Sa’ad bin Malik Az-Zuhri atau sering disebut sebagai Sa’ad bin Abi Waqqas, dilahirkan di Makkah dan berasal dari bani Zuhrah suku Quraisy. Dia adalah paman Rosulullah Saw dari pihak ibu. Ibunda rasul, Aminah binti Wahhab berasal dari suku yang sama dengan Saad yaitu dari Bani Zuhrah. Sa’ad termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam dan termasuk sepuluh sahabat yang mendapat jaminan surga.
Sa’ad dilahirkan dari keluarga yang kaya raya dan terpandang. Dia adalah seorang pemuda yang serius dan memiliki pemikiran yang cerdas. Sosoknya tidak terlalu tinggi namun bertubuh tegap dengan potongan rambut pendek. Dia sangat dekat dengan ibunya. Hidupnya selalu dilimpahi kasih sayang. Ibu Sa’ad yang bernama Hamnah binti Suyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Sa’adpun sangat mencintai ibunya, sehingga seolah-olah cinta Sa’ad hanya untuk ibunya yang telah memelihara dirinya sejak kecil hingga dewasa dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan.
Meski dia lahir dan dibesarkan di Makkah Sa’ad sangat benci pada agamanya dan cara hidup yang dianut masyarakatnya. Ia membenci praktik penyembahan berhala yang membudaya di Makkah saat itu. Masa muda Sa’ad tidak banyak dihabiskan dengan berbagai kesenangan sebagaimanai para pemuda Makkah lain, meski dia masih berusia 17 tahun tetapi dia sudah berfikir dewasa dan mempunyai kematangan dalam berfikir. Sa’ad bekerja sebagai pembuat panah dan menjualnya. Pekerjaannya ini membuat ia pandai memainkan panah dan menunggang kuda.
KeIslaman Sa’ad dimulai ketika dia bermimpi seolah-olah tenggelam dalam kegelapan yang tindih menindih. Ketika Sa’ad sedang mengalami puncak kegelapan itu, tiba-tiba dia lihat bulan memancarkan cahaya sepenuhnya lalu dia mengikuti bulan itu. Sa’ad melihat tiga orang telah lebih dahulu berada dihadapannya mengikuti bulan tersebut. Mereka itu adalah Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar As-Shiddiq, kemudian Sa’ad bertanya kepada mereka, “Sejak kapan anda bertiga disini?” Mereka menjawab, “Belum lama.” Sejak ia bermimpi yang demikian itu, mata Sa’ad bin Abi Waqqash tidak mau terpejam lagi. Kini Sa’ad bin Abi Waqqash duduk merenung untuk memikirkan arti mimpi yang baginya sangat aneh. Sampai keesokan harinya Sa’ad masih memikirkan mimpinya tersebut, tetapi dia tidak menceritakan mimpi itu kepada ibunya sebagai orang yang paling dekat dengan dirinya. Kemudian, tiga hari setelah mimpi tersebut menghampirinya, Sa’ad bertemu dengan Abu Bakar, dia menceritakan adanya mimpi tersebut. Kemudian Abu Bakar menyampaikan kabar tentang datangnya seorang utusan Allah Muhammad Saw yang membawa ajaran Islam, ajaran kebenaran. Lalu Sa’ad bertanya kepada Abu Bakar: ” siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad Saw?”, kemudian dijawab oleh Abu Bakar : dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib r.a., dan Zaid bin Haritsh. Ajakan Abu Bakar kepada ajaran Islam telah mengetuk pintu hati Sa’ad. Kemudian Sa’ad segera mencari Rosulullah Saw, sehingga bertemu dengan beliau pada suatu tempat ketika beliau sedang melaksanakan salat Ashar dan akhirnya Sa’adpun menyatakan masuk Islam di hadapan Rosulullah Saw.
