Re: Mengenal Suku-Suku Bangsa di Indonesia [Updated]
Suku Banjar
Suku bangsa Banjar (bahasa Banjar: Urang Banjar) adalah suku bangsa yang menempati sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, dan sejak abad ke-17 mulai menempati sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur terutama kawasan dataran dan bagian hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah tersebut. Suku Banjar terkadang juga disebut Melayu Banjar, tetapi penamaan tersebut jarang digunakan.
Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yaitu wilayah inti dari Kesultanan Banjar meliputi DAS Barito bagian hilir, DAS Bahan (Negara), DAS Martapura dan DAS Tabanio. Sungai Barito bagian hilir merupakan pusatnya suku Banjar.
Sejarah
Djoko Pramono menyatakan bahwa suku Banjar berasal dari suku Orang Laut yang menetap di Kalimantan Selatan. Mitologi Dayak Meratus (Dayak Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar dan Suku Bukit merupakan keturunan dari dua kakak beradik yaitu Si Ayuh (Sandayuhan) yang menurunkan suku Bukit dan Bambang Basiwara yang menurunkan suku Banjar.
Suku bangsa Banjar diduga berasal mula dari penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di kawasan Tanah Banjar (sekarang wilayah provinsi Kalimantan Selatan) sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya,–setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan–terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala).
Banjar Pahuluan pada asasnya adalalah penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus. Banjar Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar Kuala mendiami sekitar Banjarmasin dan Martapura. Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya adalah bahasa Melayu Sumatera atau sekitarnya, yang di dalamnya terdapat banyak kosa kata asal Dayak dan Jawa. Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu (sebelum kesultanan Banjar dihapuskan pada tahun 1860) adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman (terakhir di Martapura), nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.
Sejak abad ke-19, suku Banjar migrasi ke pantai timur Sumatera dan Malaysia, tetapi di Malaysia Barat, suku Banjar digolongkan ke dalam suku Melayu, hanya di Tawau (Sabah, Malaysia Timur) yang masih menyebut diriya suku Banjar. Di Singapura, suku Banjar sudah luluh ke dalam suku Melayu. Sensus tahun 1930, menunjukkan banyaknya suku Banjar di luar Kalsel, tetapi sensus tahun 2000 terlihat jumlahnya mengalami penurunan.
Kesultanan Banjar sebelumnya meliputi wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah seperti saat ini, kemudian pada abad ke-16 terpecah di sebelah barat menjadi kerajaan Kotawaringin yang dipimpin Pangeran Dipati Anta Kasuma bin Sultan Mustain Billah dan pada abad ke-17 di sebelah timur menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah yang berkembang menjadi beberapa daerah: Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau Laoet, Batoe Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal. Wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer, selanjutnya dengan budaya maadam, orang Banjar merantau hingga ke luar pulau misalnya ke Kepulauan Sulu bahkan menjadi salah satu unsur pembentuk Suku Suluk.
Banjar Pahuluan
Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk yang lebih asli, yaitu suku Dayak Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama. Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit adalah satu asal usul dengan cikal bakal suku Banjar, yaitu sama-sama berasal dari Sumatera atau sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap. Kedua kelompok masyarakat Melayu ini memang hidup bertetangga, tetapi setidak-tidaknya pada masa permulaan, pada asasnya tidak berbaur. Jadi, meskipun kelompok Suku Banjar (Pahuluan) membangun pemukiman di suatu tempat, yang mungkin tidak terlalu jauh letaknya dari balai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri.
Untuk kepentingan keamanan, atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri. Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek pemukiman bubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat balai di kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut membentuknya.
Banjar Batang Banyu
Masyarakat (Banjar) Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong. Sebagai warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai Tabalong adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari suku Dayak Maanyan (dan Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata pencarian sebagai pedagang dan pengrajin.
Banjar Kuala
Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin), sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini dan bersama-sama dengan penduduk sekitar keraton yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar. Di kawasan ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju, yang seperti halnya dengan dengan masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Maanyan atau Lawangan, banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam. Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.
Berbeda dengan pendapat Alfani Daud, yang menyatakan bahwa inti suku Banjar adalah para pendatang Melayu dari Sumatera dan sekitarnya, maka pendapat Idwar Saleh justru lebih menekankan bahwa penduduk asli suku Dayak adalah inti suku Banjar yang kemudian bercampur membentuk kesatuan politik sebagaimana Bangsa Indonesia dilengkapi dengan bahasa Indonesia-nya.
Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. Dalam amalgamasi (campuran) baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton. Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah grup atau kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan.
Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di sungai Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan-etnik Maanyan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya.
Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar, ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti Patih Balandean, Patih Belitung, Patih Kuwin dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Manyan. Kelompok ini diberi agama baru yaitu agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi kesatuan politik, seperti bangsa Indonesia.
Sosio-historis
Secara sosio-historis masyarakat Banjar adalah kelompok sosial heterogen yang terkonfigurasi dari berbagai sukubangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama, sehingga kemudian membentuk identitas etnis (suku) Banjar. Artinya, kelompok sosial heterogen itu memang terbentuk melalui proses yang tidak sepenuhnya alami (priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang cukup kompleks.
Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak yang ada di sekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai "babarasih" (membersihkan diri) di samping menjadi orang Banjar.
Masyarakat Banjar bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tapi ia merupakan konstruksi historis secara sosial suatu kelompok manusia yang menginginkan suatu komunitas tersendiri dari komunitas yang ada di kepulauan Kalimantan. Etnik Banjar merupakan bentuk pertemuan berbagai kelompok etnik yang memiliki asal usul beragam yang dihasilkan dari sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah ini dengan titik berangkat pada proses Islamisasi yang dilakukan oleh Demak sebagai syarat berdirinya Kesultanan Banjar. Banjar sebelum berdirinya Kesultanan Islam Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah ksesatuan identitas suku atau agama, namun lebih tepat merupakan identitas yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal.
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Suku Banjar terbagi 3 sub-etnis berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan persfektif kultural dan genetis yang menggambarkan masuknya penduduk pendatang ke wilayah penduduk asli Dayak:
- Banjar Pahuluan adalah campuran Melayu dan Bukit (Bukit sebagai ciri kelompok)
- Banjar Batang Banyu adalah campuran Melayu, Maanyan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Maanyan sebagai ciri kelompok)
- Banjar Kuala adalah campuran Melayu, Ngaju, Barangas, Bakumpai, Maanyan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Ngaju sebagai ciri kelompok)
Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku Banjar, maka percampuran suku Banjar dengan suku Dayak Ngaju/suku serumpunnya (Kelompok Barito Barat) yang berada di sebelah barat Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Kuala juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran suku Banjar dengan suku Maanyan/suku serumpunnya (Kelompok Barito Timur) seperti Dusun, Lawangan dan suku Pasir di Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.
Berdasarkan sensus 1930, suku Banjar di Kalimantan Selatan terdapat di Kota Banjarmasin (89,19%), Afdeeling Banjarmasin tidak termasuk Kota Banjarmasin (94,05%), Afdeeling Hulu Sungai (93,75%), kota Kotabaru (69,45%), Pulau Laut tidak termasuk kota Kotabaru (48,96%), wilayah Tanah Bumbu (56,74%).
Suku Banjar di berbagai daerah
Kalimantan Timur
Suku Banjar di Kalimantan Timur (sering disebut juga suku Melayu), merupakan 15 % dari populasi penduduk. Suku Banjar terdapat seluruh kabupaten dan kota di Kaltim. Suku Banjar Kaltim lebih banyak populasinya dibandingkan suku Kutai, maupun suku Dayak setempat. Beberapa kecamatan yang terdapat banyak suku Banjarnya misalnya Kecamatan Kenohan dan Jempang, Samarinda Barat, Samarinda Timur (Samarinda), Balikpapan, Tarakan dan di muara sungai Kelay, Berau. Suku Banjar merupakan 4,5% dari populasi Kabupaten Kutai Barat. Menurut sensus 1930, suku Banjar terdapat di Kota Balikpapan (31,56%), Kota Samarinda (54,93%), wilayah Kutai bagian Timur tidak termasuk Kota Samarinda (33,09%), Kota Tanjung Selor (35,70%).
