spirit
Mod
Pertanyaan: “Apakah Tuhan yang menciptakan Otak ataukah Otak yang menciptakan Tuhan?”
Filsuf Perancis Rene Descrates (1596 -1650) yang mendapatkan julukan sebagai Penemu Fisalfat Modern berpendapat: “Aku berpikir, maka aku ada”, dalam bahasa Latin “Cogito ergo sum” atau dalam bahasa Perncis “Je pense donc je suis”. Berdasarkan kesimpulan tersebut saya juga bisa menyatakan: “Tuhan itu ada, karena aku berpikir, bahwa Tuhan itu ada”.
Memang pikiran itu hanyalah salah satu aktivitas dari fisik otak, tetapi cobalah renungkan arti dari kalimat ini: “Aku menetapkan PIKIRANKU untuk membeli sepeda” (I made up my MIND to buy a bike). Orang tidak akan berkata: “Aku menetapkan OTAKKU untuk membeli sebuah sepeda” (I made up my BRAIN to buy a bike). Jadi kesimpulannya pikiran inilah yang mengendalikan otak (mind over matter) atau secara tidak langsung terbuktikan, bahwa Tuhan itu sebenarnya adalah hasil ciptaan dari pikiran kita.
Bahkan menurut Dean Hamer (Kepala Struktur Gen di U.S. National Cancer Institute) dalam bukunya “The God Gene” menyatakan, bahwa ia telah berhasil menemukan Tuhan di dalam gen manusia atau ranah Tuhan atau saklar Tuhan yang ada di dalam otak manusia. Jadi ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Maththew Alper dalam bukunya “The God Part of the Brain” jadi kita tidak perlu mencari Tuhan di surga, karena Tuhan itu sebenarnya hanya bersemayan dan berada di dalam otak kita saja.
Pendapat Hamer ini juga didukung oleh Robert Thurman profesor studi agama Buddha yang berpendapat bahwa penemuan itu memperkuat salah satu konsep Buddha yang populer, bahwa manusia itu mewarisi gen spiritualitas dari inkarnasi kita yang terdahulu.
Menurut Alper dalam bukunya “The God Part of the Brain”, bahwa manusia itu secara halus telah disetel atau digiring sedemikian rupa untuk berpaling pada suatu realitas spiritual dan untuk mempercayai kuasa-kuasa yang melampaui keterbatasan dari realita fisik kita. Hal ini bisa terjadi karena instink yang diwariskan secara genetika.
Misalnya karena adanya perasaan takut mati sehingga secara alami menimbulkan sebuah insting bagi keyakinan religius dalam diri manusia perdana. Untuk mengatasi rasa gelisah dan takut mati inilah otak besar kita mencari jalan keluar bagaimana caranya agar mampu mempertahankan kehidupan setelah kematian. Dari situlah awal timbulnya pikiran manusia untuk menciptakan Sang Tuhan.
Disamping itu, karena adanya rasa takut inilah juga yang telah menimbulkan kepercayaan dalam seperangkat mekanisme di dalam otak manusia, sehingga kita yakin dan tanggap akan adanya doa kesembuhan, sehingga akhirnya menimbulkan plasebo efek bagi sang pasien.
Mungkin sudah tiba saatnya dimana para ahli memperdalam dan mempelajari mengenai disiplin ilmu anyar – suatu teologi genetika (Genotheology) yang baru untuk mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut diatas.
Majalah Time dalam edisi Jumat Agung (8 April 1966) memuat artikel dengan judul “Is God Dead?” dimana mereka memprediksikan, bahwa agama akhirnya akan mati dibunuh oleh Sains.
Bagaimana pendapat Anda?
Filsuf Perancis Rene Descrates (1596 -1650) yang mendapatkan julukan sebagai Penemu Fisalfat Modern berpendapat: “Aku berpikir, maka aku ada”, dalam bahasa Latin “Cogito ergo sum” atau dalam bahasa Perncis “Je pense donc je suis”. Berdasarkan kesimpulan tersebut saya juga bisa menyatakan: “Tuhan itu ada, karena aku berpikir, bahwa Tuhan itu ada”.
Memang pikiran itu hanyalah salah satu aktivitas dari fisik otak, tetapi cobalah renungkan arti dari kalimat ini: “Aku menetapkan PIKIRANKU untuk membeli sepeda” (I made up my MIND to buy a bike). Orang tidak akan berkata: “Aku menetapkan OTAKKU untuk membeli sebuah sepeda” (I made up my BRAIN to buy a bike). Jadi kesimpulannya pikiran inilah yang mengendalikan otak (mind over matter) atau secara tidak langsung terbuktikan, bahwa Tuhan itu sebenarnya adalah hasil ciptaan dari pikiran kita.
Bahkan menurut Dean Hamer (Kepala Struktur Gen di U.S. National Cancer Institute) dalam bukunya “The God Gene” menyatakan, bahwa ia telah berhasil menemukan Tuhan di dalam gen manusia atau ranah Tuhan atau saklar Tuhan yang ada di dalam otak manusia. Jadi ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Maththew Alper dalam bukunya “The God Part of the Brain” jadi kita tidak perlu mencari Tuhan di surga, karena Tuhan itu sebenarnya hanya bersemayan dan berada di dalam otak kita saja.
Pendapat Hamer ini juga didukung oleh Robert Thurman profesor studi agama Buddha yang berpendapat bahwa penemuan itu memperkuat salah satu konsep Buddha yang populer, bahwa manusia itu mewarisi gen spiritualitas dari inkarnasi kita yang terdahulu.
Menurut Alper dalam bukunya “The God Part of the Brain”, bahwa manusia itu secara halus telah disetel atau digiring sedemikian rupa untuk berpaling pada suatu realitas spiritual dan untuk mempercayai kuasa-kuasa yang melampaui keterbatasan dari realita fisik kita. Hal ini bisa terjadi karena instink yang diwariskan secara genetika.
Misalnya karena adanya perasaan takut mati sehingga secara alami menimbulkan sebuah insting bagi keyakinan religius dalam diri manusia perdana. Untuk mengatasi rasa gelisah dan takut mati inilah otak besar kita mencari jalan keluar bagaimana caranya agar mampu mempertahankan kehidupan setelah kematian. Dari situlah awal timbulnya pikiran manusia untuk menciptakan Sang Tuhan.
Disamping itu, karena adanya rasa takut inilah juga yang telah menimbulkan kepercayaan dalam seperangkat mekanisme di dalam otak manusia, sehingga kita yakin dan tanggap akan adanya doa kesembuhan, sehingga akhirnya menimbulkan plasebo efek bagi sang pasien.
Mungkin sudah tiba saatnya dimana para ahli memperdalam dan mempelajari mengenai disiplin ilmu anyar – suatu teologi genetika (Genotheology) yang baru untuk mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut diatas.
Majalah Time dalam edisi Jumat Agung (8 April 1966) memuat artikel dengan judul “Is God Dead?” dimana mereka memprediksikan, bahwa agama akhirnya akan mati dibunuh oleh Sains.
Bagaimana pendapat Anda?