<Cerpen> September Ceria - Dibalik Pegunungan Tinggi

musthaf9

New member
Alkisah, berdirilah di sebuah pesisir, kota yang bernama Valhandin. Kota yang hijau dikelilingi hutan dan perkebunan ini terletak tidak jauh dari kaki pegunungan tinggi. Dan karena tanah di daerah ini yang tidak begitu datar, indahnya samudera yang biru dapat terlihat dengan mudah di kota ini. Kota ini biasanya ramai saat menjelang malam, yaitu saat dimana para warga biasanya berkumpul untuk saling bertegur sapa dan melepas lelah setelah seharian bekerja entah sebagai petani, peternak, atau pemburu. Suasana malam di kota ini juga sangat indah. Setelah disuguhi pemandangan memukau matahari terbenam di balik samudera, pantulan cahaya matahari dari puncak gunung tinggi masih akan menghiasi malam untuk beberapa saat.

Sayangnya, semua keindahan itu akan segera berlalu. Tiba-tiba saja muncul keanehan. Hari itu, matahari tak lagi terlihat terbenam bersembunyi di balik samudera, tapi ia tenggelam di balik awan besar yang gelap. Untuk pertama kalinya, badai datang menghampiri kota Valhandin. Karena belum pernah mengalami badai sebelumnya, sebagian besar penduduk sangat ketakutan. Dan kekhawatiran mereka baru mereda setelah malam berlalu, tapi sekali lagi mereka harus diherankan dengan hal lain yang aneh.

Pagi itu gelap, lebih gelap dari biasanya. Karena ternyata, awan besar itu masih di atas sana, menutupi langit pagi yang biasanya masih bertaburan bintang. Mulanya para penduduk mengira bahwa awan ini akan segera pergi dalam beberapa saat atau hari. Tapi sayangnya, sudah beberapa bulan dan awan mendung itu tak kunjung pergi. Sejak kedatangan awan itu, hujan mengguyur kota jauh lebih sering, dan terkadang membuat sungai di dekat kota meluap. Tapi ternyata, itu masih belum cukup buruk.

Pada suatu hari yang gelap, kota Valhandin terlihat jauh lebih sunyi. Keadaan hari itu yang memang lebih gelap dari biasanya membuat sebagian besar penduduk tak berani keluar rumah. Mereka juga mendapat firasat bahwa badai yang buruk akan datang sebentar lagi, sehingga mereka pun bersiap-siap. Tepat tengah hari, kilat terlihat menyambar di atas daerah yang terlihat berkabut jauh di laut sana. Sepertinya itu hujan lebat, tapi bukan itu masalah yang sebenarnya.

Tepat di atas bibir pantai, tanpa sepengetahuan penduduk yang lebih mengamati pergerakan guyuran hujan yang masih agak jauh di laut, awan hitam berputar-putar membentuk lingkaran yang agak kecil. Awan ini berputar semakin cepat, dan cepat, dan juga bergerak. Seorang penduduk sempat mendapati putaran awan ini bergerak mendekati kota ketika kemudian, tepat di bawah awan berputar itu, pasir-pasir di pantai tiba-tiba saja berhamburan dan berputar-putar seraya naik menuju pusat putaran awan. Tornado.

Keindahan dan kemakmuran Valhandin berakhir sejak saat itu, sejak terakhir mereka dapat melihat langit biru yang cerah. Dan selama tahun-tahun berikutnya, keadaan sering bertambah parah.

*****

Tiga orang pemuda, tengah berkumpul di bawah sebuah pohon yang agak besar. Saat itu sebenarnya hanya beberapa saat setelah matahari terbenam, tapi karena keadaannya sudah sangat gelap, masing-masing pemuda itu membawa satu obor.

”Kita harus melakukan sesuatu untuk keluar dari masalah ini.” Kata seorang pemuda berambut pendek yang sudah berkumis dan berjenggot tipis.

”Tapi kita tidak punya pilihan, awan gelap itu menutupi seluruh wilayah.” Kata pemuda lainnya yang berambut coklat.

”Tidak juga, sebenarnya kita masih punya satu pilihan.”

”Pilihan apa itu, Itachiar?” Tanya si rambut coklat.

