Cerpen: Glendy

Kalina

Moderator
Sudah hampir 30 menit Mily duduk gelisah di ruang tamu rumahnya. Temannya yang berjanji akan mengajaknya keluar malam ini, masih belum datang juga. Padahal menurut kesepakatan yang sudah mereka buat tadi siang, Mily akan dijemput di rumahnya jam setengah delapan. Dan sekarang Mily jadi malu sendiri saat melihat jam dinding di ruang tengah baru jam tujuh lewat dua puluh menit. “Duh, kenapa saya jadi bingung seperti ini?”, batin Mily.
Sepuluh menit kemudian, tiba-tiba Mily bangkit dan menyibak tirai jendela ruang tamunya saat mendengar derum halus mobil berhenti di depan rumahnya. Tamu dari mana? Bukannya seluruh teman ayah kerjanya malam? Atau teman ibu? Ah, impossible. Mily tau benar kalo teman-teman ibunya cuma ibu-ibu di kompleks perumahan dekat rumah. Dan setahunya, mulai dari pintu masuk kompleks tersebut sampai ke ujung jalan yang berbatasan dengan sungai, tidak ada yang punya mobil seperti yang dilihatnya itu. Mungkin tamu tetangganya yang menumpang parkir di depan rumahnya, pikir Mily. Tetapi, belum sempat menurunkan tirai jendela, Mily melihat cowok bertubuh jangkung yang turun dari mobil tersebut berjalan menuju rumahnya.
Sesaat, Mily tertegun. Benarkah ini? Batinnya. Cowok yang datang itu memang yang ditunggunya sejak tadi. Cowok yang akan mengajak dirinya merayakan kelulusan sekolah mereka. Tetapi, ke mana sepeda yang biasanya selalu menemani dia? Dan dari mana dapat mobil porche yang keren itu?
Sebelum Mily bisa menebak jawaban dari pertanyaan itu, terdengar olehnya pintu diketuk dari luar. Dihirupnya udara sepenuh dada dan dihembuskannya sekaligus. Ia merasa sedikit lega sekarang. Diputarnya anak kunci dengan cepat, dan..
“Glen..?”
“Gak kenal saya, Mil?” cowok itu bertanya sambil tersenyum pada Mily.
Sesaat, Mily tidak bisa bersuara dipandanginya sosok Glen dari ujung rambut sampai ujung kaki. Gimana saya bisa kenal kamu dengan dandanan seperti ini? Batin Mily. Indera penciumannya menangkap aroma parfum segar, yang sebelumnya tidak pernah terpancar dari tubuh Glen. Mily tidak perlu bertanya tentang harga dan merk parfum itu. Ia tau, produk itu tidak akan terjangkau oleh seorang siswa SMU yang musti kerja sendiri buat membiayai hidupnya. Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan cowok itu. Lagi-lagi, Mily tertegun. Tissot! Tuhan, sandiwara apa yang sedang dimainkan oleh Glen malam ini? Lihat t-shirt barunya. Sepintas memang kelihatan sederhana. Tapi, siapa pun tau berapa harga sepotong t-shirt ber-merk Nevada. Belum lagi celana jeans ber-merk sama dengan t-shirt yang dipakainya dan sepatu Nike model terbaru yang menyempurnakan kemewahan penampilannya. Dari mana seorang Glen memiliki semua ‘wah’ itu? Siang tadi saat pembagian ijazah sekolah, Mily masih melihat dia mengayuh sepeda dalam penampilan khas yang sederhana banget. Sekarang, di mana dia menyembunyikan kesederhanaan itu?
“Mil..” suara Glen memutuskan lamunannya.
Mily melihat cowok di depannya itu dengan tatapan aneh.
“Kok ngelamun ajah, sih? Kita jadi gak nih, dinner malam ini? Kamu udah siap, kan?”
Mily bingung sendiri. Diamatinya baju yang melekat pada tubuhnya. Blus biru muda, dipadu rok biru tua bergaris putih vertical buatan ibunya. Sangat berbeda dengan baju yang dipakai Glen. Mily menghela nafas. Apa boleh buat, janji harus ditepati. Dia sudah janji, mau menemani Glen makan di luar malam ini. Dan dia tidak peduli ke restoran kelas apa Glen akan membawanya. Biar orang memandang mereka dengan penuh tanda tanya.
“Kita pergi sekarang, Glen?”
“Oke.” Glen tersenyum senang.
Tidak lama kemudian, mereka sudah ada di dalam mobil porche terbaru milik Glen. Mily mencoba menenangkan hatinya. Hatinya berdebar dahsyat ketika Glen membukakan pintu mobil, menunggu dengan sabar sampai Mily duduk, menutup kembali pintu itu, lalu duduk di belakang setir, di sisi Mily.
“Ke mana kita? Tanya Glen sambil melepas kopling.
“Terserah kamu ajah, deh,” jawab Mily, yang tak mampu menemukan kata lain yang lebih tepat.
“Terserah saya?” Glen tersenyum sambil melirik gadis yang duduk di sisinya. “Ah.. saya ingat sekarang. Kamu suka sosis sapi baker, kan?”
“Yah..” Mily tersenyum. “Sosis sapi bakar, buatan Bu Nina.”
Glen tertawa. Ia senang, Mily sudah mau bercanda. Bu Nina adalah pemilik kantin di sekolah mereka. Ia dan Mily sering makan di sana. Tapi sekarang ini tentulah Bu Ninaa sudah menutup kantinnya. Lagi pula, kantin sekolah bukanlah tempat yang tepat untuk saat super penting yang telah direncanakan Glen malam ini.
“Malam ini, saya ingin mengajak kamu mencoba sosis baka yang lain,” Glen menginjak rem ketika lampu merah di depannya menyala. Kini, ia bisa mengalihkan perhatiannya kepada gadis manis di sisinya ini. “Kita ke restoran Sendok Garpu.”
“Restoran.. Sendok Garpu?”
“Ya,” Glen melepas pedal rem menginjak pedal gas ketika lampu merah di depannya berganti hijau.
Glen tidak bicara apa-apa lagi. Dijalankannya mobil perlahan menuju restoran Sendok Garpu. Seakan tau kalau Mily tidak mau diganggu. Dia membiarkan gadis itu tenggelam dalam lamunan. Dan Mily, lamunannya kembali menariknya ke masa lalu..