Migrasi suku Banjar (Batang Banyu) ke Kalimantan Timur terjadi tahun 1565, yaitu orang-orang Amuntai yang dipimpin Aria Manau (ayahanda Puteri Petung) dari Kerajaan Kuripan (versi lainnya dari Kerajaan Bagalong di Kelua, Tabalong) yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Sadurangas di daerah Paser, selanjutnya suku Banjar juga tersebar di daerah lainnya di Kalimantan Timur. Organisasi Suku Banjar di Kalimantan Timur adalah Kerukunan Bubuhan Banjar-Kalimantan Timur (KBB-KT).
Kalimantan Tengah
Suku Banjar di Kalimantan Tengah sering pula disebut Banjar-Melayu Pantai atau Banjar-Dayak, maksudnya suku Banjar yang terdapat di daerah Dayak Besar yaitu nama lama Kalimantan Tengah. Menurut sensus tahun 2000, Suku Banjar merupakan 24,20 % dari populasi penduduk dan sebagai suku terbanyak di Kalteng. Tahun 2000 (sebelum pemekran daerah), suku Banjar terdapat di Kabupaten Kapuas (40,5%), Palangkaraya (27,64%), Kotawaringin Timur (20,3%), Kotawaringin Barat (16,02%), Barito Selatan (10,5%) dan Barito Utara (2,56%).
Komposisi etnis di Kalteng berdasarkan sensus tahun 2000 terdiri suku Banjar (24,20%), Jawa (18,06%), Ngaju (18,02%), Dayak Sampit (9,57%), Bakumpai (7,51%), Madura (3,46%), Katingan (3,34%), Maanyan (2,80%) dan tidak diketahui besar jumlah suku Melayu. Tetapi jika digabungkan suku Dayak (Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai) mencapai 37,90%. Menurut sensus tahun 1930 penduduk Central Borneo berjumlah 619.402 terdiri suku Dayak (63,49%), suku Melayu (26,64%), suku Banjar (5,95%), suku Jawa (2,51%), Bugis (1,09%) dan sisanya suku lainnya yang tidak disebutkan.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa suku Banjar yang ada sekarang di Kalimantan Tengah merupakan asimilasi suku Banjar dengan suku Melayu (Kotawaringin) yang menempati pesisir barat Kalimantan Tengah. Suku Banjar terutama menempati pesisir timur Kalimantan Tengah, misalnya menurut sensus 1930, penduduk Kota Kuala Kapuas 50,28% merupakan suku Banjar. Gabungan suku Banjar dan Melayu pada tahun 1930 mencapai 32,59% yang berarti ada penurunan prosentasenya pada tahun 2000. Hal ini disebabkan karena peningkatan suku lain seperti suku Jawa dan Madura melalui migrasi. Pada tahun 1930, di Kalimantan Selatan juga terdapat 2.765 jiwa suku Melayu yaitu di Banjarmasin 1.512 jiwa dan kota Tanjung 1.253 jiwa. Suku Melayu tersebut diduga juga telah melebur ke dalam suku Banjar.
Perkampungan suku Banjar Kalteng terutama terdapat daerah kuala dari sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur dan sungai Seruyan di Kabupaten Seruyan, misalnya desa Tanjung Rangas dan Pematang Panjang.
Migrasi suku Banjar (Banjar Kuala) ke Kalimantan Tengah terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Banjar IV yaitu Raja Maruhum atau Sultan Musta'inbillah (1650-1672), yang telah mengizinkan berdirinya Kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang pertama Pangeran Dipati Anta-Kasuma.
Suku Banjar yang datang dari lembah sungai Negara (wilayah Batang Banyu) terutama orang Negara (urang Nagara) yang datang dari Kota Negara (bekas ibukota Kerajaan Negara Daha) telah cukup lama mendiami wilayah Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang kemudian disusul orang Kelua (Urang Kalua) dari Tabalong dan orang Hulu Sungai lainnya mendiami daerah yang telah dirintis oleh orang Negara. Puak-puak suku Banjar ini akhirnya melakukan perkawinan campur dengan suku Dayak Ngaju setempat dan mengembangkan agama Islam di daerah tersebut.
Sedangkan migrasi suku Banjar ke wilayah Barito, Kalimantan Tengah terutama pada masa perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda sekitar tahun 1860-an. Suku-suku Dayak di wilayah Barito mengangkat Pangeran Antasari (Gusti Inu Kartapati) sebagai raja dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin berkedudukan di Puruk Cahu (Murung Raya), setelah mangkat beliau perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Seman.
Jawa Tengah
Hubungan antara Kalimantan Selatan dengan Jawa Tengah telah terjalin sejak zaman kuno. Menurut Serat Maha Parwa, penduduk Jawa berasal dari Hindustan yang sebelumnya menetap di Nusa Kencana (Kalimantan). Di daratan kota Rembang telah ditemukan bangkai perahu kuno terbuat dari kayu ulin diduga berasal dari Kalimantan Selatan. Berdasarkan Hikayat Banjar (1663) dapat diketahui bahwa Sultan Demak telah mengirimkan seribu pasukan untuk membantu Pangeran Samudera (raja Banjarmasih) untuk berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir. Kemenangan akhirnya diraih oleh Pangeran Samudera sebagai Sultan Banjarmasin ke-1, sedangkan Pangeran Tumenggung diijinkan menetap di daerah Alay dengan seribu penduduk. Selama peperangan tersebut tertangkap pula 40 orang Negara Daha baik laki-laki maupun perempuan, yang kemudian dibawa ke Demak dan Tadunan sebagai ganti 20 orang prajurit Demak yang gugur. Kejadian berlangsung sekitar tahun 1520-1526. Dewasa ini Suku Banjar di Jawa Tengah hanya berkisar 10.000 jiwa. Suku Banjar terutama bermukim di Kota Semarang dan Kota Surakarta. Dahulu, suku Banjar kebanyakan bermukim di Kampung Banjar dalam wilayah kelurahan Dadapsari. Kelurahan ini juga dikenal sebagai Kampung Melayu.
Migrasi suku Banjar ke kota Semarang kira-kira pada akhir abad ke-19 dan bermukim di sebelah barat kali Semarang berdekatan dengan eks kelurahan Mlayu Darat. Di wilayah ini suku Banjar membaur dengan etnis lainnya seperti Arab-Indonesia, Gujarat, Melayu, Bugis dan suku Jawa setempat. Keunikan suku Banjar di kampung ini, mereka mendirikan rumah panggung (rumah ba-anjung) yang sudah beradaptasi dengan lingkungan setempat, tetapi sayang kebanyakan rumah tersebut sudah mulai tergusur karena kondisi yang sudah tua maupun faktor alam (air pasang, rob) yang nyaris menenggelamkan kawasan ini akibat banjir pasang air laut.
Sedangkan di Surakarta, suku Banjar kebanyakan bermukim di Kelurahan Jayengan. Suku Banjar di Surakarta memiliki yayasan bernama Darussalam, yang diambil dari nama Pesantren terkenal yang ada di kota Martapura. Kebanyakan suku Banjar di Jawa Tengah merupakan generasi ke-5 dari keturunan Martapura, Kabupaten Banjar. Tokoh suku Banjar di Jawa Tengah adalah (alm) Drs. Rivai Yusuf asal Martapura, yang pernah menjabat Bupati Pemalang dan Kepala Dinas Perlistrikan Jawa Tengah. Ia juga ketua Ikatan Keluarga Kalimantan ke-1, saat ini dijabat Bp. H Akwan dari Kalimantan Barat. Di samping itu ada pula Ikatan Keluarga Banjar di Semarang, yang diketuai H. Karim Bey Widaserana dari Barabai.
Sumatera dan Malaysia
Negara Malaysia dibentuk dari gabungan tiga entitas geopolitik: Malaya, Sarawak dan Sabah. Berdasarkan sensus 1911 penduduk Malaya Britania (sekarang Malaysia Barat) yang merupakan suku Banjar berjumlah 21.227 jiwa, dengan komposisi 81% tinggal di Perak, 13.5% di Selangor dan 3.7% di Johor sedangkan di negara bagian lain bilangannya kecil. Lebih 88% suku Banjar di Perak tinggal di daerah Kerian, sementara kebanyakan suku Banjar di Selangor tinggal di Kuala Langat (Tunku Shamsul Bahrin 1964: 150). Pada tahun 1921 suku Banjar meningkat hampir 80% menjadi 37.484 jiwa. Peningkatan paling besar berlaku di Johor, dari 782 jiwa pada tahun 1911 menjadi 8.365 jiwa pada tahun 1921. Kebanyakan suku Banjar di Johor ditemui di Batu Pahat (5.711 jiwa) dan di Kukub (1.166 jiwa). Di Perak peningkatan jumlah suku Banjar terjadi di daerah Hilir Perak, sedangkan di Selangor terjadi di daerah Kuala Selangor (Tunku Shamsul Bahrin 1964: 151). Antara tahun 1921 hingga 1931 penduduk suku Banjar telah bertambah 7.503 jiwa menjadi 45.351 jiwa. Pada saat itu Perak, Johor dan Selangor masih merupakan tiga negeri dengan penduduk suku Banjar terbanyak dimana tinggal 96% suku Banjar yang ada di Malaya. Tetapi dalam periode itu terjadi sedikit perubahan dalam taburan suku Banjar di Malaya. Jika sebelum itu, lebih 50% orang Banjar tinggal di Perak, pada tahun 1931, bilangan orang Banjar di negeri itu telah berkurang. Sebaliknya, bilangan orang Banjar di Johor dan Selangor telah bertambah, karena sebagian orang Banjar di Perak telah berpindah ke Johor dan Selangor yang mengalami pembangunan ekonomi yang lebih pesat.
Berdasarkan sensus tahun 1930, suku Banjar di Sumatera berjumlah 77.838 jiwa yang terdistribusi di Plantation belt (Pantai Timur Sumatera Utara) 31.108 jiwa, di Sumatera bagian Tengah 46.063 jiwa dan di Sumatera bagian Selatan 430 jiwa. Belakangan, suku Banjar di Sumatera banyak yang berpindah ke Malaysia sebelum kemerdekaannya. Suku Banjar yang tinggal di Sumatera (Tembilahan, Tungkal, Hamparan Perak/Paluh Kurau, Pantai Cermin, Perbaungan) dan Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar.
Pertama, pada tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi emigran ketika itu adalah para pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang saudara antara sesama bangsawan Kesultanan Banjar, yakni Pangeran Tahmidullah. Mereka harus melarikan diri dari wilayah Kesultanan Banjar karena sebagai musuh politik, mereka sudah dijatuhi hukuman mati.
Kedua, pada tahun 1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigrannya kali adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar. Mereka harus melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di kota Martapura karena posisi mereka terdesak sedemikian rupa. Pasukan Residen Belanda yang menjadi musuh mereka dalam Perang Banjar yang sudah menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan Banjar.
Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar kembali melakukan migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya karena Sultan Muhammad Seman yang menjadi raja di Kerajaan Banjar ketika itu mati syahid di tangan Belanda.
Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri Hilir sekitar tahun 1885 di masa pemerintahan Sultan Isa (raja Indragiri sebelum raja yang terakhir). Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari daerah ini adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru Sapat/Datu Sapat) yang berasal dari Martapura dan menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri.
Islam Banjar
Istilah Islam Banjar menunjuk kepada sebuah proses historis dari fenomena inkulturisasi Islam di Tanah Banjar, yang secara berkesinambungan tetap hidup di dan bersama masyarakat Banjar itu sendiri (Tim Haeda, 2009:3). Dalam ungkapan lain, istilah Islam Banjar setara dengan istilah-istilah berikut: Islam di Tanah Banjar, Islam menurut pemahaman dan pengalaman masyarakat Banjar, Islam yang berperan dalam masyarakat dan budaya Banjar, atau istilah-istilah lain yang sejenis, tentunya dengan penekanan-penekanan tertentu yang bervariasi antara istilah yang satu dengan lainnya.
Inti dari Islam Banjar adalah terdapatnya karakteristik khas yang dimiliki agama Islam dalam proses sejarahnya di Tanah Banjar. Menurut Alfani Daud (1997), ciri khas itu adalah terdapatnya kombinasi pada level kepercayaan antara kepercayaan Islam, kepercayaan bubuhan, dan kepercayaan lingkungan. Kombinasi itulah yang membentuk sistem kepercayaan Islam Banjar. Menurut Tim Haeda (2009), di antara ketiga sub kepercayaan itu, yang paling tua dan lebih asli dalam konteks Banjar adalah kepercayaan lingkungan, karena unsur-unsurnya lebih merujuk pada pola-pola agama pribumi pra-Hindu. Oleh karena itu, dibandingkan kepercayaan bubuhan, kepercayaan lingkungan ini tampak lebih fleksibel dan terbuka bagi upaya-upaya modifikasi ketika dihubungkan dengan kepercayaan Islam.
Sejarah Islam Banjar dimulai seiring dengan sejarah pembentukan entitas Banjar itu sendiri. Menurut kebanyakan peneliti, Islam telah berkembang jauh sebelum berdirinya Kerajaan Banjar di Kuin Banjarmasin, meskipun dalam kondisi yang relatif lambat lantaran belum menjadi kekuatan sosial-politik. Kerajaan Banjar, dengan demikian, menjadi tonggak sejarah pertama perkembangangan Islam di wilayah Selatan pulau Kalimantan. Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjar lebih kurang tiga abad kemudian merupakan babak baru dalam sejarah Islam Banjar yang pengaruhnya masih sangat terasa sampai dewasa ini.
Bahasa
Bahasa Banjar merupakan bahasa ibu Suku Banjar. Banyak kosakata-kosakata bahasa ini sangat mirip dengan Bahasa Dayak, Bahasa Melayu, maupun Bahasa Jawa.
Kebudayaan
Keterampilan Mengolah Lahan Pasang Surut
Salah satu keahlian orang Banjar adalah mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan budi daya pertanian dan permukiman. Kota Banjarmasin didirikan di atas lahan pasang surut.
Rumah Banjar
Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Dari sekian banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku Banjar.
Tradisi lisan
Tradisi lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya menggunakan bahasa Tionghoa. Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.
Teater
Satu-satunya seni teater tradisional yang berkembang di pulau Kalimantan adalah Mamanda. Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup.
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).
Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena didalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.
Musik
Salah satu kesenian berupa musik tradisional khas Suku Banjar adalah Musik Panting. Musik ini disebut Panting karena didominasi oleh alat musik yang dinamakan panting, sejenis gambus yang memakai senar (panting) maka disebut musik panting. Pada awalnya musik panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting akan lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada musik panting yang terkenal alat musik nya dan yang sangat berperan adalah panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang yang pertama kali memberi nama sebagai musik panting adalah A. SARBAINI. Dan sampai sekarang ini musik panting terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.
Selain itu, ada sebuah kesenian musik tradisional Suku Banjar, yakni Musik Kentung. Musik ini berasal dari daerah Kabupaten Banjar yaitu di desa Sungai Alat, Astambul dan kampung Bincau, Martapura. Pada masa sekarang, musik kentung ini sudah mulai langka. Masa dahulu alat musik ini dipertandingkan. Dalam pertandingan ini bukan saja pada bunyinya, tetapi juga hal-hal yang bersifat magis, seperti kalau dalam pertandingan itu alat musik ini bisa pecah atau tidak dapat berbunyi dari kepunyaan lawan bertanding.
Tarian
Seni Tari Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama "Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan.
Sumber:
- Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta: Rajawali Press, 1997).
- J.J. Rass, Hikajat Bandjar:A Study in Malay Histiography, (The Hague : Martinus Nijhoff), 1968
- Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil, Djakartaenerbit Endang, 1957.
- Idwar Saleh, Sejarah bandjarmasin:Selajang Pandang Mengenai Bnagkitnja Keradjaan Bandjarmasin, Posisi, Funksi dan Artinja Dalam Sedjarah Indonesia Dalam Abad Ketudjuh Belas. Bandung: Balai Pendidikan Guru. 1958
- Rumah Tradisional Banjar: Rumah Bubungan Tinggi, Departemen Pendididkan dan Kebudayaan, Museum Negeri Lambung Mangkurat, 1984
- M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar:Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
- Jurnal Kebudayaan:KANDIL, Melintas Tradisi, Edisi 6, Tahun II, Agustus-Oktober, 2004 ISSN: 1693-3206
- Arthum Artha, Naskah Kitab Undang Undang Sultan Adam 1825, Banjarmasin: Penerbit Murya Artha, 1988
- Tim Haeda, Islam Banjar; Tentang Akar Kultural dan Revitalisasi Citra Masyarakat Religius, (Banjarmasin: Lekstur, 2009)
- Francisco O. Javines, Our march of death and people power from Mactan to EDSA: in articles and poems, Rex Bookstore, Inc.,
- M.c. Halili, Philippine history, Rex Bookstore, Inc., 2004,
- Patrice Levang, Ayo ke tanah sabrang: transmigrasi di Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, 2003.
-dipi-