Siapa saja dan berapa banyak orang terkaya di negeri ini? Dulu tentunya orang mengenal orang paling kaya di Indonesia adalah Liem Sioe Liong atau Sudono Salim. Kini muncul nama-nama baru. Siapa saja mereka?
Lewat bendera perusahaan legendarisnya, Waringin Grup, kemudian Bank BCA dan kelompok perusahaan yang selalu diawali ''Indo'', Sudono Salim selalu menjadi langganan orang terkaya di Indonesia.
Sebelum, krismon, bertahun-tahun dia disebut sebagai orang terkaya di Indonesia. Bahkan, dia pun mengantrol tiga nama lain ke jajaran orang-orang kaya di Indonesia, seperti Sudwikatmono, Risyad Salim dan Djuhar Sutanto.
Tentu saja yang "kaya" itu bukan hanya Sudono Salim, sebab hampir bersamaan juga muncul Ciputra, yang dulu kerap dijuluki Gubernur Jakarta.
Di luar itu juga masih ada nama-nama lain semisal Sukanto Tanoto, Putera Sampoerna, Eka Tjipta Widjaja, Muchtar Riyadi, Rachman Halim dan Robert Budi Hartono.
Nama-nama itu jadi langganan Forbes. Ada juga pengusaha lain seperti Aburizal Bakrie dan Arifin Panigoro dan yang baru seperti Eddie William Katuari, Trihatma Haliman, atau Chairul Tanjung.
Akhir-akhir ini bermunculan meteor-meteor baru yang lebih junior, seperti Sandiaga Salahuddin Uno dan Patrick S Walujo yang kelak berpotensi menjadi yang terkaya di Indonesia.
Sandi panggilan Sandiaga adalah Ketua Hipmi dan mantan credit officer Bank Summa. Tahun 1998 Sandi dan Edwin Soeryadjaya mendirikan Saratoga Capital. Mereka mengantongi 1 miliar dolar AS dan investasinya masuk ke mana-mana.
Kabarnya Sandi kini juga mengejar proyek Tol Cikampek-Palimanan dan tambang emas Newmont di NTB.
Sedangkan Patrick adalah mantan bankir Goldman Sachs yang kini nakhoda Northstar Pacific. Walau baru tiga tahun, namun dia sudah mengantongi Alfa Retailindo dan Alfa Mart yang dulu di bawah Sampoerna.
Northstar juga memiliki perusahaan LNG dan ladang migas di Sumatera Selatan. Dana yang dikelolanya sekitar 100 juta dolarAS dan sebagian dari Texas Pacific Group. Mereka juga sedang memburu Garuda Indonesia dan Blok Cepu.
Ada pula Rosan P Roeslani, bersama Sandi membangun Recapital Advisors dan Tom Lembong, yang mengakuisisi BCA lewat Farindo.
Recapital mengantongi Bank BTPN dan memenangi tender Dipasena, tambak udang terbesar Asia Tenggara.
Sedangkan Tom adalah jebolan Morgan Stanley dan mantan Kadiv Asset Management Investment BPPN yang kini mendirikan Principia (Quvat) yang punya 150 juta dolar AS dan memegang Adaro serta Blitz Megaplex Cinema.
Nama lain yang cukup berkibar adalah Hary Tanoesoedibjo dari Bhakti Asset Management dan Global Mediacom. Bhakti pernah sukses membeli Salim Oleochemical dari BPPN.
Hary pernah mendirikan Indonesia Recovery Company Limited bersama Asia Debt Management.
Belakangan Harry dikenal sebagai raja media dengan bendera MNC yang antara lain menguasai RCTI, Global TV, TPI dan Radio Trijaya.
Budi Hartono
Namun, pertumbuhan pesat industri rokok di Tanah Air membuat sejumlah pemilik dan pengusaha rokok "menyalip" nama-nama lama, hingga mampu merebut posisi paling terkaya, masuk 10 besar.