Meski Sa’ad berasal dari keluarga yang kaya raya, tetapi keislamannya bukanlah tanpa halangan. Ibundanya sendiri adalah seorang yang teguh memegang tradisi dan ajaran nenek moyangnya. Sehingga karena tidak ingin berseteru dengan ibunya, dia menyembunyikan keislamannya dari orang yang sangat disayanginya tersebut. Tetapi pada suatu hari, ketika Sa’ad sedang melaksanakan sholat di kamarnya, ibunya memergokinya. Dengan marah dan tanda Tanya besar, ibunya bertanyaa: “apa yang kamu lakukan?”, kemudian Sa’ad menjawab bahwa dia sedang melaksanakan ibadah kepada Allah yang Maha Esa. Mendengar jawaban Sa’ad ibunya sangat marah dan berkata: “Rupanya engkau telah meninggalkan agama nenek moyang kita, Tuhan Lata, Manata dan Uzza. Ibu tidak rela wahai anakku. Tinggalkanlah agama itu dan kembalilah kepada agama nenek moyang kita yang telah sekian lama kita anut”. Kemudian Sa’ad berkata: “Wahai ibu, aku tidak dapat lagi menyekutukan Allah, Dia-lah Dzat Yang Tunggal, tiada yang setara dengan Dia, dan Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh umat manusia,” jawab Sa’ad. Kemarahan ibunya semakin menjadi-jadi, karena Sa’ad tetap bersikeras dengan keyakinannya yang baru ini. Tetapi kemarahan sang ibu selalu ditanggapi dengan lemah lembut oleh Sa’ad. Hingga pada suatu hari, ibu Sa’ad memutuskan untuk tidak makan dan minum apapun sehingga dia badannya sakit dan lemas, hal itu dilakukan oleh ibunya sampai Sa’ad mau kembali kepada kepercayaan nenek moyangnya. Melihat kondisi ibunya, Sa’ad juga merasa sangat menderita, tetapi dia tidak bisa meninggalkan keimanannya yang teguh telah tertanam di dalam hatinya.
Sa’ad selalu datang membujuk ibunya dengan mengajaknya makan dan minum bersama, tapi ibunya menolak dengan harapan agar Sa’ad kembali kepada agama nenek moyangnya, hingga beberapa hari, ibunya tidak pernah menyentuh makanan dan minuman yang selalu disiapkannya. Di depan matanya ia menyaksikan keadaan ibunya yang meluluhkan hatinya, namun dari lidahnya keluar kata-kata yang membingungkan lbunya; “Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda sayang, seandainya ibunda memiliki seratus nyawa lalu ia keluar satu persatu, tidaklah aku akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa pun juga. Maka sekarang, terserah kepada ibunda, apakah ibunda akan makan atau tidak”. Mendengar ketegasan dari putra tercintanya, akhirnya ibu Sa’adpun luluh dan membiarkannya untuk meninggalkan kepecayaan nenek moyangnya.
Pada awal Islam, kaum muslimin seringkali harus mengungsi ke bukit untuk melaksanakan ibadah karena untuk menghindari orang-orang kafir Quraisy yang selalu mengganggu. Suatu hari Saat tengah shalat, sekelompok kaum Quraisy mengganggu dengan saling melemparkan lelucon kasar. Karena kesal dan tidak tahan, Sa’ad bin Abi Waqqas yang memukul salah satu orang Quraisy dengan tulang unta dan panah sehingga melukainya. Ini merupakan konflik berdarah pertama antara orang muslim dan kafir, sehingga Sa’ad disebut juga sebagai muslim pertama yang melemparkan panahnya demi berjuang di jalan Allah.
Setelah peristiwa itu, Rasulullah meminta para sahabat agar lebih tenang dan bersabar menghadapi orang Quraisy seperti yang difirmankan Allah SWT dalam al-Qur’an Surah Al-Muzzammil ayat 10. Cukup lama kaum Muslim menahan diri. Baru beberapa dekade kemudian, umat Islam diperkenankan melakukan perlawanan fisik kepada para orang kafir.
