MPdVP perikehidupan TKW di Hongkong
Minggu Pagi di Victoria Park (MPdVP) berpusat pada kisah kakak adik Mayang 3 (Lola Amaria) dan Sekar (Titi Sjuman) yang berprofesi sebagai TKI di Hong Kong. Sekar datang lebih dulu ke negeri itu menghasilkan banyak uang dan bisa mengirim banyak uang pula ke kampungnya.
Namun, ini sebelum dia akhirnya terbelit utang ribuan dolar Hong Kong dan tak bisa kembali ke Indonesia. Entah karena malu atau bagaimana, Sekar menghindar dari rekan-rekannya sesama TKI hingga keberadaannya sulit terlacak.
Mayang, sang kakak, lantas diperintah ayahnya untuk menyusul Sekar ke Hong Kong. Sambil menjadi pembantu rumah tangga di Hong Kong, Mayang kasak-kusuk ke perkumpulan TKI di Hong Kong untuk mencari tahu keberadaan Sekar Sejujurnya, Mayang setengah hati melakukan pencarian Sekar. Jauh didalam lubuk hatinya, dia benci terhadap Sekar yang jauh lebih cantik darinya, yang selalu dipuja ayahnya, yang selalu membuatnya seperti kakak yang tidak berdaya.
Riset yang serius rupanya membuat Lola Amaria mampu menangkap detail kehidupan para TKI di HongKong.
Dia bisa bercerita lancar soal relasi Mayang dan majikannya, termasuk majikan kecilnya yang setiap hari harus diantar ke sekolah. Lola dan Titien Wattimena sebagai penulis skenario mampu menggambarkan bahwa sebagai pembantu mumah tangga, Mayang tak hanya mengurusi kebutuhan fisik si anak majikan, tapi kadang juga harus terlibat pada persoalan psikologis pada masa tumbuh kembangnya.
Lola juga piawai menggambarkan kehidupan TKI yang kerap nongkrong d warung yang disebut “warung bude”. Di sini, para TKI bisa makan makanan Indonesia dan kerap curhat satu sama lain, termasuk curhat dengan Gandhi (Donny Damara) petugas Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Hong Kong. Tentu saja, Lola juga bisa memberikan gambaran lanskap Kota Hong Kong, dari yang gemerlap sampai yang kumuh.
Titi Sjuman juga menjadi kekuatan utama film ini. Logat Jawa Timuran yang sangat kental,termasuk kefasihannya saat memaki, sanggup meyakinkan penonton pada karakter Sekar yang kuat, cuek, tapi juga rapuh.
Sebulan lebih berlatih logat Jawa Timur dari Kanton benar-benar mengubahnya menjadi sosok yang berbeda Titi menjadi yang paling fasih logatnya dibandingkan pemeran lainnya, termasuk Lola Amaria sendiri.
Film ini juga mampu memberikan gambaran yang berbeda tentang realitas TKI yang tak selamanya hidup menderita di negeri orang. Film yang didukung penuh oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini juga berusaha menyampaikan dengan bahasa yang sangat halus bahwa hidup sebagai TKI tak selamnnya “murahan”.
Selama dibekali keahlian dan berlaku baik, maka hidupnya bisa sejahtera.
Realitas yang tersaji memang patut dipuji,tetapi sayangnya Lola dan Titien tampaknya emoh untuk memperdalamnya. Contohnya, mengapa para TKI kerap terlibat percintaan sejenis? Mengapa para TKI rela saja diporoti uangnya oleh pacarnya yang warganegara asing?
Semua fenomena ini hanya sebagai tontonan tanpa disinggung sedikit pun persoalan “kenapa”-nya. Jika sampai ada TKI yang mati bunuh diri karena masalah ini, seharusnya ada penjelasan yang lebih tentang hubungan cinta sejenis tersebut. Bahkan, “prolog” atau
penjelasan tentang acara kumpul’ kumpul para TKI saat minggu pagi diVictoria Park pun tak disinggung. Padahal, jika memang film ini hanya diperuntukkan sebagai film hiburan, tak ada salahnya menyinggung masalah tersebut sedikit saja, tanpa harus membuatnya menjadi film yang “berat”.
Sumber : Sindo
Mm..jadi kepengen kayak Mina