Mily baru saja memarkir sepedanya di tempat parkir sekolah saat sebuah tepukan mendarat di bahunya. Mily menoleh terkejut. Ini hari pertamanya di SMU Mitra Ilmu. Siapa yang berani menepuk bahunya? Kekagetannya bertambah saat melihat cowok cakep berdiri di sisinya. Meski dalam seragam sekolah yang kusam, cowok itu tampak gagah. Ia tersenyum pada Mily. Ya Tuhan, Mily merasa kalang kabut, berusaha melepaskan diri dari benang-benang pesona cowok itu.
“Maaf..” cowok itu masih tetap tersenyum. “Saya ngagetin kamu, yah? Kayaknya.. kamu anak baru di sini..”
“Yah..” Susah payah Mily menenangkan hatinya. Ya Tuhan, jangan biarkan dia mendengarkan debaran hati ini.
“Aha..” kini cowok itu itu tertawa. “Dari tadi, saya udah menduka. Kamu tau kenapa?”
Mily memandangnya dengan heran. Tentu saja dia tidak tau.
“Karena selama dua tahun ini, saya adalah satu-satunya siswa yang bawa sepeda ke sekolah ini,” cowok itu menjawab sendiri pertanyaannya. “Sekarang ada yang nemenin saya.”
Mily masih memandang cowok itu dengan heran.”
“Gak percaya? Itu sepeda saya.” Cowok itu menunjuk sebuah sepeda yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Masih gak percaya?” lanjutnya ketika ngeliat keraguan di mata Mily. “Nanti sore, kita bisa pulang bareng. Kalau gak keberatan, saya ingin ngajak kamu balap sepeda.
Mily tertawa. Balap sepeda dengan cowok gagah ini? Ah, gila kalau diterimanya tantangan itu. Sebelum bertanding pun Mily sudah mengaku kalah.
“Udah, deh..” katanya masih disertai tawa. “Saya percaya, kok.”
Kemudian dia pergi dari tempat parkir. Cowok itu mengikuti langkahnya.
“Eh, kita belum kenalan. Saya Glen. Glendy Kamu?”
Glendy. Mily mengeja nama itu dalam hati dan ia sambil tergagap menyebutkan namanya saat menyambut tangan Glen yang terulur padanya.
“Mily.”
“Mily?” Glen mengulang nama itu dengan mimic lucu.
“Ya.. kenapa?” tanyanya bingung.
“Oh.. gak! Glen tertawa. “Nama itu cocok banget buat kamu yang imut-imut. Ditambah kata meter di belakangnya pun tetap manis dan pas buat kamu,” lanjutnya menggoda.
Mily jadi sebal dibuatnya. Tega banget kamu, Glen..
“Maaf..” Glen segela menyadari kekeliruannya. “Hanya bercanda.. Sungguh..”
Wajahnya yang memelas dan diselimuti penyesalan membuat Mily tidak tega melihatnya. Disenyuminya cowok manis itu. Dan seketika wajah Glen kembali cerah.