Pada saat penyiksaan dan tantangan dari orang kafir terhadap kaum muslimin semakin berat, Rosulullah kemudian memerintahkan kepada para sahabat untuk ikut berhijrah ke Habasyah selama beberapa waktu. Sa’ad bin Abi Waqqas tidak ikut berhijrah tetapi ia tetap bersama Rosulullah. Dia mengalami pemaksaan dari orang-orang kafir, bahkan ia pernah merasa kelaparan dan kehausan karena dikepung di daerah pegunungan Mekah oleh Quraisy.
Sa’ad termasuk salah satu dari 10 orang sahabat yang dijamin oleh Rosulullah akan masuk surga. Dia aalah sahabat yang dekat dengan Rosulullah yang selalu meniru segala perilaku beliau hingga akhir hayatnya, sehingga Sa’ad menjadi sabahat yang sangat taat kepada Rosulullah. Pernah pada suatu hari para sahabat sedang duduk-duduk bersama Rosulullah Saw. Kemudian tiba-tiba Rosulullah Saw berkata: “Sekarang ini, telah datang seorang dari penghuni syurga”, kemudian Sa’ad bin Abi Waqqas muncul di hadapan mereka.
Ketaatan Sa’ad terhadap Rosul dan agamanya membuatnya menjadi seorang yang alim dan sholeh. Do’a-doanya selalu dikabulkan oleh Allah SWT. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa suatu ketika penduduk Mekah mengadukan Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Umar bin Khattab, mereka mengatakan bahwa shalatnya tidak baik. Sa’ad kemudian membantah, ‘Aku mengerjakan shalat sesuai dengan shalatnya Rasulullah saw. Shalatku pada waktu isya, aku lakukan dengan lama pada dua rakaat pertama sedangkan pada dua rakaat terakhir aku lakukan dengan ringkas.’ Mendengar itu Umar bin Khattab berkata, “Berarti itu hanya prasangka terhadapmu wahai Abu Ishaq.’ Dia kemudian mengutus beberapa orang untuk bertanya tentang dirinya di Kufah, ternyata ketika mereka mendatangi masjid-masjid di Kuffah, mereka mendapat informasi yang baik, hingga ketika mereka datang ke masjid Bani Isa, seorang pria bernama Abu Sa’dah berkata, ‘Demi Allah, dia tidak adil dalam menetapkan hukum, tidak membagi secara adil dan tidak berjalan (untuk melakukan pemeriksaan) di waktu malam. Setelah itu Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, ‘Ya Allah, jika dia bohong maka butakanlah matanya, panjangkanlah usianya dan timpakanlah fitnah kepadanya.” Tidak lama kemudian Abu Sa’dah menderita penyakit tuli dan jika ditanya bagaimana keadaanmu, dia menjawab, ‘Orang tua yang terkena fitnah, aku terkutuk oleh doa Sa’ad.”
Dalam kisah lain disebutkan juga bahwa suatu ketika seorang pria mencela Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Mendengar itu, Sa’ad menegurnya,“Janganlah kamu mencela sahabat-sahabatku.’ Tetapi pria itu tidak mau menerima. Setelah itu Sa’ad berdiri, lalu mengerjakan shalat dua rakaat dan berdoa. Tiba-tiba seekor unta bukhti (peranakan unta Arab dan Dakhil) muncul menyeruduk pria tersebut hingga jatuh tersungkur di atas tanah, lantas meletakkannya di antara dada dan lantai hingga akhirnya ia terbunuh. Aku melihat orang-orang mengikuti Sa’ad dan berkata, ‘Selamat kamu wahai Abu Ishaq, doamu terkabulkan.”
