190 Tahun Multatuli

Dipi76

New member
Gugatan Eduard Douwes Dekker



81Multatuli_1.jpg


ROMAN Max Havelaar terbit kali pertama pada 15 Mei 1860 di Amsterdam. Roman itu bercorak satir politik, ditulis oleh Eduard Douwes Dekker di bawah pseudonim Multatuli (latin: aku telah banyak menderita). Ia jadi pusat perhatian karena menghadirkan realitas kehidupan masyarakat Lebak nan miskin di tengah hiruk-pikuk kolonialisme yang mengeruk keuntungan dari negeri jajahan.

Bulan Maret tahun ini, di negeri asalnya, Belanda, 150 tahun penerbitan roman Max Havelaar yang juga bertepatan dengan 190 tahun kelahiran penulisnya diperingati besar-besaran. Mengusung tema “Het is geen roman,’t is een aanklacht!” (ini bukan roman, tapi sebuah gugatan), Universitas Amsterdam menggelar serangkaian kegiatan dari pameran, seminar, sampai pemutaran film. Bahkan universitas ternama di Belanda itu mengajukan roman Max Havelaar ke UNESCO untuk ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia.

Dekker bukan ambtenar yang selalu membuat laporan palsu demi pujian dari atasan, atau hidup cari selamat demi gaji bulanan. Ia manusia yang benar pada tempat yang salah. Bukan saja penindasan sang bupati yang digugatnya, tapi juga kekuasaan kolonial yang membiarkan rakyat terus terhimpit kesusahan.

“Saya tak suka menggugat siapa pun, tapi kalau harus, biar dia kepala tentu saya akan gugat,” ujar Max Havelaar, menunjukkan sikap teguh berpendirian.

Menilai siapa Dekker tak sesederhana nalar malas yang percaya bahwa Belanda selalu penjajah dan pribumi selalu dijajah; Belanda selalu jahat sementara pribumi selalu benar. Memahami sejarah dalam beberapa soal memang rumit, serumit seluk-beluk lakon manusia dalam kisah sejarah itu sendiri. Bagaimana seorang Belanda bisa membela pribumi yang seharusnya dinistakan? Atau bagaimana bisa seorang kulit putih macam Eduard Douwes Dekker yang Protestan terenyuh atas penderitaan warga pribumi Banten yang gemar berontak di bawah panji sabilillah? Dalam posisi ini, Dekker seorang pengecualian.

Betapapun banyak komentar miring mengenai karya Dekker, mulai dari gaya bahasa yang buruk, tak berbakat, fiksi yang berdasar pada bualan belaka, sampai karya murahan dari seorang penulis yang tak berpengalaman, kenyataannya roman itu menimbulkan kegelisahan di kalangan kolonialis semenjak kali pertama terbit.

Karya Dekker, Max Havelaar, berdampak jauh dari yang mungkin ia pernah pikirkan. Segera setelah terbit, Max Havelaar menjadi bahan bagi segelitir orang di Belanda untuk menyerang kebijakan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda. Salah satunya Robert Fruin. Terinspirasi Max Havelaar, ia menulis artikel tentang kewajiban pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup warga jajahan. Dalam artikel itulah untuk kali pertama dikenal istilah “Baltig ****” atau keuntungan dari program Cultuur Stelsel (tanam paksa) yang dinyatakannya sebagai satu sistem yang bertentangan dengan hukum Belanda.

Bola salju yang digelincirkan Dekker melalui romannya menggelinding kian membesar. Tulisan Fruin mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda di Hindia Belanda yang menggagas politik etis seperti Van Deventer dan Pieter Brooshooft. Van Deventer menulis artikel di media yang sama dengan Fruin, De Gids tahun 1899, dengan judul “Een Eerschuld” (Utang Budi). Van Deventer menilai pemerintah kolonial berutang budi pada rakyat Hindia Belanda yang telah bekerja keras demi kemakmuran Belanda.

Sementara Brooshooft, pemimpin redaksi suratkabar berbahasa Belanda De Locomotief yang berpusat di Semarang, giat menyuarakan perlunya pemerintah kolonial menjalankan kewajiban moral pada masyarakat bumiputera di Hindia Belanda. Brooshooft menulis pamflet berjudul “Haluan Etis Dalam Politik Kolonial”, yang kemudian menjadi awal mulai dikenalnya istilah “politik etis.”