Itulah awal segala kisah manis mereka berdua. Karena sejak saat itu, Glen dan Mily selalu tiba di sekolah pada saat yang sama. Pulang sekolah pun mereka selalu bersama. Mereka memang sekelas.
Glen yang ganteng, ramah, dan pintar, memang selalu menjadi idola di kelasnya. Bahkan di sekolah, ia selalu jadi yang terbaik dalam setiap ulangan. Ia selalu jadi idola dalam setiap pertandingan. Mily heran, kenapa cowok yang almost perfect seperti Glen tidak punya pacar. Apa tidak ada salah satu dari sekian banyak teman gadisnya yang mau jadi pacarnya?

“Glen memang baik,” kata Sonia, cewek cantik yang selalu tampil modis. “Saya sempat merasa jatuh cinta sama dia, pada pandangan pertama,” lanjutnya.
“Trus, kenapa kamu gak deketin dia?” Tanya Mily penasaran.
“Pernah, kok,” jawab Sonia sambil tersenyum. “Sampai saya nemuin banyak hal yang beda pada kami berdua.”
“Apa misalnya?”
“Dia anak kampung,” suara Sonia merendah. “Dia tinggal di Jakarta ini, sama ayah asuh yang hanya menanggung biaya sekolahnya. Sedangkan buat biaya hidup, dia musti kerja sendiri. Dia ngasih les private ke beberapa anak sekolah dasar. Sementara saya? Kamu tau sendiri kan, kalau saya suka hura-hura dan gak bisa diajak hidup susah. Dia terlalu serius buat saya.”

Jadi, itu sebabnya kenapa tidak ada gadis yang ingin lebih dekat dengan Glen? Tapi itu pula yang membuat Mily merasa senasib. Dan meski pun belum pernah mengucapkan kata cinta, teman-teman telah menobatkan mereka sebagai pasangan yang tidak terpisahkan.
Dan memang itu kenyataannya. Mily dan Glen selalu bersama. Di kantin, di perpustakaan, di kelas, di mana saja. Seperti anak ayam dan induknya, kata Sonia.

