Dipi76
New member
Sekilas Penyebab Perang Jawa (1825 - 1830)
Perang Diponegoro, yang disebut Belanda sebagai perang Jawa ( 1825 - 1830 ) telah menelan korban tewas di pihak tentara Hindia Belanda sebanyak 15.000 orang (8.000 orang tentara Eropa dan 7.000 orang pribumi), sedangkan di pihak pengikut Diponegoro sedikitnya 200.000 orang tewas.Perang ini tidak hanya perang melawan Belanda namun juga perang (sesama) saudara antara orang kraton yang berpihak ke Diponegoro dan yang anti Diponegoro (antek Belanda).
Beberapa faktor yang menyebabkan meletusnya perang Diponegoro adalah sebagai berikut:
Latar Belakang Keluarga Kyai Modjo
Menurut Babcock (1989), Kyai Modjo lahir sekitar tahun 1792 , namun di kampung jawa Tondano beliau disebutkan lahir pada tahun 1764 - sebagaimana tertulis pada papan di makam beliau. Menjelang dewasa beliau kemudian menjadi guru agama (ulama) yang sangat berpengaruh daerah Pajang dekat Delangu Surakarta. Nama sebenarnya adalah Muslim Mochammad Khalifah. Ayah Kyai Modjo bernama Iman Abdul Arif, juga seorang ulama terkenal pada masa itu di dusun Baderan dan Modjo, kedua dusun tersebut berada dekat Pajang dan merupakan tanah pemberian (pradikan) Raja Surakarta kepada beliau.
Belum diketahui latar belakang keluarga beliau, kecuali menurut suatu sumber (Babcock, 1989) Iman Abdul Ngarip memiliki alur keturunan dari kerajaan Pajang. Sedangkan ibu Kiay Modjo adalah saudara perempuan HB III, dan dengan demikian ditinjau dari hubungan kekerabatan Kiay Modjo adalah kemenakan Pangeran Diponegoro karena ibu Kiay Modjo (R.A Mursilah bersepupuan dengan Pangeran Diponegoro. Meskipun ibunya seorang ningrat kraton, kiay Modjo dibesarkan diluar kraton. Setelah menunaikan ibadah haji ke Mekah dan menetap disana selama beberapa waktu (Ali Munhanif, 2003) Kiay Modjo kemudian memimpin satu pesantren di negri Modjo .Selain Kyai Modjo, Iman Abdul Arif memiliki beberapa anak laki-laki diantaranya Kyai Baderan, Kyai Hasan Mochammad dan Kyai Hasan Besari.
Sepeninggal ayahnya, Kyai modjo melanjutkan tugas ayahnya sebagai guru agama di (pesantren) Modjo dimana banyak putra dan putri dari Kraton Solo belajar di pesantrennya di Modjo. Kelak nama Muslim Mochammad Khalifah menjadi terkenal sebagai Kyai Modjo. Keulamaannya dan ada pertalian darah dengan kraton Jogyakarta (baca Pangeran Diponegoro) kemungkinan membuat Pangeran diponegoro memilih kyai Modjo sebagai penasehat agamanya sekaligus panglima perangnya.
Kyai modjo menikah dengan R.A Mangubumi (Babcock, 1989), janda cerai dari pangeran Mangkubumi - paman Pangeran Diponegoro dan karena perkawinan ini Pangeran Diponegoro memanggil Kyai Modjo dengan sebutan “paman” meskipun dari garis ayah Kyai modjo adalah “kemenakan” Pangeran Diponegoro karena ibu Kyai modjo (R.A Mursilah) adalah sepupu Pangeran Diponegoro. Pangeran Mangkubumi adalah salah satu pangeran yang ikut memberontak bersama-sama pangeran Diponegoro dan Kyai modjo. Konon Kyai Modjo memiliki 3 orang anak laki-laki, dua diantaranya meninggal di Mekah, ssedangkan satu anak yang tersisa bernama Gazaly.