Perlahan-lahan, seiring makin deras arus gerakan kaum etis menyuarakan keadilan di Hindia Belanda, gagasan etis mulai dilirik dan dipertimbangkan Ratu Wilhelmina. Pada Januari 1901, Ratu Wilhelmina mengesahkan politik etis sebagai kebijakan resmi pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Program itu terdiri dari tiga proyek: pengairan, pendidikan, dan pemerataan jumlah penduduk penduduk.

Salah satu hal penting dalam program politik etis adalah ketersediaan sarana pendidikan buat kaum bumiputera. Benar bahwa program pendidikan dalam politik etis pada akhirnya hanya menciptakan insinyur-insinyur atau dokter-dokter tukang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja ahli di perkebunan-perkebunan milik Belanda. Namun bagaimana pun program tersebut telah melahirkan kelompok baru dalam masyarakat Hindia Belanda, yang di kemudian hari menggerakkan kesadaran nasionalisme Indonesia.

Sukarno salah satunya. Ia sendiri menjadikan Max Havelaar sebagai inspirasi dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan. Sebelum Sukarno, pejuang emansipasi perempuan RA Kartini pun membaca Max Havelaar dan mengatakan Multatuli sebagai penulis jenial pembela bumiputera yang tiada taranya dalam sastra Belanda.

Sumbangan berharga dari karya Dekker adalah kejujurannya memandang ketimpangan yang disebabkan oleh penjajahan, baik dilakukan sesama bangsa sendiri maupun penguasa pribumi yang feodal. Dekker telah menunjukkan solidaritasnya sebagai manusia yang mendambakkan keadilan tanpa memandang perbedaan warna kulit dan ras justru di saat susunan masyarakat dunia dikotak-kotakan berdasarkan prinsip-prinsip rasialisme.

Bagi Dekker, selama mereka menindas yang lemah, pejabat kolonial Belanda maupun pribumi adalah penjajah. Dan ia dengan baik menggambarkan suasana penjajahan itu, seperti terlihat dalam sebaris kalimat yang diungkapkan Max Havelaar: “Orang Jawa sebenarnya petani... Pendeknya, menanam padi bagi orang Jawa adalah sama dengan memetik anggur bagi orang di daerah Rijn dan di selatan Prancis. Tapi datanglah orang-orang asing dari Barat; mereka menjadikan diri pemilik tanah (orang Jawa) itu, dan menyuruh penduduk memberikan sebagian tenaga dan waktunya untuk menghasilkan tanaman-tanaman lain, yang lebih menguntungkan di pasar-pasar Eropa. Untuk menggerakkan orang-orang yang sederhana itu, cukuplah mempunyai pengetahuan politik sedikit. Mereka patuh pada kepala-kepalanya; jadi cukuplah kalau dapat mempengaruhi kepala-kepalanya itu, dengan menjanjikan sebagian keuntungan kepada mereka... Dan...mereka berhasil.”


Sumber:
Majalah Historia, 04 April 2010.



-dipi-
 
Jalan Menuju Lebak


MULTATULI, nama pena Eduard Douwes Dekker, jengah menyaksikan pemerasan dan penganiayaan terhadap rakyat bumiputra oleh penguasa lokal. Sebagai orang Belanda, ia juga tak setuju dengan sikap pemerintah kolonial Belanda yang mendiamkan kezaliman itu.

Multatuli lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820. Ia memiliki saudara bernama Jan, kakek dari Ernest Douwes Dekker (Setiabudi). Ayahnya nakhoda kapal dagang yang berpenghasilan cukup. Karenanya ia bisa mengenyam pendidikan hingga universitas. Awalnya ia rajin sekolah. Tapi lama-lama ia bosan. Prestasinya anjlok. Ayahnya pun langsung mengeluarkannya dari sekolah dan menempatkannya di sebuah kantor dagang.

Pada usia 18 tahun, ayahnya mengajaknya berlayar ke Hindia Belanda dengan kapal “Dorothe”. Kapal itu berlabuh di Batavia pada 4 Januari 1839. Sebelas hari kemudian, ia mendapatkan pekerjaan sebagai klerk (setingkat juru tulis) di Algemen Rekenkamer. Setahun kemudian naik pangkat jadi Komisi kelas II.

