Dipi76
New member
Gugatan Eduard Douwes Dekker
ROMAN Max Havelaar terbit kali pertama pada 15 Mei 1860 di Amsterdam. Roman itu bercorak satir politik, ditulis oleh Eduard Douwes Dekker di bawah pseudonim Multatuli (latin: aku telah banyak menderita). Ia jadi pusat perhatian karena menghadirkan realitas kehidupan masyarakat Lebak nan miskin di tengah hiruk-pikuk kolonialisme yang mengeruk keuntungan dari negeri jajahan.
Bulan Maret tahun ini, di negeri asalnya, Belanda, 150 tahun penerbitan roman Max Havelaar yang juga bertepatan dengan 190 tahun kelahiran penulisnya diperingati besar-besaran. Mengusung tema “Het is geen roman,’t is een aanklacht!” (ini bukan roman, tapi sebuah gugatan), Universitas Amsterdam menggelar serangkaian kegiatan dari pameran, seminar, sampai pemutaran film. Bahkan universitas ternama di Belanda itu mengajukan roman Max Havelaar ke UNESCO untuk ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia.
Dekker bukan ambtenar yang selalu membuat laporan palsu demi pujian dari atasan, atau hidup cari selamat demi gaji bulanan. Ia manusia yang benar pada tempat yang salah. Bukan saja penindasan sang bupati yang digugatnya, tapi juga kekuasaan kolonial yang membiarkan rakyat terus terhimpit kesusahan.
“Saya tak suka menggugat siapa pun, tapi kalau harus, biar dia kepala tentu saya akan gugat,” ujar Max Havelaar, menunjukkan sikap teguh berpendirian.
Menilai siapa Dekker tak sesederhana nalar malas yang percaya bahwa Belanda selalu penjajah dan pribumi selalu dijajah; Belanda selalu jahat sementara pribumi selalu benar. Memahami sejarah dalam beberapa soal memang rumit, serumit seluk-beluk lakon manusia dalam kisah sejarah itu sendiri. Bagaimana seorang Belanda bisa membela pribumi yang seharusnya dinistakan? Atau bagaimana bisa seorang kulit putih macam Eduard Douwes Dekker yang Protestan terenyuh atas penderitaan warga pribumi Banten yang gemar berontak di bawah panji sabilillah? Dalam posisi ini, Dekker seorang pengecualian.
Betapapun banyak komentar miring mengenai karya Dekker, mulai dari gaya bahasa yang buruk, tak berbakat, fiksi yang berdasar pada bualan belaka, sampai karya murahan dari seorang penulis yang tak berpengalaman, kenyataannya roman itu menimbulkan kegelisahan di kalangan kolonialis semenjak kali pertama terbit.
Karya Dekker, Max Havelaar, berdampak jauh dari yang mungkin ia pernah pikirkan. Segera setelah terbit, Max Havelaar menjadi bahan bagi segelitir orang di Belanda untuk menyerang kebijakan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda. Salah satunya Robert Fruin. Terinspirasi Max Havelaar, ia menulis artikel tentang kewajiban pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup warga jajahan. Dalam artikel itulah untuk kali pertama dikenal istilah “Baltig ****” atau keuntungan dari program Cultuur Stelsel (tanam paksa) yang dinyatakannya sebagai satu sistem yang bertentangan dengan hukum Belanda.
Bola salju yang digelincirkan Dekker melalui romannya menggelinding kian membesar. Tulisan Fruin mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda di Hindia Belanda yang menggagas politik etis seperti Van Deventer dan Pieter Brooshooft. Van Deventer menulis artikel di media yang sama dengan Fruin, De Gids tahun 1899, dengan judul “Een Eerschuld” (Utang Budi). Van Deventer menilai pemerintah kolonial berutang budi pada rakyat Hindia Belanda yang telah bekerja keras demi kemakmuran Belanda.
Sementara Brooshooft, pemimpin redaksi suratkabar berbahasa Belanda De Locomotief yang berpusat di Semarang, giat menyuarakan perlunya pemerintah kolonial menjalankan kewajiban moral pada masyarakat bumiputera di Hindia Belanda. Brooshooft menulis pamflet berjudul “Haluan Etis Dalam Politik Kolonial”, yang kemudian menjadi awal mulai dikenalnya istilah “politik etis.”
Perlahan-lahan, seiring makin deras arus gerakan kaum etis menyuarakan keadilan di Hindia Belanda, gagasan etis mulai dilirik dan dipertimbangkan Ratu Wilhelmina. Pada Januari 1901, Ratu Wilhelmina mengesahkan politik etis sebagai kebijakan resmi pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Program itu terdiri dari tiga proyek: pengairan, pendidikan, dan pemerataan jumlah penduduk penduduk.