Itachiar bangkit berdiri, lalu berjalan keluar dari tudung rindang dedaunan sang pohon. Kedua temannya mengikutinya. Dan sebelum pertanyaan lain meluncur dari mulut mereka, Itachiar segera mengacungkan jarinya tinggi ke sebuah titik, puncak pegunungan tinggi yang kini ditutupi awan. ”Tahukah kau yang kumaksud, Alavor?”

”Puncak Bersinar, sudah bertahun-tahun sejak kita terakhir melihatnya.”

”Memangnya ada apa di sana? Apakah menurutmu kita bisa menggunakannya untuk mengubah keadaan ini?” Sang pemuda berambut pendek mendekat, lalu menoleh pada Itachiar.

”Ya, Itachiar, tak seorang pun dari kota kita yang pernah mendaki hingga ke puncak, jika kau berkeinginan mendaki sampai ke sana entah dengan tujuan apa, sepertinya itu terlalu berlebihan.” Alavor ikut menimpali.

Itachiar menoleh pada kedua temannya. ”Lalu apa yang akan kita lakukan, pergi ke selatan? Atau utara? Lalu gagal seperti orang yang pernah mencobanya? Tidak, memang belum pernah satu pun dari warga kota yang pernah melakukan ini, tapi itu bukan berarti bahwa hal ini tidak akan berhasil.”

”Dan setelah sampai disana, apa yang akan kau lakukan?”

”Ayolah Ivalran, mengapa kau malah berpikir rumit seperti itu. Jika aku telah sampai, tentu saja aku akan menyeberang menuju daratan di balik pegunungan, barangkali lebih indah. Atau setidaknya, cuacanya tidak seburuk tempat ini.”

Ivalran melirik Alavor, yang juga melirik ke arahnya. Terlihat adanya komunikasi ringan yang terlihat dari gerakan berkerut dan naiknya alis mereka. Tak lama kemudian, Ivalran kembali berbicara, ”Ide bagus, aku ikut.”

”Aku juga.” Sahut Alavor.

Itachiar tersenyum, sejak mereka pertama kali bertemu, mereka memang selalu sependapat. ”Baiklah, besok di tempat ini, waktunya sebelum bekerja.”

*****

Esok harinya, Itachiar bergegas memasukkan seluruh keperluannya ke dalam kantung perjalanannya. Begitu selesai, ia langsung pergi karena tadi malam ia sudah mendapat restu keluarganya. Ketika ia sampai di tempat perjanjian, ia menyadari bahwa ia datang pertama. Disiapkannya rumput di sekitar tempat itu untuk kemudian ia jadikan tempat berbaring sembari menunggu teman-temannya. Gumpalan putih abu-abu yang membentang luas sejauh mata memandang, ia sangat merindukan langit biru pagi dengan bintang yang masih berkelap-kelip dengan indah. Tak butuh waktu lama bagi Itachiar untuk hanyut dalam kenangan indah masa lalunya, dan kemudian terlelap.

Tidak begitu lama Itachiar tertidur, dan beberapa saat setelah bangunnya, ia lupa dengan tujuannya kemari. Barulah beberapa saat setelahnya, raut mukanya yang awalnya santai langsung berubah terkejut ketika ia ingat. Tapi, ia lalu bertanya-tanya, ”Dimana Alavor dan Ivalran? Kemarin mereka bilang akan ikut.”

Sebagai seorang teman sejak beberapa tahun silam, Itachiar menunggu sejenak. Setelah beberapa saat menunduk, ia mendongakkan wajahnya untuk sekali lagi menatap langit. Seketika itu juga ia ingat sesuatu, segera dipalingkannya wajahnya ke barat, ke pegunungan tinggi yang hendak ditembusnya. Masih sama, hanya badannya yang terlihat sementara yang lainnya tertutup awan. Ia berpikir, jika saat ia berada di gumpalan itu sedang terjadi badai, ia takkan selamat. Mulai bimbanglah dirinya, antara menunggu teman-teman setianya atau berlomba adu cepat dengan badai.
Pada akhirnya Itachiar memilih untuk segera berangkat. Jika cuacanya baik-baik saja aku pasti juga baik-baik saja, begitu pikirnya. Dengan berat hati ia menghadapkan dirinya ke arah barat, menghadap dinding batu pegunungan tinggi yang memanjang dari utara lurus ke selatan. Di kaki pegunungan yang perkasa itu Itachiar mengakui bahwa perjalanan ini pastinya sangat sulit bagi dirinya yang hanya manusia biasa. Tapi untungnya, semangatnya masih cukup tinggi untuk mengalahkan ketakutannya.