Sa’ad juga dikenal sebagai seorang pejuang yang hebat dan berani. Dia selalu aktif mengikuti berbagai peperangan pada masa Nabi Saw. Pada saat perang badar, Sa’ad ikut berperang bersama-sama adiknya ‘Umair. Ketika itu ‘Umair masih muda remaja, belum lama mencapai usia baligh. Tatkala Rasulullah saw. memerintahkan tentara muslimin berkumpul dan bersiap sebelum berangkat perang, ‘Umair bersembunyi-sembunyi, takut kalau-kalau dia tidak diperbolehkan Rasulullah turut berperang, karena usianya yang masih kecil. Tetapi Rasulullah tetap melihatnya, lalu tidak membolehkannya ikut. ‘Umair menangis, sehingga Rasulullah merasa kasihan, dan akhirnya membolehkan ‘Umair ikut berperang. Sa’ad mendatangi adiknya dengan gembira, lalu mengikatkan pedang di bahu ‘Umair, karena tubuhnya yang kecil. Kedua bersaudara itu pergi berperang, berjuang bersama fi sabilillah. Seusai peperangan Sa’ad kembali ke Madinah seorang diri. Sedangkan adiknya, ‘Umair, tinggal di bumi Badar sebagai syuhada. Sa’ad merelakan adiknya ke pangkuan Allah SWT dengan mengharap pahala dari-Nya.
Ketika tentara muslimin lari kocar-kacir dalam perang Uhud, Rasulullah saw. tinggal di medan tempur dengan kelompok kecil tentara muslimin tidak lebih dari sepuluh orang. Satu diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqash. Sa’ad berdiri melindungi Rasulullah saw. dengan panahnya. Tidak satupun anak panah yang dilepaskan Sa’ad dari busur melainkan mengenai sasaran dengan jitu, dan orang musyrik yang terkena, langsung tewas seketika. Tatkala Rasulullah saw. melihat Sa’ad seorang pemanah jitu, beliau berkata memberinya semangat, ” Panahlah, hai Sa’ad! Panahlah …! Bapak dan ibuku menjadi tebusanmu!” Sa’ad sangat bangga sepanjang hidupnya dengan ucapan Rasulullah itu. Sehingga Sa’ad pernah pula berkata, “Tidak pernah Rasulullah berucap kepada seorang juapun, mempertaruhkan kedua ibu bapaknya sekaligus sebagai tebusan, melainkan hanya kepadaku.”
Puncak kepahlawanan Sa’ad ditunjukkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Pada saat itu Sa’ad diperintahkan untuk memimpin penaklukan Persia. Penaklukan tersebut diawali dengan mengirimkan surat kepada pemimpin Persia untuk diajak masuk Islam atau tetap pada keyakinannya tetapi mau membayak jizyah. Tetapi permintaan tersebut di tolak. Sa’ad sendiri sangat bersedih cara damai tersebut ternyata ditolak. Dia sebenarnya tidak menginginkan perang yang akan menjatuhkan banyak korban. Tetapi akhirnya peperangan tersebut harus terjadi juga. Perang ini kemudian dikenal dengan perang Qadissiyah. Perang Qaddisiyah merupakan perang yang besar dalam sejarah. Dalam peperangan ini melibatkan 3000 pasukan, yang terdiri atas sembilan veteran perang Badar, lebih dari 300 mereka yang ikut serta dalam ikrar Riffwan di Hudaibiyyah, dan 300 di antaranya mereka yang ikut serta dalam memerdekakan Makkah bersama Rasulullah. Lalu ada 700 orang putra para sahabat, dan ribuan wanita yang ikut serta sebagai perawat dan tenaga bantuan. Sementara pasukan Persia sebanyak 120 ribu pasukan yang dipimpin langsung oleh seorang panglima yang sangat terkenal yakni Rustum.