Lamunan Mily terputus saat Glen menginjak rem mobil. Glen membukakan pintu mobil, untuk Mily. Setelah memberikan kunci pada petugas parkir, mereka masuk ke restoran mewah yang hanya bisa Mily impikan selama ini. Mily tertegun merasakan betapa empuknya karpet tebal yang menutupi lantai di seluruh ruangan itu. Dan saat melihat dindingnya, Mily tambah heran akan kemewahan ruangan itu. Dan melihat tempat duduknya saja, Mily sudah bisa membayangkan rasanya duduk di sana.
Diikutinya langkah Glen. Berusaha untuk tidak terlihat kampungnyan. Untung, len melayaninya bagai seorang putri, membimbingnya mencari tempat duduk. Glen memilih tempat di deretan pinggir dengan pemandangan lampu kota yang indah. Lalu memesankan makanan buat mereka berdua.
Setelah duduk, barulah Mily merasa leluasa untuk bernafas lega. Ia menghela nafas panjang, dan melepaskan semua ketegangan yang dari tadi menyesak di dadanya.
“Oke, Glen..” Mily membuka suara setelah berhasil mengatasi kecanggungannya. “Apa yang ingin kamu certain ke saya?”
Glen menatapnya lama. “Pernah gak, kamu mendengar cerita tentang seorang pemanah yang merampok harta orang kaya untuk dikasihkan ke mereka yang kekurangan?”
Sesaat, Mily ingin tertawa.
Ah, waktu kecil, dia suka sekali baca dongeng-dongeng dunia. Tapi, membayangkan itu terjadi di dunia nyata sekali pun tidak pernah. Ia cukup realistis dalam memandang kehidupan ini.
“Itu dongeng anak-anak, Glen. Saya gak tau. Apa masih ada orang sebaik itu sekarang. Dan kalau pun ada, saya gak bisa ngelihat hubungannya dengan cerita yang mau kamu sampaikan ke saya.”
Glen tersenyum kecil. Bibirnya sedikit bergetar, karena gugup. Marahkah Mily, mendengar ceritanya nanti? Tapi Mily, kata hatinya menenangkan diri, tidak ada salahnya terus terang. Toh, saya gak bisa nutupin semua ini selamanya dari kamu, Mil..
“Mil,” Glen mulai berbicara setelah mengumpulkan keberaniannya. “Saya gak berani bilang, bahwa saya adalah pemanah yang baik itu. Tapi, saya udah melakukan hal yang menjijikkan selama tiga tahun ini. Dan.. untuk menutupinya, saya udah membohongi kamu dan semua orang.”
Mily terperangah. Ia masih tidak mengerti.
“Saya ngasih les private buat biayain hidup saya, itu benar,” Glen melanjutkan. “Tapi.. itu saya lakuin cuma buat membohongi kalian semua. Glen yang anak kampung dan lugu itu sebenarnya gak pernah ada. Saya lahir dan dibesarin di sini. Dan rumah tempat saya tinggal selama ini adalah rumah ayah saya yang udah saya tebus dari sitaan bank.”
“Glen..” Mily merasa bingung sekarang. “Apa maksud kamu, dan apa yang udah kamu lakuin?”
“Saya mohon.. tenang, Mil. Percaya dengan apa yang saya katakan sama kamu.” Glen menghela nafas. “Saya.. GIGOLO.. saya jual diri ke wanita-wanita kesepian untuk mendapatkan uang. Saya menyenangkan mereka untuk bayar hutang-hutang yang ditinggalkan ayah saya sebelum dia meninggal. Saya jadi budak nafsu mereka, untuk membiayai pengobatan ibu saya, dan melanjutkan hidup saya, Mil..”
Hening sesaat.
“Tapi, semua itu harus berakhir, Mil. Dan saya seneng mengakhirinya. Saya capek..” Glen mulai menitikkan air matanya. “Sebelum ujian akhir, saya tau, bahwa ada virus HIV di tubuh saya. Saya.. mengidap AIDS, Mil..”
Mily merasa jantungnya berdetak lima kali lebih cepat. Lidahnya tiba-tiba kelu. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menggenggam kedua tangan Glen.
“Mil, kamu pasti merasa jiji sama saya. Tapi, kamu musti tau, bahwa irus itu bukan saya dapat dari mereka. Saya terinfeksi , saat menerima transfuse darah setelah kecelaaan sepeda delapan bulan lalu. Kamu inget kan, Mil?”
Mily menganggukkan kepala.
“Tapi, itu gak ada artinya. Saya tetap patut menerima semua ini. Saya gak nyesel dan menyalahkan siapa pun. Dan saya siap kehingan.. kamu..”
Air mata Mily mulai mengalir. Tubuhnya terguncang-guncang. Ia merasa jiwanya tersayat-sayat. Namun ia tau, Glen lebih sakit dari pada dirinya. Dan, tiba-tiba dia merasa harus tetap di samping Glen. Harus.
“Sekali lagi, Mil..” suara Glen terdengar tenang sekarang. “Saya ingin.. kamu mau menerima semua harta yang saya punya. Kamu bisa menggunakannya untuk buka panti asuhan dan panti jompo kecil. Saya mau.. kamu menerima itu untuk mewujudkan impian kamu itu.”
Mily terkejut. Memang, selama ini dia ingin bikin tempat penampungan bagi anak-anak terlantar dan orang-orang lanjut usia yang sebatang kara. Tapi, dia tidak menyangka, kalau Glen mau melepas semua yang dia punya itu untuk itu semua.
Tapi, Glen..”
“Saya mohon, Mil.. Udah banyak dosa yang saya lakuin. Beri saya kesempatan untuk memohon ampunan-Nya. Kamu bisa Bantu saya kan?”
Sejenak Mily bingung sendiri. Namun, dia dapat melihat kesungguhan Glen dalam hal ini.
“Oke..” Mily merasa, bahwa suaranya masih berat. “Tapi, kamu harus tetep di samping saya.. kamu harus bantuin saya untuk mewujudkan itu semua. Dan yang lebih penting lagi..” Mily menghela nafas dan tersenyum.
“Apa, Mil?” Semangat Glen tiba-tiba bangkit kembali.
“Kamu harus menyisakan sebagian uang kamu untuk melanjutkan sekolah kamu. Saya maukamu kuliyah. Glen, kamu udah pantas untuk itu.” Mily terharu saat mengucapkan hal itu. Dia merasa apa yang sudah diterima Glen dan apa yang sudah dilakukannya ini sudah cukup untuk menebus masa lalunya.
Mata Glen terbelalak. Dia tidak menyangka, Mily begitu sabar menerima semua ini.
“Oke, Mily.. Apapun yang kamu mau, akan saya lakukan.” Glen berkata sambil meremas tangan Mily yang telah digenggamnya sejak tadi.
“Glen.. saya ingin.. kita berhenti mikiran apapun sejenak. Kita berdua pasti capek banget saat ini. Dan.. boleh saya maakn sekarang?”
Glen hampir saja tertawa. Dia hampir lupa, kalo mereka berdua sangat lapar sekarang.
“Oh, tentu. Makan aja semua. Kalau perlu, kita bisa pesen beberapa menu lagi.”
Beberapa saat kemudian.. Glen dan Mily telah berada di depan rumah Mily. Sebelum turun dari mobil Glen, Mily berbisik, “Makasih.. untuk semuanya.”
“Saya juga, Mil. Saya lega, kamu masih mau berteman sama saya, setelah apa yang saya alami. Saya seneng. Cuma itu yang saya butuhkan saat ini.”
“Udahlah.. yang mesti kita lakukan saat ini adalah.. menata kembali masa depan kamu dan masa depan saya..” Mily berkata sambil menatap mata Glen.
“Makasih, Mil..”
“Glen..” Suara Mily terdengar pelan dan serius. “Saya.. mencintai kamu..”
Glen menerima cinta Mily. Dan mereka pun berciuman mesrah dalam telaga kebahagiaan.