Mendaki kaki sang pegunungan yang masih agak landai tidaklah terlalu berat bagi Itachiar, meskipun tetap melelahkan karena jaraknya yang sangat jauh. Semangat Itachiar yang membara akhirnya berhasil membawanya ke sebuah tempat berbatu yang menjadi batas antara kaki hijau dan lereng bebatuan sang pegunungan. Ia beristirahat sejenak, sambil menengok ke atas. Gumpalan awan itu sudah jauh lebih dekat sekarang. Udara di tempat itu agak dingin, dan berhembus sepoi-sepoi. Malam ini, di sinilah Itachiar beristirahat. Dan paginya, tanpa banyak membuang waktu ia langsung meneruskan perjalanan.

Medan bebatuan yang terjal membuat perjalanan Itachiar berlangsung sangat lambat. Untuk setiap langkah, ia harus menyiapkan tenaga lebih. Bahkan tidak jarang Itachiar harus memanjat agar ia sampai pada bagian yang lebih tinggi. Kemudian, ia juga harus mulai menggunakan tangannya untuk membantu langkah kakinya. Sesekali ia menoleh ke belakang, hanya untuk melepas rindunya pada kampung halamannya yang kini sudah mengecil hampir tak tampak.

Lebih tinggi lagi, saat itu keadaan mulai gelap ketika Itachiar menyadari bahwa sekelilingnya sudah berkabut. Ia sudah mulai memasuki lapisan awan. Tapi rasa lelahnya yang teramat sangat telah menjatuhkannya, ia hanya cukup kuat untuk tersenyum atas prestasinya ini. Kakinya serasa mau lepas, nafasnya mulai sesak dan penglihatannya mulai kabur. Disertai dengan hawa dingin yang sangat menusuk, ia mencoba mencari tempat berteduh. Tapi keberuntungan sedang tak berpihak padanya saat ini, selimut tebal yang dipakainya terlepas dan tertiup angin. Spontan Itachiar langsung mencoba mengejarnya. Hembusan anginnya sebenarnya tidak terlalu kencang, seandainya saja ia sedang dalam keadaan bugar sudah pasti dapat diambilnya kembali selimutnya. Tapi kali ini, Itachiar sudah tidak tahan lagi. Dalam lari kecilnya, sebuah langkahnya yang tersandung batu kecil merubuhkannya, memaksa dirinya untuk menutup matanya saat itu juga, meskipun tanpa perlindungan dari udara dingin yang membekukan.

*****

Gelap. Tapi hangat. Suasana yang terasa seperti setengah mati itu telah menghilang. Kini ia merasa lebih hidup, bisa ia rasakan jantungnya yang berdetak penuh semangat. Tapi saat ini, Itachiar sama sekali lupa dengan kesialan yang baru saja dialaminya. Masih hanya gelap, meskipun ia sudah membuka matanya. Baru setelah ia menoleh, ia bisa melihat cahaya yang redup, berbentuk lonjong. Ditolehkannya lagi wajahnya itu, kali ini ke arah tubuhnya. Butuh beberapa detik baginya untuk sepenuhnya sadar, dan ia langsung terbangun sambil terkejut ketika mendapati bahwa selimutnya telah kembali. Ia lalu mengucek matanya, berharap itu akan membangunkan matanya yang lama terpejam, lalu menoleh ke sekeliling. Tampaknya saat ini ia berada di sebuah gua kecil, dan di dekat pintu gua itu terbaring seorang pria. Pria inikah yang menyelamatkanku, tanya Itachiar dalam hati. Merasa bahwa tubuhnya sudah baikan, ia bangkit dan menghampiri pria itu.

Itachiar mendekat, dan mendapati bahwa wajah pria itu mulai bergerak, dan matanya mulai membuka. Sebenarnya derap langkahnya tidaklah terlalu keras, tapi siapa tahu. Lagipula, ia memang ingin melihat orang itu masih cukup kuat untuk bangun, agar nantinya dapat menemaninya meneruskan perjalanan. Tapi tunggu? Darimana orang ini tahu bahwa ia sedang mendaki gunung? Oh, ya. Itachiar kini ingat. Alavor dan Ivalran.

