Epos Mahabharata

Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Sadewa

Sahadewa, atau yang biasa disingkat Sadewa, adalah salah satu tokoh utama dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan anggota Pandawa yang paling muda, yang memiliki saudara kembar bernama Nakula.

Meskipun kembar, Nakula dikisahkan memiliki wajah yang lebih tampan daripada Sadewa, sedangkan Sadewa lebih pandai daripada kakaknya itu. Terutama dalam hal perbintangan atau astronomi, kepandaian Sadewa jauh di atas murid-murid Resi Drona lainnya. Selain itu ia juga pandai dalam hal ilmu peternakan sapi. Maka ketika para Pandawa menjalani hukuman menyamar selama setahun di Kerajaan Matsya akibat kalah bermain dadu melawan Korawa, Sadewa pun memilih peran sebagai seorang gembala sapi bernama Tantripala.

Asal-Usul

Sadewa merupakan yang termuda di antara para Pandawa, yaitu sebutan untuk kelima putra Pandu, raja Kerajaan Hastinapura. Sadewa dan saudara kembarnya, Nakula, lahir dari rahim putri Kerajaan Madra yang bernama Madri (dalam pewayangan disebut Madrim). Sementara itu ketiga kakak mereka, yaitu Yudistira, Bimasena, dan Arjuna lahir dari rahim Kunti. Meskipun demikian, Sadewa dikisahkan sebagai putra yang paling disayangi Kunti.

Nakula dan Sadewa lahir sebagai anugerah dewa kembar bernama Aswino untuk Madri, karena Pandu saat itu sedang menjalani kutukan tidak bisa bersetubuh dengan istrinya. Keduanya lahir di tengah hutan ketika Pandu sedang menjalani kehidupan sebagai pertapa.

Kepribadian

Meskipun Sadewa merupakan Pandawa yang paling muda, namun ia dianggap sebagai yang terbijak di antara mereka. Yudistira bahkan pernah berkata bahwa Sadewa lebih bijak daripada Wrehaspati, guru para dewa.

Sadewa merupakan ahli perbintangan yang ulung dan mampu mengetahui kejadian yang akan datang. Namun ia pernah dikutuk apabila sampai membeberkan rahasia takdir, maka kepalanya akan terbelah menjadi dua.

Keluarga

Setelah kemenangan Arjuna atas sayembara memanah di Kerajaan Pancala, maka semua Pandawa bersama-sama menikah dengan Dropadi, putri negeri tersebut. Dari perkawinan tersebut Sadewa memiliki putra bernama Srutakirti.

selain itu, Sadewa juga menikahi puteri Jarasanda, raja Kerajaan Magadha. Kemudian dari istrinya yang bernama Wijaya, lahir seorang putra bernama Suhotra.

Membunuh Sangkuni

Sangkuni adalah paman para Korawa dari pihak ibu. Ia merupakan tokoh licik yang menciptakan permusuhan antara Pandawa dan Korawa, sehingga meletus perang saudara besar-besaran yang terkenal dengan sebutan Baratayuda.

Melalui permainan dadu, Sangkuni secara licik berhasil merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa. Setelah itu Pandawa dan Dropadi dihukum menjalani pembuangan selama 12 tahun di hutan, serta setahun menyamar.

Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya, Sadewa berperan sebagai seorang gembala sapi bernama Tantripala. Ia menyadari bahwa penderitaan para Pandawa adalah akibat ulah licik Sangkuni. Maka ia pun bersumpah akan membunuh orang itu apabila meletus perang saudara melawan Korawa.

Setelah masa hukuman berakhir, pihak Korawa menolak mengembalikan hak-hak Pandawa. Upaya perundingan pun mengalami kegagalan. Perang di Kurukshetra pun meletus. Meskipun jumlah kekuatan pihak Pandawa lebih sedikit, namun mereka memperoleh kemenangan.

Pada hari ke-18 Sangkuni bertempur melawan Sahadewa. Dengan mengandalkan ilmu sihirnya, Sangkuni menciptakan banjir besar melanda dataran Kurukshetra. Sadewa dengan susah payah akhirnya berhasil mangalahkan Sangkuni. Tokoh licik itu tewas terkena pedang Sadewa.

Sementara itu dalam pewayangan Jawa, Sangkuni bukan mati di tangan Sadewa, melainkan di tangan Bimasena.

Versi Pewayangan Jawa

Dalam pewayangan Jawa, Sadewa dikisahkan lahir di dalam istana Kerajaan Hastina, bukan di dalam hutan. Kelahirannya bersamaan dengan peristiwa perang antara Pandu melawan Tremboko, raja raksasa dari Kerajaan Pringgadani. Dalam perang tersebut keduanya tewas. Madrim ibu Sadewa melakukan bela pati dengan cara terjun ke dalam api pancaka.

Versi lain menyebutkan, Sadewa sejak lahir sudah kehilangan ibunya, karena Madrim meninggal dunia setelah melahirkan dirinya dan Nakula.

Sewaktu kecil, Sadewa memiliki nama panggilan Tangsen. Setelah para Pandawa membangun Kerajaan Amarta, Sadewa mendapatkan Kasatrian Baweratalun sebagai tempat tinggalnya.

Istri Sadewa versi pewayangan hanya seorang, yaitu Perdapa putri Resi Tambrapetra. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak bernama Niken Sayekti dan Bambang Sabekti. Masing-masing menikah dengan anak-anak Nakula yang bernama Pramusinta dan Pramuwati.

Versi lain menyebutkan Sadewa memiliki anak perempuan bernama Rayungwulan, yang baru muncul jauh setelah perang Baratayuda berakhir, atau tepatnya pada saat Parikesit cucu Arjuna dilantik menjadi raja Kerajaan Hastina. Rayungwulan ini menikah dengan putra Nakula yang bernama Widapaksa.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

(Lanjutan Adiparwa)

Terbakarnya rumah damar

Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya.

Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra. Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa lima. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba.

Duryodana atau Suyodana adalah tokoh antagonis yang utama dalam wiracarita Mahabharata, musuh utama para Pandawa. Duryodana merupakan inkarnasi dari Iblis Kali. Ia lahir dari pasangan Dretarastra dan Gandari. Duryodana merupakan saudara yang tertua di antara seratus Korawa. Ia menjabat sebagai raja di Kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahannya di Hastinapura.

Duryodana menikah dengan puteri Prabu Salya dan mempunyai putera bernama Laksmana (Laksmanakumara). Duryodana digambarkan sangat licik dan kejam, meski berwatak jujur, ia mudah terpengaruh hasutan karena tidak berpikir panjang dan terbiasa dimanja oleh kedua orangtuanya. Karena hasutan Sangkuni, yaitu pamannya yag licik dan berlidah tajam, ia dan saudara-saudaranya senang memulai pertengkaran dengan pihak Pandawa. Dalam perang Bharatayuddha, bendera keagungannya berlambang ular kobra. Ia dikalahkan oleh Bima pada pertempuran di hari kedelapan belas karena pahanya dipukul dengan gada.

Arti nama

Secara harfiah, nama Duryodana dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "sulit ditaklukkan" atau dapat pula berarti "tidak terkalahkan".

Kelahiran

Saat Gandari hamil dalam jangka panjang yang tidak wajar, ia memukul-mukul kandungannya dalam keadaan frustasi dan cemburu terhadap Kunti, yang telah memberikan Pandu tiga orang putera. Atas tindakannya, Gandari melahirkan gumpalan daging berwarna keabu-abuan. Kemudian Gandari memuja Byasa, seorang pertapa sakti, yang kemudian memberi berkah seratus orang anak kepada Gandari. Kemudian Byasa memotong gumpalan daging tersebut menjadi seratus bagian, dan memasukkannya ke dalam pot. Kemudian pot-pot tersebut ditanam di dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, pot tersebut digali kembali. Yang pertama kali dikeluarkan dari pot tersebut adalah Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan adik-adiknya yang lain.

Tanda-tanda yang buruk mengiringi kemunculannya dari dalam pot. Para brahmana di keraton merasakan adanya tanda-tanda akan bencana yang buruk. Widura mengatakan bahwa jika tanda-tanda seperti itu mengiringi kelahiran putranya, itu tandanya kekerasan akan mengakhiri dinasti tersebut. Widura dan Bisma menyarankan agar putera tersebut dibuang, namun Dretarastra tidak mampu melakukannya karena rasa cinta dan ikatan emosional terhadap putera pertamanya itu.

Pendidikan

Tubuh Duryodana dikatakan terbuat dari petir, dan ia sangat kuat. Ia dihormati oleh adik-adiknya, khususnya Dursasana. Dengan belajar ilmu bela diri dari gurunya, yaitu Krepa, Drona dan Balarama atau Baladewa, ia menjadi sangat kuat dengan senjata gada, dan setara dengan Bima, yaitu Pandawa yang kuat dalam hal tersebut.

Persahabatan dengan Karna

Saat para Korawa dan Pandawa unjuk kebolehan saat menginjak dewasa, munculah sesosok ksatria gagah perkasa yang mengaku bernama Karna. Ia menantang Arjuna yang disebut sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Namun Krepa mengatakan bahwa Karna harus mengetahui kastanya, agar tidak sembarangan menantang seseorang yang tidak setara.

Duryodana membela Karna, kemudian mengangkatnya menjadi raja di Kerajaan Anga. Semenjak saat itu, Duryodana bersahabat dengan Karna. Baik Karna maupun Duryodana tidak mengetahui, bahwa Karna sebenarnya merupakan putera Kunti. Karna juga merupakan harapan Duryodana agar mampu meraih kemenangan saat Bharatayuddha berlangsung, karena Duryodana percaya bahwa Karna adalah lawan yang sebanding dengan Arjuna.

Perebutan kerajaan

Duryodana memiliki sifat iri hati terhadap kekayaan Yudistira serta kemegahannya di Indraprastha. Terlebih lagi kepada para Pandawa lainnya yang selalu membuat hatinya jengkel. Berbagai usaha ingin dilakukannya untuk menyingkirkan para Pandawa, namun selalu gagal berkat perlindungan Kresna. Duryodana memiliki seorang paman bernama Sangkuni. Sifatnya sangat licik dan senang melontarkan ide-ide buruk untuk mempengaruhi keponakannya tersebut.

Saat Duryodana datang berkunjung ke Istana Indraprastha, ia terkagum-kagum dengan kemegahan istana tersebut. Saat memasuki sebuah ruangan, ia mengira sebuah kolam sebagai lantai. Tak pelak lagi ia tercebur. Kejadian tersebut disaksikan oleh Dropadi. Ia tertawa terpingkal-pingkal dan menghina Duryodana. Ia mengatakan bahwa anak orang buta ternyata ikut buta juga. Mendengar hal itu, Duryodana sangat sakit hati. Dalam hati, ia marah besar terhadap Dropadi.

Setelah pulang dari Indraprastha, Duryodana termenung memikirkan bagaimana cara mendapatkan harta Yudistira. Melihat keponakannya murung, Sangkuni menawarkan ide licik untuk mengajak Yudistira main dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Niat tersebut disetujui oleh Duryodana, termasuk Dretarastra yang terkena rayuan dan hasutan Sangkuni yang berlidah tajam. Pada hari yang dijanjikan, Yudistira bermain dadu dengan Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni. Di awal permainan, Sangkuni membiarkan Yudistira menikmati kemenangan, namun pada pertengahan permainan, kemenangan terus dimenangkan oleh Sangkuni berkat kelicikannya. Akhirnya Yudistira menyerahkan harta, kerajaan, bahkan adik-adiknya sendiri, termasuk Dropadi, istrinya.

Saat Dropadi disuruh untuk menanggalkan bajunya karena Yudistira sudah kalah taruhan, ia tidak mau melakukannya. Dengan kasar Dursasana menarik kain Dropadi. Namun berkat pertolongan gaib dari Kresna, kain yang dikenakan Dropadi tidak habis meski terus-menerus ditarik dan diulur-ulur. Akhirnya Bima bersumpah bahwa ia akan memukul paha Duryodana kelak, karena Duryodana menghina Dropadi dengan menyuruh waniat tersebut berbaring di atas pahanya.

Pertempuran di Kurukshetra

Saat Yudistira dan Pandawa lainnya sudah menjalankan masa pembuangan selama 12 tahun dan masa penyamaran selama setahun, mereka kembali ke Hastinapura dan meminta kembali kerajaan mereka sesuai dengan perjanjian yang sah. Namun Duryodana bersikap sombong dan menolak permohonan Yudistira mentah-mentah. Yudistira kemudian meminta agar mereka diberikan lima buah desa saja, karena sudah merupakan kewajiban Pandawa untuk turut serta dalam pemerintahan sebagai pangeran Kerajaan Kuru. Duryodana pun bersikeras bahwa ia tidak akan mau memberikan tanah kepada Pandawa bahkan seluas ujung jarum pun. Duryodana menantang Pandawa untuk melakukan peperangan.

Sebelum pertempuran dimulai, Kresna datang ke hadapan Duryodana dan sesepuh Kerajaan Kuru seperti Dretarastra, Widura, Bisma, dan Drona. Ia datang untuk menyampaikan misi perdamaian. Namun usul Kresna ditolak juga oleh Duryodana. Dalam kesempatan tersebut, ia memiliki niat jahat untuk menculik Kresna. Namun Kresna mengetahui niat jahat Duryodana tersebut dan menampakkan wujud aslinya. Dengan gagalnya usaha Kresna, peperangan tak dapat dipungkiri lagi.

Dalam pertempuran besar di Kurukshetra, Duryodana didampingi ksatria-ksatria kuat dan dengan segenap tenaga melindunginya, seperti misalnya Bisma, Drona, Karna, Aswatama, Salya, dan lain-lain. Ia menggantungkan harapannya untuk meraih kemenangan kepada Bisma dan Karna, karena mereka adalah ksatria yang unggul dan setara, atau bahkan melebihi Arjuna. Karna yang bersumpah setia akan selalu memihak Duryodana, berusaha memberikan yang terbaik bagi sahabatnya tersebut. Namun satu-persatu ksatria besar yang memihak Duryodana, gugur di medan laga dalam usaha membela Raja Hastinapura tersebut, termasuk ksatria yang sangat diharapkan Duryodana, yaitu Bisma dan Karna. Begitu pula saudara-saudaranya, seperti misalnya Dursasana, Wikarna, Bima, Citraksa, dan lain-lain.

Akhirnya, hanya beberapa ksatria besar di pihak Korawa masih bertahan hidup, seperti misalnya Kretawarma, Krepa, Aswatama, dan Salya. Pada pertempuran di hari kedelapan belas, ia mengangkat Salya sebagai senapati pihak Korawa, namun pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Menjelang akhir peperangan tersebut, Duryodana mulai merasa cemas akan kekalahannya.

Anugerah Gandari

Ratu Gandari yang sedih dengan kematian putera-putranya, merasa cemas dengan Duryodana, putera satu-satunya yang masih bertahan hidup dalam peperangan. Agar puteranya tersebut mencapai kemenangan, ia memberikan sebuah kekuatan ajaib. Kekuatan tersebut berasal dari kedua matanya yang ia tutup. Jika kekuatan tersebut dilimpahkan kepada tubuh Duryodna, maka ia akan kebal terhadap berbagai macam serangan. Ia menyuruh Duryodana agar mandi dan memasuki tenda dalam keadaan telanjang.

Saat Duryodana ingin menghadap ibunya, ia berpapasan dengan Kresna yang baru saja datang mengunjungi ibunya. Kresna mencela dan mengejek Duryodana yang mau datang ke hadapan ibunya sendiri dalam keadaan telanjang. Karena malu, Duryodana menutupi bagian bawah perutnya, termasuk bagian pahanya.

Saat Duryodana memasuki tenda, Gandari sudah menunggunya, kemudian wanita itu membuka penutup matanya. Saat matanya terbuka, kekuatan ajaib dilimpahkan ke tubuh Duryodana. Namun ketika Gandari melihat bahwa Duryodana menutupi bagian bawah perutnya, ia berkata bahwa bagian tersebut tidak akan kebal dari serangan musuhnya karena bagian tersebut ditutupi saat Gandari melimpahkan kekuatan ajaibnya.

Pertempuran terakhir dan kematian

Saat Duryodana bertarung sendirian dengan Pandawa, Yudistira mengajukan tawaran, bahwa ia harus bertarung dengan salah satu Pandawa, dan jika Pandawa itu dikalahkan, maka Yudistira akan menyerahkan kerajaan kepada Duryodana. Duryodana memilih bertarung dengan senjata gada melawan Bima. Kedua-duanya memiliki kemampuan yang setara dalam memainkan senjata gada karena mereka berdua menuntut ilmu kepada guru yang sama, yaitu Baladewa. Pertarungan terjadi dengan sengit, keduanya sama-sama kuat dan sama-sama ahli bergulat dan bertarung dengan senjata gada. Setelah beberapa lama, Duryodana mulai berusaha untuk membunuh Bima.

Pada waktu itu, Kresna mengingatkan Bima akan sumpahnya bahwa ia akan mematahkan paha Duryodana karena perbuatannya yang melecehkan Dropadi. Atas petunjuk Kresna tersebut, Bima mengingat sumpahnya kembali dan langsung mengarahkan gadanya ke paha Duryodana. Setelah pahanya dipukul dengan keras, Duryodana tersungkur dan roboh. Ia mulai mengerang kesakitan, sebab bagian tubuhnya yang tidak kebal telah dipukul oleh Bima. Saat Bima ingin mengakhiri riwayat Duryodana, Baladewa datang untuk mencegahnya dan mengancam bahwa ia akan membunuh Bima. Baladewa juga memarahi Bima yang telah memukul paha Duryodana, karena sangat dilarang untuk memukul bagian itu dalam pertempuran dengan senjata gada.