Namun.. telaga kebahagiaan itu berangsur-angsur surut, mana kala, penyakit virus HIV terus menggerogoti kehidupan Glen.. sampai akhirnya.. Glen pun melepaskan hidupnya.. dengan damai.. Mily.. dengan cita-cita yang telah ditanam bersama Glen.. mencoba untuk tegar dan sabar..

Selama jalan, Glendy..
 
Bls: Cerpen: Glendy

Resume nya ada yang mau ngebahas bareng engga? Saran aku sih kita bacanya bareng2. Misalkan aku baca alinea 1,

Sudah hampir 30 menit Mily duduk gelisah di ruang tamu rumahnya. Temannya yang berjanji akan mengajaknya keluar malam ini, masih belum datang juga. Padahal menurut kesepakatan yang sudah mereka buat tadi siang, Mily akan dijemput di rumahnya jam setengah delapan. Dan sekarang Mily jadi malu sendiri saat melihat jam dinding di ruang tengah baru jam tujuh lewat dua puluh menit. “Duh, kenapa saya jadi bingung seperti ini?”, batin Mily.

Respon aku :

Mily bingungnya engga mendasar. Malu pada siapa? pada jam dinding? Kayak lagunya jamrud....

Buat the next reader alinea 2 ya
V
 
Bls: Cerpen: Glendy

sebenarx zeeehhh,, ceritax udah agak biasa...tpi yag lumayan baguslah!!!
belum terlalu ngoreksi juga...laen kale lagi dweh!!!
 
Bls: Cerpen: Glendy

Dan sebenernya juga, ini cerita udah amat sangatlah lama. Sekitar awal tahun 2000an.
Maaf aja, kalo amat sangat terkesan bloon. Tapi, penulis ingin memberitahukan pada masyarakat luas lewat cerita ini. "Ada sebab ada akibat"
"jangan memandang sebelah mata pada orang yang mungkin tidak lebih "baik" dari pada kita.."
 
Back
Top