”Baguslah kau bisa bangun anak muda.” Pria itu ternyata sudah sepenuhnya bangun.

”Eh, kau siapa? Dan bagaimana kau bisa menemukanku?” Tanya Itachiar.

”Aku menemukan selimutmu, jadi aku berusaha secepat mungkin menyusulmu.”

”Terima kasih. Dan eh, kau tidak sendirian kan?” Itachiar berharap kedua temannya juga sedang menyusulnya.

”Dua bocah bernama Alavon dan Ivarlar yang mengaku sebagai teman dari Tachair yang katanya mendaki sendirian ke sini. Kau kenal dua orang itu? Kaukah yang mereka maksud?”

Itachiar terenyum lebar, rasa bahagia dan haru membuncah di hatinya. Ia sudah menduga bahwa kedua temannya takkan pernah mengkhianatinya. Mungkin mereka terlambat karena menunggu pria ini.

”Ya, aku Itachiar dan kedua orang itu adalah temanku, Alavor dan Ivalran. Eh, kau agak salah menyebutkan namanya tadi.”

Pria itu tersenyum, sepertinya karena tebakannya benar. ”Baguslah, mereka sedang dalam perjalanan kemari, bersama kedua temanku, Gamnaron dan Haladre. Sebaiknya kita menunggu sambil beristirahat. Aku sudah memasang bendera di depan, mereka akan tahu.”

Itachiar lalu duduk di dekat pria itu. ”Dan, kau sendiri, sepertinya kau belum menyebutkan namamu.”

Pria berjenggot itu merubah posisi setengah duduknya, dan merebahkan diri. ”Panggil saja aku Azraliel.”

”Azraliel? Seingatku di kota Valhandin tidak ada yang bernama demikian, tapi di sisi lain, aku merasa pernah dengar.” Itachiar mengerutkan dahinya sambil menatap ke sudut gua.

”Dasar anak jaman sekarang mudah lupa, dulu aku memang tinggal di Valhandin, saat itu kau masih anak-anak. Tapi saat awan gelap menyebalkan itu datang, aku dan kedua temanku mencoba berkelana ke utara, mencari tempat yang cerah. Tapi ternyata, pencarianku sia-sia. Cuacanya sama saja, malahan aku dihadang pegunungan.” Azraliel bercerita sambil menatap langit-langit.

”Maksudmu?”

Azraliel sempat melirik Itachiar sebentar. ”Sepertinya itu cabang pegunungan tinggi. Sepertinya.”

”Karenanya kau kembali?”

”Aku bukan tipe orang nekad sepertimu yang berani menantang pegunungan ini sendirian, temanku juga begitu. Kami kembali untuk melengkapi perbekalan.”

”Oh, begitu.”

”Jika bukan gara-gara kau dan kenekadanmu itu, mungkin aku baru berangkat ke sini sekarang. Ya, saat itu kedua temanmu memaksaku, aku bahkan juga dipaksa memohonkan izin pada orang tua mereka. Untung saja, aku baik hati.” Azraliel lalu tertawa mengejek. ”Hah, dasar anak jaman sekarang. Modalnya nekad.”

Itachiar cemberut, tersinggung. Tapi apa mau dikata, memang benar yang dikatakan Azraliel. Semangat saja tak akan cukup untuk menaklukan pegunungan ini. Itachiar merenung sebentar. Masih ada sedikit hal yang ingin dia bicarakan, tapi ternyata Azraliel sudah kembali tidur. Merasa tak ada hal lain yang bisa dilakukan, Itachiar juga memutuskan untuk menambah istirahatnya.

*****

Keadaannya dingin, tapi tak berangin. Itachiar merasa sangat nyaman karena tubuhnya dilindungi selimut tebal. Dan tidurnya kali ini, tampaknya cukup nyenyak.

Tiba-tiba terasa ada guncangan dahsyat. Disertai dengan teriakan-teriakan yang terdengar tidak asing. Tak butuh waktu lama bagi kedua gangguan itu untuk membangunkan Itachiar. Mulanya terlihat tidak senang, tapi begitu menyadari bahwa itu adalah teman-temannya, Itachiar langsung bangun dan memeluk mereka. Dua orang pria lainnya juga memasuki gua kecil itu, lalu membangunkan Azraliel. Mereka pasti Gamnaron dan Haladre.