Pada saat peperangan terjadi, Sa’ad sendiri mengalami sakit, akan tetapi meski dalam kondisi sakit, Sa’ad tetap ikut berjuang dengan semangat yang membara. Perang ini berlangsung selama empat hari berturut-turut tanpa henti. Dalam peperangan ini, panglima perang Persia berhasil dibunuh sementara korban dari pasukan muslim sebanyak kurang lebih dua ribu orang dan korban tewas dari pasukan Persia sebanyak sepuluh ribu. Akhirnya perang besar dalam sejarah umat muslim dimenangkan oleh pasukan muslim meski hanya dengan jumlah pasukan yang sedikit sehingga Persia dan seluruh dataran babilonia bisa ditaklukkan dibawah pemerintahan kaum muslimin. Keberhasilan Sa’ad tersebut merupakan salah satu prestasi yang gemilang yang dicapai dalam pemerintahan khalifah Umar bin Khattab sehingga sang khalifah menjulukinya dengan sebutan “singa yang menyembunyikan kukunya”.
Sa’ad juga satu-satunya sahabat yang dikaruniai umur yang panjang diantara sepuluh sahabat Nabi Saw yang dijamin masuk surga. Dia meninggal dalam usia delapan puluh tahun. Firasat akan panjangnya usia Sa’ad pernah dikemukakan oleh Rosulullah Saw ketika suatu hari Sa’ad menderita sakit. Pada saat merasakan kerasnya sakit, ingatan dan akal Sa’ad terus menimbang-nimbang urusan harta yang meresahkannya, kemudian Nabi SAW datang menjenguk Sa’ad. Disamping pembaringan sahabatnya, beliau duduk sembari meletakkan tangan di bahu Sa’ad. Perhatian sederhana dari Rosulullah Saw tersebut, telah memberikan ketenangan jiwa dan meredakan sakit fisik Sa’ad, yang keadaannya memang cukup memprihatinkan.
Saat Sa’ad mulai dapat mengatur nafas, mulai bisa mengendalikan suhu tubuhnya yang tinggi diterjang demam, mulailah ia mengutarakan apa yang menjadi pasal keresahan dan kegundahan hatinya. Dia berkata kepada Rosulullah Saw: ”Ya, Rasulullah, alangkah kerasnya penyakit yang saya derita ini, sebagaimana engkau menyaksikan sendiri. Adapun saya memiliki harta yang cukup banyak, sedang yang mewarisi hanyalah seorang anak perempuan. Apakah boleh saya menyedekahkan dua-pertiga dari harta saya itu ?”, Mendengar pertanyaan sahabatnya, Nabi SAW tersenyum dan menjawab,”Tidak boleh, wahai Sa’ad.” Nabi SAW memijat bahu Sa’ad dengan lembut, mulai mengurutnya pelan-pelan, lalu memijat seluruh permukaan lengannya. Sa’adpun bertanya untuk kedua kalinya,”Bagaimana jikalau separuhnya, ya Rasulullah ?” Sambil terus memijat bahu dan lengan sahabatnya, Nabi Muhammad SAW menggelengkan kepala,”Tidak boleh, wahai Sa’ad.” Kemudian Sa’ad bertanya kembali: ”Bagaimana jika sepertiganya ?”, mendengar pertanyaan tersebut Nabi SAW menarik nafas lalu tersenyum kepada Sa’ad. ”Sepertiga itu banyak dan cukup besar, sahabatku. Wahai Sa’ad, sesungguhnya, bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, hal itu lebih baik bagimu, daripada jika kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga harus meminta-minta pada sesama manusia.”nasehat beliau sambil memberi isyarat dengan kedua tangan.”Sesungguhnya, wahai Sa’ad, apapun yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridla Allah pasti kamu diberi pahala. Sekalipun kamu hanya memberikan sekerat daging ke mulut istrimu.
Mendengar penjelasan junjungannya tersebut, Sa’ad-pun tersenyum tipis. Gelisah hati dan resah pikirannya berkurang, seiring bulir-bulir keringat yang mulai membasahi kening, pertanda demam hebatnya tengah berangsur pulih. Dalam keadaan demikian, sekali lagi Sa’ad menatap wajah Nabi SAW lekat-lekat dan berkata kepada beliau: ”Wahai, Rasulullah junjungan kami, apakah saya ini akan segera berpisah dengan keluarga dan kawan-kawanku ?”, ”Belum, Sa’ad, belum waktunya.”jawab Nabi SAW.”Sesungguhnya belum dekat waktunya kamu berpisah dengan mereka. Kamu masih akan menambah amal yang kamu niatkan demi mencari ridla Allah, hingga bertambah juga derajat dan keluhuranmu. Dan barangkali kamu akan meninggal setelah sebagian orang dapat mengambil manfaat darimu, sedangkan yang lain merasa dirugikan olehmu.”