Kresna kemudian menyadarkan Baladewa, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi Bima untuk menunaikan sumpahnya. Kresna juga membeberkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh Duryodana. Duryodana lebih banyak melanggar aturan-aturan perang daripada Bima. Ia melakukan penyerangan secara curang untuk membunuh Abimanyu. Ia juga telah melakukan berbagai perbuatan curang agar Indraprastha jatuh ke tangannya.

Duryodana gugur dengan perlahan-lahan pada pertempuran di hari kedelapan belas. Hanya tiga ksatria yang bertahan hidup dan masih berada di pihaknya, yaitu Aswatama, Krepa, dan Kretawarma. Setelah Duryodana gugur, ia masuk neraka, namun kemudian menikmati kesenangan di surga karena ia gugur di Kurukshetra, tanah suci yang diberkati.

Pandangan lain

Dalam pandangan para sarjana Hindu masa kini, Duryodana merupakan raja yang kuat dan cakap, serta memerintah dengan adil, namun bersikap licik dan jahat saat berusaha melawan saudaranya (Pandawa). Seperti Rawana, Duryodana sangat kuat dan berjaya, dan ahli dalam ilmu agama, namun gagal untuk mempraktekkannya dalam kehidupan. Namun kebanyakan umat Hindu memandangnya sebagai orang jahat yang suka mencari masalah.

Duryodana juga merupakan salah satu tokoh yang sangat menghormati orangtuanya. Meskipun dianggap bersikap jahat, ia tetap menyayangi ibunya, yaitu Gandari. Setiap pagi sebelum berperang ia selalu mohon do'a restu, dan setiap kali ia berbuat demikian, ibunya selalu berkata bahwa kemenangan hanya berada di pihak yang benar. Meskipun jawaban tersebut mengecilkan hati Duryodana, ia tetap setia mengunjungi ibunya setiap pagi.

Di wilayah Kumaon di Uttranchal, beberapa kuil yang indah ditujukan untuk Duryodana dan ia dipuja sebagai dewa kecil. Suku Kumaon di pegunungan memihak Duryodana dalam Bharatayuddha. Ia dipuja sebagai pemimpin yang cakap dan dermawan.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

(Lanjutan Adiparwa)

Pandawa mendapatkan Dropadi

Pada suatu hari, Pandawa mengikuti sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan Panchala. Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di penjuru Bharatawarsha turut menghadiri. Para Pandawa menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi. Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia berhasil memanah sasaran dengan baik. Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna karena karna anak seorang kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga kesal terhadap Dropadi.

Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia tampil ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria. Arjuna dan Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, "Ibu, kami datang membawa hasil meminta-minta". Kunti, ibu para Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan berkata, "Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh". Ketika ia menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta, membuat anak-anaknya untuk berbagai istri.

Dropadi, Drupadi, atau Draupadi adalah salah satu tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah puteri Prabu Drupada, raja di kerajaan Panchala. Pada kitab Mahabharata versi aslinya, Dropadi adalah istri para Pandawa lima semuanya. Tetapi dalam tradisi pewayangan Jawa di kemudian hari, ia hanyalah permaisuri Prabu Yudistira saja.

Arti nama

Pada mulanya, Dropadi diberi nama "Kresna", merujuk kepada warna kulitnya yang kehitam-hitaman. Dalam bahasa Sanskerta, kata "Krishna" secara harfiah berarti gelap atau hitam. Lambat laun ia lebih dikenal sebagai "Dropadi" (ejaan Sanskerta: Draupadī), yang secara harfiah berarti "puteri Drupada". Nama "Pañcali" juga diberikan kepadanya, yang secara harfiah berarti "puteri kerajaan Panchala". Karena ia merupakan saudari dari Drestadyumna, maka ia juga disebut "Yadnyaseni" (Yajñasenī).

Kelahiran Dropadi

Dropadi adalah anak yang lahir dari hasil Putrakama Yadnya, yaitu ritual memohon anak dalam wiracarita Mahabarata.Diceritakan setelah Drupada dipermalukan oleh Drona, beliau pergi ke dalam hutan untuk merencanakan balas dendam. Lalu beliau memutuskan untuk mempunyai putra yang akan membunuh Drona, dan seorang putri yang akan menikah dengan Arjuna. Dibantu oleh resi Jaya dan Upajaya, Drupada melaksanakan Putrakama Yadnya dengan sarana api suci. Dropadi lahir dari api suci tersebut.

Perkawinan dengan para Pandawa

Dalam kitab Mahabharata versi India dan dalam tradisi pewayangan di Bali, Dewi Dropadi bersuamikan lima orang, yaitu Panca Pandawa. Pernikahan tersebut terjadi setelah para Pandawa mengunjungi Kerajaan Panchala dan mengikuti sayembara di sana. Sayembara tersebut diikuti oleh para kesatria terkemuka di seluruh penjuru daratan Bharatawarsha (India Kuno), seperti misalnya Karna dan Salya. Para Pandawa berkumpul bersama para kesatria lain di arena, namun mereka tidak berpakaian selayaknya seorang kesatria, melainkan menyamar sebagai brahmana. Di tengah-tengah arena ditempatkan sebuah sasaran yang harus dipanah dengan tepat oleh para peserta dan yang berhasil melakukannya akan menjadi istri Dewi Dropadi.

Para peserta pun mencoba untuk memanah sasaran di arena, namun satu per satu gagal. Karna berhasil melakukannya, namun Dropadi menolaknya dengan alasan bahwa ia tidak mau menikah dengan putera seorang kusir. Karna pun kecewa dan perasaannya sangat kesal. Setelah Karna ditolak, Arjuna tampil ke muka dan mencoba memanah sasaran dengan tepat. Panah yang dilepaskannya mampu mengenai sasaran dengan tepat, dan sesuai dengan persyaratan, maka Dewi Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun para peserta lainnya menggerutu karena seorang brahmana mengikuti sayembara sedangkan para peserta ingin agar sayembara tersebut hanya diikuti oleh golongan kesatria. Karena adanya keluhan tersebut maka keributan tak dapat dihindari lagi. Arjuna dan Bima bertarung dengan kesatria yang melawannya sedangkan Yudistira, Nakula, dan Sadewa pulang menjaga Dewi Kunti, ibu mereka. Kresna yang turut hadir dalam sayembara tersebut tahu siapa sebenarnya para brahmana yang telah mendapatkan Dropadi dan ia berkata kepada para peserta bahwa sudah selayaknya para brahmana tersebut mendapatkan Dropadi sebab mereka telah berhasil memenangkan sayembara dengan baik.

Setelah keributan usai, Arjuna dan Bima pulang ke rumahnya dengan membawa serta Dewi Dropadi. Sesampainya di rumah didapatinya ibu mereka sedang tidur berselimut sambil memikirkan keadaan kedua anaknya yang sedang bertarung di arena sayembara. Arjuna dan Bima datang menghadap dan mengatakan bahwa mereka sudah pulang serta membawa hasil meminta-minta. Dewi Kunti menyuruh agar mereka membagi rata apa yang mereka peroleh. Namun Dewi Kunti terkejut ketika tahu bahwa putera-puteranya tidak hanya membawa hasil meminta-minta saja, namun juga seorang wanita. Dewi Kunti tidak mau berdusta maka Dropadi pun menjadi istri Panca Pandawa.

Upacara Rajasuya

Pada saat Yudistira menyelenggarakan upacara Rajasuya di Indraprastha, seluruh kesatria di penjuru Bharatawarsha diundang, termasuk sepupunya yang licik dan selalu iri, yaitu Duryodana. Duryodana dan Dursasana terkagum-kagum dengan suasana balairung Istana Indraprastha. Mereka tidak tahu bahwa di tengah-tengah istana ada kolam. Air kolam begitu jernih sehingga dasarnya kelihatan sehingga tidak tampak seperti kolam. Duryodana dan Dursasana tidak mengetahuinya lalu mereka tercebur. Melihat hal itu, Dropadi tertawa terbahak-bahak. Duryodana dan Dursasana sangat malu. Mereka tidak dapat melupakan penghinaan tersebut, apalagi yang menertawai mereka adalah Dropadi yang sangat mereka kagumi kecantikannya.

Ketika tiba waktunya untuk memberikan jamuan kepada para undangan, sudah menjadi tradisi bahwa tamu yang paling dihormati yang pertama kali mendapat jamuan. Atas usul Bisma, Yudistira memberikan jamuan pertama kepada Sri Kresna. Melihat hal itu, Sisupala, saudara sepupu Sri Kresna, menjadi keberatan dan menghina Sri Kresna. Penghinaan itu diterima Sri Kresna bertubi-tubi sampai kemarahannya memuncak. Sisupala dibunuh dengan Cakra Sudarsana. Pada waktu menarik Cakra, tangan Sri Kresna mengeluarkan darah. Melihat hal tersebut, Dewi Dropadi segera menyobek kain sari-nya untuk membalut luka Sri Kresna. Pertolongan itu tidak dapat dilupakan Sri Kresna.

Permainan dadu

Setelah menghadiri upacara Rajasuya, Duryodana merasa iri kepada Yudistira yang memiliki harta berlimpah dan istana yang megah. Melihat keponakannya termenung, muncul gagasan jahat dari Sangkuni. Ia menyuruh keponakannya, Duryodana, agar mengundang Yudistira main dadu dengan taruhan harta, istana, dan kerajaan di Indraprastha. Duryodana menerima usul tersebut karena yakin pamannya, Sangkuni, merupakan ahlinya permainan dadu dan harapan untuk merebut kekayaan Yudistira ada di tangan pamannya. Duryodana menghasut ayahnya, Dretarastra, agar mengizinkannya bermain dadu. Yudistira yang juga suka main dadu, tidak menolak untuk diundang.

Yudistira mempertaruhkan harta, istana, dan kerajaannya setelah dihasut oleh Duryodana dan Sangkuni. Karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, maka ia mempertaruhkan saudara-saudaranya, termasuk istrinya, Dropadi. Akhirnya Yudistira kalah dan Dropadi diminta untuk hadir di arena judi karena sudah menjadi milik Duryodana. Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi, namun Dropadi menolak. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun Dropadi menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna yang melihat Dropadi dalam bahaya. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.

Kematian

Dalam kitab Mahaprasthanikaparwa diceritakan, setelah Dinasti Yadu musnah, para Pandawa beserta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjalanan suci mengelilingi Bharatawarsha. Sebagai tujuan akhir perjalanan, mereka menuju pegunungan Himalaya setelah melewati gurun yang terbentang di utara Bharatawarsha. Dalam perjalanan menuju ke sana, Dropadi meninggal dunia.

Suami dan keturunan

Dalam kitab Mahabharata versi aslinya, dan dalam tradisi pewayangan di Bali, suami Dropadi berjumlah lima orang yang disebut lima Pandawa. Dari hasil hubungannya dengan kelima Pandawa ia memiliki lima putera, yakni:

1. Pratiwinda (dari hubungannya dengan Yudistira)
2. Sutasoma (dari hubungannya dengan Bima)
3. Srutakirti (dari hubungannya dengan Arjuna)
4. Satanika (dari hubungannya dengan Nakula)
5. Srutakama (dari hubungannya dengan Sadewa)

Kelima putera Pandawa tersebut disebut Pancawala atau Pancakumara.

Dropadi dalam pewayangan Jawa

Dalam budaya pewayangan Jawa, khususnya setelah mendapat pengaruh Islam, Dewi Dropadi diceritakan agak berbeda dengan kisah dalam kitab Mahabharata versi aslinya. Dalam cerita pewayangan, Dewi Dropadi dinikahi oleh Yudistira saja dan bukan milik kelima Pandawa. Cerita tersebut dapat disimak dalam lakon Sayembara Gandamana. Dalam lakon tersebut dikisahkan, Yudistira mengikuti sayembara mengalahkan Gandamana yang diselenggarakan Raja Dropada. Siapa yang berhasil memenangkan sayembara, berhak memiliki Dropadi. Yudistira ikut serta namun ia tidak terjun ke arena sendirian melainkan diwakili oleh Bima. Bima berhasil mengalahkan Gandamana dan akhirnya Dropadi berhasil didapatkan. Karena Bima mewakili Yudistira, maka Yudistiralah yang menjadi suami Dropadi. Dalam tradisi pewayangan Jawa, putera Dropadi dengan Yudistira bernama Raden Pancawala. Pancawala sendiri merupakan sebutan untuk lima putera Pandawa.

Terjadinya perbedaan cerita antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa. Setelah kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu runtuh, munculah Kerajaan Demak yang bercorak Islam. Pada masa itu, segala sesuatu harus disesuaikan dengan hukum agama Islam. Pertunjukan wayang yang pada saat itu sangat digemari oleh masyarakat, tidak diberantas ataupun dilarang melainkan disesuaikan dengan ajaran Islam. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

(Lanjutan Adiparwa)

Arjuna mengasingkan diri ke hutan

Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 12 tahun.

Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para rakshasa. Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut dengan ikhlas.

Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah: Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari hubungannya dengan Subadra anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya bernama Babruwahana.

Subadra atau Sembadra (dalam tradisi pewayangan Jawa) merupakan salah satu tokoh utama dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan puteri Prabu Basudewa (Raja di Kerajaan Surasena).

Ia terkenal dalam budaya pewayangan Jawa sebagai seorang puteri anggun, lembut, tenang, setia dan patuh pada suaminya. Ia merupakan sosok ideal priyayi puteri Jawa. Subadra yang sewaktu kecil bernama Rara Ireng mempunyai dua orang kakak yaitu Kakrasana yang kemudian menjadi raja di Mathura dengan gelar Prabu Baladewa dan Narayana yang kemudian menjadi raja di Dwaraka dengan gelar Prabu Sri Batara Kresna. Subadra menikah dengan salah satu anggota Pandawa yakni Arjuna. Dari rahim Subadra inilah lahir Abimanyu yang kemudian menurunkan Prabu Parikesit.

Riwayat

Subadra lahir sebagai puteri bungsu pasangan Basudewa dan Rohini, istrinya yang lain. Subadra wanita tercantik di mayapada. Subadra dilahirkan setelah kedua kakaknya, yaitu Kresna dan Baladewa, membebaskan Basudewa yang dikurung oleh Kamsa di penjara bawah tanah. Kemudian Ugrasena, ayah Kamsa, diangkat menjadi raja di Mathura dan Subadra hidup sebagai puteri bangsawan di kerajaan tersebut bersama dengan keluarganya.

Saat Arjuna menjalani masa pembuangannya karena tanpa sengaja mengganggu Yudistira yang sedang tidur dengan Dropadi, ia berkunjung ke Dwaraka, yaitu kediaman sepupunya yang bernama Kresna, karena ibu Arjuna (Kunti) bersaudara dengan ayah Kresna (Basudewa). Di sana Arjuna bertemu dengan Subadra dan mengalami nuansa romantis bersamanya. Kresna pun mengetahui hal tersebut dan berharap Arjuna menikahi Subadra, demi yang terbaik bagi Subadra. Pada saat itu status Arjuna adalah suami yang memiliki tiga istri, yaitu Dropadi, Citrānggadā, dan Ulupi. Maka pernikahannya dengan Subadra menjadikan Subadra sebagai istrinya yang keempat.

Subadra dan Arjuna memiliki seorang putera, bernama Abimanyu. Saat Pandawa kalah main dadu dengan Korawa, mereka harus menjalani masa pembuangan selama dua belas tahun, ditambah masa penyamaran selama satu tahun. Subadra dan Abimanyu tinggal di Dwaraka sementara ayah mereka mengasingkan diri di hutan. Pada masa-masa itu Abimanyu tumbuh menjadi pria yang gagah dan setara dengan ayahnya.

Ketika perang besar di Kurukshetra berkecamuk, para pria terjun ke peperangan sementara para wanita diam di rumah mereka. Abimanyu dan Arjuna turut serta ke medan laga dan meninggalkan Subadra di Dwaraka. Pada waktu itu umur Abimanyu 16 tahun. Saat pertempuran berakhir, hanya Arjuna yang selamat sementara seluruh puteranya yang turut berperang gugur, termasuk Abimanyu yang sangat dicintai Arjuna dan Subadra. Namun sebelum gugur, Abimanyu sudah menikah dengan Utara dan memiliki seorang putera bernama Parikesit. Parikesit kemudian menjadi raja Hastinapura menggantikan Yudistira, pamannya. Subadra menjadi penasihat serta guru bagi cucunya tersebut.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Kisah lain dalam Kitab Adiparwa

Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan Sonaka, yang berbentuk cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan melainkan meloncat-loncat.

Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya

Dikisahkan seorang Brāhmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Ia memiliki 3 murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan diuji kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan berhati-hati Sang Arunika merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa air bah yang kemudian merusak pematang sawahnya. Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air. Berkali-kali usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk menahan air. Karena kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh Bagawan Dhomya.

Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut mengakibatkan matanya buta. Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.

Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik buat gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda dianugerahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.

Kisah Sang Winata dan Sang Kadru

Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut bernama: Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi, Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak. Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat telur masing-masing dengan baik.

Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada. Sang anak marah karena ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais (kusir) kereta Dewa Surya.

Kisah pemutaran Mandaragiri

Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat untuk mencari tirta amerta (air suci). Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta tersebut berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk lautan tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira. Untuk mengaduknya, Naga Wasuki mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung tersebut dibawa ke tengah lautan. Seekor kura-kura (Kurma) besar menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar gunung tidak melambung ke atas.

Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta. Para detya ingin agar tirta tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para rakshasa dan detya. Para rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah kembali menjadi Dewa Wisnu.

Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara para Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya. Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa tirta amerta ke surga.

Kisah Sang Garuda dan para Naga

Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.

Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.

Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.

Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta. Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”. Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.

Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena merasa sudah menebus perbudakan ibunya.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Bahasa dan sejarah Kitab Adiparwa

Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa Sansekerta dan dianggap sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu. Tidak tercatat kapan persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam bagian pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Jawa kuna atau juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (kerajaan Kediri, tahun 991-1016).

Pengaruh dalam budaya

Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi, banyak digubah menjadi cerita pewayangan. Dalam kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa. Hal ini disebabkan oleh kecerdasan para pujangga masa lampau yang mampu memindah alam pikiran para pembaca atau pendengarnya dari suasana India menjadi Jawa Asli. Jika Hastinapura sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka, Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah Jawa.

Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi aslinya mereka terdiri dari lima orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu orang saja. Menurut Mulyono dalam artikelnya berjudul “Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa”, ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa. Hal serupa juga terjadi pada kisah Dewi Dropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam Adiparwa ia bersuami lima orang, maka dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh Islam) Dropadi hanya bersuami satu orang saja. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam. Pancawala yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh yang merupakan putera Yudistira saja.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Sabhaparwa

Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan alasan mengapa sang Pandawa Lima ketika diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12 tahun dan menyamar selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka berjudi dan kalah dari Duryodana.

Ringkasan isi Kitab Sabhaparwa

Niat licik Duryodana dan Sangkuni

Semenjak pulang dari Indraprastha, Duryodana sering termenung memikirkan usaha untuk mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di Indraprastha. Ia ingin sekali mendapatkan harta dan istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara mendapatkannya. Terlintas dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun dicegah oleh Sangkuni.

Sangkuni berkata, "Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara bermain dadu dengan akal-akalan. Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan. Untuk itu, undanglah dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas nama anda. Dengan kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku. Dengan demikian, anda akan dapat memiliki apa yang anda impikan".

Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni, mereka mengajukan niat tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang Pandawa main dadu. Duryodana juga menceritakan sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin mempertimbangkan niat puteranya tersebut kepada Widura, namun karena mendapat hasutan dari Duryodana dan Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura.

Pandawa dan Korawa main dadu

Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus Widura untuk mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa, menyanggupi undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan pengawal, Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, rombongan mereka disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama satu hari, kemudian menuju ke arena perjudian.

Yudistira berkata, "Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut para orang bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama lawan". Setelah mendengar perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, "Ma'af paduka Prabu. Saya kira jika anda berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih bersaudara. Apabila paduka yang menang, maka kekayaan Duryodana tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula jika Duryodana menang, maka kekayaan paduka tidaklah hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara. Untuk itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?"

Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan dadu pun dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab dalam berjudi tidak lazim kalau diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu Yudistira. Yudistira pun termakan rayuan Sangkuni.

Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan. Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya senang. Berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan, namun mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main dadu.

Dropadi dihina di muka umum

Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana. Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka semua membisu karena hak ada pada Yudistira.

Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul.

Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, "Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang semua orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?", ujar Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung dan malu.

Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata, "Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!"

Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak setuju dengan Wikarna. Karna berkata, "Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih bodoh daripada kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau berani memberi pelajaran kepada beliau semua? Lagipula, mungkin memang nasib Dropadi seperti ini karena kutukan Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah kau melihat wanita bersuami sampai lima orang?"

Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun hanya Dropadi yang menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi berdo'a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna mendengar do'a Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur kain yang dikenakan Dropadi, sementara Dursasana yang tidak mengetahuinya menarik kain yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut menyebabkan usaha Dursasana menelanjangi Dropadi tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.

Pandawa dibuang ke tengah hutan

Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah lolongan anjing dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta Dropadi.

Dretarastra berkata, "O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu yang menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang telah berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha".

Setelah mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri. Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira. Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah, maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana jahat anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu. Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.

Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh kerajaannya.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Sangkuni

Sangkuni, atau yang dalam ejaan Sanskerta disebut Shakuni adalah seorang tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan paman para Korawa dari pihak ibu. Sangkuni terkenal sebagai tokoh licik yang selalu menghasut para Korawa agar memusuhi Pandawa. Antara lain, ia berhasil merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui sebuah permainan dadu.

Dalam pewayangan Jawa, Sangkuni sering dieja dengan nama Sengkuni. ketika para Korawa berkuasa di Kerajaan Hastina, ia diangkat sebagai patih. Dalam pewayangan Sunda, ia juga dikenal dengan nama Sangkuning.

Asal-Usul Versi Mahabharata

Menurut versi Mahabharata, Sangkuni berasal dari Kerajaan Gandhara. Ayahnya bernama Suwala. Pada suatu hari adik perempuannya yang bernama Gandari dilamar untuk dijadikan sebagai istri Dretarastra, seorang pangeran dari Hastinapura yang menderita tunanetra. Sangkuni marah atas keputusan ayahnya yang menerima lamaran tersebut. Menurutnya, Gandari seharusnya menjadi istri Pandu, adik Dretarastra. Namun karena semuanya sudah terjadi, ia pun mengikuti Gandari yang selanjutnya menetap di istana Hastinapura.

Gandari memutuskan untuk selalu menutup kedua matanya menggunakan selembar kain karena ia sangat setia kepada suaminya yang buta. Dari perkawinan mereka lahir seratus orang Korawa, yang sejak kecil diasuh oleh Sangkuni.

Di bawah asuhan Sangkuni, para Korawa tumbuh menjadi anak-anak yang selalu diliputi rasa kebencian terhadap para Pandawa, yaitu putra-putra Pandu. Setiap hari Sangkuni selalu mengobarkan rasa permusuhan di hati para Korawa, terutama yang tertua, yaitu Duryodana.

Konon Sangkuni merupakan reinkarnasi dari Dwapara, yaitu seorang dewa yang bertugas menciptakan kekacauan di muka bumi.

Asal-Usul Versi Pewayangan

Dalam pewayangan, terutama di Jawa, Sengkuni bukan kakak dari Dewi Gendari, melainkan adiknya. Sementara itu Gandara versi pewayangan bukan nama sebuah kerajaan, melainkan nama kakak tertua mereka. Sengkuni sendiri dikisahkan memiliki nama asli Harya Suman.

Pada mulanya raja Kerajaan Plasajenar bernama Suwala. Setelah meninggal, ia digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Gandara. Pada suatu hari Gandara ditemani kedua adiknya, yaitu Gendari dan Suman, berangkat menuju Kerajaan Mandura untuk mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Kunti, putri negeri tersebut.

Di tengah jalan, rombongan Gandara berpapasan dengan Pandu yang sedang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Hastina setelah memenangkan sayembara Kunti. Pertempuran pun terjadi. Gandara akhirnya tewas di tangan Pandu. Pandu kemudian membawa serta Gendari dan Suman menuju Hastina.

Sesampainya di Hastina, Gendari diminta oleh kakak Pandu yang bernama Drestarastra untuk dijadikan istri. Gendari sangat marah karena ia sebenarnya ingin menjadi istri Pandu. Suman pun berjanji akan selalu membantu kakaknya itu melampiaskan sakit hatinya. Ia bertekad akan menciptakan permusuhan di antara para Kurawa, anak-anak Drestarastra, melawan para Pandawa, anak-anak Pandu.

Asal-Usul Nama Sangkuni

Menurut versi pewayangan Jawa, pada mulanya Harya Suman berwajah tampan. Ia mulai menggunakan nama Sengkuni semenjak wujudnya berubah menjadi buruk akibat dihajar oleh Patih Gandamana.

Gandamana adalah pangeran dari Kerajaan Pancala yang memilih mengabdi sebagai patih di Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Pandu. Suman yang sangat berambisi merebut jabatan patih menggunakan cara-cara licik untuk menyingkirkan Gandamana.

Pada suatu hari Suman berhasil mengadu domba antara Pandu dengan muridnya yang berwujud raja raksasa bernama Prabu Tremboko. Maka terciptalah ketegangan di antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan Pringgadani. Pandu pun mengirim Gandamana sebagai duta perdamaian. Di tengah jalan, Suman menjebak Gandamana sehingga jatuh ke dalam perangkapnya.

Suman kemudian kembali ke Hastina untuk melapor kepada Pandu bahwa Gandamana telah berkhianat dan memihak musuh. Pandu yang saat itu sedang labil segera memutuskan untuk mengangkat Suman sebagai patih baru. Tiba-tiba Gandamana yang ternyata masih hidup muncul dan menyeret Suman. Suman pun dihajar habis-habisan sehingga wujudnya yang tampan berubah menjadi jelek.

Sejak saat itu, Suman pun terkenal dengan sebutan Sengkuni, berasal dari kata saka dan uni, yang bermakna "dari ucapan". Artinya, ia menderita cacad buruk rupa adalah karena hasil ucapannya sendiri.

Peristiwa Minyak Tala

Versi pewayangan selanjutnya mengisahkan, setelah Pandu meninggal dunia, pusakanya yang bernama Minyak Tala dititipkan kepada Drestarastra supaya kelak diserahkan kepada para Pandawa jika kelak mereka dewasa. Minyak Tala sendiri merupakan pusaka pemberian dewata sebagai hadiah karena Pandu pernah menumpas musuh kahyangan bernama Nagapaya.

Beberapa tahun kemudian, terjadi perebutan antara para Pandawa melawan para Kurawa yang ternyata juga menginginkan Minyak Tala. Dretarastra memutuskan untuk melemparkan minyak tersebut beserta wadahnya yang berupa cupu sejauh-jauhnya. Pandawa dan Kurawa segera berpencar untuk bersiap menangkapnya.

Namun, Sengkuni dengan licik lebih dahulu menyenggol tangan Drestarastra ketika hendak melemparkan benda tersebut. Akibatnya, sebagian Minyak Tala pun tumpah. Sengkuni segera membuka semua pakaiannya dan bergulingan di lantai untuk membasahi seluruh kulitnya dengan minyak tersebut.

Sementara itu, cupu beserta sisa Minyak Tala jatuh tercebur ke dalam sebuah sumur tua. Para Pandawa dan Kurawa tidak mampu mengambilnya. Tiba-tiba muncul seorang pendeta dekil bernama Durna yang berhasil mengambil cupu tersebut dengan mudah. Tertarik melihat kesaktiannya, para Kurawa dan Pandawa pun berguru kepada pendeta tersebut.

Sengkuni yang telah bermandikan Minyak Tala sejak saat itu mendapati seluruh kulitnya kebal terhadap segala jenis senjata. Meskipun ilmu bela dirinya rendah, namun tidak ada satu pun senjata yang mampu menembus kulitnya.

Usaha-Usaha untuk Menyingkirkan Pandawa

Baik dalam versi Mahabharata maupun versi pewayanagan, Sengkuni merupakan penasihat utama Duryudana, pemimpin para Kurawa. Berbagai jenis tipu muslihat dan kelicikan ia jalankan demi menyingkirkan para Pandawa.

Dalam Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa, Sangkuni menciptakan kebakaran di Gedung Jatugreha, tempat para Pandawa bermalam di dekat Hutan Waranawata. Namun para Pandawa dan ibu mereka, yaitu Kunti berhasil meloloskan diri dari kematian. Dalam pewayangan, peristiwa ini terkenal dengan nama Bale Sigala-Gala.

Usaha Sengkuni yang paling sukses adalah merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui permainan dadu melawan pihak Kurawa. Kisah ini terdapat dalam Mahabharata bagian kedua, atau Sabhaparwa.

Peristiwa tersebut disebabkan oleh rasa iri hati Duryudana atas keberhasilan para Pandawa membangun Indraprastha yang jauh lebih indah daripada Hastinapura. Atas saran Sengkuni, ia pun mengundang para Pandawa untuk bermain dadu di Hastinapura. Dalam permainan itu Sengkuni bertindak sebagai pelempar dadu Kurawa. Dengan menggunakan ilmu sihirnya, ia berhasil mengalahkan para Pandawa. Sedikit demi sedikit harta benda, istana Indraprastha, bahkan kemerdekaan para Pandawa dan istri mereka, Dewi Drupadi jatuh ke tangan Duryudana.

Mendengar Drupadi dipermalukan di depan umum, Dewi Gendari ibu para Kurawa muncul membatalkan semuanya. Para Pandawa pun pulang dan mendapatkan kemerdekaan mereka kembali. Karena kecewa, Duryudana mendesak ayahnya, Drestarastra, supaya mengizinkannya untuk menantang Pandawa sekali lagi. Drestarastra yang lemah tidak kuasa menolak keinginan anak yang sangat dimanjakannya itu.

Maka, permainan dadu yang kedua pun terjadi kembali. Untuk kedua kalinya, pihak Pandawa kalah di tangan Sengkuni. Sebagai hukuman, mereka harus menjalani hidup selama 12 tahun di dalam hutan, dan dilanjutkan dengan menyamar selama setahun di suatu negeri. Jika penyamaran mereka sampai terbongkar, mereka harus mengulangi kembali selama 12 tahun hidup di dalam hutan dan begitulah seterusnya.

Kematian di Kurukshetra

Setelah masa hukuman selama 13 tahun berakhir, para Pandawa kembali untuk mengambil kembali negeri mereka dari tangan Kurawa. Namun pihak Kurawa menolak mengembalikan Kerajaan Indraprastha dengan alasan penyamaran para Pandawa di Kerajaan Wirata telah terbongkar. Berbagai usaha damai diperjuangkan pihak Pandawa namun semuanya mengalami kegagalan. Perang pun menjadi pilihan selanjutnya.

Pertempuran besar di Kurukshetra antara pihak Pandawa melawan Kurawa dengan sekutu masing-masing akhirnya meletus. Perang yang juga terkenal dengan sebutan Baratayuda ini berlangsung selama 18 hari, di mana Sengkuni tewas pada hari terakhir.

Menurut versi Mahabharata bagian kedelapan atau Salyaparwa, Sengkuni tewas di tangan Sadewa, yaitu Pandawa nomor lima. Pertempuran habis-habisan antara keduanya terjadi pada hari ke-18. Sengkuni mengerahkan ilmu sihirnya sehingga tercipta banjir besar yang menyapu daratan Kurukshetra, tempat perang berlangsung.

Dengan penuh perjuangan, Sadewa akhirnya berhasil memenggal kepala Sengkuni. Riwayat tokoh licik itu pun berakhir.

Kisah versi asli di atas sedikit berbeda dengan Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada zaman Kerajaan Kadiri tahun 1157. Menurut naskah berbahasa Jawa Kuna ini, Sengkuni bukan mati di tangan Seadewa, melainkan di tangan Bima, Pandawa nomor dua. Sengkuni dikisahkan mati remuk oleh pukulan gada Bima. Tidak hanya itu, Bima kemudian memotong-motong tubuh Sengkuni menjadi beberapa bagian.

Kisah tersebut dikembangkan lagi dalam pewayangan Jawa. Pada hari terakhir Baratayuda, Sengkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang kebal karena pengaruh Minyak Tala bahkan sempat membuat Bima menjadi pusing karena tidak bisa mengalahkan Sengkuni.

Penasihat Pandawa selain Kresna, yaitu Semar muncul memberi tahu Bima bahwa kelemahan Sengkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut dulunya pasti tidak terkena pengaruh Minyak Tala. Bima pun maju kembali. Sengkuni ditangkap dan disobek duburnya menggunakan Kuku Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima.

Ilmu kebal Sengkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan menguliti Sengkuni tanpa ampun. Meskipun demikian, Sengkuni hanya sekarat tetapi tidak mati.

Pada sore harinya Bima berhasil mengalahkan Duryudana, raja para Kurawa. Dalam keadaan sekarat, Duryudana menyatakan bahwa dirinya bersedia mati jika ditemani pasangan hidupnya, yaitu istrinya yang bernama Dewi Banowati. Atas nasihat Kresna, Bima pun mengambil Sengkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada Duryudana. Duryudana yang sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher Sangkuni yang dikiranya Banowati.

Akibat gigitan itu, Sengkuni pun tewas seketika, begitu pula dengan Duryudana. Ini membuktikan bahwa pasangan sejati Duryudana sesungguhnya bukan istrinya, melainkan pamannya yaitu Sengkuni yang senantiasa berjuang dengan berbagai cara untuk membahagiakan para Korawa.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Widura

Widura adalah salah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah adik tiri bagi Pandu dan Dretarasta karena memiliki ayah yang sama, tetapi lain ibu. Ayah Widura adalah Resi Kresna Dwipayana Wyasa atau Resi Byasa (Abyasa), tetapi ibunya adalah seorang perempuan dari kasta sudra. Widura tidak turut terjun ke dalam medan pertempuran di Kurukshetra, yaitu perang antara Pandawa dan Korawa.

Kelahiran

Dalam kitab pertama Mahabharata, yaitu Adiparwa, diceritakan bahwa pada saat Ambalika diminta untuk menghadap Resi Byasa untuk memperoleh keturunan, ia menolak karena merasa takut dengan raut wajah sang resi yang sangat dahsyat. Demi memenuhi permintaan mertuanya, yaitu Satyawati, Ambalika mengirimkan seorang pelayan untuk menemui Resi Byasa sendirian di dalam sebuah kamar. Pelayan tersebut melayani sang resi dengan baik sehingga sang resi berkata bahwa kelak anak yang akan dilahirkan dari rahim pelayan tersebut akan berperilaku mulia. Resi Byasa juga berkata bahwa anak yang akan dilahirkan sang pelayan merupakan penjelmaan Dewa Dharma. Namun satu hal yang membuat Satyawati kecewa yakni putra tersebut bukanlah keturunan menantunya, melainkan keturunan seorang pelayan dari kasta sudra.

Masa muda dan pendidikan

Saat Widura masih muda, ia belajar di bawah bimbingan Bisma bersama dengan kedua orang saudaranya. Menurut Mahabharata, ia paling bijaksana jika dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Ia belajar menjadi menteri raja, sementara Pandu diangkat menjadi panglima perang, sedangkan Dretarastra dipilih sebagai putra mahkota. Karena Dretarastra buta, Pandu menggantikannya dan memerintah atas nama Dretarastra, sedangkan Widura menjadi penasihat raja dan menemani Dretarastra.

