Hashim Djojohadikusumo: Silence war

images



Perjuangan senyap filantropi budaya

Lama tak terdengar usai krisis moneter menerpa industri dalam negeri, sosok pengusaha Hashim Djojohadikusumo yang sejak 1999 menetap di London sontak mencuat dalam kasus raibnya artefak budaya Museum Radya Pustaka, Solo.

Putra kedua dari begawan ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo dan Dora Sigar itu dituding di balik hilangnya benda bersejarah itu. Tak banyak orang tahu sudah 13 tahun terakhir ini dia mendedikasikan hidupnya untuk melestarikan budaya dan sejarah Indonesia.

“Patung pertama yang saya beli itu tahun 1996 di Balai Lelang Christie, London. Itu dari Singosari abad X harganya sekitar US$6.000. Bagus sekali tapi sempat berhenti karena harus memenuhi kewajiban sebagai debitur BPPN,” papar pria kelahiran Jakarta, 5 Juni 1954 itu.

Selain berburu artefak secara pribadi, Hashim dan istrinya, Anie mulai menyerahkan pengelolaan Yayasan Keluarga Hashim Djojohadikusumo kepada pihak yang lebih berpengalaman.

Melalui yayasan yang bergerak diam-diam itu, Hashim merambah bidang pendidikan, peningkatan kesejahteraan guru, peningkatan kesehatan dan gizi anak serta kegiatan membantu upaya pelestarian budaya.

Khusus untuk bidang pendidikan tinggi ada lima bidang yang diberi perhatian khusus a.l. bidang sejarah, sastra Jawa, sastra Indonesia, antropologi dan paleoantropologi.

Untuk Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM selain memberi beasiswa S2 dan S3 dilakukan penelitian kebudayaan Jawa, ekskavasi arkeologi, peningkatan sarana prasarana di empat jurusan.

Sementara untuk laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi FK UGM dilakukan renovasi gedung dan pemeliharaan, sistem pelestarian fosil, penelitian dan ekskavasi termasuk perpusatakaan dan sarana penunjang.

Lalu untuk Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, Hashim membangun Taman Simulasi Arkeologi dan digitalisasi naskah kuno untuk mendukung pemberian beasiswa S2 dan S3 dan beberapa penelitian jangka panjang.

Selain itu, yayasan ini ikut aktif membantu upaya penyelamatan orangutan, gajah Sumatra dan beruang madu di Kalimantan. Sembari mendukung yayasannya bergerak, perburuan artefak kembali berlanjut sejak 2004-2005.

Maklum keluarga besar Soemitro Djojohadikusumo sedang menyiapkan sebuah museum, bekerja sama dengan UI. Di museum itu nantinya akan ditempatkan koleksi benda-benda kuno dan bernilai seni tinggi milik keluarga besar Djojohadikusumo.

Prasasti Minto

Salah satu puncak gerakan filantropi itu adalah penyelenggaraan seminar internasional paleoantropologi se-Asia Tenggara, Juli 2007. Topik bahasannya cukup gawat perihal temuan fosil manusia kate Flores yang diklaim temuan ilmuwan Australia.

Sayang isu fosil yang membuat teori evolusi yang selama ini diyakini geger, jauh kalah seksi dibandingkan klaim Malaysia atas batik, reog hingga lagu ‘Rasa Sayange’ yang ditanggapi gegap gempita rakyat kecil hingga politisi.

Begitu pula proses pemugaran Makam Raja-raja Kasultanan Yogyakarta di Pajimatan Imogiri, Bantul yang selesai akhir tahun lalu. Proses restorasi yang tak mudah karena harus menjaga keaslian tiga kedaton komplek pemakaman yang berisi Besiaran, Pakubuan dan Saptorenggo yang makam Sri Sultan HB IX.

Sayang, justru kasus Museum Radya Pustaka yang mencuat. Padahal saat itu Hashim sedang bersiap memberikan bantuan pengadaan AC, komputer, dan scanner di ruang perpustakaan museum.

“Saya tak tahu [dalam kasus Radya Pustaka] saya beli secara resmi dari informasi Hugo Kreijger yang saya kenal sejak di Balai Lelang Christie. Dia mengatakan sayang kalau benda-benda itu jatuh ke tangan orang asing,” ujar ayah dari Aryo Setiaki, Rahayu Saraswati dan Sitie Indrawati itu.

Dari Hugo dia beli artefak yang kemudian bermasalah ketika Hashim berada di New York. Belakangan muncul nama Heru Suryanto yang mengaku membeli arca-arca itu dari Kepala Museum Radya Pustaka, KRH Darmo Dipuro alias Mbah Hadi lalu menjualnya kepada Hugo Kreijger.

“Sebelumnya Heru pernah menghubungi saya untuk menjual gamelan [Kyai Sido Mukti] juga dari keraton Solo. Saat itu saya minta tolong kepada Prof. Timbul Haryono dari UGM untuk melakukan verifikasi benda dari jaman Pakubuwono X itu tapi batal saya beli,” papar dia.

Toh kasus Radya Pustaka tak membuat Dirjen Sejarah dan Purbakala untuk memfasilitasi pengembalian Prasasti Minto atau Prasasti Sangguran. Benda ini diambil Stamford Raffles pada 1814 dan dibawa ke India sebagai upeti untuk Lord Minto.

Oleh Lord Minto prasasti dibawa ke Skotlandia. Saat ini Hashim bersama Dubes Indonesia di London sedang dalam tahap negoisasi dengan ahli waris Lord Minto, Viscount Timothy Melgund di Hawick, kabupaten Roxburghshire.

Dalam kasus Prasasti Minto kedua belah pihak masih saling menunggu. Maklum tak ada harga pasti dari benda bersejarah yang jarang diperdagangkan secara resmi di balai lelang.

“Masih banyak artefak bersejarah Indonesia yang ada di luar negeri. Kalau milik pribadi proses negosiasi bisa dilakukan dengan lebih cepat, tapi kalau artefak itu dimiliki negara bisa lama, butuh negosiasi antar negara!” papar Hashim.

wordpress.com
 
Back
Top