Demikianlah firasat Rosulullah atas sahabatnya Sa’ad bin Abi Waqqas yang ternyata memang diberikan umur yang panjang hingga delapan puluh tahun. Banyak yang dilakukannya selama hidup demi perjuangan dan dakwah Islam. Dia menjadi saksi atas sejarah pasca tebunuhnya khalifah Ustman bin Affan. Saat itu terjadi pertentangan dan fitnah di antara kaum muslimin sehingga terjadi kekisruhan pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dengan pendiri dinasti Umayyah, Mu’awiyah bin Abi Shofyan. Sa’ad yang telah berusia lanjut memilih untuk menepi dari berbagai fitnah yang sampai kepadanya. Ketika banyak orang, yang dipelopori oleh keponakannya, Hasyim bin ’Utbah bin Abi Waqqash, menyatakan dukungan agar Sa’ad berani ikut bersaing dalam perebutan kekuasaan, Sa’ad memilih untuk diam dan menyingkir.
Menjelang akhir hayatnya, Sa’ad lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Saw. Dia meninggal di pangkuan salah satu putranya. Pada saat detik-detik ajal menjemput Saad berkata: ”Kenapa engkau menangis, wahai anakku ?”ucap Sa’ad dalam sengal nafasnya, tatkala ia menyaksikan airmata berlelehan di pipi sang anak yang dikasihi.”Baginda Nabi SAW pernah menyampaikan kabar gembira, bahwasanya ayahmu ini adalah salah satu penduduk surga. Sungguh ayah percaya penuh dan mengimaninya. Lagipula, kepada siapa lagi kita hendak beriman, jika bukan kepada Allah dan Rasul-Nya…”
Airmata sang anak-pun makin deras mengalir, demi mendengar perkataan sang Abi, yang begitu dalam maknanya dan sungguh mengharukan hati.”Sebenarnyalah, Allah tiada akan menyiksa ayah, dan sesungguhnya ayahmu adalah termasuk penduduk surga…”berkata Sa’ad dengan lirih, demi menenangkan hati sang anak yang dirundung duka teramat dalam, waktu mendampinginya di saat-saat terakhir.
Dengan lemah, dalam puncak kepayahan sakratul maut, Sa’ad memberi isyarat kepada anaknya, untuk mengambil sesuatu dari dalam peti, tempat dimana Sa’ad biasa menyimpan benda-benda atau barang-barang pribadi. Sang anak tertegun, demi menyaksikan apa yang terdapat didalam peti itu hanyalah sehelai kain kusam, yang karena usianya juga tampak telah sedemikian lapuk. Kemudian Sa’ad berkata: ”Wahai, orang-orang yang kucintai, sesungguhnya aku telah mengenakan kain ini, saat kuhadapi orang-orang musyrik dalam peperangan Badar. Kain ini telah kusimpan lama, lama sekali, demi saat-saat seperti hari ini.”Yang hadir ketika itu langsung memahfumi, bahwasanya Sa’ad ingin ia dikafani dengan kain kusam itu. Kain yang pernah ia selempangkan sebagai pakaian, saat ia bersama-sama pasukan Islam yang pertama, bersama dengan Rasulullah dan para sahabatnya yang setia, memerangi kaum musyrikin di medan perang Badar.
Demikianlah akhirnya Saad meninggal dunia dan jasadnya di kafani dengan baju jubah yang dipakai ketika perang Badar. Saat meninggal pada tahun 54 Hijriyah dan dimakamkan di pemakaman Baqi’ di kota Madinah.