Re: "Masa Bersiap" Sebuah Perjalanan Sejarah Yang Terlupakan Atau Sengaja Dilupakan?
Pertempuran Kotabaru
Pada masa awal proklamasi ini situasi sangat mencekam dan ketegangan terjadi di mana-mana demikian pula di Yogyakarta. Suasana kota Yogyakarta pada tanggal 21 September 1945 diliputi oleh nyalanya api revolusi. Teriak siap dan pekik merdeka terdengar di mana-mana. Ratusan pemuda bersenjatakan bambu runcing, tombak, pedang, keris dan sebagainya bertekad bulat akan menurunkan bendera Hinomaru di gedung¬gedung pemerintah dan diganti dengan Sang Saka Merah Putih.
Pada pukul 13.00 di depan Balai Mataram berkumpul massa rakyat. Mereka beramai-ramai mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Balai Mataram. Setelah berhasil mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Balai Mataram, massa rakyat dengan gagah berani memasuki Tyookan Kantai dengan tujuan yang sama.
Sebelum penurunan bendera Hinomaru dan pengibaran Sang Saka Merah Putih di Tyookan Kantai itu diadakan perundingan dengan Koochi Zimmukyoku Tyookan di Tyookan Kantai. Sebagai juru bicara rakyat adalah Jalaludin Nasution Sekretaris Promotor Pemuda Nasional (PPN). Sementara itu dua orang anggota Polisi Istimewa yaitu Sunarjo dan sarjono ikut menyaksikan perundingan antara Jalaludin Nasution dengan petinggi Jepang. Pada mulanya pihak Jepang menyetujui permintaan delegasi rakyat, yaitu penurunan bendera Hinomaru dan pengibaran Sang Saka Merah Putih. Akan tetapi setelah Sang Saka Merah Putih dikibarkan, Jepang ingkar janji. Penguasa Jepang kemudian menurunkan Sang Saka Merah Putih dan mengibarkan kembali bendera Hinomaru. Hal ini membuat rakyat marah dan mereka berkumpul di depan Tyookan Kantai. Dengan semangat yang berkobar massa rakyat dengan dibantu Polisi Istimewa berusaha menerobos penjaga Jepang yang bersenjata. Tanpa mempedulikan bahaya yang mengancam, lima orang muda yaitu Slamet, Sultan Ilyas, sapardi, Rusli dan Siti Ngaisah berhasil menerobos penjaga Jepang dan kemudian naik di atas atap gedung Tyookan Kantai untuk menurunkan bendera Hinomaru dan menggantikannya dengan Sang Saka Merah Putih. Peristiwa itulah sebagai awal runtuhnya Jepang di Yogyakarta. Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 gedung Tyookan Kantai berhasil direbut dan dikuasai massa rakyat. Selanjutnya gedung ini dipergunakan sebagai gedung Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta. (R. Sunardjo, 1974 : 3 – 4 lihat juga Djamal Marsudi; 1985 : 55 – 56). Gedung Tyookan Kantai ini setelah dipergunakan Komite Nasional Indonesia Daerah diberi nama Gedung Nasional Yogyakarta (Tashadi; dkk, 1985 : 49).
Dua hari kemudian yaitu pada tanggal 7 Oktober 1945 terjadi usaha pelucutan senjata Jepang di Kido Butai Kotabaru. Mula-mula usaha pelucutan dilakukan secara damai melalui perundingan, tetapi gagal. Oleh karena pelucutan senjata secara damai gagal, maka massa rakyat menyerang Kido Butai Kotabaru sehingga terjadi pertempuran yang sengit. Tentara Jepang kewalahan dan akhirnya menyerah.
Dalam pertempuran Kotabaru, pihak rakyat gugur 21 orang dan luka-luka 32 orang sedang pihak Jepang meninggal 9 orang 20 orang luka-luka. Jenazah para pahlawan tersebut sebelum dimakamkan, disemayamkan lebih dahulu di Gedung Nasional Yogyakarta. Dari 21 korban, 18 orang dimakamkan di Semaki (Taman Makam Pahlawan) sedangkan yang 3 orang dimakamkan di Karangkajen dan Kauman (Djamal Marsudi dkk, 1985 : 55 – 56 : lihat juga Suratmin, dkk, 1982 : 229).
Menjelang akhir tahun 1945 keamanan kota Jakarta makin menjadi buruk. Pembunuhan dan penculikan oleh tentara Belanda (NICA) sering terjadi tiap hari. Pendaratan pasukan marinir Belanda di Tanjung Priuk pada tanggal 30 Desember 1945 menambah gentingnya keadaan. Mengingat keamanan yang semakin buruk itu. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 4 Januari 1946 pindah ke Yogyakarta. Sejak saat itu Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia. Perdana Menteri Sutan Syahrir untuk sementara tetap di Jakarta. Namun karena situasi Jakarta bertambah gawat, Perdana Menteri Sultan Syahrir menyusul ke Yogyakarta.
Pemilihan Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia berdasarkan pertimbangan antara lain : 1) Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII bersikap tegas dalam mendukung berdirinya Negara Republik Indonesia; 2) Rakyat Yogyakarta dapat menyesuaikan diri dengan cita-cita dan semangat revolusi. Presiden Sukarno setelah pindah di Yogyakarta menempati Gedung Nasional. Itulah sebabnya rakyat menamakan Gedung Nasional dengan nama gedung Kepresidenan (M. Alwi Dahlan, PHD (et.al), 1979 : 164). Sedangkan wakil Presiden Moh. Hatta menempati Gedung Asisten Residen di jalan Reksobayan 4 yang sekarang dipergunakan Makarem 072 Pamungkas Yogyakarta. Pada masa pendudukan Jepang Gedung Asisten Residen ini dipergunakan sebagai tempat tinggal Somobucho atau Kepala Urusan Umum.
Peristiwa di Kabupaten Bogor
Pada 11 Oktober 1945, sekitar 4000 orang datang ke Depok, ada yang menumpak kereta api, truk bahkan gerobak sapi. Pihak intelejen Belanda melaporkan kedatangan orang-orang itu dengan sepengetahuan aparatur pemerintah dan kepolisian RI. Gerombolan tersebut dengan bebas merampok dan mengobrak-abrik rumah-rumah dan mengusir penghuninya, terutama penduduk Kristen Eropa. Para korban itu sulit mencari perlindungan karena lari ke hutan-hutanpun keselamatan mereka tidak terjamin. Sebab di sekitar hutan juga banyak perampok yang mengambil harta bendanya seperti pakaian, makanan, uang kertas Jepang dan Belanda, permata dan uang perak Belanda. Laporan intelejen menyebutkan bahwa dengan melihat ciri-cirinya, cukup jelas bahwa aksi-aksi itu merupakan aksi kolektif yang terorganisir secara baik. Artinya ada orang atau kelompok tertentu yang mengorganisir aksi-aksi tersebut.
Dengan sikap pasif aparatur dan polisi RI, maka aksi-aksi perorangan, terutama aksi-aksi kolektif yang disertai tindakan kekerasan semakin meningkat. Pada 13 Oktober misalnya, dilaporkan 10 orang warga Depok dibunuh. Selain itu semua penduduk Eropa diburu oleh BKR dan Pelopor (yang dikenal dari pita yang diikatkan di lengannya). Mereka ditangkap dan dikumpulkan di belakang statsiun kereta Depok (Depok Lama). Di tempat itu, baik pria, wanita, maupun anak-anak ditelanjangi hingga tinggal celana dalam dan BH. Semua pakaian dan perhiasannya dirampas oleh para perampok yang ada di tempat itu dengan pengawasan Barisan Pelopor.
Aksi kekerasan itu tidak hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang dituduh atau dicurigai sebagai kaki tangan Belanda, kadangkala juga menimpa orang-orang republikein. Tidak sedikit penjahat atau perampok yang memanfaatkan kekacauan itu untuk kepentingan sendiri. Mayor A.E. Kawilarang yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Bogor/Divisi II TKR, mendengar laporan dari anak buahnya bahwa di Cisarua ada dua orang Menado bersama-sama anak-anaknya, salah satunya masih bayi, mengungsi di tempat itu. Ia sempat menemui kedua wanita itu dan berjanji akan membawanya ke Bogor untuk selanjutnya dikirimkan ke daerah aman. Namun keeskan harinya sewaktu akan mengangkut orang-orang itu, ternyata rumah kedua wanita tersebut telah dirampok. Kedua wanita dengan anak-anaknya yang berjumlah 12 orang telah mati dengan luka-luka bacokan di sekujur tubuhnya. Seluruh harta bendanya habis dijarah (Ramadhan KH, 1988: 74).
Dari sekian banyak aksi dengan tindak kekerasan, maka aksi kolektif pimpinan Ki Nariya dari Leuwiliang merupakan aksi yang cukup membahayakan pemerintahan RI di Keresidenan Bogor, khususnya di tingkat kabupaten. Ki Nariya yang mendapat dukungan dari Lasykar Gulkut (Gulung Bukut) pimpinan Tje Mamat menagkap Residen Bogor R. Barnas Tanuningrat dan Kepala Polisi R. Enoh Danubrata dan mencopot jabatannya. Setelah itu semua pejabat pemerintah RI yang ada di Bogor diganti oleh Ki Nariya-Tje Mamat. Ki Nariya kemudian mundur ke Dramaga, setelah kesatuan polisi dan aparatur setempat dilucutinya dan diganti oleh orang-orangnya. Sebagai catatan, Tje Mamat dengan lasykarnya itu sampai ke daerah Bogor, tepatnya Leuwiliang, karena melarikan diri setelah aksi daulatnya di Banten mengalami kekalahan.
Aksi Ki Nariya dan kawan-kawannya nyaris mendapat pengakuan dari pemerintah RI di Jakarta yang kurang mendapat informasi tentang perkebangan sosial-politik di wilayah sekitar Jakarta-Bogor, sehingga nyaris mengakui kepemimpinannya. Namun setelah menerima laporan dari Bogor, pimpinan di Jakarta memerintahkan agar pimpinan TKR di wilayah Bogor untuk segera menindak tegas gerakan Ki Nariya-Tje Mamat itu (Ramadhan KH, 198: 62-63 dan lihat juga Laporan Agen Khusus tgl. 25 Maret 1946 No.KH2/29170/G, Alegemeen Secretarie, ANRI).
Setelah menerima perintah itu, pasukan gabungan dari Resimen Bogor yang terdiri dari Batalyon II pimpinan Mayor Toha, Batalyon III pimpinan Kapten Haji Dasuki Bakri, Polisi Istimewa pimpinan Muharam Wiranata Kusuma, Lasykar Hizbullah pimpinan E. Affandi, Lasykar Bogor pimpinan Dadang Sapri, Pasukan Jabang Tutuka pimpinan R.E. Abdullah, dan Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar berhasil mengepung dan menyergap Ki Nariya dkk di Dramaga. Tje Mamat sendiri berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan gabungan, akhirnya berhasil disergap oleh Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar. Selanjutnya Tje Mamat dengan lasykarnya yang merupakan buronan dari Banten, dikirimkan ke Komandemen I Jawa Barat yang berkedudukan di Purwakarta (Sri Handajani Purwaningsih, 1984: 91).
Dalam suasana dalam negeri yang kacau balau seperti itu, pihak RI juga harus berhadapan dengan pihak Inggris selaku pasukan Sekutu (yang didalamnya ikut pula orang-orang NICA-Belanda) yang datang untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan para tawanan Jepang. Seperti telah banyak diungkapkan oleh banyak peneliti sejarah, kesalahan pandangan dan presepsi antara pihak RI dengan Inggris, membuat proses rekapitulasi Jepang tidak berjalan mulus. Bentrokan-bentrokan, sampai pertempuran antara lasykar atau BKR/TKR melawan pasukan Inggris-Belanda kerap terjadi di berbagai tempat seperti: di Depok (Merdeka No.155, 30 Maret 1946), Cibinong, Cikeas, Bojong Kulur, (Merdeka No. 166, 12 April 1946), Cileungsi (Merdeka No.157, 2 April 1946), Leuwi Malang, Ciburial, dan Cikemasan (Merdeka No. 159, 4 April 1946). Oleh karena seringkali lasykar atau TKR melakukan sergapan-sergapan atas konvoi mereka, maka tidak jarang pasukan Inggris-Belanda melakukan tindakan balasan dan penggeladahan terhadap ruamah-rumah penduduk (Merdeka No.155, 30 Maret 1946; No. 156, 1 April 1946 dan No. 159, 4 April 1946).
Oleh karena kurang baiknya koordinasi antara TKR dengan badan-badan kelasykaran, maka tidak jarang terjadi bentokan antara TKR melawan lasykar (Ramadhan Kh,1988: 61). Seringkali pula lasykar-lasykar melakukan serangan yang merugikan reputasi RI, misalnya menyerang konvoi pengangkut pasukan Jepang, yang sebelumnya telah disepekati oleh pihak RI dengan pihak Sekutu untuk lewat ke wilayah Bogor. Oleh karena itu pimpinan TKR di Keresidenan Bogor memperingatkan agar konvoi 11 truk yang akan melewati Cimande menuju Jakarta tidak diganggu, karena isinya adalah para serdadu Jepang yang akan dikembalikan ke negeri asalnya (Algemeen Secretarie 1942-1950 No. 1240, ANRI).
-dipi-