Peran dalam Dinasti Kuru

Widura merupakan orang yang tanggap ketika timbul niat jahat di hati Dretarastra dan Duryodana untuk menyingkirkan para Pandawa. Maka sebelum Pandawa berangkat ke Waranawata untuk berlibur, Widura memperingati Yudistira agar berhati-hati terhadap para Korawa dan ayah mereka, yaitu Dretarastra. Saat keselamatan para Pandawa dan ibunya terancam di Waranawata, berkali-kali Widura mengirimkan pesuruh untuk membantu para Pandawa meloloskan diri dari setiap bencana yang menimpanya.

Dalam pertikaian antara Korawa dan Pandawa mengenai masalah Hastinapura, Widura telah berusaha untuk mendamaikannya, mengingat bahwa kedua belah pihak adalah satu keluarga dan saudara. Dalam usahanya mencari perdamaian ia menghubungi sesepuh-sesepuh Pandawa dan Korawa, antara lain Resi Bisma, Resi Drona, Prabu Dretarasta, Sri Kresna, Yudistira dan Duryodana serta menyatakan bahwa ialah yang menulis piagam penyerahan Hastinapura dari Resi Byasa (Abiyasa) kepada Prabu Dretarasta sebagai pemangku kerajaan setelah Prabu Pandudewanata mangkat. Ketika perang di Kurukshetra berkecamuk, Widura tetap tinggal di Hastinapura meskipun ia tidak memihak para Korawa.

Versi pewayangan Jawa

Dalam pewayangan Jawa, tokoh Widura sering pula disebut dengan nama Yamawidura. Ia berkedudukan sebagai adipati Pagombakan, yaitu sebuah negeri kecil bawahan Hastinapura.

Kelahiran

Widura merupakan putra ketiga Abyasa yang lahir dari dayang bernama Datri. Dikisahkan, Citrawirya raja Hastina meninggal tanpa keturunan. Abyasa diundang untuk menyambung dinasti Bharata dengan cara menikahi kedua janda adik tirinya tersebut, yaitu Ambika dan Ambalika. Namun keduanya ketakutan ketika melihat wujud Abyasa yang mengerikan karena pendeta tersebut baru saja menjalani tapa brata cukup lama. Akibatnya, masing-masing melahirkan anak-anak cacad, yaitu Dretarastra dan Pandu.

Abyasa kemudian diperintah ibunya (Durgandini) untuk "berhubungan" dengan Ambalika sekali lagi. Ambalika memerintahkan dayangnya yang bernama Datri supaya menyemar sebagai dirinya. Ternyata Datri juga ketakutan saat bertemu dengan Abyasa. Ia mencoba lari ke luar kamar. Akibatnya, Datri pun melahirkan bayi berkaki pincang, yang diberi nama Widura.

Keluarga dan keturunan

Widura menikah dengan Padmarini, putri Dipacandra dari Pagombakan, bawahan negeri Hastina. Widura kemudian menggantikan kedudukan Dipacandra sepeninggal mertuanya itu. Yang menjabat sebagai patih di Pagombakan adalah Jayasemedi. Widura memiliki putra bernama Sanjaya yang menjadi juru penuntun Dretarastra. Sementara itu, dalam versi aslinya (versi India), antara Widura dengan Sanjaya sama sekali tidak terdapat hubungan darah.

Pelindung Pandawa

Sepeninggal Pandu, kelima putranya yang disebut Pandawa tidak menetap di istana Hastina, melainkan tinggal bersama Widura di Pagombakan. Widura berhasil mendidik kelima keponakannya itu menjadi manusia-manusia utama. Dalam dunia politik, Widura bermusuhan dengan Sangkuni, adik ipar Dretarastra yang berpangkat patih. Sangkuni sendiri menanamkan kebencian di hati para keponakannya, yaitu Korawa untuk membenci Pandawa sejak kecil.

Ketika Pandawa hendak diserahi takhta Hastina warisan Pandu, mereka terlebih dulu dijebak oleh para Korawa dalam Balai Sigala-gala yang dibakar. Namun, karena Widura membangun terowongan rahasia di bawah gedung tersebut, Pandawa dan ibunya, yaitu Kunti berhasil meloloskan diri dari maut.

Kematian

Widura berusia sangat panjang. Sementara itu putranya, yaitu Sanjaya, gugur dalam perang Baratayuda melawan Karna. Widura meninggal dunia saat bertapa di dalam hutan, ketika Pandawa telah berhasil mendapatkan kembali kekuasaan atas negeri Hastina pasca tertumpasnya Korawa.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Dursasana

Dursasana atau Duhsasana adalah nama seorang tokoh antagonis penting dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan adik nomor dua dari Duryudana, pemimpin para Kurawa, atau putra Raja Drestarasta dengan Dewi Gendari. Dursasana memiliki tubuh yang gagah, mulutnya lebar dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak sewenang-wenang, menggoda wanita dan senang menghina orang lain.

Dalam pewayangan Jawa, Dursasana memiliki seorang istri bernama Dewi Saltani, dan seorang putra yang kesaktiannya melebihi dirinya, bernama Dursala.

Arti nama

Nama Duhsasana terdiri dari dua kata Sansekerta, yaitu duh dan śāsana. Secara harfiah, kata Dusśāsana memiliki arti "sulit untuk dikuasai" atau "sulit untuk diatasi".

Kelahiran

Dursasana lahir dari kandungan Gandari dalam keadaan tidak wajar. Saat itu Gandari iri kepada Kunti istri Pandu yang telah melahirkan seorang putra bernama Yudistira. Gandari pun memukul-mukul kandungannya sehingga lahir segumpal daging berwarna keabu-abuan. Daging tersebut kemudian membelah diri sampai berjumlah seratus potongan.

Resi Wyasa datang menolong Gandari. Ia menanam daging-daging tersebut pada sebuah pot di dalam tanah. Setahun kemudian salah satu potongan daging berubah menjadi bayi yang diberi nama Duryodana, bersamaan waktunya dengan kelahiran putra kedua Kunti yang bernama Bimasena.

Beberapa waktu kemudian, ada satu lagi potongan daging putra Gandari yang berubah menjadi bayi, yang diberi nama Dursasana. Kemunculan Dursasana ini bersamaan dengan kelahiran Arjuna, putra ketiga Kunti.

Daging-daging sisanya sebanyak 98 potongan kemudian menyusul berubah menjadi bayi normal, bersamaan dengan kelahiran Nakula dan Sahadewa, putra kembar Madri, istri kedua Pandu.

Sebanyak 100 orang putra Dretarsatra dan Gandari kemudian dikenal dengan sebutan Korawa, sedangkan kelima putra Pandu disebut Pandawa. Meskipun bersaudara sepupu, namun Korawa selalu memusuhi Pandawa akibat hasutan paman mereka, yaitu Sangkuni, saudara Gandari.

Pelecehan Dropadi

Kecemburuan para Korawa terhadap Pandawa semakin memuncak ketika kelima sepupu mereka itu berhasil membangun sebuah istana yang sangat indah bernama Indraprastha. Berkat bantuan licik Sangkuni, para Korawa berhasil merebut Indraprastha melalui sebuah permainan dadu.

Saat Yudistira dan keempat adiknya kehilangan kemerdekaan, ia masih tetap dipaksa oleh Duryodana untuk mempertaruhkan Dropadi. Dropadi adalah putri Kerajaan Pancala yang dinikahi para Pandawa secara bersama-sama. Setelah Dropadi jatuh ke tangan Korawa, Duryodana pun menyuruh Dursasana untuk menyeret wanita itu dari kamarnya.

Dengan cara kasar, Dursasana menjambak Dropadi dan menyeretnya dari kamar menuju tempat perjudian. Duryodana kemudian memerintahkan agar Dursasana menelanjangi Dropadi di depan umum. Tidak seorang pun yang kuasa menolong Dropadi. Dalam keadaan tertekan, Dropadi berdoa memohon bantuan Tuhan. Sri Kresna pun mengirimkan bantuan gaib sehingga pakaian yang dikenakan Dropadi seolah-olah tidak ada habisnya, meskipun terus-menerus ditarik Dursasana. Akhirnya Dursasana sendiri yang jatuh kelelahan.

Setelah peristiwa itu, Dropadi bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum keramas darah Dursasana, begitu juga Bimasena (Pandawa nomor dua) bersumpah akan memotong lengan Dursasana dan meminum darahnya.

Kematian

Puncak permusuhan Pandawa dan Korawa meletus dalam sebuah pertempuran besar di Kurukshetra. Pada hari keenam belas, Dursasana bertarung melawan Bimasena. Dalam perkelahian tersebut Bimasena berhasil menarik lengan Dursasana sampai putus, kemudian merobek dada dan meminum darah sepupunya itu.

Bimasena kemudian menyisakan segenggam darah Dursasana untuk diusapkannya ke rambut Dropadi yang menunggu di tenda. Dendam istri Pandawa itu pun terbayar sudah.

Versi pewayangan Jawa

Dalam pewayangan Jawa, Dursasana memiliki tempat tinggal bernama Kasatriyan Banjarjunut. Istrinya bernama Dewi Saltani, yang darinya lahir seorang putra sakti bernama Dursala. Namun Dursala tewas sebelum meletusnya perang Baratayuda di tangan Gatotkaca putra Wrekudara.

Kisah kematian Dursasana dalam pewayangan lebih didramatisir lagi. Dikisahkan setelah kematian putra Duryudana yang bernama Lesmana Mandrakumara pada hari ketiga belas, Dursasana diangkat sebagai putra mahkota yang baru. Namun Duryudana melarangnya ikut perang dan menyuruhnya pulang ke Hastina dengan alasan menjaga Dewi Banowati, istrinya.

Banowati merasa risih atas kedatangan Dursasana. Ia menghina adik iparnya itu sebagai seorang pengecut yang takut mati. Dursasana ganti membongkar perselingkuhan Banowati dengan Arjuna. Ia menuduh Banowati sebagai mata-mata Pandawa. Buktinya, Banowati lebih menyesali kematian Abimanyu putra Arjuna daripada kematian Lesmana, anaknya sendiri.

Karena terus-menerus dihina sebagai pengecut, Dursasana pun kembali ke medan perang dan bertempur melawan Bima. Dalam perkelahian itu ia kalah dan melarikan diri bersembunyi di dalam sungai Cingcing Gumuling. Bima hendak turut mencebur namun dicegah Kresna (penasihat Pandawa) karena sungai itu telah diberi mantra oleh Resi Drona. Jika Pandawa mencebur ke dalamnya pasti akan bernasib sial.

Dursasana kembali ke daratan dan mengejek nama Pandu. Bima marah dan mengejarnya lagi. Namun Dursasana kembali mencebur ke dalam sungai. Hal ini berlangsung selama berkali-kali. Sampai akhirnya muncul arwah dua orang tukang perahu bernama Tarka dan Sarka yang dulu dibunuh Dursasana sebagai tumbal kemenangan Kurawa.

Ketika Dursasana kembali ke daratan untuk mengejek nama Pandu sekali lagi, Tarka dan Sarka mulai beraksi. Ketika Dursasana hendak mencebur karena dikejar Bima, mereka pun menjegal kakinya sehingga Kurawa nomor dua itu gagal mencapai sungai. Bima pun segera menjambak rambut Dursasana dan menyeretnya menjauhi sungai Cingcing Gumuling.

Melihat adiknya tersiksa, Duryudana muncul memohon agar Bima mengampuni Dursasana. Duryudana bahkan menjanjikan perang berakhir hari itu juga dengan Pandawa sebagai pemenang. Ia juga merelakan Kerajaan Hastina dan Indraprastha asalkan Dursasana dibebaskan.

Bima mulai bimbang. Namun Kresna mendesaknya supaya Dursasana jangan diampuni. Menurutnya, Pandawa sudah jelas menang tanpa harus membebaskan Dursasana. Kresna mengingatkan kembali kekejaman para Kerawa membuat emosi Bima bangkit kembali. Bima pun menendang Duryudana hingga terpental jauh. Kemudian ia memutus kedua lengan Dursasana secara paksa.

Dalam keadaan buntung, tubuh Dursasana dirobek-robek dan diminum darahnya sampai habis oleh Bima. Belum puas juga, Bima menghancurkan mayat Dursasana dalam potongan-potongan kecil.

Pada saat itulah Dewi Drupadi muncul diantarkan Yudistira untuk menagih janji darah Dursasana. Bima pun memeras kumis dan janggutnya yang masih basah oleh darah musuhnya itu dan diusapkannya ke rambut Dropadi.

Setelah Korawa tertumpas habis, Kerajaan Hastina pun jatuh ke tangan para Pandawa. Bima menempati istana Dursasana, yaitu Banjarjunut sebagai tempat tinggalnya.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Wanaparwa

Wanaparwa adalah buku ke-3 Mahababharata dan merupakan terusan langsung buku ke 2; Sabhaparwa. Di dalam Wanaparwa diceritakan bagaimana para Pandawa dan dewi Dropadi harus hidup di hutan selama 12 tahun karena Yudistira kalah berjudi. Buku Wanaparwa merupakan dasar inspirasi karya sastra Jawa Kuna; kakawin Arjunawiwaha karangan empu Kanwa.

Wirataparwa

Wirataparwa menceritakan kisah ketika para Pandawa harus bersembunyi selama setahun setelah mereka dibuang selama duabelas tahun di hutan. Kisah pembuangan ini diceritakan di Wanaparwa.

Maka para Pandawa bersembunyi di kerajaan Wirata. Jika mereka ketahuan, maka harus dibuang selama 12 tahun lagi. Di sana sang Yudistira menyamar sebagai seorang brahmana bernama Kangka. Sang Werkodara menyamar sebagai seorang juru masak dan pegulat bernama Balawa. Lalu sang Arjuna menyamar sebagai seorang wandu yang mengajar tari dan nyanyi. Sang Nakula menjadi seorang penggembala kuda dan sang Sadewa menjadi penggembala sapi. Lalu Dewi Dropadi menjadi seorang perias bernama Sairindi.

Alkisah patih Wirata, sang Kicaka jatuh cinta kepada Sairindi dan ingin menikahinya. Tetapi ia ditolak dan memaksa. Lalu sang Balawa membunuhnya. Hal ini hampir saja membuat samaran mereka ketahuan.

Lalu negeri Wirata diserang oleh musuh Pandawa, para Korawa dari negeri Astina. Para Pandawa berperang melawan mereka, membela Wirata. Setelah perang usai, kedok mereka ketahuan. Tetapi mereka sudah bersembunyi selama setahun, jadi tidak apa-apa.

Udyogaparwa

Dalam Udyogaparwa, buku kelima Mahabharata ini sang Kresna berperan sebagai duta untuk menengahi konflik antara para Korawa dan para Pandawa. Tetapi bantuan beliau tidak berhasil dan akhirnya akan menjadi perang Bharatayuddha.

Kresna atau Krishna adalah salah satu Dewa yang banyak dipuja oleh umat Hindu karena dianggap merupakan aspek dari Brahman. Ia disebut pula Nārāyana, yaitu sebutan yang merujuk kepada perwujudan Dewa Wisnu yang berlengan empat di Waikuntha. Ia biasanya digambarkan sebagai sosok pengembala muda yang memainkan seruling (seperti misalnya dalam Bhagawatapurana) atau pangeran muda yang memberikan tuntunan filosofis (seperti dalam Bhagawadgita). Dalam Agama Hindu pada umumnya, Kresna dipuja sebagai awatara Wisnu yang kedelapan, dan dianggap sebagai Dewa yang paling hebat dalam perguruan Waisnawa. Dalam tradisi Gaudiya Waisnawa, Kresna dipuja sebagai sumber dari segala awatara (termasuk Wisnu).

Menurut kitab Mahabharata, Kresna berasal dari Kerajaan Surasena, namun kemudian ia mendirikan kerajaan sendiri yang diberi nama Dwaraka. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dikenal sebagai tokoh raja yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Dalam kitab Bhagawadgita, ia adalah perantara kepribadian Brahman yang menjabarkan ajaran kebenaran mutlak (dharma) kepada Arjuna. Ia mampu menampakkan secercah kemahakuasaan Tuhan yang hanya disaksikan oleh tiga orang pada waktu perang keluarga Bharata akan berlangsung. Ketiga orang tersebut adalah Arjuna, Sanjaya, dan Byasa. Namun Sanjaya dan Byasa tidak melihat secara langsung, melainkan melalui mata batin mereka yang menyaksikan perang Bharatayuddha.

Asal usul nama "Krishna"

Dalam bahasa Sanskerta, kata Krishna berarti "hitam" atau "gelap", dan kata ini umum digunakan untuk menunjukkan pada orang yang berkulit gelap. Dalam Brahma Samhita dijabarkan bahwa Krishna memiliki warna kulit gelap bersemu biru langit. Dan umumnya divisualkan berkulit gelap atau biru pekat. Sebagai Contoh, di Kuil Jaganatha, di Puri, Orissa, India (nama Jaganatha, adalah nama yang ditujukan bagi Kresna sebagai penguasa jagat raya) di gambarkan memiliki kulit gelap berdampingan dengan saudaranya Baladewa dan Subadra yang berkulit cerah.