Fakta ini terlihat jelas pada jumlah kekayaan para pengusaha rokok yang mendominasi daftar 150 orang terkaya Indonesia, yang dikeluarkan majalah Globe Asia edisi Agustus 2007.
Hasil pemeringkatan Globe Asia, didasarkan pada kepemilikan saham oleh masing-masing individu, baik di perusahaan publik (di bursa saham) maupun nonpublik.
Dari daftar tersebut, kekayaan tiga orang dari industri rokok mencapai 9,9 miliar dolar AS (Rp 90,09 triliun) atau sekitar 21,24% dari total kekayaan 150 pengusaha yang masuk daftar itu mencapai 46,6 miliar dolar AS. Bos Djarum Kudus, Budi Hartono (66) berada di urutan pertama. Kekayaan Budi dan perusahaan- perusahaan yang ada dalam kekuasaannya sebesar 4,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 38 triliun.
Budi Hartono, yang baru saja dinobatkan sebagai orang terkaya di dunia versi majalah Globe Asia, dikenal sebagai sosok yang tidak gemar tampil di media massa.
Kedua bersaudara Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono bersama telah membangun kerajaan bisnis paling kokoh di Indonesia. Selama enam sampai delapan tahun ini, kedua bersaudara itu telah menikmati sukses fenomenal dalam bisnis rokok dan Bank Central Asia (BCA) pada 2002.
Perusahaan rokok Djarum didirikan oleh Oei Wie Gwan pada 1951 di Kudus. Kini Djarum menjadi produsen rokok kretek terbesar ketiga di Indonesia. Perusahaan itu juga menguasai pasar kretek di Amerika.
Hartono bersaudara menyadari bahwa bisnis kretek saja tidak akan mampu melanggengkan grup bisnis mereka. Karena itu, mereka mulai melebarkan sayap ke dalam sektor properti dan kini memiliki beberapa properti pilihan di Jakarta, di antaranya adalah Grand Indonesia, proyek properti terbesar di negeri ini.
Keluarga Hartono secara resmi menguasai 46% saham BCA, bank swasta terbesar di Indonesia. Investasi itu telah bertumbuh dari 500 juta dolar AS pada 2002 menjadi 3,6 miliar dolar AS. Pertumbuhan pesat itu sebagai hasil dari meningkatnya harga saham BCA sampai lebih dari 70% selama kurun waktu 1,5 tahun terakhir ini.
Menurut beberapa sumber, saham Budi di BCA bahkan lebih tinggi karena dia mulai mengakumulasi saham di bank itu begitu BCA go public. Untuk memperkuat posisinya di bank itu, Budi telah mengambil 90 persen saham di Farindo Investments Mauritius, mitra joint venture dan bersama mereka menguasai 51 persen saham di BCA.
Pilar Ketiga
Akuisis BCA menjadikan Djarum mampu membangun pilar ketiga bagi ekspansi kerajaan bisnisnya. Proses akuisisi itu juga membuat Budi menjadi pemegang saham yang paling menentukan di bank swasta terbesar di Indonesia tersebut. Dia sedang mempersiapkan putra bungsunya, Armand, agar kelak memimpin BCA.
Selain bisnis perbankan dan rokok, Djarum Group juga telah lama berinvestasi di pasar properti. Dulu, kelompok bisnis itu memiliki Wholesale Trade Center (WTC) di Mangga Dua, Jakarta.
Namun proyek terbesar mereka adalah pembangunan Grand Indonesia. Nilai proyeknya mencapai 230 juta dolar AS.
Pembangunan Grand Indonesia direncanakan mencakup lahan seluas tujuh hektare, di lokasi sekitar Hotel Indonesia. Proyek itu meliputi pembangunan mal, gedung perkantoran dan apartemen mewah.(Budi Nugraha, Gunawan Permadi, Benu Hidayat-25,77)
Sumber : Suara Merdeka