Bls: Film Indonesia: Bahwa Cinta itu Ada
Sujiwo Tejo Sutradarai Bahwa Cinta Itu Ada
JAKARTA - Pekan ini perfilman tanah air akan diramaikan oleh sebuah judul baru
Bahwa Cinta Itu Ada. Film tersebut diangkat dari novel karya Dermawan Wibisono berjudul
Gading-Gading Ganesha. Ariyo Wahab, Eva Asmarani, Alex Abbad, Rizky Hanggono, Restu Sinaga, serta Dennis Adishwara menjadi tokoh cerita dalam film tersebut.
Bahwa Cinta Itu Ada merupakan debut pertama Sujiwo Tejo, budayawan Indonesia, sebagai sutradara layar lebar.
Film dibuka dengan pertemuan Fuad (Alex Abbad), Poltak (Restu Sinaga), Ria (Eva Asmarani), Benny (Rizky Hanggono), serta Gun Gun (Dennis Adhiswara) di sebuah kantor di Jakarta. Mereka melakukan komunikasi via konferensi video dengan Slamet (Ariyo Wahab) yang berada di Sawahlunto, Sumatera Barat. Slamet menawarkan bisnis kepada lima kawan kuliahnya itu untuk eksplorasi batu bara.
Lalu alur film berjalan mundur ke tahun 80-an. Diceritakan keenam tokoh tersebut bertemu kali pertama saat pendaftaran mahasiswa baru di Institut Teknologi Bandung (ITB). Mereka bersahabat dan saling memendam cinta. Benny jatuh cinta kepada Ria. Tapi, Ria justru jatuh hati kepada Slamet, pemuda pintar dan rendah hati yang berasal dari Trenggalek, Jawa Timur.
Slamet sebenarnya juga menaruh hati kepada Ria. Tapi, rasa itu tak terungkap karena status sosial Ria jauh di atas Slamet. Cinta yang terpendam itu terbawa hingga mereka dewasa dan menjalani kehidupan masing-masing.
Meski inti utama film ini adalah cinta, tidak ditemukan adegan berciuman atau mengumbar keseksian pemain. Film yang diproduksi oleh Ganesha Creative Industry ini tak terjebak dengan fenomena film masa kini yang lebih menonjolkan akting berani bintang-bintangnya.
Sujiwo Tejo justru dengan apik menggabungkan sinematografi dengan pedalangan, bidang yang menjadi latar belakangnya. Narasi dalam film itu diucapkan bak seorang dalang yang memainkan wayang. Begitu juga konten film yang tak lupa menampilkan tarian-tarian dan musik yang sangat lokal.
Ada satu adegan Slamet mencium kaki ibunya (Niniek L. Karim) ketika dia pulang ke Trenggalek. Ada juga adegan ketika Slamet bersujud di tanah, lalu dia dilangkahi tiga kali oleh ibunya. Sebuah adegan yang jarang terlihat di film-film Indonesia akhir-akhir ini.
''Adegan itu sebenarnya tidak ada dalam skenario maupun novelnya. Itu biografi saya. Zaman dulu saya melakukan itu dengan ibu saya. Ketika saya meminta Ariyo melakukan adegan itu, dia mau. Dan saya meminta editornya supaya adegan ini jangan diedit,'' jelas Sujiwo Tejo.
Dia menjelaskan, film hasil arahannya itu seluruhnya berdurasi 3 jam, tapi diedit menjadi 90 menit. Diakui oleh pria kelahiran Jember ini, ada rasa kecewa karena banyak adegan yang terbuang. Akibatnya, penonton tidak bisa menikmati ceritanya secara keseluruhan.
Ditanya tentang kesannya menjadi sutradara, salah seorang pemain
Janji Joni itu mengatakan sangat lelah. Bahkan, setelah filmnya selesai dibuat, dia sempat berucap kapok menjadi sutradara. ''
Lha, yang lain (pemain) setelah adegan selesai bisa pulang. Saya masih harus mengatur syuting lagi. Padahal, saya mau jadi sutradara karena sepertinya enak. Bisa nyuruh-nyuruh. Selama ini
kan biasanya saya jadi pemain, disuruh-suruh,'' ucapnya.
Namun, rasa kapok itu dia simpan dalam-dalam. Melihat hasil kerjanya, Sujiwo Tejo mulai menemukan kenikmatan menjadi sutradara. Kemarin (1/3) saat ditemui di Planet Hollywood seusai penayangan perdana filmnya, Sujiwo Tejo mengatakan masih berniat membuat film lagi. ''Kalau ditawari untuk membuat film lagi, saya masih mau,'' lanjutnya lalu tersenyum.