Salah satu hal penting dalam program politik etis adalah ketersediaan sarana pendidikan buat kaum bumiputera. Benar bahwa program pendidikan dalam politik etis pada akhirnya hanya menciptakan insinyur-insinyur atau dokter-dokter tukang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja ahli di perkebunan-perkebunan milik Belanda. Namun bagaimana pun program tersebut telah melahirkan kelompok baru dalam masyarakat Hindia Belanda, yang di kemudian hari menggerakkan kesadaran nasionalisme Indonesia.
Sukarno salah satunya. Ia sendiri menjadikan Max Havelaar sebagai inspirasi dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan. Sebelum Sukarno, pejuang emansipasi perempuan RA Kartini pun membaca Max Havelaar dan mengatakan Multatuli sebagai penulis jenial pembela bumiputera yang tiada taranya dalam sastra Belanda.
Sumbangan berharga dari karya Dekker adalah kejujurannya memandang ketimpangan yang disebabkan oleh penjajahan, baik dilakukan sesama bangsa sendiri maupun penguasa pribumi yang feodal. Dekker telah menunjukkan solidaritasnya sebagai manusia yang mendambakkan keadilan tanpa memandang perbedaan warna kulit dan ras justru di saat susunan masyarakat dunia dikotak-kotakan berdasarkan prinsip-prinsip rasialisme.
Bagi Dekker, selama mereka menindas yang lemah, pejabat kolonial Belanda maupun pribumi adalah penjajah. Dan ia dengan baik menggambarkan suasana penjajahan itu, seperti terlihat dalam sebaris kalimat yang diungkapkan Max Havelaar: “Orang Jawa sebenarnya petani... Pendeknya, menanam padi bagi orang Jawa adalah sama dengan memetik anggur bagi orang di daerah Rijn dan di selatan Prancis. Tapi datanglah orang-orang asing dari Barat; mereka menjadikan diri pemilik tanah (orang Jawa) itu, dan menyuruh penduduk memberikan sebagian tenaga dan waktunya untuk menghasilkan tanaman-tanaman lain, yang lebih menguntungkan di pasar-pasar Eropa. Untuk menggerakkan orang-orang yang sederhana itu, cukuplah mempunyai pengetahuan politik sedikit. Mereka patuh pada kepala-kepalanya; jadi cukuplah kalau dapat mempengaruhi kepala-kepalanya itu, dengan menjanjikan sebagian keuntungan kepada mereka... Dan...mereka berhasil.”
Sumber:
Majalah Historia, 04 April 2010.
-dipi-
ROMAN Max Havelaar terbit kali pertama pada 15 Mei 1860 di Amsterdam. Roman itu bercorak satir politik, ditulis oleh Eduard Douwes Dekker di bawah pseudonim Multatuli (latin: aku telah banyak menderita). Ia jadi pusat perhatian karena menghadirkan realitas kehidupan masyarakat Lebak nan miskin di tengah hiruk-pikuk kolonialisme yang mengeruk keuntungan dari negeri jajahan.
Bulan Maret tahun ini, di negeri asalnya, Belanda, 150 tahun penerbitan roman Max Havelaar yang juga bertepatan dengan 190 tahun kelahiran penulisnya diperingati besar-besaran. Mengusung tema “Het is geen roman,’t is een aanklacht!” (ini bukan roman, tapi sebuah gugatan), Universitas Amsterdam menggelar serangkaian kegiatan dari pameran, seminar, sampai pemutaran film. Bahkan universitas ternama di Belanda itu mengajukan roman Max Havelaar ke UNESCO untuk ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia.
Dekker bukan ambtenar yang selalu membuat laporan palsu demi pujian dari atasan, atau hidup cari selamat demi gaji bulanan. Ia manusia yang benar pada tempat yang salah. Bukan saja penindasan sang bupati yang digugatnya, tapi juga kekuasaan kolonial yang membiarkan rakyat terus terhimpit kesusahan.
“Saya tak suka menggugat siapa pun, tapi kalau harus, biar dia kepala tentu saya akan gugat,” ujar Max Havelaar, menunjukkan sikap teguh berpendirian.
Menilai siapa Dekker tak sesederhana nalar malas yang percaya bahwa Belanda selalu penjajah dan pribumi selalu dijajah; Belanda selalu jahat sementara pribumi selalu benar. Memahami sejarah dalam beberapa soal memang rumit, serumit seluk-beluk lakon manusia dalam kisah sejarah itu sendiri. Bagaimana seorang Belanda bisa membela pribumi yang seharusnya dinistakan? Atau bagaimana bisa seorang kulit putih macam Eduard Douwes Dekker yang Protestan terenyuh atas penderitaan warga pribumi Banten yang gemar berontak di bawah panji sabilillah? Dalam posisi ini, Dekker seorang pengecualian.
Betapapun banyak komentar miring mengenai karya Dekker, mulai dari gaya bahasa yang buruk, tak berbakat, fiksi yang berdasar pada bualan belaka, sampai karya murahan dari seorang penulis yang tak berpengalaman, kenyataannya roman itu menimbulkan kegelisahan di kalangan kolonialis semenjak kali pertama terbit.
Karya Dekker, Max Havelaar, berdampak jauh dari yang mungkin ia pernah pikirkan. Segera setelah terbit, Max Havelaar menjadi bahan bagi segelitir orang di Belanda untuk menyerang kebijakan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda. Salah satunya Robert Fruin. Terinspirasi Max Havelaar, ia menulis artikel tentang kewajiban pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup warga jajahan. Dalam artikel itulah untuk kali pertama dikenal istilah “Baltig ****” atau keuntungan dari program Cultuur Stelsel (tanam paksa) yang dinyatakannya sebagai satu sistem yang bertentangan dengan hukum Belanda.
Bola salju yang digelincirkan Dekker melalui romannya menggelinding kian membesar. Tulisan Fruin mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda di Hindia Belanda yang menggagas politik etis seperti Van Deventer dan Pieter Brooshooft. Van Deventer menulis artikel di media yang sama dengan Fruin, De Gids tahun 1899, dengan judul “Een Eerschuld” (Utang Budi). Van Deventer menilai pemerintah kolonial berutang budi pada rakyat Hindia Belanda yang telah bekerja keras demi kemakmuran Belanda.
Sementara Brooshooft, pemimpin redaksi suratkabar berbahasa Belanda De Locomotief yang berpusat di Semarang, giat menyuarakan perlunya pemerintah kolonial menjalankan kewajiban moral pada masyarakat bumiputera di Hindia Belanda. Brooshooft menulis pamflet berjudul “Haluan Etis Dalam Politik Kolonial”, yang kemudian menjadi awal mulai dikenalnya istilah “politik etis.”
Perlahan-lahan, seiring makin deras arus gerakan kaum etis menyuarakan keadilan di Hindia Belanda, gagasan etis mulai dilirik dan dipertimbangkan Ratu Wilhelmina. Pada Januari 1901, Ratu Wilhelmina mengesahkan politik etis sebagai kebijakan resmi pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Program itu terdiri dari tiga proyek: pengairan, pendidikan, dan pemerataan jumlah penduduk penduduk.
Salah satu hal penting dalam program politik etis adalah ketersediaan sarana pendidikan buat kaum bumiputera. Benar bahwa program pendidikan dalam politik etis pada akhirnya hanya menciptakan insinyur-insinyur atau dokter-dokter tukang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja ahli di perkebunan-perkebunan milik Belanda. Namun bagaimana pun program tersebut telah melahirkan kelompok baru dalam masyarakat Hindia Belanda, yang di kemudian hari menggerakkan kesadaran nasionalisme Indonesia.
Sukarno salah satunya. Ia sendiri menjadikan Max Havelaar sebagai inspirasi dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan. Sebelum Sukarno, pejuang emansipasi perempuan RA Kartini pun membaca Max Havelaar dan mengatakan Multatuli sebagai penulis jenial pembela bumiputera yang tiada taranya dalam sastra Belanda.
Sumbangan berharga dari karya Dekker adalah kejujurannya memandang ketimpangan yang disebabkan oleh penjajahan, baik dilakukan sesama bangsa sendiri maupun penguasa pribumi yang feodal. Dekker telah menunjukkan solidaritasnya sebagai manusia yang mendambakkan keadilan tanpa memandang perbedaan warna kulit dan ras justru di saat susunan masyarakat dunia dikotak-kotakan berdasarkan prinsip-prinsip rasialisme.
Bagi Dekker, selama mereka menindas yang lemah, pejabat kolonial Belanda maupun pribumi adalah penjajah. Dan ia dengan baik menggambarkan suasana penjajahan itu, seperti terlihat dalam sebaris kalimat yang diungkapkan Max Havelaar: “Orang Jawa sebenarnya petani... Pendeknya, menanam padi bagi orang Jawa adalah sama dengan memetik anggur bagi orang di daerah Rijn dan di selatan Prancis. Tapi datanglah orang-orang asing dari Barat; mereka menjadikan diri pemilik tanah (orang Jawa) itu, dan menyuruh penduduk memberikan sebagian tenaga dan waktunya untuk menghasilkan tanaman-tanaman lain, yang lebih menguntungkan di pasar-pasar Eropa. Untuk menggerakkan orang-orang yang sederhana itu, cukuplah mempunyai pengetahuan politik sedikit. Mereka patuh pada kepala-kepalanya; jadi cukuplah kalau dapat mempengaruhi kepala-kepalanya itu, dengan menjanjikan sebagian keuntungan kepada mereka... Dan...mereka berhasil.”
Sumber:
Majalah Historia, 04 April 2010.
-dipi-