Dipi76
New member
Sejarah Asia Tenggara telah dimulai sejak zaman prasejarah. Masyarakat dan kebudayaan di Asia Tenggara, di kemudian hari berkembang menjadi beragam budaya dan bangsa yang berbeda-beda dan spesifik, dengan pengaruh dari budaya India dan budaya Tiongkok. Pada masa pra dan pasca kolonialisme, budaya Arab dan budaya Eropa juga memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat Asia Tenggara pada umumnya.
Prasejarah
Masyarakat pertanian awal
Pertanian adalah perkembangan alami yang berasal dari kebutuhan. Sebelum pertanian, berburu dapat memenuhi kebutuhan makanan. Masyarakat Asia Tenggara telah melakukan berbagai kegiatan domestikasi baik berupa hewan maupun tanaman seperti memelihara anjing, ayam, dan babi beribu-ribu tahun yang lalu. Makanan terkait dengan status sosial. Apabila makanan tersedia berlebih, orang mengadakan pesta besar dan semua orang boleh makan sepuasnya. Orang-orang kaya seperti ini biasanya bekerja bertahun-tahun mengumpulkan makanan atau kekayaan yang dibutuhkan untuk pesta-pesta ini. Kebaikan orang-orang kaya itu akan diingat oleh masyarakat, menjadi semacam tabungan budi untuk masa yang akan datang. Kebiasaan ini tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara, bahkan sampai ke Papua. Masyarakat dengan ciri seperti ini dikenal sebagai masyarakat agraris. Pada saat tekanan jumlah penduduk mencapai titik yang membutuhkan intensifikasi pertanian, berkembang teknik bercocok tanam, seperti menanam ubi jalar di Papua atau menanam padi di wilayah Indonesia lainnya. Para ahli prasejarah berpendapat, teknik bercocok tanam padi sawah dikenal masyarakat Asia Tenggara dari Tiongkok, khususnya lembah Sungai Yangtse dan Yunnan.
Kegiatan menanam ubi di Papua, contohnya, dimulai dengan menempatkan umbi di lahan yang telah dipersiapkan, menyiangi gulmanya, menunggunya hingga berkembang, dan kemudian memanen hasilnya. Urut-urutan kegiatan ini masih dilakukan oleh kaum wanita di berbagai masyarakat tradisional di Asia Tenggara; sedangkan kaum pria mengerjakan tugas-tugas yang lebih berat seperti mempersiapkan lahan atau memagarinya untuk menghidari kerusakan karena hama babi.
Zaman perundagian awal di semenanjung Asia Tenggara
Sekitar abad ke-5 SM, penduduk dari daerah Dongson, yang sekarang termasuk dalam wilayah Vietnam, telah mampu menguasai keterampilan dasar pengolahan logam. Hasil kebudayaan logam mereka adalah yang paling tua yang telah ditemukan oleh para arkeolog di Asia Tenggara. Sedangkan masyarakat terawal yang diketahui di Thailand - yaitu sekitar tahun 3,000 SM - berlokasi di daerah Ban Chiang.
Pada sekitar tahun 2,500 SM, bangsa Melayu mulai menyebar di wilayah semenanjung dan memperkenalkan teknologi primitif pengerjaan logam yang telah mereka kuasai di wilayah ini. Sekitar tahun 1,500 SM, bangsa Mon mulai memasuki wilayah Burma, sedangkan bangsa Tai datang lebih belakangan dari daerah selatan Tiongkok ke daratan Asia Tenggara untuk kemudian menempatinya pada sekitar milenium pertama Masehi.
Kerajaan-kerajaan kuno
Kerajaan-kerajaan kuno di Asia Tenggara pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kerajaan-kerajaan agraris dan kerajaan-kerajaan maritim.
Kegiatan utama kerajaan-kerajaan agraris adalah pertanian. Mereka kebanyakan terletak di semenanjung Asia Tenggara. Contoh kerajaan agraris adalah Kerajaan Ayutthaya, yang terletak di delta sungai Chao Phraya, dan Kerajaan Khmer yang berada di Tonle Sap. Kerajaan-kerajaan maritim kegiatan utamanya adalah perdagangan melalui laut. Kerajaan Malaka dan Kerajaan Sriwijaya adalah contoh dari kerajaan maritim.
Kerajaan Ayutthaya merupakan kerajaan bangsa Thai yang berdiri pada kurun waktu 1350 sampai 1767 M. Nama Ayyuthaya diambil dari Ayodhya, nama kerajaan yang dipimpin oleh Sri Rama, tokoh dalam Ramayana. Pada tahun 1350 Raja Ramathibodi I (Uthong) mendirikan Ayyuthaya sebagai ibu kota kerajaannya dan mengalahkan dinasti Kerajaan Sukhothai, yaitu 640 km ke arah utara, pada tahun 1376.
Dalam perkembangannya, Ayyuthaya sangat aktif melakukan perdagangan dengan berbagai negara asing seperti Tiongkok, India, Jepang, Persia dan beberapa negara Eropa. Penguasa Ayyuthaya bahkan mengizinkan pedagang Portugis, Spanyol, Belanda, dan Perancis untuk mendirikan pemukiman di luar tembok kota Ayyuthaya. Raja Narai (1656-1688) bahkan memiliki hubungan yang sangat baik dengan Raja Louis XIV dari Perancis dan tercatat pernah mengirimkan dutanya ke Perancis.
Setelah melalui pertumpahan darah perebutan kekuasaan antar dinasti, Ayutthaya memasuki abad keemasannya pada perempat kedua abad ke-18. Di masa yang relatif damai tersebut, kesenian, kesusastraan dan pembelajaran berkembang. Perang yang terjadi kemudian ialah melawan bangsa luar. Ayyuthaya mulai berperang melawan dinasti Nguyen (penguasa Vietnam Selatan) pada tahun 1715 untuk memperebutkan kekuasaan atas Kamboja.
Meskipun demikian ancaman terbesar datang dari Burma dengan pemimpin Raja Alaungpaya yang baru berkuasa setelah menaklukkan wilayah-wilayah Suku Shan. Pada tahun 1765 wilayah Thai diserang oleh dua buah pasukan besar Burma, yang kemudian bersatu di Ayutthaya. Menghadapi kedua pasukan besar tersebut, satu-satunya perlawanan yang cukup berarti dilakukan oleh sebuah desa bernama Bang Rajan. Ayutthaya akhirnya menyerah dan dibumihanguskan pada tahun 1767 setelah pengepungan yang berlarut-larut. Berbagai kekayaan seni, perpustakaan-perpustakaan berisi kesusastraan, dan tempat-tempat penyimpanan dokumen sejarah Ayutthaya nyaris musnah; dan kota tersebut ditinggalkan dalam keadaan hancur.
Dalam keadaan negara yang tidak menentu, provinsi-provinsi melepaskan diri dan menjadi negara-negara independen di bawah pimpinan penguasa militer, biksu pemberontak, atau sisa-sisa keluarga kerajaan. Bangsa Thai dapat terselamatkan dari penaklukan Burma karena terjadinya serangan Tiongkok terhadap Burma serta adanya perlawanan dari seorang pemimpin militer bangsa Thai bernama Phraya Taksin, yang akhirnya mengembalikan kesatuan negara.
Peninggalan yang cukup menarik dari kota tua Ayutthaya hanyalah puing-puing reruntuhan istana kerajaan. Raja Taksin lalu mendirikan ibukota baru di Thonburi, yang terletak di seberang sungai Chao Phraya berhadapan dengan ibukota yang sekarang, Bangkok. Peninggalan kota bersejarah Ayutthaya dan kota-kota bersejarah sekitarnya yang terdapat pada lingkungan Taman Bersejarah Ayutthaya telah dimasukkan oleh UNESCO sebagai Warisan Dunia UNESCO. Kota Ayutthaya yang baru kemudian didirikan di dekat lokasi kota lama, dan sekarang merupakan ibukota dari Provinsi Ayutthaya.
Kerajaan Khmer atau Kekaisaran Khmer, merupakan kerajaan bangsa Khmer yang berdiri pada kurun waktu 802 sampai 1432 M. Kerajaan Khmer pernah merupakan kerajaan agrikultural terbesar di Asia Tenggara, yang berpusat di wilayah Kamboja sekarang ini. Kerajaan ini, yang memisahkan diri dari Kerajaan Chenla, pada beberapa waktu tertentu pernah memerintah atau menguasai daerah-daerah yang sekarang ini termasuk wilayah Laos, Thailand dan Vietnam.
Jayawarman II (802-850) yang mendirikan kerajaan ini, adalah seorang pangeran yang pernah tinggal di keraton Wangsa Syailendra di Jawa Tengah. Keberadaannya di sana sebagai tawanan atau menuntut ilmu (atau keduanya) belumlah dapat dipastikan, akan tetapi pada tahun 802 ia kembali ke Kamboja dan menyatakan dirinya sebagai Dewa-Raja Jayavarman II yang kerajaannya independen dari kekuasaan Wangsa Syailendra di Jawa.
Selama masa pembentukannya, Kerajaan Khmer memiliki hubungan kebudayaan, politik dan perdagangan yang intensif dengan Jawa, dan kemudian dengan Kerajaan Sriwijaya yang terdapat di sebelah selatan batas wilayah Khmer. Peninggalan terbesarnya adalah Angkor, yang merupakan ibukota ketika kerajaan mencapai puncak kekuasaannya. Angkor memperlihatkan betapa besar kekuatan dan kekayaan Kerajaan Khmer, serta memperlihatkan pula adanya beragam kepercayaan yang memperoleh dukungan kerajaan. Agama-agama resmi kerajaan adalah Hindu dan Buddha Mahayana, yang bertahan sampai ketika Buddha Theravada menggantikannya setelah diperkenalkan dari Sri Lanka pada abad ke-13.
Pada tahun 1431 atau 1432, Kerajaan Ayutthaya menyerang Kerajaan Khmer dan berhasil mengalahkannya serta menaklukkan Angkor. Keluarga kerajaan Khmer kemudian pindah ke Phnom Penh. Raja Barom Reachea I (1566-1576) sempat secara sementara mengalahkan bangsa Thai, dimana sebagian keluarga kerajaan kembali ke Angkor. Perseteruan kekuasaan antara Angkor dan Phnom Penh, serta kemunduran perekonomian pada akhirnya meruntuhkan Kerajaan Khmer.
Phnom Penh sebagai pewaris Kerajaan Khmer, pada abad ke-17 tumbuh menjadi salah satu pusat perdagangan dan politik di delta sungai Mekong.
Kesultanan Melaka (1402 - 1511) adalah sebuah kesultanan yang didirikan oleh Parameswara, seorang putra Melayu berketurunan Sriwijaya.
Parameswara merupakan turunan ketiga dari Sri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Sri Tri Buana (Sang Nila Utama), seorang penerus raja Sriwijaya. Sang Nila Utama mendirikan Singapura Lama dan berkuasa selama 48 tahun. Kekuasaannya dilanjutkan oleh putranya Paduka Sri Pekerma Wira Diraja (1372 – 1386) yang kemudian diteruskan oleh cucunya, Paduka Seri Rana Wira Kerma (1386 – 1399). Pada tahun 1401, Parameswara putra dari Seri Rana Wira Kerma, mengungsi dari Tumasik setelah mendapat penyerangan dari Majapahit.
Ibu kota kerajaan ini terdapat di Melaka, yang terletak pada Selat Malaka. Kesultanan ini berkembang pesat menjadi sebuah entrepot dan menjadi pelabuhan terpenting di Asia Tenggara pada abad ke-15 dan awal 16. Malaka runtuh setelah ibukotanya direbut oleh Portugis pada tahun 1511.
Kejayaan yang dicapai oleh Kerajaan Melaka di sebabkan oleh beberapa faktor penting yaitu, Parameswara telah mengambil kesempatan untuk menjalinkan hubungan baik dengan negara Cina ketika Laksamana Yin Ching mengunjungi Melaka pada tahun 1403. Salah seorang dari sultan Malaka telah menikahi seorang putri dari negara Cina yang bernama Putri Hang Li Po. Hubungan erat antara Melaka dengan Cina telah memberi banyak manfaat kepada Malaka. Malaka mendapat perlindungan dari Cina yang merupakan pemegang kekuasaan terbesar di dunia pada masa itu untuk menghindari serangan Siam.
Sejarah
Parameswara pada awalnya menjadi raja di Singapura pada tahun 1390-an. Negeri ini kemudian diserang oleh Jawa dan Siam, yang memaksanya pinda lebih ke utara. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara telah tinggal di ibukota baru di Melaka pada 1403, tempat armada Ming yang dikirim ke selatan menemuinya. Sebagai balasan upeti yang diberikan Kekaisaran Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada kerajaan baru tersebut.
Parameswara kemudian menganut agama Islam setelah menikahi putri Pasai. Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada 1409 menyiratkan bahwa pada saat itu Parameswara masih berkuasa, dan raja dan rakyat Melaka sudah menjadi muslim. Pada 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah.
Megat Iskandar Syah memerintah selama 10 tahun, dan digantikan oleh Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, tampaknya tidak menganut agama Islam, dan mengambil gelar Seri Parameswara Dewa Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.
Di bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah Melaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Ini memancing kemarahan Siam yang menganggap Melaka sebagai bawahan Kedah, yang pada saat itu menjadi vassal Siam. Namun serangan Siam pada 1455 dan 1456 dapat dipatahkan.
Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi dan Siak juga takluk. Dengan demikian Melaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka.
Mansur Syah berkuasa sampai mangkatnya pada 1477. Dia digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah. Sultan memerintah selama 11 tahun, saat dia meninggal dan digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Syah.
Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526 Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian. Putranya Muzaffar Syah kemudian menjadi sultan Perak, sedangkan putranya yang lain Alauddin Riayat Syah II mendirikan kerajaan baru yaitu Johor.
Tidak banyak yang diketahui mengenai kepercayaan dan praktek keagamaan Asia Tenggara, sebelum kedatangan dan pengaruh agama dari para pedagang India pada abad ke-2 Masehi dan seterusnya. Sebelum abad ke-13, agama-agama Buddha dan Hindu adalah kepercayaan utama di Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan di daratan (semenanjung) Asia Tenggara pada umumnya memeluk agama Buddha, sedangkan kerajaan-kerajaan di kepulauan Melayu (Nusantara) umumnya lebih dipengaruhi agama Hindu. Beberapa kerajaan yang berkembang di semenanjung ini, awalnya bermula di daerah yang sekarang menjadi negara-negara Myanmar, Kamboja dan Vietnam.
Kekuasaan dominan yang pertama kali muncul di kepulauan adalah Sriwijaya di Sumatra. Dari abad ke-5 Masehi, Palembang sebagai ibukota Sriwijaya menjadi pelabuhan besar dan berfungsi sebagai pelabuhan persinggahan (entrepot) pada Jalur Rempah-rempah (spice route) yang terjalin antara India dan Tiongkok. Sriwijaya juga merupakan pusat pengaruh dan pendidikan agama Buddha yang cukup berpengaruh. Kemajuan teknologi kelautan pada abad ke-10 Masehi membuat pengaruh dan kemakmuran Sriwijaya memudar. Kemajuan tersebut membuat para pedagang Tiongkok dan India untuk dapat secara langsung mengirimkan barang-barang diantara keduanya, serta membuat kerajaan Chola di India Selatan dapat melakukan serangkaian penyerangan penghancuran terhadap daerah-daerah kekuasaan Sriwijaya, yang mengakhiri fungsi Palembang sebagai pelabuhan persinggahan.
Pulau Jawa kerap kali didominasi oleh beberapa kerajaan agraris yang saling bersaing satu sama lain, termasuk diantaranya kerajaan-kerajaan wangsa Syailendra, Mataram Kuno dan akhirnya Majapahit.
Para pedagang Muslim mulai mengunjungi Asia Tenggara pada abad ke-12 Masehi. Samudera Pasai adalah kerajaan Islam yang pertama. Ketika itu, Sriwijaya telah diambang keruntuhan akibat perselisihan internal. Kesultanan Malaka, yang didirikan oleh salah seorang pangeran Sriwijaya, berkembang kekuasaannya dalam perlindungan Tiongkok dan mengambil alih peranan Sriwijaya sebelumnya. Agama Islam kemudian menyebar di seantero kepulauan selama abad ke-13 dan abad ke-14 menggantikan agama Hindu, dimana Malaka (yang para penguasanya telah beragama Islam) berfungsi sebagai pusat penyebarannya di wilayah ini.
Beberapa kesultanan lainnya, seperti kesultanan Brunei di Kalimantan dan kesultanan Sulu di Filipina secara relatif mengalami sedikit hubungan dengan kerajaan-kerajaan lainnya.
Kerajaan Chola merupakan kerajaan kuat di wilayah India Selatan. Kerajaan ini muncul dalam kisah epik Mahabharata. Bangsa ini dipercaya memiliki hubungan dengan wangsa Siwi atau Sibi, bersama dengan Sindhu Sauwira. Dalam catatan sejarah, Kerajaan Chola tumbuh sebagai kerajaan yang besar. Angkatan perang mereka kuat di medan laut, dan suku bangsanya menghuni negara-negara di Asia Selatan.
Pandya, Chola dan Kerala juga muncul dalam susatra Tamil dan merupakan salah satu kerajaan yang disebut dalam susastra Sansekerta (Ramayana, Mahabharata, Purana dan Veda).
Dalam perang di Kurukshetra, kerajaan Chola memihak para Pandawa, bersama dengan kerajaan Randya dan Kerala, mereka memberikan pasukan dengan kekuatan dan jumlah yang besar.
Kesultanan Sulu adalah sebuah pemerintahan Muslim yang pernah suatu masa dahulu menguasai Laut Sulu di Filipina Selatan. Kesultanan ini didirikan pada tahun 1450. Pada zaman kegemilangannya, negeri ini telah meluaskan perbatasannya dari Mindanao hingga negeri Sabah. Dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Sulu disebut Solot, salah satu negeri di kepulauan Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina) yaitu salah satu kawasan yang menjadi daerah pengaruh mandala kerajaan Majapahit di Nusantara. Negeri Sulu terletak di lepas pantai timur laut pulau Kalimantan.
Sejarah
Pada abad ke-13, orang Minangkabau mulai mendirikan koloni di pantai barat Sumatra, dari Meulaboh hingga Bengkulu. Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu.
Kisah lain menyebutkan, sekitar era 1450-an, seorang Arab dari Johor yaitu Shari'ful Hashem Syed Abu Bakr tiba di Sulu. Pada tahun 1457, ia mendirikan Kesultanan Sulu dan memakai gelar "Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem Abu Bakr". Gelara "Paduka" adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan "Mahasari" bermaksud Yang DiPertuan.
Pada tahun 1703, Kesultanan Brunei menganugerahkan Sabah Timur kepada Kesultanan Sulu atas bantuan mereka menumpas pemberontakkan di Brunei. Pada tahun yang sama, Kesultanan Sulu menganugerahkan Pulau Palawan kepada Sultan Qudarat dari Kesultanan Maguindanao sebagai hadiah perkawinan Sultan Qudarat dengan puteri Sulu dan juga sebagai hadiah persekutuan Maguindanao dengan Sulu. Sultan Qudarat kemudian menyerahkan Palawan kepada Spanyol.
Penjajahan Eropa
Bangsa Eropa pertama kali sampai di Asia Tenggara pada abad keenam belas. Ketertarikan di bidang perdaganganlah yang umumnya membawa bangsa Eropa ke Asia Tenggara, sementara para misionaris turut serta dalam kapal-kapal dagang dengan harapan untuk menyebarkan agama Kristen ke wilayah ini.
Portugis adalah kekuatan Eropa pertama yang membuka akses jalur perdagangan yang sangat menguntungkan ke Asia Tenggara tersebut, dengan cara menaklukkan Kesultanan Malaka pada tahun 1511. Belanda dan Spanyol mengikutinya dan segera saja mengatasi Portugis sebagai kekuatan-kekuatan European utama di wilayah Asia Tenggara. Belanda mengambil-alih Malaka dari Portugis di tahun 1641, sedangkan Spanyol mulai mengkolonisasi Filipina (sesuai nama raja Phillip II dari Spanyol) sejak tahun 1560-an. Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur yang bertindak atas nama Belanda, mendirikan kota Batavia (sekarang Jakarta) sebagai pusat perdagangan dan ekspansi ke daerah-daerah lainnya di pulau Jawa, serta wilayah sekitarnya.
Inggris, yang diwakili oleh British East India Company, secara relatif datang ke wilayah ini lebih kemudian. Diawali dengan Penang, Inggris mulai memperluaskan kerajaan mereka di Asia Tenggara. Mereka juga menguasai wilayah-wilayah Belanda selama Perang Napoleon. Di tahun 1819, Stamford Raffles mendirikan Singapura sebagai pusat perdagangan Inggris dalam rangka persaingan mereka dengan Belanda. Meskipun demikian, persaingan tersebut mereda di tahun 1824 ketika dikeluarkannya traktat Anglo-Dutch yang memperjelas batas-batas kekuasaan mereka di Asia Tenggara. Sejak tahun 1850-an dan seterusnya, mulailah terjadi peningkatan kecepatan kolonisasi di Asia Tenggara.
British East India Company, kadangkala disebut sebagai John Company, merupakan sebuah perusahaan saham-gabungan dari para investor, yang diberikan Royal Charter oleh Elizabeth I pada 31 Desember 1600, dengan tujuan untuk menolong hak perdagangan di India. Royal Charter (Piagam Kerajaan) secara efektif memberikan perusahaan yang baru berdiri ini sebuah monopoli dalam seluruh perdagangan di Hindia Timur. Perusahaan berubah dari sebuah gabungan perdagangan komersial ke salah satu yang memerintah India ketika perusahaan ini mengambil fungsi pemerintahan dan militer tambahan, sampai pembubarannya pada 1858.
Kejadian ini, yang disebut juga dengan nama Imperialisme Baru, memperlihatkan terjadinya penaklukan atas hampir seluruh wilayah di Asia Tenggara, yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan kolonial Eropa. VOC dan East India Company masing-masing dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pemerintah Inggris, yang kemudian mengambil-alih secara langsung administrasi wilayah jajahan mereka. Hanya Thailand saja yang terlepas dari pengalaman penjajahan asing, meskipun Thailand juga sangat terpengaruh oleh politik kekuasaan dari kekuatan-kekuatan Barat yang ada.
Tahun 1913, Inggris telah berhasil menduduki Burma, Malaya dan wilayah-wilayah Borneo, Perancis menguasai Indocina, Belanda memerintah Hindia Belanda, Amerika Serikat mengambil Filipina dari Spanyol, sementara Portugis masih berhasil memiliki Timor Timur.
Penguasaan kolonial memberikan dampak yang nyata terhadap Asia Tenggara. Kekuatan-kekuatan kolonial memang memperoleh keuntungan yang besar dari sumber daya alam dan dan pasar Asia Tenggara yang besar, akan tetapi mereka juga mengembangkan wilayah ini dengan tingkat pengembangan yang berbeda-beda. Perdagangan hasil pertanian, pertambangan dan ekonomi berbasis eksport berkembang dengan cepat dalam periode ini. Peningkatan permintaan tenaga kerja menghasilkan imigrasi besar-besaran, terutama dari India dan Cina, sehingga terjadilah perubahan demografis yang cukup besar. Munculnya lembaga-lembaga negara bangsa modern seperti birokrasi pemerintahan, pengadilan, media cetak, dan juga pendidikan modern (dalam lingkup yang terbatas}, turut menaburkan benih-benih kebangkitan grakan-gerakan nasionalisme di wilayah-wilayah jajahan tersebut.
Sumber:
- Osborne, Milton. Southeast Asia. An introductory history.
- Heidhues,Mary Somer. Southeast Asia: A Concise History.
-dipi-