Nama lain

Kresna sebagai awatara sekaligus orang bijaksana memiliki banyak sekali nama panggilan sesuai dengan kepribadian atau keahliannya. Nama panggilan tersebut digunakan untuk memuji, mengungkapkan rasa hormat, dan menunjukkan rasa persahabatan atau kekeluargaan. Nama panggilan Kresna di bawah ini merupakan nama-nama dari kitab Mahabarata dan Bhagawadgita versi aslinya (versi India). Nama panggilan Kresna adalah:
  1. Achyuta (Acyuta, yang tak pernah gagal)
  2. Arisudana (penghancur musuh)
  3. Bhagavān (Bhagawan, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa)
  4. Gopāla (Gopaala, Pengembala sapi)
  5. Govinda (Gowinda, yang memberi kebahagiaan pada indria-indria)
  6. Hrishikesa (Hri-sikesa, penguasa indria)
  7. Janardana (juru selamat umat manusia)
  8. Kesava (Kesawa, yang berambut indah)
  9. Kesinishūdana (Kesini-sudana, pembunuh raksasa Kesin)
  10. Mādhava (Madawa, suami Dewi Laksmi)
  11. Madhusūdana (Madu-sudana, penakluk raksasa Madhu)
  12. Mahābāhu (Maha-bahu, yang berlengan perkasa)
  13. Mahāyogi (Maha-yogi, rohaniwan besar)
  14. Purushottama (Purusa-utama, manusia utama, yang berkepribadian paling baik)
  15. Varshneya (Warsneya, keturunan wangsa Wresni)
  16. Vāsudeva (Waasudewa, putera Basudewa)
  17. Vishnu (Wisnu, penitisan Batara Wisnu)
  18. Yādava (Yaadawa, keturunan dinasti Yadu)
  19. Yogesvara (Yoga-iswara, penguasa segala kekuatan batin)

Kehidupan Sang Kresna

Ikthisar kehidupan Sri Kresna di bawah ini diambil dari Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, dan Wisnupurana. Lokasi dimana Kresna diceritakan adalah India Utara, yang mana sekarang merupakan wilayah negara bagian Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, Delhi, dan Gujarat. Kutipan pada permulaan dan akhir cerita merupakan teologi yang tergantung pada sudut pandang cerita.

Penitisan

Kutipan di bawah ini menjelaskan alasan mengapa Wisnu menjelma. Dalam sebuah kalimat dalam Bhagawatapurana:

Dewa Brahma memberitahu para Dewa: Sebelum kami menyampaikan permohonan kepada Beliau, Beliau sudah sadar terhadap kesengsaraan di muka bumi. Maka dari itu, selama Beliau turun ke bumi demi menuntaskan kewajiban dengan memakai kekuatan-Nya sendiri sebagai sang waktu, wahai kalian para Dewa semuanya akan mendapat bagian untuk menjelma sebagai para putera dan cucu dari keluarga Wangsa Yadu. ”

Kitab Mahabharata yang pertama (Adiparwa, bagian Adiwansawatarana) memberikan alasan yang serupa, meskipun dengan perbedaan yang kecil dalam bagian-bagiannya.

Kelahiran

Kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan astronomi mengatakan bahwa Sri Kresna lahir pada tanggal 19 Juli tahun 3228 SM.

Kresna berasal dari keluarga bangsawan di Mathura, dan merupakan putera kedelapan yang lahir dari puteri Dewaki, dan suaminya Basudewa. Mathura adalah ibukota dari wangsa yang memiliki hubungan dekat seperti Wresni, Andhaka, dan Bhoja. Mereka biasanya dikenali sebagai Yadawa karena nenek moyang mereka adalah Yadu, dan kadang-kadang dikenal sebagai Surasena setelah adanya leluhur terkemuka yang lain. Basudewa dan Dewaki termasuk ke dalam wangsa tersebut. Raja Kamsa, kakak Dewaki, mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya ke penjara, yaitu Raja Ugrasena. Karena takut terhadap ramalan yang mengatakan bahwa ia akan mati di tangan salah satu putera Dewaki, maka ia menjebloskan pasangan tersebut ke penjara dan berencana akan membunuh semua putera Dewaki yang baru lahir. Setelah enam putera pertamanya terbunuh, dan Dewaki kehilangan putera ketujuhnya, lahirlah Kresna. Karena hidupnya terancam bahaya maka ia diselundupkan keluar dan dirawat oleh orangtua tiri bernama Yasoda dan Nanda di Gokula, Mahavana. Dua anaknya yang lain juga selamat yaitu, Baladewa alias Balarama (putera ketujuh Dewaki, dipindahkan ke janin Rohini, istri pertama Basudewa) dan Subadra (putera dari Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Baladewa dan Kresna).

Tempat yang dipercaya oleh para pemujanya untuk memperingati hari kelahiran Kresna kini dikenal sebagai Krishnajanmabhumi, dimana sebuah kuil didirikan untuk memberi penghormatan kepadanya.

Masa kanak-kanak dan remaja

Nanda merupakan pemimpin di komunitas para pengembala sapi, dan ia tinggal di Vrindavana. Kisah tentang Kresna saat masa kanak-kanak dan remaja ada di sana termasuk dengan siapa dia tinggal, dan perlindungannya kepada orang-orang sekitar. Kamsa yang mengetahui bahwa Kresna telah kabur terus mengirimkan raksasa (seperti misalnya Agasura) untuk membinasakannya. Sang raksasa akhirnya terkalahkan di tangan Kresna dan kakaknya, Baladewa. Beberapa di antara kisah terkenal tentang keberanian Kresna terdapat dalam petualangan ini serta permainannya bersama para gopi (pengembala perempuan) di desa, termasuk Radha. Kisah yang menceritakan permainannya bersama para gopi kemudian dikenal sebagai Rasa lila.

Kresna Sang Pangeran

Kresna yang masih muda kembali ke Mathura, dan menggulingkan kekuasaan pamannya – Kamsa – sekaligus membunuhnya. Kresna menyerahkan tahta kembali kepada ayah Kamsa, Ugrasena, sebagai Raja para Yadawa. Ia sendiri menjadi pangeran di kerajaan tersebut. Dalam masa ini ia menjadi teman Arjuna serta para pangeran Pandawa lainnya dari Kerajaan Kuru, yang merupakan saudara sepupunya, yang tinggal di sisi lain Yamuna. Kemudian, ia memindahkan kediaman para Yadawa ke kota Dwaraka (di masa sekarang disebut Gujarat). Ia menikahi Rukmini, puteri dari Bismaka dari Kerajaan Widarbha.

Menurut beberapa sastra, Kresna memiliki 16.108 istri, delapan orang di antaranya merupakan istri terkemuka, termasuk di antaranya Radha, Rukmini, Satyabama, dan Jambawati. Sebelumnya 16.000 istri Kresna yang lain ditawan oleh Narakasura, sampai akhirnya Kresna membunuh Narakasura dan membebaskan mereka semua. Menurut adat yang keras pada waktu itu, seluruh wanita tawanan tidak layak untuk menikah sebagaimana mereka masih di bawah kekuasaan Narakasura, namun Kresna dengan gembira menyambut mereka sebagai puteri bangsawan di kerajaannya. Dalam tradisi Waisnawa, para istri Kresna di Dwarka dipercaya sebagai penitisan dari berbagai wujud Dewi Laksmi.

Bharatayuddha dan Bhagawad Gita

Kresna merupakan saudara sepupu dari kedua belah pihak dalam perang antara Pandawa dan Korawa. Ia menawarkan mereka untuk memilih pasukannya atau dirinya. Para Korawa mengambil pasukannya sedangkan dirinya bersama para Pandawa. Ia pun sudi untuk menjadi kusir kereta Arjuna dalam pertempuran akbar. Bhagawadgita merupakan wejangan yang diberikan kepada Arjuna oleh Kresna sebelum pertempuran dimulai.

Kehidupan di kemudian hari

Setelah perang, Kresna tinggal di Dwaraka selama 36 tahun. Kemudian pada suatu perayaan, pertempuran meletus di antara para kesatria Wangsa Yadawa yang saling memusnahkan satu sama lain. Lalu kakak Kresna – Baladewa – melepaskan raga dengan cara melakukan Yoga. Kresna berhenti menjadi raja kemudian pergi ke hutan dan duduk di bawah pohon melakukan meditasi. Seorang pemburu yang keliru melihat sebagian kaki Kresna seperti rusa kemudian menembakkan panahnya dan menyebabkan Kresna mencapai keabadian. Menurut Mahabharata, kematian Kresna disebabkan oleh kutukan Gandari. Kemarahannya setelah menyaksikan kematian putera-puteranya menyebabkannya mengucapkan kutukan, karena Kresna tidak mampu menghentikan peperangan. Setelah mendengar kutukan tersebut, Kresna tersenyum dan menerima itu semua, dan menjelaskan bahwa kewajibannya adalah bertempur di pihak yang benar, bukan mencegah peperangan.

Menurut referensi dari Bhagawatapurana dan Bhagawad Gita, ditafsirkan bahwa Kresna wafat sekitar tahun 3100 SM. Ini berdasarkan deskripsi bahwa Kresna meninggalkan Dwarka 36 tahun setelah peperangan dalam Mahabharata terjadi. Matsyapurana mengatakan bahwa Kresna berusia 89 tahun saat perang berkecamuk. Setelah itu Pandawa memerintah selama 36 tahun, dan pemerintahan mereka terjadi saat permulaan zaman Kaliyuga. Selanjutnya dikatakan bahwa Kaliyuga dimulai saat Duryodana dijatuhkan ke tanah oleh Bima.

Hubungan keluarga

Ayah Kresna adalah Prabu Basudewa, yang merupakan saudara lelaki (kakak) dari Kunti atau Partha, istri Pandu yang merupakan ibu para Pandawa, sehingga Kresna bersaudara sepupu dengan para Pandawa. Saudara misan Kresna yang lain bernama Sisupala, putera dari Srutadewa alias Srutasrawas, adik Basudewa. Sisupala merupakan musuh bebuyutan Kresna yang kemudian dibunuh pada saat upacara akbar yang diselenggarakan Yudistira.
Kresna dalam pewayangan Jawa

Dalam pewayangan Jawa, Prabu Kresna merupakan Raja Dwarawati, kerajaan para keturunan Yadu (Yadawa) dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah anak Basudewa, Raja Mandura. Ia (dengan nama kecil "Narayana") dilahirkan sebagai putera kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya dikenal sebagai Baladewa (alias Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Subadra, yang tak lain adalah istri dari Arjuna. Ia memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Istri isterinya adalah Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama. Anak-anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari.

Pada perang Bharatayuddha, beliau adalah sais atau kusir Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding sebagai sais Arjuna, beliau memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan beliau dikenal sebagai Bhagawadgita.

Kresna dikenal sebagai seorang yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, mengubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang yang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia, pusaka-pusaka sakti, antara lain Senjata Cakra, Kembang Wijayakusuma, terompet kerang (Sangkala) Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.

Setelah meninggalnya Prabu Baladewa (Resi Balarama), kakaknya, dan musnahnya seluruh Wangsa Wresni dan Yadawa, Prabu Kresna menginginkan moksa. Ia wafat dalam keadaan bertapa dengan perantara panah seorang pemburu bernama Jara yang mengenai kakinya.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Perang di Kurukshetra

Kurukshetra_War.jpg

Perang di Kurukshetra, yang merupakan bagian penting dari wiracarita Mahabharata, dilatarbelakangi perebutan kekuasaan antara lima putra Pandu (Pandawa) dengan seratus putra Dretarastra (Korawa). Dataran Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran ini masih bisa dikunjungi dan disaksikan sampai sekarang. Kurukshetra terletak di negara bagian Haryana, India.

Pertempuran tersebut tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya, sehingga kadang-kadang disebut terjadi pada "Era Mitologi". Beberapa peninggalan puing-puing di Kurukshetra (seperti misalnya benteng) diduga sebagai bukti arkeologinya. Menurut kitab Bhagawadgita, perang di Kurukshetra terjadi 3000 tahun sebelum tahun Masehi (5000 tahun yang lalu) dan hal tersebut menjadi referensi yang terkenal.

Meskipun pertempuran tersebut merupakan pertikaian antar dua keluarga dalam satu dinasti, namun juga melibatkan berbagai kerajaan di daratan India pada masa lampau. Pertempuran tersebut terjadi selama 18 hari, dan jutaan tentara dari kedua belah pihak gugur. Perang tersebut mengakibatkan banyaknya wanita yang menjadi janda dan banyak anak-anak yang menjadi anak yatim. Perang ini juga mengakibatkan krisis di daratan India dan merupakan gerbang menuju zaman Kaliyuga, zaman kehancuran menurut kepercayaan Hindu.

Latar belakang

Perang di Kurukshetra merupakan klimaks dari Mahābhārata, sebuah wiracarita tentang pertikaian Dinasti Kuru sebagai titik sentralnya. Perebutan kekuasaan yang merupakan penyebab perang ini, terjadi karena para putra Dretarastra tidak mau menyerahkan tahta kerajaan Kuru kepada saudara mereka yang lebih tua, yaitu Yudistira, salah satu lima putra Pandu alias Pandawa. Nama Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran ini bermakna "daratan Kuru", yang juga disebut Dharmakshetra atau "daratan keadilan". Lokasi ini dipilih sebagai ajang pertempuran karena merupakan tanah yang dianggap suci oleh umat Hindu. Dosa-dosa apa pun yang dilakukan di sana pasti dapat terampuni berkat kesucian daerah ini.

Dalam kitab Mahabharata disebutkan bahwa pangeran Dretarastra yang buta sejak lahir terpaksa menyerahkan takhta kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahan di Hastinapura kepada adiknya, Pandu, meskipun dia merupakan putra sulung. Pandu berputra lima orang, yang dikenal dengan sebutan Pandawa, dengan Yudistira sebagai putra sulung. Setelah Pandu wafat, Dretarastra menggantikan posisinya sebagai kepala pemerintahan sementara sampai kelak putra sulung Pandu dewasa. Kelima putra Pandu (Pandawa) dan seratus putra Dretarastra (Korawa) tinggal bersama di istana Hastinapura dan dididik oleh guru yang sama, bernama Drona dan Krepa. Disamping itu, mereka dibimbing oleh seorang bijak bernama Bisma, kakek mereka. Oleh guru dan kakeknya, Yudistira dianggap pantas meneruskan takhta Kerajaan Kuru, sebab ia berkepribadian baik. Disamping itu, Yudistira merupakan pangeran yang tertua di antara saudara-saudaranya.

Para Korawa, khususnya Duryodana, berambisi menguasai takhta Dinasti Kuru. Namun ambisi tersebut terhalangi sebab Yudistira dipandang lebih layak menjadi Raja Kuru daripada Duryodana. Untuk mewujudkan ambisinya, Duryodana berusaha menyingkirkan Yudistira dan para Pandawa dengan berbagai upaya, termasuk melakukan usaha pembunuhan. Namun kelima putra Pandu tersebut selalu selamat dari kematian, berkat perlindungan dari pamannya dan sepupu mereka, yaitu Widura dan Kresna.

Setelah gagal dalam usaha pembunuhan, kemudian Korawa memutuskan untuk menipu para Pandawa dengan cara mengajak mereka bermain dadu, dengan syarat yang kalah harus meninggalkan istana selama tiga belas tahun. Permainan dadu yang sudah disetel dengan licik mengakibatkan Pandawa kalah, sehingga mereka harus meninggalkan kerajaan selama tiga belas tahun dan terpaksa mengasingkan diri ke hutan. Sebelum Pandawa dibuang, Dretarastra berjanji akan menyerahkan takhta kerajaan Kuru kepada Yudistira sebab ia merupakan putra mahkota Dinasti Kuru yang sulung.

Setelah masa pengasingan selama tiga belas tahun berakhir, sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak meminta kembali kerajaannya. Namun Duryodana menolak mentah-mentah untuk menyerahkan kembali kerajaannya. Meskipun mendapatkan tanggapan seperti itu, Yudistira dan adik-adiknya masih mampu bersabar. Sebagai seorang pangeran, Pandawa merasa wajib dan berhak turut serta dalam administrasi pemerintahan, maka mereka meminta lima buah desa saja. Tetapi Duryodana sombong dan berkata bahwa ia tidak bersedia memberikan tanah kepada para Pandawa, bahkan yang seluas ujung jarum pun. Jawaban itu membuat para Pandawa tidak bisa bersabar lagi dan perang tak bisa dihindari. Di pihak lain, Duryodana pun sudah mengharapkan peperangan.

Misi damai Sri Kresna

Sebelum keputusan untuk berperang diumumkan, para Pandawa berusaha mencari sekutu dengan mengirimkan surat permohonan kepada para raja di daratan India Kuno agar mau mengirimkan pasukannya untuk membantu para Pandawa jika perang tidak batal dilakukan. Begitu juga yang dilakukan oleh para Korawa, mencari sekutu. Hal itu membuat para raja di daratan India Kuno terbagi menjadi dua pihak, pihak Pandawa dan pihak Korawa.

Sementara itu, Kresna mencoba untuk melakukan perundingan damai. Kresna pergi ke Hastinapura untuk mengusulkan perdamaian antara pihak Pandawa dan Korawa. Namun Duryodana menolak usul Kresna dan merasa dilecehkan, maka ia menyuruh para prajuritnya untuk menangkap Kresna sebelum meninggalkan istana. Tetapi Kresna bukanlah manusia biasa. Ia mengeluarkan sinar menyilaukan yang membutakan mata para prajurit Duryodana yang hendak menangkapnya. Pada saat itu pula ia menunjukkan bentuk rohaninya yang hanya disaksikan oleh tiga orang berhati suci: Bisma, Drona, dan Widura.

Setelah Kresna meninggalkan istana Hastinapura, ia pergi ke Uplaplawya untuk memberitahu para Pandawa bahwa perang tak akan bisa dicegah lagi. Ia meminta agar para Pandawa menyiapkan tentara dan memberitahu para sekutu bahwa perang besar akan terjadi.

Persiapan perang

Kresna tidak bersedia bertempur secara pribadi. Ia mengajukan pilihan kepada para Pandawa dan Korawa, bahwa salah satu boleh meminta pasukan Kresna yang jumlahnya besar sementara yang lain boleh memanfaatkan tenaganya sebagai seorang ksatria. Mendapat kesempatan itu, Arjuna dan Duryodana pergi ke Dwaraka untuk memilih salah satu dari dua pilihan tersebut.

Duryodana jenius di bidang politik, maka ia memilih tentara Kresna. Sedangkan para Pandawa yang diwakili Arjuna, bersemangat untuk meminta tenaga Sri Kresna sebagai seorang penasihat dan memintanya agar bertempur tanpa senjata di medan laga. Sri Kresna bersedia mengabulkan permohonan tersebut, dan kedua belah pihak merasa puas.

Pandawa telah mendapatkan tenaga Kresna, sementara Korawa telah mendapatkan tentara Kresna. Persiapan perang dimatangkan. Sekutu kedua belah pihak yang terdiri dari para Raja dan ksatria gagah perkasa dengan diringi pasukan yang jumlahnya sangat besar berdatangan dari berbagai penjuru India dan berkumpul di markasnya masing-masing. Pandawa memiliki tujuh divisi sementara Korawa memiliki sebelas divisi. Beberapa kerajaan pada zaman India kuno seperti Kerajaan Dwaraka, Kerajaan Kasi, Kerajaan Kekeya, Magada, Matsya, Chedi, Pandya dan wangsa Yadu dari Mandura bersekutu dengan para Pandawa; sementara sekutu para Korawa terdiri dari Raja Pragjyotisha, Raja Angga, Raja Kekaya, Raja Sindhu, kerajaan Kosala, Kerajaan Awanti, Kerajaan Madra, Kerajaan Gandhara, Kerajaan Bahlika, Kamboja, dan masih banyak lagi.

Pihak Pandawa

Pasukan Pandawa dibagi menjadi tujuh divisi. Setiap divisi dipimpin oleh Raja Drupada dan kedua putranya — Pangeran Drestadyumna dan Srikandi — dari Panchala, Raja Wirata dari Matsya, Satyaki, Cekitana dan Bima. Setelah berunding dengan para pemimpin mereka, para Pandawa menunjuk Drestadyumna sebagai panglima perang pasukan Pandawa. Kitab Mahabharata menyebutkan bahwa seluruh kerajaan di daratan India utara bersekutu dengan Pandawa dan memberikannya pasukan yang jumlahnya besar. Beberapa di antara mereka yakni: Kerajaan Kekeya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha, dan masih banyak lagi.

Pihak Korawa

Duryodana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Korawa. Bisma menerimanya dengan perasaan bahwa ketika ia bertarung dengan tulus ikhlas, ia tidak akan tega menyakiti para Pandawa. Bisma juga tidak ingin bertarung di sisi Karna dan tidak akan membiarkannya menyerang Pandawa tanpa aba-aba darinya. Bisma juga tidak ingin dia dan Karna menyerang Pandawa bersamaan dengan ksatria Korawa lainnya. Ia tidak ingin penyerangan secara serentak dilakukan oleh Karna dengan alasan bahwa kasta Karna lebih rendah daripada kastanya. Bagaimanapun juga, Duryodana memaklumi keadaan Bisma dan mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Pasukan dibagi menjadi sebelas divisi. Seratus Korawa dipimpin oleh Duryodana sendiri bersama dengan adiknya — Dursasana, putera kedua Dretarastra, dan dalam pertempuran tersebut Korawa dibantu oleh Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa — Jayadrata, serta guru mereka — Krepa. Selain itu, turut pula Kertawarma dari Wangsa Yadawa, Salya dari Madra, Sudaksina dari Kamboja, Burisrawa putra Somadatta, Raja Bahlika, Sangkuni dari Gandhara, Wrehadbala Raja Kosala, Winda dan Anuwinda dari Awanti, dan masih banyak lagi para ksatria dan raja yang memihak Korawa demi Hastinapura maupun Dretarastra.


Bersambung


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Lanjutan

Pihak netral

Kerajaan Widarbha dan rajanya, Raja Rukmi, selayaknya kakak Kresna, Baladewa, adalah pihak yang netral dalam peperangan tersebut.

Divisi pasukan dan persenjataan

Setiap pihak memiliki jumlah pasukan yang besar. Pasukan tersebut dibagi ke dalam divisi (aksohini). Setiap divisi berjumlah 218.700 prajurit yang terdiri dari:
  • 21.870 pasukan berkereta kuda
  • 21.870 pasukan penunggang gajah
  • 65.610 pasukan penunggang kuda
  • 109.350 tentara biasa (infantri)
Perbandingan jumlah mereka adalah 1:1:3:5. Pasukan pandawa memiliki 7 divisi, total pasukan=1.530.900 orang. Pasukan Korawa memiliki 11 divisi, total pasukan=2.405.700 orang. Total seluruh pasukan yang terlibat dalam perang=3.936.600 orang. Jumlah pasukan yang terlibat dalam perang sangat banyak sebab divisi pasukan kedua belah pihak merupakan gabungan dari divisi pasukan kerajaan lain di seluruh daratan India.

Senjata yang digunakan dalam perang di Kurukshetra merupakan senjata kuno dan primitif, contohya: panah; tombak; pedang; golok; kapak-perang; gada; dan sebagainya. Para kesatria terkemuka seperti Arjuna, Bisma, Karna, Aswatama, Drona, dan Abimanyu, memilih senjata panah karena sesuai dengan keahlian mereka. Bima dan Duryodana memilih senjata gada untuk bertarung. Meskipun demikian, tidak selamanya kesatria tersebut hanya menggunakan satu jenis senjata saja. Kadangkala, Bima menggunakan panah, sedangkan Abimanyu menggunakan pedang.

Formasi militer

Formasi militer adalah hal yang penting untuk mencapai kemenangan dalam peperangan. Dengan formasi yang baik dan sempurna, maka musuh juga lebih mudah ditaklukkan. Ada beberapa formasi militer yang disebutkan dalam Mahabharata, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Beberapa macam formasi militer tersebut sebagai berikut:
  • Krauncabyuha (formasi bangau)
  • Cakrabyuha (formasi cakram/melingkar)
  • Kurmabyuha (formasi kura-kura)
  • Makarabyuha (formasi buaya)
  • Trisulabyuha (formasi trisula)
  • Sarpabyuha (formasi ular)
  • Kamalabyuha atau Padmabyuha (formasi teratai)
Sulit mengindikasi dengan tepat makna dari nama-nama formasi tersebut. Nama formasi mungkin saja mengindikasi bahwa sebuah pasukan memilih suatu bentuk tertentu (seperti elang, bangau, dll.) sebagai formasi, atau mungkin saja nama suatu formasi berarti strategi mereka mirip dengan suatu hewan/hal tertentu.

Aturan perang

Dua pemimpin tertinggi dari kedua belah pihak bertemu dan membuat "peraturan tentang perlakuan yang etis" (Dharmayuddha) sebagai aturan perang. Peraturan tersebut sebagai berikut:
  • Pertempuran harus dimulai setelah matahari terbit dan harus segera dihentikan saat matahari terbenam.
  • Pertempuran satu lawan satu; tidak boleh mengeroyok prajurit yang sedang sendirian.
  • Dua kesatria boleh bertempur secara pribadi jika mereka memiliki senjata yang sama atau menaiki kendaraan yang sama (kuda, gajah, atau kereta).
  • Tidak boleh membunuh prajurit yang menyerahkan diri.
  • Seseorang yang menyerahkan diri harus menjadi tawanan perang atau budak.
  • Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak bersenjata.
  • Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang dalam keadaan tidak sadar.
  • Tidak boleh membunuh atau melukai seseorang atau binatang yang tidak ikut berperang.
  • Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit dari belakang.
  • Tidak boleh menyerang wanita.
  • Tidak boleh menyerang hewan yang tidak dianggap sebagai ancaman langsung.
  • Peraturan khusus yang dibuat untuk setiap senjata mesti diikuti. Sebagai contoh, dilarang memukul bagian pinggang ke bawah pada saat bertarung menggunakan gada.
  • Bagaimanapun juga, para kesatria tidak boleh berjanji untuk berperang dengan curang.
Meskipun aturan perang telah disepakati, banyak prajurit dan kesatria dari kedua belah pihak yang melanggarnya, dan tidak jarang mereka melakukannya.


Bersambung


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Jalannya Pertempuran

Pertempuran berlangsung selama 18 hari. Pertempuran berlangsung pada saat matahari muncul dan harus segera diakhiri pada saat matahari terbenam. Kedua belah pihak bertarung di dataran Kurukshetra dan setiap hari terjadi pertempuran yang berlangsung sengit dan mengesankan. Dalam setiap pertarungan yang terjadi dalam 18 hari tersebut, ksatria yang tidak terbunuh dan berhasil mempertahankan nyawanya adalah pemenang karena pertempuran tersebut adalah pertempuran menuju kematian. Siapa yang bertahan hidup dan berhasil memusnahkan lawan-lawannya, dialah pemenangnya.

Beberapa saat sebelum perang

Pada hari pertempuran pertama, begitu juga pada hari-hari berikutnya, pasukan para Korawa berbaris menghadap barat sedangkan pasukan para Pandawa berbaris menghadap timur. Pasukan Korawa membentuk formasi seperti burung elang: pasukan penunggang gajah sebagai tubuhnya; pasukan para Raja dan ksatria di barisan depan sebagai kepalanya; dan pasukan penunggang kuda sebagai sayapnya. Dalam urusan perang, Bisma berkonsultasi dengan panglima Drona, Bahlika dan Krepa.

Pasukan Pandawa diatur oleh Yudistira dan Arjuna agar membentuk "formasi Bajra". Karena pasukan Pandawa lebih kecil daripada pasukan Korawa, maka strategi berperang dibuat agar memungkinkan pasukan yang kecil untuk menyerang pasukan yang besar. Sesuai strategi Pandawa, pasukan pemanah akan menghujani musuh dengan panah dari belakang pasukan garis depan. Pasukan garis depan menggunakan senjata langsung jarak pendek seperti: gada, pedang, kapak, tombak, dll. Pasukan Korawa terdiri dari sebelas divisi di bawah perintah Bisma. Sepuluh divisi pasukan Korawa membentuk barisan yang sangat hebat, sedangkan divisi kesebelas masih berada di bawah aba-aba langsung dari Bisma, dan sebagian divisi melindunginya dari serangan langsung karena Bisma sangat berguna dan merupakan harapan untuk menang.

Setelah sepakat dengan formasi dan strategi masing-masing, pasukan kedua belah pihak berbaris rapi. Duryodana optimis melihat pasukan Korawa memiliki para kesatria tangguh yang setara dengan Bima dan Arjuna. Namun ada tokoh-tokoh lain yang setara dengan mereka seperti Yuyudana (Satyaki), Wirata, dan Drupada yang ia anggap sebagai batu rintangan dalam mencapai kajayaan dalam pertempuran. Ia juga optimis karena ksatria-ksatria yang sangat ahli di bidang militer, yaitu Bisma, Karna, Kertawarma, Wikarna, Burisrawa, dan Krepa, ada di pihaknya. Selain itu Raja agung seperti Yudhamanyu dan Uttamauja yang sangat perkasa juga turut berpartisipasi dalam pertempuran sebagai penghancur bagi musuh-musuhnya. Bisma, dengan diikuti oleh Para Raja dan ksatria dari kedua belah pihak meniup "sangkala" (terompet kerang) mereka tanda pertempuran akan segera dimulai.

Ketika terompet sudah ditiup dan kedua pasukan sudah berhadap-hadapan, bersiap-siap untuk bertempur, Arjuna menyuruh Kresna, guru spiritual sekaligus kusir keretanya, agar mengemudikan keretanya menuju ke tengah medan pertempuran supaya ia bisa melihat, siapa yang siap bertempur dan siapa yang harus ia hadapi. Tiba-tiba Arjuna dilanda perasaan takut akan kemusnahan wangsa Bharata, keturunan Kuru, nenek moyangnya. Arjuna juga dilanda kebimbangan akan melanjutkan pertarungan atau tidak. Ia melihat kakek tercintanya, bersama-sama dengan gurunya, paman, saudara sepupu, ipar, mertua, dan teman bermain semasa kecil, semuanya kini berada di Kurukshetra, harus bertarung dengannya dan saling bunuh. Arjuna merasa lemah dan tidak tega untuk melakukannya.

Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang merupakan ajaran agama, mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertanya kepada Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama. Kresna, yang memilih menjadi kusir kereta Arjuna, menjelaskan dengan panjang lebar ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang kesatria, agar dapat membedakan antara yang baik dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang sangat terkenal yang bernama Bhagawadgita. Dalam Bhagawadgita, Kresna menyuruh Arjuna untuk tidak ragu dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang ksatria yang berada di jalur yang benar. Ia juga mengingatkan bahwa kewajiban Arjuna adalah membunuh siapa saja yang ingin mengalahkan kebajikan dengan kejahatan. Kemudian Sri Kresna menunjukkan bentuk semestanya kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa ia sesungguhnya sehingga segala keraguan dalam hatinya sirna. Dalam wujud semesta tersebut, ia meyakinkan Arjuna bahwa sebagian besar para ksatria perkasa di kedua belah pihak telah dihancurkan, dan yang bertahan hidup hanya beberapa orang saja, maka tanpa ragu Arjuna harus mau bertempur.

Sebelum pertempuran dimulai, Yudistira melakukan sesuatu yang mengejutkan. Tiba-tiba ia meletakkan senjata, melepaskan baju zirah, turun dari kereta dan berjalan ke arah pasukan Korawa dengan mencakupkan tangan seperti berdoa. Para Pandawa dan para Korawa tidak percaya dengan apa yang dilakukannya, dan mereka berpikir bahwa Yudistira sudah menyerah bahkan sebelum panah sempat melesat. Ternyata Yudistira tidak menyerah. Dengan hati yang suci Yudistira menyembah Bisma dan memohon berkah akan keberhasilan. Bisma, kakek dari para Pandawa dan Korawa, memberkati Yudistira. Setelah itu, Yudistira kembali menaiki keretanya dan pertempuran siap untuk dimulai.


Bersambung


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Hari pertama

Setelah isyarat penyerangan diumumkan, kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa dan divisi pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju menyerang tentara Pandawa dan membinasakan apapun yang menghalangi jalannya. Abimanyu putra Arjuna melihat hal tersebut dan menyuruh para pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba menyerang Bisma dan para pengawalnya, namun usaha para kesatria Pandawa tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan.

Putra Raja Wirata – Utara – maju menghadapi Salya Raja Madra. Utara yang menaiki gajah perang, mencoba melumpuhkan kereta perang Salya. Setelah keretanya lumpuh, Salya meluncurkan senjata lembingnya ke arah Utara. Senjata tersebut menembus baju zirah Utara. Kemudian, Salya menyerang gajah tunggangan Utara dengan panah-panahnya. Utara dan gajahnya pun gugur seketika. Setelah Utara gugur, Sweta mengamuk. Dengan nafsu membunuh, ia mengejar Salya. Para kesatria Korawa yang menyadari hal itu segera melindungi Salya, namun tidak ada yang mampu mengatasi kemarahan Sweta. Akhirnya Bisma turun tangan. Dengan senjata khusus, ia memanah Sweta sehingga kesatria tersebut gugur seketika.

Ketidakmampuan Pandawa melawan Bisma, serta kematian Utara dan Sweta di hari pertama, membuat Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri Kresna berkata bahwa kemenangan sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa.

Utara adalah nama salah seorang putra Wirata, raja Kerajaan Matsya. Dalam naskah Wirataparwa ia dikisahkan sebagai seorang pangeran yang sombong dan takabur. Ketika Kerajaan Matsya diserang oleh para Korawa lengkap dengan pasukan Hastinapura, ia pun berangkat dengan penuh percaya diri untuk menghadang mereka, dan hanya ditemani oleh kusir keretanya, yaitu seorang waria bernama Wrehanala.

Akan tetapi ketika sampai di hadapan musuh, Utara turun dari kereta dan lari ketakutan. Wrehanala terpaksa membuka samarannya bahwa ia sesungguhnya adalah Arjuna dari keluarga Pandawa yang sedang menjalani hukuman akibat kalah bermain dadu melawan para Korawa. Utara pun dikejarnya dan kemudian didudukkan di bangku kusir. Maka, Arjuna pun mengambil alih peran Utara menghadapi musuh yang saat itu sudah mulai merampas peternakan milik Kerajaan Matsya.

Peristiwa kemenangan Arjuna atas serangan Hastinapura tersebut telah membuat Utara berubah menjadi seorang yang pemberani. Ia ikut terjun dalam perang besar di Kurukshetra membantu pihak Pandawa. Dalam perang hari pertama, Utara gugur di tangan Salya raja Kerajaan Madra.

Kematian Utara membuat saudaranya yang bernama Sweta mengamuk dan membunuh banyak musuh. Namun ia akhirnya mati pula di tangan Bisma. Saudara Utara yang lain, yaitu Sangka juga tewas di tangan Drona.

Dalam versi pewayangan Jawa, tokoh Uara merupakan putra Matsyapati raja Kerajaan Wirata. Ia memiliki seorang kakak bernama Seta dan dua orang adik bernama Wratsangka dan Utari. Sedangkan istrinya bernama Sindusari.

Dalam perang Baratayuda Utara dikisahkan tewas di tangan Salya. Namun beberapa dalang mengisahkan pembunuh Utara adalah Bisma.
Sweta adalah nama salah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia berasal dari Kerajaan Matsya dan bertempur di pihak Pandawa dalam perang besar di Kurukshetra. Tokoh ini juga dikenal dalam pewayangan Jawa dengan sebutan Arya Seta. Dalam versi ini ia dikisahkan sebagai panglima pertama pasukan pandawa dalam perang Baratayuda yang akhirnya gugur di tangan Bisma.

Versi Mahabharata

Menurut versi asli, yaitu wiracarita Mahabharata, Sweta merupakan putera Wirata, raja Kerajaan Matsya. Ia memiliki dua orang saudara bernama Utara dan Sangka, serta seorang saudari bernama Utari yang menikah dengan Abimanyu putera Arjuna.

Ketika perang di Kurukshetra meletus, Sweta bersama seluruh keluarga Kerajaan Matsya berpihak kepada para Pandawa. Pada hari pertama Utara gugur di tangan Salya raja Kerajaan Madra. Melihat saudaranya tewas, Sweta segera menyerang Salya. Salya terdesak dibuatnya. Namun ia berhasil diselamatkan oleh Kertawarma.

Putera Salya yang bernama Rukmarata mencoba untuk menolong ayahnya. Namun ia jatuh pingsan terkana senjata Sweta. Sekutu-sekutu Korawa lainnya bergerak menghadapi Sweta, namun tidak ada yang mampu menaklukkan putra Wirata tersebut. Korban di pihak Korawa semakin berjatuhan akibat amukan Sweta. Bisma selaku panglima pasukan Korawa tampil menghadapi Sweta. Perang tanding di antara keduanya berlangsung seru. Akhirnya Sweta pun tewas terkena panah Bisma. Menurut versi ini, kematian putra Wirata yang lain, yaitu Sangka, terjadi pada hari berikutnya. Sangka tewas di tangan Drona, guru para Korawa dan Pandawa.

Versi Bharatayuddha

Naskah Kakawin Bharatayuddha ditulis pada tahun 1157 pada zaman pemerintahan Maharaja Jayabaya di Kerajaan Kediri. Kitab ini berisi tentang perang besar antara keluarga Pandawa melawan Korawa, yang bersumber dari naskah Mahabharata. Jika menurut versi Mahabharata, panglima perang pasukan Pandawa sejak hari pertama sampai terakhir adalah Drestadyumna, maka menurut versi Bharatayuddha, panglima pihak Pandawa pada hari pertama adalah Sweta.

Pada hari pertama pertempuran, Sweta menyusun formasi pasukan Bajratiksnabyuha yang berbentuk laksana badai dan halilintar. Sementara itu pasukan Korawa yang dipimpin Bisma menggunakan formasi Wukirsagarabyuha yang berbentuk seperti gunung kokoh dilindungi lautan luas. Pertempuran hari pertama berlangsung seru. Kedua adik Sweta, yaitu Utara dan Wira Sangka masing-masing tewas di tangan Salya dan Drona. Menyadari hal itu, Sweta pun marah dan memburu Salya. Tapi Salya berhasil diselamatkan oleh Kretawarma. Namun, putra Salya yang bernama Rukmarata tewas di tangan Sweta.

Sama dengan versi aslinya, Sweta akhirnya gugur di tangan Bisma. Setelah kematian Sweta, pihak Pandawa mengangkat Drestadyumna sebagai panglima yang baru.

Versi pewayangan Jawa

Sweta dalam pewayangan Jawa dikenal dengan nama Arya Seta. Ia dilukiskan bertubuh gagah, serta berkulit putih bersih. Ia merupakan putera sulung Matsyapati raja Kerajaan Wirata. Seta menikah dengan bidadari bernama Kanekawati, puteri Narada yang pernah turun ke dunia menyamar sebagai raja bernama Kanekanata. Perkawinan ini terjadi berkat bantuan Abyasa (Byasa) yang waktu itu menjabat sebagai raja sementara di Hastinapura. menurut versi ini, Abyasa adalah sepupu Seta. Adapun Abyasa adalah kakek para Pandawa dan Korawa.

Seta juga terkenal sakti. Ia memiliki ajian bernama Narantaka. Konon, barangsiapa terkena pukulannya pasti akan segera binasa saat itu juga. Ilmu kesaktian ini kemudian diwariskan kepada Gatotkaca, putera Bimasena, atau cicit Abyasa yang berguru kepadanya.

Versi pewayangan yang merujuk kepada naskah Bharatayuddha, antara lain mengisahkan bahwa panglima perang pihak Pandawa yang mula-mula dipilih adalah Seta. Sama halnya dengan versi-versi yang lainnya, Seta dikisahkan gugur di tangan Bisma, setelah kematian kedua adiknya, yaitu Utara dan Wratsangka.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Hari Kedua

Pada hari kedua, Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama. Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga meyulitkan Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma. Kedua belah pihak saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Sementara itu Drona menyerang Drestadyumna bertubi-tubi dan mematahkan panahnya berkali-kali. Bima yang melihat keadaan tersebut menyongsong Drestadyumna dan menyelamatkan nyawanya. Duryodana mengirim pasukan bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima, namun serangan dari Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua. Satyaki yang bersekutu dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma sampai meninggal. Tanpa kusir, kuda melarikan kereta Bisma menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat kekalahan.

Drestadyumna adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Dia merupakan kakak bagi Dropadi dan Srikandi, keturunan Raja Drupada yang berasal dari Kerajaan Panchala. Ia berada di pihak Pandawa saat perang di Kurukshetra. Dialah yang membunuh Resi Drona. Saat Sang Resi tertunduk lemas dan kehilangan seluruh daya kekuataanya, sebagai akibat dari kabar bohong tentang meninggalnya sang putera Aswatama, Drestadyumena maju dan memenggal leher Sang Resi.

Arti nama

Dalam bahasa Sansekerta, nama Dhristadyumna secara harfiah berarti "diagungkan karena keberaniannya".

Kelahiran

Saat Drona berhasil merebut separuh Kerajaan Panchala dari tangan Drupada, kebencian Drona terhadap Drupada lenyap, namun sebaliknya Drupada membenci Drona untuk selama-lamanya dan berambisi untuk membalas dendam. Ia tahu bahwa Drona sulit dikalahkan sebab Drona merupakan murid Bhargawa dan memiliki senjata ilahi. Akhirnya Drupada memutuskan untuk menyelenggarakan upacara yadnya yang disebut Putrakama supaya memperoleh putera yang bisa membunuh Drona. Dengan dibantu oleh para resi, upacara tersebut terselenggara dengan baik. Dari dalam api upacara, munculah seorang pemuda gagah, lengkap degan baju zirah dan senjata. Atas sabda dari langit, anak tersebut diberi nama Drestadyumna.

Kematian

Setelah perang besar berakhir, putera dari Resi Drona, yaitu Aswatama, bersama dengan Krepa dan Kertawarma, melakukan pembalasan dendam dengan membantai hampir semua putera-puteri, cucu, dan kerabat Pandawa, termasuk yang menjadi korban adalah Drestadyumena sendiri, Srikandi, dan Pancawala. Pembantaian tersebut dilakukan pada malam hari, ketika pasukan Pandawa sedang tertidur lelap. Kisah tersebut terdapat dalam kitab Sauptikaparwa.

Drestadyumna dalam pewayangan Jawa

Dalam pewayangan Jawa, Arya Drestadyumena atau Trustajumena adalah putra bungsu Prabu Drupada, raja negara Panchala dengan permaisuri Dewi Gandawati, putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini. Ia mempunyai kakak kandung dua orang masing-masing bernama Dewi Drupadi, istri Prabu Yudistira, Raja Amarta (Indraprastha), dan Dewi Srikandi, istri Arjuna.

Konon Arya Drestadyumna lahir dari tungku pedupaan hasil pemujaan Prabu Drupada kepada Dewata yang menginginkan seorang putera lelaki yang dapat membinasakan Resi Drona yang telah mengalahkan dan menghinanya. Drestadyumna berwajah tampan, memiliki sifat pemberani, cerdik, tangkas dan trenginas. Ia menikah dengan Dewi Suwarni, putri Prabu Hiranyawarma, raja negara Dasarna. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra lelaki bernama Drestaka dan Drestara.

Drestadyumna ikut terjun dalam kancah perang Bharatayuddha. Ia tampil sebagai senapati perang Pandawa, menghadapi senapati perang Korawa, yaitu Resi Drona. Pada saat itu roh Ekalaya, raja negara Parangggelung yang ingin menuntut balas pada Resi Drona menyusup dalam diri Drestadyumna. Setelah melalui pertempuran sengit, akhirnya Resi Drona dapat dibinasakan oleh Drestadyumna dengan dipenggal lehernya.

Drestadyumna mati setelah berakhirnya perang Bharatayudha. Ia tewas dibunuh Aswatama, putera Resi Drona, yang berhasil menyusup masuk istana Hastina dalam usahanya menuntut balas atas kematian ayahnya.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Hari Ketiga

Pada hari ketiga, Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa membentuk formasi burung elang dengan dirinya sendiri sebagai panglima berada di garis depan sementara tentara Duryodana melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan lagi. Sementara itu para Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi bulan sabit dengan Bima dan Arjuna sebagai pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan penyerangannya kepada Arjuna. Kemudian kereta Arjuna diserbu oleh berbagai panah dan tombak. Dengan kemahirannya yang hebat, Arjuna membentengi keretanya dengan arus panah yang tak terhitung jumlahnya.

Abimanyu dan Satyaki menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan tentara Gandara milik Sangkuni. Bima dan putranya, Gatotkaca, menyerang Duryodana yang berada di barisan belakang. Panah Bima melesat menuju Duryodana yang menukik di atas keretanya. Kusir keretanya segera membawanya menjauhi pertempuran. Tentara Duryodana melihat pemimpinnya menjauhi pertarungan. Bisma melihat hal tersebut lalu menyuruh agar pasukan bersiap siaga dan membentuk kembali formasi, kemudian Duryodana datang kembali dan memimpin tentaranya. Duryodana marah kepada Bisma karena masih segan untuk menyerang para Pandawa. Bisma kemudian sadar dan mengubah perasaannnya kepada para Pandawa.

Arjuna dan Kresna mencoba menyerang Bisma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat dalam pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk melawan kakeknya. Kresna menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, "Aku sudah tak bisa bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri," lalu ia mengambil sejata cakranya dan berlari ke arah Bisma. Arjuna berlari mengejarnya dan mencegah Kresna untuk melakukannya. Kemudian mereka berdua melanjutkan pertarungan dan membinasakan banyak pasukan Korawa.

Gatotkaca adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata yang dikenal sebagai putra Bimasena atau Wrekodara dari keluarga Pandawa. Ibunya yang bernama Hidimbi (Harimbi) berasal dari bangsa rakshasa, sehingga ia pun dikisahkan memiliki kekuatan luar biasa. Dalam perang besar di Kurukshetra ia banyak menewaskan sekutu Korawa sebelum akhirnya gugur di tangan Karna.

Di Indonesia, Gatotkaca menjadi tokoh pewayangan yang sangat populer. Misalnya dalam pewayangan Jawa ia dikenal dengan ejaan Gatutkaca (bahasa Jawa: Gathutkaca). Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan "otot kawat tulang besi".

Etimologi

Menurut versi Mahabharata, Gatotkaca adalah putra Bimasena dari keluaga Pandawa yang lahir dari seorang rakshasa perempuan bernama Hidimbi. Hidimbi sendiri merupakan raksasi penguasa sebuah hutan bersama kakaknya yang bernama Hidimba.

Dalam pewayangan Jawa, ibu Gatotkaca lebih terkenal dengan sebutan Arimbi. Menurut versi ini, Arimbi bukan sekadar penghuni hutan biasa, melainkan putri dari Kerajaan Pringgadani, negeri bangsa rakshasa.

Dalam bahasa Sanskerta, nama Ghatotkacha secara harfiah bermakna "memiliki kepala seperti kendi". Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu ghat(tt)am yang berarti "buli-buli" atau "kendi", dan utkacha yang berarti "kepala". Nama ini diberikan kepadanya karena sewaktu lahir kepalanya konon mirip dengan buli-buli atau kendi.

Kelahiran

Kisah kelahiran Gatotkaca dikisahkan secara tersendiri dalam pewayangan Jawa. Namanya sewaktu masih bayi adalah Jabang Tetuka. Sampai usia satu tahun tali pusarnya belum bisa dipotong walau menggunakan senjata apa pun. Arjuna (adik Bimasena) pergi bertapa untuk mendapatkan petunjuk dewa demi menolong nasib keponakannya itu. Namun pada saat yang sama Karna, panglima Kerajaan Hastina juga sedang bertapa mencari senjata pusaka.

Karena wajah keduanya mirip, Batara Narada selaku utusan kahyangan memberikan senjata Kontawijaya kepada Karna, bukan kepada Arjuna. Setelah menyadari kesalahannya, Narada pun menemui Arjuna yang sebenarnya. Arjuna lalu mengejar Karna untuk merebut senjata Konta.

Pertarungan pun terjadi. Karna berhasil meloloskan diri membawa senjata Konta, sedangkan Arjuna hanya berhasil merebut sarung pembungkus pusaka tersebut. Namun sarung pusaka Konta terbuat dari Kayu Mastaba yang ternyata bisa digunakan untuk memotong tali pusar Tetuka.

Akan tetapi keajaiban terjadi. Kayu Mastaba musnah dan bersatu dalam perut Tetuka. Kresna yang ikut serta menyaksikannya berpendapat bahwa pengaruh kayu Mastaba akan menambah kekuatan bayi Tetuka. Namun ia juga meramalkan bahwa kelak Tetuka akan tewas di tangan pemilik senjata Konta.

Menjadi Jago Dewa

Versi pewayangan Jawa melanjutkan, Tetuka kemudian dipinjam Narada untuk dibawa ke kahyangan yang saat itu sedang diserang musuh bernama Patih Sekipu dari Kerajaan Trabelasuket. Ia diutus rajanya yang bernama Kalapracona untuk melamar bidadari bernama Batari Supraba. Bayi Tetuka dihadapkan sebagai lawan Sekipu. Anehnya, semakin dihajar bukannya mati, Tetuka justru semakin kuat.

Karena malu, Sekipu mengembalikan Tetuka kepada Narada untuk dibesarkan saat itu juga. Narada kemudian menceburkan tubuh Tetuka ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Para dewa kemudian melemparkan berbagai jenis senjata pusaka ke dalam kawah. Beberapa saat kemudian, Tetuka muncul ke permukaan sebagai seorang laki-laki dewasa. Segala jenis pusaka para dewa telah melebur dan bersatu ke dalam dirinya.

Tetuka kemudian bertarung melawan Sekipu dan berhasil membunuhnya menggunakan gigitan taringnya. Kresna dan para Pandawa saat itu datang menyusul ke kahyangan. Kresna kemudian memotong taring Tetuka dan menyuruhnya berhenti menggunakan sifat-sifat kaum raksasa.

Batara Guru raja kahyangan menghadiahkan seperangkat pakaian pusaka, yaitu Caping Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan Terompah Padakacarma untuk dipakai Tetuka, yang sejak saat itu diganti namanya menjadi Gatotkaca. Dengan mengenakan pakaian pusaka tersebut, Gatotkaca mampu terbang secepat kilat menuju Kerajaan Trabelasuket dan membunuh Kalapracona.

Perkawinan

Dalam versi Mahabharata, Gatotkaca menikah dengan seorang wanita bernama pregiwa,sumpaniwati dan suryawati ,dan. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama sasikirana,suryakaca,jayasumpena .

Dalam versi pewayangan Jawa, Gatotkaca menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwa putri Arjuna. Ia berhasil menikahi Pregiwa setelah melalui perjuangan berat, yaitu menyingkirkan saingannya, bernama Laksmana Mandrakumara putra Duryudana dari keluarga Korawa.

Dari perkawinan Gatotkaca dengan Pregiwa lahir seorang putra bernama Sasikirana. Ia menjadi panglima perang Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit, putra Abimanyu atau cucu Arjuna.

Versi lain mengisahkan, Gatotkaca memiliki dua orang istri lagi selain Pregiwa, yaitu Suryawati dan Sumpaniwati. Dari keduanya masing-masing lahir Suryakaca dan Jayasumpena.

Menjadi Raja Pringgadani

Gatotkaca versi Jawa adalah manusia setengah raksasa, namun bukan raksasa hutan. Ibunya adalah Arimbi putri Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani. Tremboko tewas di tangan Pandu ayah para Pandawa akibat adu domba yang dilancarkan Sangkuni. Ia kemudian digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Arimba.

Arimba sendiri akhirnya tewas di tangan Bimasena pada saat para Pandawa membangun Kerajaan Amarta. Takhta Pringgadani kemudian dipegang oleh Arimbi yang telah diperistri Bima. Rencananya takhta kelak akan diserahkan kepada putra mereka setelah dewasa.

Arimbi memiliki lima orang adik bernama Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, dan Kalabendana. Brajadenta diangkat sebagai patih dan diberi tempat tinggal di Kasatrian Glagahtinunu. Sangkuni dari Kerajaan Hastina datang menghasut Brajadenta bahwa takhta Pringgadani seharusnya menjadi miliknya bukan milik Gatotkaca.

Akibat hasutan tersebut, Brajadenta pun memberontak hendak merebut takhta dari tangan Gatotkaca yang baru saja dilantik sebagai raja. Brajamusti yang memihak Gatotkaca bertarung menghadapi kakaknya itu. Kedua raksasa kembar tersebut pun tewas bersama. Roh keduanya kemudian menyusup masing-masing ke dalam telapak tangan Gatotkaca kiri dan kanan, sehingga manambah kesaktian keponakan mereka tersebut.

Setelah peristiwa itu Gatotkaca mengangkat Brajalamadan sebagai patih baru, bergelar Patih Prabakiswa.

Kematian Versi Mahabharata

Kematian Gatotkaca terdapat dalam buku ketujuh Mahabharata yang berjudul Dronaparwa, pada bagian Ghattotkacabadhaparwa. Ia dikisahkan gugur dalam perang di Kurukshetra atau Baratayuda pada malam hari ke-14. Perang besar tersebut adalah perang saudara antara keluarga Pandawa melawan Korawa, di mana Gatotkaca tentu saja berada di pihak Pandawa.

Versi Mahabharata mengisahkan, Gatotkaca sebagai seorang raksasa memiliki kekuatan luar biasa terutama pada malam hari. Setelah kematian Jayadrata di tangan Arjuna, pertempuran seharusnya dihentikan untuk sementara karena senja telah tiba. Namun Gatotkaca menghadang pasukan Korawa kembali ke perkemahan mereka.

Pertempuran pun berlanjut. Semakin malam kesaktian Gatotkaca semakin meningkat. Prajurit Korawa semakin berkurang jumlahnya karena banyak yang mati di tangannya. Seorang sekutu Korawa dari bangsa rakshasa bernama Alambusa maju menghadapinya. Gatotkaca menghajarnya dengan kejam karena Alambusa telah membunuh sepupunya, yaitu Irawan putra Arjuna pada pertempuran hari kedelapan. Tubuh Alambusa ditangkap dan dibawa terbang tinggi, kemudian dibanting ke tanah sampai hancur berantakan.

Duryodana pemimpin Korawa merasa ngeri melihat keganasan Gatotkaca. Ia memaksa Karna menggunakan senjata pusaka pemberian Dewa Indra yang bernama Shakti untuk membunuh rakshasa itu. Semula Karna menolak karena pusaka tersebut hanya bisa digunakan sekali saja dan akan dipergunakannya untuk membunuh Arjuna. Namun karena terus didesak, Karna terpaksa melemparkan pusakanya menembus dada Gatotkaca.

Menyadari ajalnya sudah dekat, Gatotkaca masih sempat berpikir bagaimana caranya untuk membunuh prajurit Kurawa dalam jumlah besar. Maka Gatotkaca pun memperbesar ukuran tubuhnya sampai ukuran maksimal dan kemudian roboh menimpa ribuan prajurit Korawa. Pandawa sangat terpukul dengan gugurnya Gatotkaca.

Dalam barisan Pandawa hanya Kresna yang tersenyum melihat kematian Gatotkaca. Ia gembira karena Karna telah kehilangan pusaka andalannya sehingga nyawa Arjuna dapat dikatakan relatif aman.

Kematian Versi Jawa

Perang di Kurukshetra dalam pewayangan Jawa biasa disebut dengan nama Baratayuda. Kisahnya diadaptasi dan dikembangkan dari naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis tahun 1157 pada zaman Kerajaan Kadiri.

Versi pewayangan mengisahkan, Gatotkaca sangat akrab dengan sepupunya yang bernama Abimanyu putra Arjuna. Suatu hari Abimanyu menikah dengan Utari putri Kerajaan Wirata, di mana ia mengaku masih perjaka. Padahal saat itu Abimanyu telah menikah dengan Sitisundari putri Kresna.

Sitisundari yang dititipkan di istana Gatotkaca mendengar suaminya telah menikah lagi. Paman Gatotkaca yang bernama Kalabendana datang menemui Abimanyu untuk mengajaknya pulang. Kalabendana adalah adik bungsu Arimbi yang berwujud raksasa bulat kerdil tapi berhati polos dan mulia. Hal itu membuat Utari merasa cemburu. Abimanyu terpaksa bersumpah jika benar dirinya telah beristri selain Utari, maka kelak ia akan mati dikeroyok musuh.

Kalabendana kemudian menemui Gatotkaca untuk melaporkan sikap Abimanyu. Namun Gatotkaca justru memarahi Kalabendana yang dianggapnya lancang mencampuri urusan rumah tangga sepupunya itu. Karena terlalu emosi, Gatotkaca sampai memukul kepala Kalabendana. Mekipun perbuatan tersebut dilakukan tanpa sengaja, namun pamannya itu tewas seketika.

Ketika perang Baratayuda meletus, Abimanyu benar-benar tewas dikeroyok para Korawa pada hari ke-13. Esoknya pada hari ke-14 Arjuna berhasil membalas kematian putranya itu dengan cara memenggal kepala Jayadrata.

Duryudana sangat sedih atas kematian Jayadrata, adik iparnya tersebut. Ia memaksa Karna menyerang perkemahan Pandawa malam itu juga. Karna pun terpaksa berangkat meskipun hal itu melanggar peraturan perang.

Mendengar para Korawa melancarkan serangan malam, pihak Pandawa pun mengirim Gatotkaca untuk menghadang. Gatotkaca sengaja dipilih kaarena Kotang Antrakusuma yang ia pakai mampu memancarkan cahaya terang benderang.

Pertempuran malam itu berlangsung mengerikan. Gatotkaca berhasil menewaskan sekutu Korawa yang bernama Lembusa. Namun ia sendiri kehilangan kedua pamannya, yaitu Brajalamadan dan Brajawikalpa yang tewas bersama musuh-musuh mereka, bernama Lembusura dan Lembusana.

Gatotkaca akhirnya berhadapan dengan Karna, pemilik senjata Kontawijaya. Ia pun menciptakan kembaran dirinya sebanyak seribu orang sehingga membuat Karna merasa kebingungan. Atas petunjuk ayahnya, yaitu Batara Surya, Karna berhasil menemukan Gatotkaca yang asli. Ia pun melepaskan senjata Konta ke arah Gatotkaca.

Gatotkaca mencoba menghindar dengan cara terbang setinggi-tingginya. Namun arwah Kalabendana tiba-tiba muncul menangkap Kontawijaya sambil menyampaikan berita dari kahyangan bahwa ajal Gatotkaca telah ditetapkan malam itu.

Gatotkaca pasrah terhadap keputusan dewata. Namun ia berpesan supaya mayatnya masih bisa digunakan untuk membunuh musuh. Kalabendana setuju. Ia kemudian menusuk pusar Gatotkaca menggunakan senjata Konta. Pusaka itu pun musnah bersatu dengan sarungnya, yaitu kayu Mastaba yang masih tersimpan di dalam perut Gatotkaca.

Gatotkaca telah tewas seketika. Arwah Kalabendana kemudian melemparkan mayatnya ke arah Karna. Karna berhasil melompat sehingga lolos dari maut. Namun keretanya hancur berkeping-keping tertimpa tubuh Gatotkaca yang meluncur kencang dari angkasa. Akibatnya, pecahan kereta tersebut melesat ke segala arah dan menewaskan para prajurit Korawa yang berada di sekitarnya. Tidak terhitung banyaknya berapa jumlah mereka yang mati.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Hari Keempat

Hari keempat merupakan hari dimana Bima menunjukkan keberaniannya. Bisma memerintahkan pasukan Korawa untuk bergerak. Abimanyu dikepung oleh para ksatria Korawa lalu diserang. Arjuna melihat hal tersebut lalu menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting tersebut lalu menyerang para kstria Korawa dengan gada. Kemudian Duryodana mengirimkan pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah menuju ke arahnya, ia turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu dengan gada baja miliknya. Mereka dilempar dan dibanting ke arah pasukan Korawa. Kemudian Bima menyerang para kesatria Korawa dan membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan tersungkur di keretanya. Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa sangat marah kepada pasukan Korawa. Bisma menasehati bahwa tidak ada yang mampu melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh pasukan agar mundur. Pada hari itu, Duryodana merasa sedih telah kehilangan saudara-saudaranya.

Saat pertempuran di hari itu berakhir, Duryodana yang diliputi duka dan kekecewaan datang menemui Bisma untuk menanyakan penyebab Pandawa mampu bertahan dan mengalahkan kekuatan pasukan Korawa yang konon amat dahsyat. Bisma menjawab bahwa Pandawa bertindak di bawah panji kebenaran, sehingga lebih baik mengadakan perjanjian damai dengan mereka. Namun Duryodana yang keras kepala tidak mau menuruti nasihat tersebut.

Hari Kelima

Pada hari kelima, pertempuran terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga membalas serangan Bisma. Bima berada di garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna di sampingnya. Satyaki berhadapan dengan Drona dan kesulitan untuk membalas serangannya. Bima pergi meninggalkan Srikandi yang menyerang Bisma. Karena Srikandi berperan sebagai seorang wanita, Bisma menolak untuk bertarung dan pergi. Sementara itu, Satyaki membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan dengan pertarungan antara Setyaki melawan Burisrawa dan kemudian Satyaki kesusahan sehingga berada dalam situasi genting. Melihat hal itu, Bima datang melindungi Satyaki dan menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan membunuh ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk menyerangnya.

Satyaki (alias Yuyudhana) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia berasal dari bangsa Wangsa Wresni yang memihak para Pandawa dalam perang Baratayuda. Ia merupakan satu-satunya sekutu Pandawa selain Kresna yang masih hidup setelah perang berakhir.

Dalam pewayangan Jawa, Satyaki merupakan sepupu Kresna dan Pandawa. Ia berasal dari Kerajaan Lesanpura yang tinggal di Kasatriyan Swalabumi.

Asal-Usul

Menurut versi Mahabharata, Satyaki adalah putra Satyaka, sedangkan Satyaka adalah putra Sini, seorang pemuka bangsa Wresni. Sini merupakan tokoh yang melamar Dewaki sebagai istri Basudewa. Dalam peristiwa itu ia harus bersaing dengan Somadatta ayah Burisrawa. Dari perkawinan Basudewa dan dewaki kemudian lahirlah Kresna.

Menurut versi pewayangan Jawa, Satyaki adalah putra Satyajit raja Kerajaan Lesanpura. Satyajit merupakan adik termuda Basudewa dan Kunti. Dengan kata lain, Satyaki adalah adik sepupu Kresna dan para Pandawa.

Penggabungan Silsilah

Versi Mahabharata menyebutkan bahwa, Satyaki adalah putra Satyaka putra Sini. Sedangkan menurut versi pewayangan Jawa, Satyaki adalah putra pasangan Satyajit dan Warsini. Sementara itu, Satyajit merupakan nama lain dari Ugrasena. Dari perkawinan Satyajit dengan Warsini lahir Satyaboma dan Satyaki. Satyajit sendiri merupakan adik dari Kunti.

Menurut versi Mahabharata, Satyajit dan Ugrasena adalah dua orang tokoh yang berbeda. Satyajit merupakan panglima Kerajaan Pancala, sedangkan Ugrasena adalah raja Kerajaan Mathura. Sementara itu ayah dari Satyabhama bernama Sartajit, sedangkan adik Kunti bernama Purujit.

Jadi, versi pewayangan Jawa menggabungkan Ugrasena, Satyajit, Sartajit, dan Purujit menjadi satu orang tokoh saja, yaitu Satyajit raja Lesanpura, ayah dari Satyaki dan Satyaboma.

Sementara itu, tokoh Satyaka dalam pewayangan Jawa bukan sebagai ayah Satyaki, melainkan nama putra Satyaboma. Dengan kata lain, Satyaka versi Jawa adalah keponakan Satyaki.

Kelahiran

Versi pewayangan Jawa mengisahkan ketika Warsini mengandung, ia mengidam ingin bertamasya menunggang macan putih. Satyajit mendatangkan para keponakannya, yaitu Kresna, Baladewa dan para Pandawa untuk ikut membantu. Ternyata yang berhasil menangkap macan putih idaman Warsini adalah Kresna.

Namun, macan putih tersebut penjelmaan Singamulangjaya, patih Kerajaan Swalabumi yang diutus rajanya, yaitu Prabu Satyasa untuk menculik Warsini. Singamulangjaya segera membawa Warsini kabur begitu naik ke punggungnya.

Kresna yang dicurigai Satyajit segera mengejar Singamulangjaya. Di tengah jalan, Singamulangjaya mencoba mengeluarkan isi kandungan Warsini. Lahirlah seorang bayi yang bukannya mati, namun justru bertambah besar setelah dihajar Singamulangjaya. Akhirnya, bayi tersebut berubah menjadi pemuda dan membunuh Singamulangjaya. Arwah Singamulangjaya bersatu ke dalam diri pemuda itu.

Warsini memberi nama putranya yang sudah dewasa dalam waktu singkat itu dengan nama Satyaki. Kresna pun menemukan mereka berdua. Bersama mereka menyerang dan membunuh Satyasa sebagai sumber masalah. Satyaki kemudian menduduki Kerajaan Swalabumi sebagai daerah kekuasaannya.

Sayembara untuk Satyaboma

Dalam pewayangan Jawa dikisahkan Satyaboma dilamar oleh Drona dengan dukungan para Korawa. Tujuan lamaran ini hanya sekadar untuk menjadikan Kerajaan Lesanpura sebagai sekutu Kerajaan Hastina. Satyaki segera mengumumkan sayembara bahwa jika ingin menikahi kakaknya harus bisa mengalahkan dirinya terlebih dulu.

Satu per satu para Korawa maju namun tidak ada yang mampu mengalahkan Satyaki. Bahkan, Drona sekalipun dikalahkannya. Arjuna selaku murid Drona maju atas nama gurunya. Satyaki yang gentar meminta bantuan Kresna. Maka, Kresna pun meminjamkan Kembang Wijayakusuma kepada Satyaki.

Dengan berbekal bunga pusaka milik Kresna, Satyaki dapat menahan serangan Arjuna, bahkan berhasil mengalahkan Pandawa nomor tiga tersebut. Ternyata Kresna juga melamar Satyaboma untuk dirinya sendiri. Dalam pertarungan adu kesaktian, Kresna berhasil mengalahkan Satyaki dan mempersunting Satyaboma.

Dari perkawinan antara Kresna dan Satyaboma lahir seorang putra bernama Satyaka.

Keluarga

Menurut versi Mahabharata Satyaki memiliki sepuluh orang putra yang semuanya mati di tangan Burisrawa dalam perang Baratayuda.

Sementara itu, menurut versi Jawa, Satyaki hanya memiliki seorang putra saja bernama Sangasanga yang tetap hidup sampai perang berakhir. Sangasanga kemudian menjadi raja Kerajaan Lesanpura sepeninggal Satyajit dan Satyaki. Meskipun demikian, ia tetap mengabdi sebagai panglima Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit cucu Arjuna.

Sangasanga merupakan putra Satyaki dari perkawinannya dengan Trirasa.

Peran dalam Baratayuda

Dalam perang Baratayuda yang meletus di Kuruksetra, Satyaki memihak para Pandawa. Ia bahkan dipercaya memimpin salah satu di antara tujuh aksohini pasukan Pandawa.

Peran Satyaki tampak menonjol pada hari ke-14 di mana ia ditugasi Arjuna untuk menjaga Yudistira dari serangan Drona. Menurut versi Mahabharata, Arjuna merupakan guru Satyaki dalam ilmu memanah. Sementara itu menurut versi Jawa, murid Arjuna adalah Srikandi yang kemudian menjadi istrinya.

Pada hari tersebut Arjuna bergerak mencari Jayadrata yang telah menyebabkan putranya, yaitu Abimanyu tewas. Satyaki sendiri mati-matian melindungi Yudistira yang hendak ditangkap hidup-hidup oleh Drona sebagai sandera.

Drona adalah guru Arjuna, sedangkan Satyaki adalah murid Arjuna. Namun, dalam pertempuran itu Drona memuji kesaktian Satyaki setara dengan Parasurama, yaitu guru Drona sendiri.

Setelah keadaan aman, Yudistira memaksa Satyaki pergi membantu Arjuna. Dalam keadaan letih, Satyaki menerobos barisan sekutu Korawa yang menghadangnya. Tidak terhitung jumlahnya yang mati. Namun ia sendiri bertambah letih.

Burisrawa maju menghadang Satyaki. Pertarungan tersebut akhirnya dimenangkan Burisrawa. Dengan pedang di tangan ia siap membunuh Satyaki yang sudah jatuh pingsan. Adapun Burisrawa merupakan putra Somadatta yang dulu dikalahkan Sini kakek Satyaki sewaktu melamar Dewaki.

Arjuna yang mengendarai kereta dengan Kresna sebagai kusir sudah mendekati tempat persembunyian Jayadrata. Kresna memintanya untuk berbalik membantu Satyaki. Mula-mula Arjuna menolak karena hal itu melanggar peraturan. Namun, Kresna berhasil meyakinkan Arjuna bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk menolong Satyaki yang sudah bersusah payah datang membantunya.

Arjuna akhirnya memanah lengan Burisrawa sampai putus. Burisrawa terkejut dan menuduh Arjuna berbuat curang. Arjuna membantah karena Burisrawa sendiri hendak membunuh Satyaki yang sudah pingsan serta kemarin ikut serta mengeroyok Abimanyu.

Burisrawa sadar atas kesalahannya. Ia pun duduk bermeditasi. Tiba-tiba Satyaki sadar dari pingsan dan langsung memungut potongan lengan Burisrawa yang masih memegang pedang. Dengan menggunakan pedang itu ia membunuh Burisrawa.

Menurut versi Kakawin Bharatayuddha, Satyaki membunuh Burisrawa menggunakan pedang Mangekabhama, menurut versi Serat Bratayuda menggunakan panah Nagabanda, sedangkan menurut versi pewayangan menggunakan gada Wesikuning.

Kematian

Kematian Satyaki terdapat dalam Mahabharata bagian ke-16 berjudul Mausalaparwa. Dikisahkan selang 36 tahun setelah pertempuran di Kurukshetra berakhir, bangsa Wresni dan Yadawa mengadakan upacara di tepi pantai Pramanakoti. Meskipun ada larangan untuk tidak membawa minuman keras, namun tetap saja ada yang melanggar.

Akibatnya, mereka pun berpesta mabuk-mabukan. Dalam keadaan tidak sadar, Satyaki mengejek Kretawarma yang dulu memihak Korawa sebagai pengecut karena menyerang perkemahan Pandawa pada waktu malam. Sebaliknya, Kretawarma juga mengejek Satyaki yang membunuh Burisrawa secara licik.

Satyaki yang sudah sangat mabuk segera membunuh Kretawarma. Akibatnya, orang-orang pun terbagi menjadi dua,sebagian membela Satyaki, sebagian membela Kretawarma. Mereka semua akhirnya saling bunuh dan semua tumpas.


-dipi-
 
Bls: [Mitos] Kisah Epik Mahabharata

Srikandi atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata versi India.

Arti nama

Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".

Srikandi dalam Mahabharata

Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.

Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.

Perang di Kurukshetra

Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.

Srikandi dalam Pewayangan Jawa

Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.

Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.

Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang dendam kepada Bisma.

Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.


-dipi-
 
Back
Top