-dipi-
Perang Diponegoro, yang disebut Belanda sebagai perang Jawa ( 1825 - 1830 ) telah menelan korban tewas di pihak tentara Hindia Belanda sebanyak 15.000 orang (8.000 orang tentara Eropa dan 7.000 orang pribumi), sedangkan di pihak pengikut Diponegoro sedikitnya 200.000 orang tewas.Perang ini tidak hanya perang melawan Belanda namun juga perang (sesama) saudara antara orang kraton yang berpihak ke Diponegoro dan yang anti Diponegoro (antek Belanda).
Beberapa faktor yang menyebabkan meletusnya perang Diponegoro adalah sebagai berikut:
- Kekuasaan terselubung penjajah di kesultanan Jogyakarta.
Campur tangan penjajah (Belanda dan Inggris) dalam pemerintahan Kesultanan Jogyakarta tersirat dalam kebijakan dan peraturan Kesultanan yang menguntungkan penjajah. Bahkan sah tidaknya kedudukan seorang sultan harus mendapat persetujuan dari penjajah, dan orang-orang yang tidak mau bekerjasama dengan penjajah disingkirkan. Akibatnya beberapa pangeran yang dipecundangi penjajah merasa sakit hati (salah satunya Pangeran Diponegoro).
- Intrik dalam suksesi kerajaan.
Ketika HB III mangkat pada tahun 1814 putra mahkotanya (Pangeran Jarot – HB.IV) masih berusia 10 tahun, dan untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh wali kesultanan yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi (adik kandung HB III) dan Pangeran Diponegoro. (putra tertua HB III dari selir).
Konon Diponegoro pernah ditawari oleh ayahnya (HB III) untuk menggantikannya bila ia mangkat, namun ditolak oleh Diponegoro. Penolakan ini kemungkinan disebabkan Diponegoro menyadari bahwa dirinya sebagai anak dari selir raja tentu nantinya akan menghadapi penolakan dan perlawanan hebat dari permaisuri raja dan putra mahkotanya, sementara pihak Belanda pasti tidak akan mengakuinya karena Diponegoro menolak bekerjasama dengan mereka.
Meskipun demikian Ratu Ageng sebagai permaisuri dari mendiang HB III merasa khawatir kalau-kalau para wali sultan merebut kursi sultan dari putranya yang masih kecil itu (maklum perebutan kekuasaan sudah sering terjadi dalam kraton). Ratu Ageng melakukan persekongkolan dengan Belanda. Persekongkolan ini membuahkan hasil Belanda mengangkat dan mengakui Pangeran Jarot sebagai Sultan HB IV, dan mengabaikan fungsi wali sultan yang ada. Peristiwa ini menambah kebencian Pangeran Diponegoro Cs kepada Belanda. Kedua faktor tersebut di atas inilah yang melatar belakangi Pangeran Diponegoro memberontak kepada Belanda. Meskipun demikian Diponegoro belum secara terbuka menyatakan perlawanannya kepada Belanda, karena disamping jumlah pangeran-pangeran yang berpihak kepadanya tidak banyak juga ada saling curiga diantara mereka disebabkan terjadi krisis kepemimpinan, dan keadaan ini dapat digunakan oleh Belanda mengadu domba dan memukul perlawanan tersebut.
Menyadari hal ini Diponegoro harus membuat suatu perlawanan yang bentuknya bukan perlawanan para pangeran saja tetapi adalah perlawanan rakyat. Bentuk perlawanan ini disadari oleh Diponegoro untuk menghindari tuduhan Belanda bahwa perlawanan ini semata karena keinginan Diponegoro untuk merebut kekuasaan (kelak Belanda tetap saja menuduh demikian). Untuk itu Diponegoro harus menemukan dan berkoalisi dngan suatu kekuatan yang dapat menggerakkan akar rumput (grassroot) agar perjuangannya bersifat meluas dan lama.
- Eksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Kolusi pejabat istana dengan penjajah telah melahirkan produk-produk hukum yang sangat merugikan kehidupan masyarakat jawa. Kutipan segala macam pajak dan kewajiban menjual hasil bumi kepada penjajah dengan harga murah telah menyebabkan masyrakat menjadi makin miskin dan melarat. Sebaliknya penjajah menjual mimpi rakyat dalam bentuk perjudian, minuman keras, sabung ayam, pelacuran, serta racun demoralisasi lainnya. Penghancuran karakter (character Assasination) masyarakat Jawa yang umumnya beragama Islam oleh penjajah ini telah menggugah Kiay Modjo dan seluruh keluaganya berjihat melawan penjajah.
- Momentum Pemicu Pecah Perang.
Moment yang tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuatjalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemilik-nya. Oleh karena itu Diponegoro memerintahkan pegawai--pegawainya untuk mencabut tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja IV. Suasana tegang ini menjadi pemicu meletusnya Perang Jawa.
Latar Belakang Keluarga Kyai Modjo
Menurut Babcock (1989), Kyai Modjo lahir sekitar tahun 1792 , namun di kampung jawa Tondano beliau disebutkan lahir pada tahun 1764 - sebagaimana tertulis pada papan di makam beliau. Menjelang dewasa beliau kemudian menjadi guru agama (ulama) yang sangat berpengaruh daerah Pajang dekat Delangu Surakarta. Nama sebenarnya adalah Muslim Mochammad Khalifah. Ayah Kyai Modjo bernama Iman Abdul Arif, juga seorang ulama terkenal pada masa itu di dusun Baderan dan Modjo, kedua dusun tersebut berada dekat Pajang dan merupakan tanah pemberian (pradikan) Raja Surakarta kepada beliau.
Belum diketahui latar belakang keluarga beliau, kecuali menurut suatu sumber (Babcock, 1989) Iman Abdul Ngarip memiliki alur keturunan dari kerajaan Pajang. Sedangkan ibu Kiay Modjo adalah saudara perempuan HB III, dan dengan demikian ditinjau dari hubungan kekerabatan Kiay Modjo adalah kemenakan Pangeran Diponegoro karena ibu Kiay Modjo (R.A Mursilah bersepupuan dengan Pangeran Diponegoro. Meskipun ibunya seorang ningrat kraton, kiay Modjo dibesarkan diluar kraton. Setelah menunaikan ibadah haji ke Mekah dan menetap disana selama beberapa waktu (Ali Munhanif, 2003) Kiay Modjo kemudian memimpin satu pesantren di negri Modjo .Selain Kyai Modjo, Iman Abdul Arif memiliki beberapa anak laki-laki diantaranya Kyai Baderan, Kyai Hasan Mochammad dan Kyai Hasan Besari.
Sepeninggal ayahnya, Kyai modjo melanjutkan tugas ayahnya sebagai guru agama di (pesantren) Modjo dimana banyak putra dan putri dari Kraton Solo belajar di pesantrennya di Modjo. Kelak nama Muslim Mochammad Khalifah menjadi terkenal sebagai Kyai Modjo. Keulamaannya dan ada pertalian darah dengan kraton Jogyakarta (baca Pangeran Diponegoro) kemungkinan membuat Pangeran diponegoro memilih kyai Modjo sebagai penasehat agamanya sekaligus panglima perangnya.
Kyai modjo menikah dengan R.A Mangubumi (Babcock, 1989), janda cerai dari pangeran Mangkubumi - paman Pangeran Diponegoro dan karena perkawinan ini Pangeran Diponegoro memanggil Kyai Modjo dengan sebutan “paman” meskipun dari garis ayah Kyai modjo adalah “kemenakan” Pangeran Diponegoro karena ibu Kyai modjo (R.A Mursilah) adalah sepupu Pangeran Diponegoro. Pangeran Mangkubumi adalah salah satu pangeran yang ikut memberontak bersama-sama pangeran Diponegoro dan Kyai modjo. Konon Kyai Modjo memiliki 3 orang anak laki-laki, dua diantaranya meninggal di Mekah, ssedangkan satu anak yang tersisa bernama Gazaly.
-dipi-
Last edited: