57600-belajar-bahasa-arab-kisah-kisah-lucu/
Last edited: