Blangkon

zoeratmand

New member
Blangkon adalah tutup kepala yang digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional jawa. Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik. Tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan asal mula pria jawa memakai ikat kepala atau penutup kepala ini.

YAD_budaya_blangkon13-191x300.jpg

Blangkon sebagai penutup kepala

Pada masyarakat jawa jaman dahulu, memang ada satu cerita Legenda tentang Aji Soko. Dalam cerita ini, keberadaan iket kepala pun telah disebut, yaitu saat Aji Soko berhasil mengalahkan Dewata Cengkar, seorang raksasa penguasa tanah Jawa, hanya dengan menggelar sejenis sorban yang dapat menutup seluruh tanah Jawa. Padahal seperti kita ketahui , Aji Soko kemudian dikenal sebagai pencipta dan perumus permulaan tahun Jawa yang dimulai pada 1941.

Ada sejumlah teori yang menyatakan bahwa pemakaian blangkon merupakan pengaruh dari, budaya Hindu dan Islam yang diserap oleh orang Jawa. Menurut para ahli, orang Islam yang masuk ke Jawa terdiri dari dua etnis yaitu keturuan cina dari Daratan Tiongkok dan para pedagang Gujarat. Para pedagang Gujarat ini adalah orang keturunan Arab, mereka selalu mengenakan sorban, yaitu kain panjang dan lebar yang diikatkan di kepala mereka. Sorban inilah yang meng-inspirasi orang jawa untuk memakai iket kepala seperti halnya orang keturunan arab tersebut.

Ada teori lain yang berasal dari para sesepuh yang mengatakan bahwa pada jaman dahulu, iket kepala tidaklah permanen seperti sorban yang senantiasa diikatkan pada kepala. Tetapi dengan adanya masa krisis ekonomi akibat perang, kain menjadi satu barang yang sulit didapat.

Oleh sebab itu , para petinggi keraton meminta seniman untuk menciptakan ikat kepala yang menggunakan separoh dari biasanya untuk efisiensi Maka terciptalah bentuk penutup kepala yang permanen dengan kain yang lebih hemat yang disebut blangkon.

YAD_budaya_blangkon23-248x300.jpg


Pada jaman dahulu, blangkon memang hanya dapat dibuat oleh para seniman ahli dengan pakem (aturan) yang baku. Semakin memenuhi pakem yang ditetapkan, maka blangkon tersebut akan semakin tinggi nilainya. Seorang ahli kebudayaan bernama Becker pernah meneliti tata cara pembuatan Blangkon ini, ternyata pembuatan blangkon memerlukan satu keahlian yang disebut “virtuso skill”. Menurut nya : “That an object is useful, that it required virtuso skill to make –neither of these precludes it from also thought beatiful. Some craft generete from within their own tradition a feeling for beauty and with it appropriete aesthetic standards and common of taste”.

Penilaian mengenai keindahan blangkon, selain dari pemenuhan terhadap pakem juga tergantung sejauh mana seseorang mengerti akan standard cita rasa serta ketentuan- ketentuan yang sudah menjadi standar sosial. Pakem yang berlaku untuk blangkon, ternyata bukan hanya harus dipatuhi oleh pembuatnya, tetapi juga oleh para penggunanya. Seperti yang diungkapkan oleh Becker sebagai berikut: “By accepting beauty as a criterion, participants in craft activities on a concern characteristic of the folk definition of art. That definition includes an emphasis on beauty as typified in the tradition of some particular art, on the traditions and conserns of the art world itself as the source of value, on expression of someone’s thoughts and feelings, and on the relative freedom of artist from outside interference with the work”.

Blangkon pada prinsipnya terbuat dari kain iket atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar. Ukurannya kira-kira selebar 105 cm x 105 cm. Yang dipergunakan sebenarnya hanya separoh kain tersebut. Ukuran blangkon diambil dari jarak antara garis lintang dari telinga kanan dan kiri melalui dahi dan melaui atas. Pada umumnya bernomor 48 paling kecil dan 59 paling besar.

Blangkon terdiri dari beberapa tipe yaitu : Menggunakan mondholan, yaitu tonjolan pada bagian belakang blangkon yang berbentuk seperti Onde-onde. Blangkon ini disebut sebagai blangkon gaya Yogyakarta. Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.

Model trepes, yang disebut dengan gaya Surakarta. Gaya ini merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang muncul karena kebanyakan pria sekarang berambut pendek. Model trepes ini dibuat dengan cara menjahit langsung mondholan pada bagian belakang blangkon. Selain dari suku Jawa (sebagian besar berasal dari provinsi Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur), ada beberapa suku laindi Indonesia yang memakai iket kepala yang mirip dengan blangkon jawa yaitu : suku Sunda (sebagian besar berasal dari provinsi Jawa Barat dan Banten), suku Madura, suku Bali, dan lain-lain. Hanya saja dengan pakem dan bentuk ikat yang berbeda-beda.

Sumber
 
Last edited by a moderator:
Praktisasi rupanya sudah ada sejak dulu, untuk modernisasinya seperti yang telah dipopulerkan oleh Gayus dengan menggunakan wig-nya untuk menutupi seluruh tanah air dengan berita persoalan korupsi, sama halnya Aji Saka yang telah menutupi seluruh tanah Jawa dengan sorbannya. Nice post, thanks ya.
 
[langtitle=en]Re: Blangkon[/langtitle]

[lang=en]All kinds are issued by the kingdom trendsetter was celebrated by the community and become a symbol of pride and survive in a very long time.

Meanwhile, an era now, every product has a unique value will also be a trend, but the ease of tools to make this unique product causes more frequent changes and trends can't last long. Maybe this is the major difference now with the old trend[/lang]
 
Proses Pembuatan Blangkon

Peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan blangkon diantaranya adalah: kelebut, papan, gunting, jepitan, pemuluk, jarum, congkeng, capi, dan solet. Sedangkan bahannya adalah: kain batik atau polos, kertas karton, dan benang. Sebagai catatan, ukuran kain atau iket atau destar biasanya disebut sekacu (kacu=sapu tangan) yakni kira-kira 105 sentimeter persegi untuk batik kejawen dan 95 sentimeter persegi untuk batik Pesisiran. Kain sekacu ini nantinya hanya digunakan setengahnya saja dalam bentuk segitiga sama kaki.

Tahap-tahap pembuatan blangkon adalah sebagai berikut. Sebelum kain dibentuk menjadi blangkon dilakukan kegiatan mewiru, yaitu membasahi, membalik-balik, dan melipatnya dengan ukuran yang sama. Proses mewiru ini dilakukan dua kali, pertama dalam keadaan lembab dan setelah kain diletakkan di congkeng dalam keadaan kering. Pengerjaan mewiru pada saat kain telah kering dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut capi dan solet kemudian dijahit.

Proses selanjutnya adalah mencetak atau mblangkon, yaitu merapikan, menjahit bagian-bagian ujung kain, membentuk mondolan dan lain sebagainya. Pekerjaan mbangkon dilakukan di atas sebuah landasan kayu bulat sebesar kepala orang yang disebut klebut. Ukuran klebut bervariasi menurut besar kecilnya blangkon yang berkisar antara 48-56 sentimeter.

Setelah proses mblangkon selesai, pekerjaan selanjutnya tinggal merapikan dan membersihkan blangkon dengan cara memukul-mukul bagian yang belum lengket benar, menggunting benang-benang yang berserabutan dan membersihkannya dari lem atau kotoran lainnya. Kemudian, blangkon disikat dan ditaruh pada klebet khusus yang terbuat dari karton agar tidak mengempis.

Jenis-jenis Blangkon

Kekayaan alam Pulau Jawa sangat mempengaruhi terciptanya blangkon dengan variasi dalam gaya, bentuk, warna , ragam hias dan pola-pola yang mengagumkan. Jadi, blangkon bukanlah hanya sekedar kain penutup kepala, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa pembuatnya.

Menurut daerah pemakaiannya blangkon dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu: blangkon kejawen, pasundan, dan pesisiran. Jenis blangkon kejawen umumnya dipakai di daerah Banyumas, Bagelen, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kediri, dan Malang. Untuk daerah Yogyakarta jenis blangkon kejawen dapat dibedakan lagi menjadi gaya utara dan selatan menurut bentuk wirn, jebehan, cepet, waton, dan kuncungannya. Dari perbedaan tersebut nantinya muncul motif-motif blangkon seperti: adimuncung, tumpangsari, kuncungan, jeplakan, tempen, solomuda, pletrekan, solobangkalan, prebawan, tutup liwet, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk daerah Surakarta muncul beberapa jenis blangkon lagi, yaitu wirona atau mataraman, ikut krepyak dan trepes.

Jenis blangkon Pasundan (tidak selalu diartikan secara geografis) memiliki banyak persamaan dengan blangkon dari daerah Surakarta yang dapat dibedakan lagi menjadi beberapa motif, seperti: berangbangsepak, sumedangan, dan wirahnasari. Blangkon jenis ini banyak dipakai di daerah Banten dan Cirebon.

Sedangkan jenis blangkon pesisiran umumnya digunakan di daerah-daerah sepanjang pantai utara Pulau Jawa yang kebudayaannya agak berbeda dengan daerah pedalaman. Jenis blangkon ini sebenarnya juga tidak banyak perpedaannya dengan blangkon Yogya atau Solo, kecuali pada penerapan motif-motif batiknya.

Nilai Budaya

Pembuatan blangkon, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk blangkon yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah blangkon yang indah dan sarat makna.

Source


-dipi-
 
Back
Top