Pada 1842, ia bekerja sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatra Barat. Gubernur Jenderal Sumatra Barat Andreas Victor Michiels mengirimnya ke kota Natal sebagai kontrolir (pengawas, setingkat di bawah asisten residen). Ia senang dengan kehidupan di kota terpencil itu. Tapi ia tak suka dengan tugas-tugasnya. Suatu ketika, atasannya yang melakukan pemeriksaan, menemukan adanya kerugian dalam kas pemerintahan. Ia diberhentikan sementara.

Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan. Akhirnya ia kembali ke Batavia; menjalani rehabilitasi dan mendapatkan “uang tunggu”. Sambil menunggu penempatan, ia menjalin asmara dengan Everdine Huberte Baronesse van Wijnbergen. Pada April 1846, ia mempersunting Tine –sebutan Everdine– di Cianjur, ketika ia sudah menjabat ambtenaar sementara di kantor Asisten Residen Purwakarta.

Kariernya merangkak naik. Pada 1846 ia diangkat jadi pegawai tetap. Pangkatnya dinaikkan menjadi Komis di kantor Residen Purworejo. Lalu Residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt mengangkatnya menjadi sekretaris residen, sebelum dipindahkan ke Manado. Puncaknya, ia menjadi asisten residen, jabatan nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda, dengan penugasan di Ambon. Tapi ia tak cocok dengan Gubernur Maluku, yang bikin bawahannya tak punya inisiatif. Ia pun mengajukan cuti dengan alasan kesehatan dan berlibur ke Belanda bersama istrinya.

Menurut Moechtar dalam bukunya Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan dan Kebenaran (2005), pada masa itulah E. de Waal (kelak jadi Menteri Daerah Jajahan), yang masih ada hubungan keluarga dengan istrinya, memperkenalkannya dengan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist. Sejak itu, ia sering mendapat undangan dari istana dan berdiskusi dengan van Twist. Van Twist bersimpati. Ketika jabatan asisten residen di Lebak lowong, van Twist mengangkatnya pada 4 Januari 1856.

Di Lebak, ia berusaha menjalankan tugasnya dengan baik. Tapi ia menjumpai keadaan di Lebak sangat buruk. Rakyat menderita akibat aturan kerja rodi atau herendienst (kerja paksa). Pemerintah juga lagi giat-giatnya menjalankan tanam paksa (cultuurstelsel). “Penduduk Lebak dan sekitarnya pada umumnya berada dalam keadaan melarat dan sering timbul pemberontakan kecil-kecilan. Akibatnya sering terjadi penangkapan terhadap penduduk, penyiksaan, pembakaran kampung, dan pembunuhan besar-besaran oleh aparat yang berkuasa waktu itu,” tulis Moechtar.

Ia menaruh curiga pada Bupati Lebak Raden Adipati Kerta Natanegara. Ia mengajukan surat pengaduan mengenai tindakan Bupati Lebak dan menantunya, Demang Parungkujang Raden Wiranatakusuma. Ia juga melaporkan langsung ke van Twist, yang dipandang sebagai kawannya. Di luar dugaannya, van Kempen melaporkannya ke Raad van Indie (Dewan Hindia) agar ia dipecat.

Surat Keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 23 Maret 1856 No. 30, berisi peringatan dan pemberhentian Multatuli sebagai asisten residen serta pemindahannya ke Ngawi dengan pangkat lebih rendah. Ia pun secara resmi mengajukan perngunduran diri pada 29 Maret 1856. Jawabannya diterima lima hari kemudian, 4 April 1856.

Multatuli pun harus mencari pekerjaan lain.

Upayanya membersihkan administrasi pemerintah kolonial kandas. Ia mencari cara lain, agar dunia tahu apa kebobrokan sistem kolonial Belanda di tanah jajahannya.


Sumber:
Majalah Historia, 04 April 2010



-dipi-
 
Lahirnya Karya Besar


SETELAH mengundurkan diri sebagai asisten residen Lebak, Multatuli mencari kerja namun gagal. Saudaranya, yang sukses berbisnis tembakau, meminjamkan uang untuknya agar pulang dan mencari pekerjaan di Eropa. Istri dan anaknya ditinggalkan di Batavia.

Di Eropa ia bekerja sebagai redaktur sebuah suratkabar di Brusel, Belgia. Tak lama ia keluar. Usahanya bekerja sebagai juru bahasa di Konsulat Prancis di Nagasaki juga gagal. Mengadu nasib di meja **** justru membuatnya kian melarat.

Cita-citanya sebagai pengarang memberinya jalan. Ketika kembali dari Hindia Belanda, ia membawa berbagai manuskrip seperti naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika ia menjabat sebagai Asisten Residen Lebak. Pada September 1859, ketika istrinya didesak untuk mengajukan cerai, ia mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan menulis buku Max Havelaar, of de Koffie-veilingen der nederlandsche Handelsmaatschappij (Max Havelaar atau Pelelangan Kopi Perusahaan dagang Belanda). Buku itu, yang diedit penerbit tanpa sepengatahuan penulisnya, terbit pada 1860. Sontak, buku itu menimbulkan kegemparan di Belanda. Pada 1875, buku itu terbit kembali dengan teks hasil revisinya. Namanya sebagai pengarang mendapat pengakuan.

Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama pena Multatuli. Nama ini berasal dari bahasa Latin yang artinya “aku sudah banyak menderita”. Buku itu dijual di seluruh Eropa dan membuka kenyataan kelam Hindia Belanda.

Max Havelaar bukanlah karya satu-satunya Multatuli. Ketika Max Havelaar ditulis, ia menerbitkan karya prosa pertama, Keyakinan, yang menyajikan sikap kepercayaannya dalam bentuk sangat padat. Pada 1861, setahun setelah Max Havelaar terbit, ia menerbitkan Minnerbrieven (Surat-surat Cinta), yang berisi korespondensi dengan Fancy dan Tine. Tine adalah istrinya, sedangkan Fancy perempuan khayalan yang juga model perempuan muda yang ia dicintai. Surat-surat Cinta, meski judulnya tampak tak berbahaya, berisi kritik pedas berbentuk satir. Di dalamnya berisi serangkaian kisah perumpamaan yang cemerlang: sejarah-sejarah tentang kekuasaan dan dongeng-dongeng.

Ia juga menerbitkan Ideën (Ide-ide) antara tahun 1862 dan 1877. Kepada penerbitnya, ia menulis: “Saya akan menyampaikan kisah-kisah, cerita-cerita, sejarah-sejarah, kisah-kisah perumpamaan, catatan-catatan, kenangan-kenangan, paradoks-paradoks... Saya harap akan ada idenya dalam setiap kisah, dalam setiap keterangan, dalam setiap catatan itu. Jadi namakanlah karya saya itu: Ide-ide. Hanya itu. Dan tulis di atasnya: 'Seorang penabur benih pergi ke luar untuk menabur.’”

Di dalam Ideën terdapat fragmen-fragmen Woutertje Pieterse dan naskah drama Vorstenschool (Sekolah Raja-raja). Woutertje, dalam Woutertje Pieterse, yang pada dirinya dapat kita jumpai kembali sifat-sifat Eduard muda, adalah seorang pemuda yang berbakat dan perasa yang selalu berada dalam konflik dengan lingkungannya yang picik dan munafik, termasuk keluarganya sendiri. Sekolah Raja-raja mengupas hubungan antara raja dan rakyatnya. Naskah drama ini meraih sukses ketika dipentaskan.

Ada juga kisah yang mengingatkan kita pada masa tatkala Multatuli menjadi kontrolir di Sumatra Barat dalam Pengadilan Sulaiman.

Ketika menulis naskah drama, ia tinggal di Wiesbaden, Jerman. Ia tak punya uang, tak punya pekerjaan. Uang pensiunannya tak tersisa. Ia pun terkucil dari masyarakat. “Ia jadi gembel, saat berusia 48 tahun, di Jerman… setiap malam, ia makan kacang dari tanah. Dia jadi seperti barang rongsokan,” ujar Tom Böhm, dosen Sejarah Sastra, sebagaimana dituturkan kepada Junito Drias dari Radio Nederland Wereldomroep, 2 Maret 2010.

“Di jalan… dia menukar Alkitab dengan buku roman kepahlawanan, pembela orang miskin. Ini menjadi tanda sejak kecil… dia peduli dengan masalah ketidakadilan,” ujar Tom Böhm.

Sejak 1877, ia tak lagi menerbitkan karya-karya baru. Selama beberapa tahun, ia masih melakukan perjalanan secara teratur dari Jerman, negeri tempatnya menetap, ke Belanda untuk mengemukakan pendirian-pendiriannya melalui ceramah-ceramah. Pada akhir hayatnya, ia lalui bersama istri keduanya, Mimi dan anak angkatnya, Wouter di rumahnya, yang diperolehnya sebagai hadiah dari para sahabat dan pengagumnya, di Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya meninggal 19 Februari 1887.

“Dia mengidap penyakit asma dan meninggal saat tidur di kursi sofa,” kata Tom Böhm.

Setelah 123 tahun setelah wafatnya Multatuli, idenya masih tetap abadi. Di Belanda, Max Havelaar bahkan menjadi lambang bahan pangan yang dihasilkan dan dijual guna membantu perekonomian produsen kecil.


Sumber:
Majalah Historia, 04 April 2010



-dipi-
 
150 Tahun Max Havelaar


DI Indonesia, tak ada peringatan untuk mengenang 150 buku Max Havelaar karya Multatuli. Di negeri Belanda, pada 2 Februari lalu, Universitas Amsterdam dan Multatuli Genootschap menggelar pameran “150 tahun Max Havelaar.” Walikota Amsterdam Job Cohen dalam sambutannya mengatakan, “Dan kepada tuan saya mempersembahkan buku ini, Willem III, raja, adipati besar, pangeran dan kaisar dari Insulinde yang cantik dan kaya, Jamrud Khatulistiwa, karena di tempat itu lebih dari 30 juta rakyatmu dianiaya dan diperas atas nama tuan,” ujarnya sebagaimana dikutip Fediya Andina dari Radio Nederland Wereldom roep.

Demikianlah Job Cohen membaca halaman terakhir buku Max Havelaar, sewaktu pembukaan pameran 150 tahun Max Havelaar dengan tajuk “Ini Bukan Roman, Ini Sebuah Gugatan.” Gugatan atas tindak korupsi dan ketidakadilan yang dilakukan para pejabat Indonesia dan Belanda di Lebak, Banten.

Dalam pameran itu juga dipresentasikan penulisan baru buku Max Havelaar dalam bahasa Belanda sehari-hari. Menurut Asosiasi Multatuli, yang memberi proyek penulisan buku itu, hampir 40% isi buku yang lama ditiadakan, karena bahasanya dianggap terlalu sulit dan bertele-tele.

Gijsbert van Es, anggota redaksi harian NRC Handelsblad yang menggubah Max Havelaar menerangkan, tujuan menulisan kembali Max Havelaar terbitan terbaru ini ditujukan untuk generasi muda Belanda sekarang. Menurutnya, ini sebuah buku yang menentang pemerasan, penindasan, dan sebuah buku yang membela pemerintahan yang baik. Karena itu, Max Havelaar masih tetap hidup dan aktual hingga sekarang.

Universitas Amsterdam dan Multatuli Genootschap juga berencana mengajukan permohonan resmi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar buku Max Havellar masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO, lembaga PBB yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Max Havelaar adalah karya terkemuka Multatuli, yang ia tulis berdasarkan salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pengerjaannya terbilang cepat, hanya satu bulan. Pada 15 Mei 1860, novel tersebut diluncurkan oleh penerbit De Ruyter, Amsterdam.

Dengan gaya tulisan yang satiris, Multatuli menceritakan budaya berdagang Belanda yang hanya mengeruk keuntungan. Multatuli menggugat pejabat kolonial yang korup dan memuji mereka yang berusaha mendobrak ketimpangan tersebut.

Di Belanda, novel ini menggoncangkan pandangan umum mengenai tindakan-tindakan pemerintah mereka yang menyengsarakan negeri jajahannya. Max Havelaar dianggap karya penting dalam sejarah sastra Belanda dan selalu menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah, hingga kini. Ia juga diakui sebagai karya sastra dunia. Hermann Hesse, penyair, novelis, dan pelukis Jerman-Swiss yang juga peraih Nobel Sastra, dalam buku Die Welt Bibliothek (Perpustakaan Dunia) memasukkan Max Havelaar dalam deret buku bacaan yang sangat dikaguminya.

Di Indonesia, Max Havelaar dihargai karena inilah untuk kali pertama ada sebuah karya yang dengan lantang membeberkan nasib buruk rakyat yang dijajah. Max Havelaar bercerita tentang sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputra di Lebak, Banten. Di salah satu bagiannya memuat drama tentang Saijah dan Adinda yang sangat menyentuh hati pembaca, sehingga sering kali dikutip dan menjadi topik untuk dipentaskan di panggung.

Sejawaran Han Resink memberi penilaian berbeda tentang keistimewaan novel itu. "Sastra Jawa dan sastra Indonesia belum pernah melahirkan cerita percintaan dari kalangan rakyat jelata. Orang pertama di negeri ini yang pernah menuliskannya, dan bukan tidak berhasil, tak lain dari Multatuli dengan Saija dan Adinda," tulis Pramoedya Ananta Toer dalam “Multatuli”, mengenang pembicaraannya dengan Han Resink.

Pram adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), lembaga yang terus memperkenalkan Multatuli. Bakri Siregar, rekan Pram di Lekra, sudah mengadaptasi novel Multatuli pada 1954. Dalam sidang para ketua Komite Perdamaian Pusat pada 1959, Pram mengajukan usul agar mengadakan peringatan ulang tahun 140 tahun Mutaltuli secara nasional dan mendirikan patungnya di tempat-tempat ia pernah membikin sejarah. Usul itu diterima. Delegasi dibentuk. Mereka menghadap Presiden Sukarno. Tapi Sukarno tak memberikan jawaban. Pembuatan patung urung dilakukan. Tapi Lekra tetap menggelar peringatan Multatuli. Bahkan pada 1964, Lekra mendirikan Akademi Sastra Multatuli.

Pada 1972, HB Jassin menerjemahkan Max Havelaar dari bahasa aslinya Belanda ke dalam bahasa Indonesia. Setahun kemudian, Jassin mendapat penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard atas karya terjemahannya. Dia diundang untuk tinggal di Belanda selama satu tahun.

Karya Multatuli lainnya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah Buah Renungan pada 1974. Penerjemahnya Asrul Sani, dengan memilih sebagian dari isi buku Volledige Werken, 7 jilid, karya Multatuli.

Novel Max Havelaar telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa dan difilmkan baik dalam bahasa Belanda maupun Indonesia. Di Indonesia, film Saijah dan Adinda merupakan produksi patungan Indonesia-Belanda, PT Mondial Film dan Fons Rademakers Produktive B.V. Biayanya 3 juta dolar, dengan masa pembuatan dua tahun (1974-1976). Tapi film ini tak lolos sensor. Badan Sensor Film (BSF) beralasan film ini terlalu meremehkan rakyat Banten, yang digambarkan sama sekali tak berkutik terhadap penjajah. BSF menghendaki revisi dengan menambahkan adegan yang menunjukkan semangat perjuangan. Hiswara Darmaputra, produser dan pemilik PT Mondial Film, tak mau kompromi. Saidjah dan Adinda pun tersimpan di gudang BSF.

Uniknya, kopi yang dibawa Fons Rademakers, sutradara dan pemilik perusahaan film Fons Rademakers Produktive B.V., dibicarakan di mana-mana. Di lima kota besar (Los Angeles, San Francisco, Hong Kong, Johannesburg, dan Teheran) mendapatkan penghargaan. Bahkan pada 1978 film ini dipuji PBB sebagai "film terbaik yang dibuat negara ketiga". Akhirnya, pada 1987, setelah sebelas tahun, BSF meloloskan film itu, dengan mengganti judul Max Havelaar.

Orde Baru, yang sempat melarang film itu, akhirnya juga runtuh karena korupsi –satu topik yang dikupas dalam novel Max Havelaar. Sudah selayaknya masyarakat Indonesia mengapresiasi karya besar ini, untuk kembali melihat betapa merusaknya korupsi dan menderitanya rakyat Indonesia –kini, oleh pemimpinnya sendiri.


Sumber:
Majalah Historia, 04 April 2010


-dipi-
 
Weeeww. . . . Aku Sendiri Orang Asli Lebak. .
Belum Tahu Sejarahnya Pangeran Multatuli. . .
Baru tahu Setelah Baca Ini. . .:D:D:D

Nice Posting. . .=b==b=
 
Back
Top