Tawa dan canda terdengar di dalam gua itu, yang tentunya itu berasal dari Itachiar dan kawan-kawan. Rasa lelah karena telah mendaki sejauh ini, tak lagi terasa, ditutupi oleh senyum kebahagiaan dan tawa persahabatan. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Azraliel dan kedua temannya memiliki pandangan yang hampir sama dengan Itachiar, mereka harus berlomba melawan badai. Mereka harus segera berangkat.

Medan yang sepenuhnya berupa bebatuan harus kembali mereka terjang. Dengan diri mereka berada di dalam awan, jarak pandang mereka menjadi sangat pendek. Seolah-olah mereka berada di tempat berbatu dengan dinding agak putih di segala penjuru. Pemandangan yang sangat membosankan.

”Pastikan selimut kalian terikat kuat, kita sudah sangat tinggi sekarang.” Kata Azraliel.

Asik dengan pembicaraan dan canda mereka, Itachiar dan kedua temannya terlihat acuh. Meskipun suhunya sudah lebih dingin, dan udara mulai agak sulit dihirup, tapi perjalanan ini terlihat tidak terlalu berat bagi mereka. Tampaknya peran persahabatan juga banyak membantu di sini. Seperti yang pernah mereka ikrarkan, ”Tidak pernah ada Aku, yang ada hanya Kita.” Seandainya Ivalran dan Alavor benar-benar tidak menyusul Itachiar, ia takkan berhasil sampai sejauh ini.

Kelompok Azraliel lebih banyak diam. Mereka memang tipe yang tidak suka main-main. Tujuan mereka selalu menjadi fokus utama. Seandainya mereka bercanda, tidak pernah di masa-masa bertarung dengan alam.

Tiba-tiba Gamnaron berhenti, dan wajahnya menampakkan raut terkejut. ”Kalian dengar itu?”

Semuanya diam, berharap apa yang terdengar oleh Gamnaron terdengar juga oleh mereka. Tapi untuk saat ini, masih sunyi.

Itachiar dan kelompoknya saling menatap dalam kebingungan. Merasa bahwa ini cukup serius, tidak ada yang berani berkomentar.

”Berarti kita harus bergerak lebih cepat. Ayo!” Sepertinya Azraliel paham yang dimaksud Gamnaron.

Itachiar penasaran, ia lalu menoleh ke belakang, ke arah Gamnaron. Tapi raut mukanya sudah kembali serius dan datar, membosankan. Ia lalu berlari ke depan, menuju Azraliel. ”Hey, kau tahu yang dimaksud Gamnaron? Aku penasaran apa itu. Hey!”

Azraliel sama sekali tidak memperlamabat lajunya, dan ia juga baru menjawab ketika Itachiar sudah sangat dekat. Itu pun, dengan pandangan yang tetap lurus ke depan. ”Sesuatu yang buruk, kau tidak akan mau tahu.”

”Ayolah!” Bujuk Itachiar.

Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh lirih.
Kini Azraliel berhenti, dan menatap Itachiar. ”Itu yang dia maksud.” Azraliel lalu menoleh ke belakang, ke arah yang lainnya.

Jantung Itachiar bedetak kencang. Sebuah perasaan takut tiba-tiba mencuat di hatinya. Bayangan tentang angin kencang, guntur yang menggelegar, dan tumpahan air bertubi-tubi yang nanti akan dihadapinya dalam jarak sedekat ini. Nyalinya sempat ciut, tapi untunglah Azraliel segera merasakannya dan menegarkannya kembali.

”Bersiaplah untuk menghadapi rintangan terbesar kita!”

Itachiar mengangguk, dan berusaha mempersiapkan diri.

”Bagaimanapun, melawan badai di tempat seperti ini adalah pilihan terakhir, jika kalian melihat tempat berlindung yang cukup untuk kita berenam, katakan saja!” Setelah itu, Azraliel berjalan kembali dan diikuti oleh yang laiinya, termasuk Itachiar.

Suara gemuruh yang sahut-berahutan mulai terdengar semakin keras. Pemandangannya juga mulai berubah. Warna awan yang menyelimuti mulai berganti menjadi abu-abu, menyamai warna bebatuan terjal pegunungan. Angin juga mulai berhembus sangat kencang. Perjalanannya pun mulai terasa berat, dan menggetarkan.

Tetap berjalan di tengah kelebat angin yang dahsyat sambil sesekali menengok ke sekeliling, mencari tempat perlindungan. Saat ini, mata tak bisa lagi membuka sepenuhnya. Terjangan angin yang cukup kuat disertai dengan butiran-butiran kecil air akan senantiasa memaksa kelopak untuk melindungi sang indera penglihat. Ditambah lagi, cahaya menyialukan dari sang petir sudah berhasil menembus tebalnya awan dan kini menampakkan kedahsyatannya. Telinga juga tidak menangkap bunyi apa pun selain deru angin dan juga gemuruh-gemuruh.

Mereka berenam kini basah kuyup. Tidak terlihat adanya butiran hujan di tempat ini, tapi itu tidak berarti tidak ada air. Di sini airnya justru terlihat seperti angin, tak nampak tapi membasahkan, dan juga membekukan.

Seluruhnya berjuang keras, dengan seluruh tenaga dan semangat yang tersisa. Tak satu pun dari mereka yang bicara, seluruh tenaga mereka dikerahkan untuk tetap bergerak menembus badai sebisa mungkin. Tapi kekuatan mereka ada batasnya.

”Alavor!”

Alavor pingsan, tapi untunglah Haladre segera menyusul lalu mengangkat dan menggendongnya. Haladre lalu menatap Itachiar dan memberi isyarat untuk mempercayakan Alavor pada dirinya. Itachiar mengangguk dan kembali melangkah.

Tak lama kemudian, Ivalran terjatuh pada lututnya. Dan saat ini, giliran Gamnaron untuk membantunya. Ia menarik lengan Ivalran lalu berusaha menaikkan pemuda itu ke punggungnya.

Itachiar kembali melangkah dengan berat, dan terhuyung-huyung. Ditutupnya wajahnya dengan lengan kanannya karena angin yang begitu mengganggu. Tak lama kemudian, ia merasa sesak. Dicampur dengan rasa kedinginan yang sejak tadi mendera, penderitaan Itachiar bertambah berkali lipat. Itachiar pun melangkah sambil merintih, dengan tangan kirinya memegangi dada. Tidak berselang lama, Itachiar jatuh, tapi untungnya tangannya masih cukup kuat menopangnya. Setelah berhenti sejenak dan mencoba bernafas, Itachiar memaksakan dirinya berdiri. Hanya beberapa langkah saja yang ia sanggupi, dan pandangannya mengabur. Dan tiba-tiba, terlihat dari matanya yang hampir tertutup, batuan pegunungan yang tengah dipijaknya bergerak cepat ke arahnya. Dan tepat sebelum bebatuan itu menyentuh mukanya, ia merasakan ada yang menekan dadanya. Yang terakhir dilihatnya adalah batuan pegunungan itu menjauhinya kembali.

*****

Dingin. Sunyi. Dan hitam.
Ada cahaya di sana, berwarna kuning, melingkupi setengah dari kegelapan yang dilihatnya. Perlahan mata Itachiar membuka, tapi ia masih belum sepenuhnya sadar. Tapi saat itu ia merasakan kehangatan, dan ia pun mencoba mengumpulkan kembali kekuatannya. Beberapa detik setelahnya, ia sudah bisa berkedip, dan melihat dengan baik. Dinding batu berwarna kuning, dengan latar berwarna biru. Itachiar tiba-tiba terbelalak, itukah langit? Tiba-tiba saja ia memiliki cukup kekuatan untuk bangun dan duduk, dan mengamati latar berwarna biru lebih jauh. Ya, ia yakin sekali bahwa itu langit biru yang selama ini sangat ia rindukan, sangat ia impikan. Dan tatkala ia menoleh, terlihatlah olehhnya bola cahaya berwarna kuning yang sudah tidak dilihatnya selama beberapa tahun. Itachiar tak mampu berkedip saking bahagianya, meskipun yang dipandangnya saat ini adalah sang surya dengan sinar yang menyilaukan. Bahkan tak terasa, sebutir air mata menetes dari matanya.

Itachiar terbangun beberapa saat sebelum matahari terbenam. Ia bisa melihat kembali betapa indahnya pemandangan matahari terbenam di samudera. Tapi bukan samudera air, melainkan samudera awan sejauh mata memandang. Sungguh indah.

Itachiar tak mampu berkutik melawan keindahan panorama yang tengah ditawarkan alam padanya. Ia terus terpaku, menikmati dan mengenang masa-masa indah itu. Masa-masa indah ketika ia masih kanak-kanak, bermain di bawah sinar mentari, dan berkumpul pada sore harinya dengan diterangi Puncak Bersinar.

”Inilah balasan dari usaha dan keberhasilan kita, menghadapi dan mengalahkan rintangan terbesar.” (*) Kata Azraliel pelan sambil mendekat.

Itachiar tak menoleh, seolah lupa dengan teman-temannya dan apa pun yang ada di sekelilingnya. Keindahan seperti ini terasa terlalu berharga untuk ditinggal barang sedetik pun. Azraliel lalu duduk di sampingnya, ikut menikmati. Pria itu menggeleng, tak percaya bahwa ia masih bisa melihat sang surya sekali lagi.

”Oh, ya ampun. Kau tidak akan percaya ini, Puncak Bersinar. Dan, sedekat ini.” Giliran Azraliel yang terpaku ketika ia berputar dan mendapati pemandangan puncak yang terang memantulkan sinar indah mentari sore. Bagian gunung yang saat ini tengah berwarna kekuningan ini merupakan puncak tertinggi yang terlihat dari tempat Azraliel memandang. Ada hal lain yang juga membahagiakan hati Azraliel saat itu, meskipun tidak seindah kedua pemandangan yang baru dilihatnya. Yaitu kenyataan bahwa mereka berenam sudah sangat dekat dengan tujuan mereka. Hanya tinggal sedikit lagi, dan mereka akan bisa melihat seperti apa negeri seberang.

*****

Perjalanan dilanjutkan keesokan harinya, ketika semua sudah bangun dan cukup bertenaga. Dengan semangat yang begitu membara dan harapan yang begitu membahana, perjalanan mereka berlangsung cepat. Tidak butuh waktu lama, mereka sudah melampaui garis puncak pegunungan tinggi, dan menatap kagum pada negeri seberang yang ternyata memang sangat menawan. Mirip sekali dengan alam Valhandin, hanya saja tanpa awan besar mengganggu yang menyelimuti. Mereka seolah kembali ke masa lalu dan menyaksikan alam Valhandin pada masa keemasannya. Ada hutan, padang hijau yang luas, dan sungai. Ditambah dengan air terjun kecil yang tidak pernah ada di sekitar Valhandin. Dan sebagai pengganti samudera, di sini ada danau.

Semua hal yang mereka lihat itu terlihat begitu mempesona di bawah sinar kehidupan sang mentari. Ya, cahaya matahari, selama ini itulah yang mereka rindukan.

”Misi kita sudah tercapai, yang perlu kita lakukan sekarang adalah turun ke sana dan menikmatinya.” Kata Azraliel sambil tersenyum.

”Ya, misi kita, bukan misiku. Karena memang tidak pernah ada aku, yang ada hanya kita.” Balas Itachiar.”Ya, sekarang saatnya menikmati balasan atas keberhasilan kita mengalahkan rintangan terbesar.”

”Ayo, semuanya! Hanya ada sedikit awan di sini, kita akan bisa turun dengan mudah.” Kata Azraliel pada yang lainnya.
Itachiar lalu melangkah, masih dengan senyuman menghiasi wajahnya. Tapi ia lalu ingat sesuatu. ”Bagaimana dengan penduduk kota, bukankah mereka seharusnya kita beritahu?”
Azraliel berhenti, lalu menatap angkasa. ”Membawa mereka semua kemari adalah suatu impian yang lebih tinggi dan lebih besar dari ini, dan tentunya membutuhkan pengorbanan yang lebih besar pula. Kita akan pikirkan nanti.” Azraliel tersenyum kembali.

Benar juga, adalah sebuah impian yang sangat luar biasa membawa seluruh penduduk Valhandin melewati pegunungan yang sangat mereka takutkan ke tempat ini. Tapi setidaknya untuk saat ini, tidak ada salahnya baginya untuk santai menikmati, atas segala jerih payahnya melewati ini semua. Karena keinginan selalu membutuhkan pengorbanan.
 
Last edited:
Bls: <Cerpen> September Ceria - Dibalik Pegunungan Tin

[lang=en]ask permission for printing and reading for my self :D[/lang]
 
Back
Top