PETUALANGAN BIAWAK

erwinadriansyah

New member
Numpang pasang cerita yaaaa :) . Silakan dikomentari atau dikritik jika berkenan <3D.



PETUALANGAN BIAWAK​


Bab 1: Vagina Dentata

“Va! Salva, sini!” pekikku serak karena masih tipsy akibat terlalu lama ditemani Jack Daniels. “Liat, nih!” kataku sambil menunjuk ke TV plasma 64 inci di depanku.

Orang yang kupanggil segera mendekat ke sofa tempatku berbaring, tentunya dengan agak sempoyongan karena sama telernya denganku, “Napa?” tanyanya sengau.

Dia seorang gadis berusia 21 tahun. Tubuhnya dibalut gaun mini putih berbahan satin berkerah halter dengan belahan dada nan mengundang, sayangnya lecek karena dibawa tidur sepulang clubbing semalam. Matanya bundar dan biasanya bersinar ceria, namun kini kuyu serta sedikit membengkak. Hal itu diperparah dengan riasan yang luntur ke mana-mana. Rambutnya yang ikal, sebahu dan kecokelatan pun porak-poranda.

Terlepas dari kekacauan penampilannya saat ini, tak bisa kusangkal Salva masih sanggup membuat pria panas dingin. Kulitnya putih bersih dan postur tubuhnya ideal dengan tinggi 175 sentimeter berikut buah dada ranum ukuran 34 C. Bentuk wajahnya bulat telur, dipermanis dengan hidung runcing dan bibir padat berisi.

Oh, jika aku bilang Salva masih sanggup membuat pria panas dingin, sudah pasti aku juga bisa. Tak lain dan tak bukan karena aku sama persis dengannya. Yap, kami kembar identik, bak pinang dibelah dua kalau kata orang. Sialnya, di detik ini pun ungkapan itu masih berlaku alias aku juga berantakan seperti dirinya.

“Laki lu,” kataku gusar sambil mengamati pasangan yang dikerubuti reporter gosip di layar kaca, “kayaknya perlu dikasih pelajaran, deh.”

Salva tercenung, tapi bulir-bulir air di sudut matanya sudah mengatakan semua. Nah, kalau sudah begini mau tak mau aku juga jadi ingin menangis. Ini salah satu hal yang kubenci dari fakta bahwa aku dan dia kembar, pikiran kami saling memengaruhi. Atau mungkin memang overdosis alkohol turut membuatku mellow, sialan!

“Gue sudah bilang, kan?” kubiarkan keketusanku menyolok. “Jangan pacaran sama anak band, apalagi yang kegatelan kayak dia.”

“Tapi, Var,” seperti biasa, dia mulai merengek dan membela diri, “Ara nggak kayak gitu! Dia baik!”

Aku mendesah, “Non, tuh,” kutunjuk TV, “Aradea lu yang baik hati, charming and bullshit banget!” Tinjuku mengepal, “Hajar!”

Kakakku yang lebih tua 3 menit itu kembali memandang kemesraan dua sejoli yang tertangkap kamera tepat saat wartawan infotainment mengajukan pertanyaan, “Katanya lagi jalan sama Salva, fotomodel yang belakangan ini lagi naik daun?”

“Oh itu, gue sama Salva cuma temen deket, kok,” roker berumur pertengahan 20-an, berkulit terang, bermuka badung dengan sorot mata liar dan rambut lurus sebahu itu menjawab. “Dia, tuh, udah kayak adek sendiri.”

Tak urung aku ngakak, “Anjrit, berani bener dia grepe-grepe adek sendiri.”

Responsku langsung disambut pandangan marah Salva. Dia memang tak pernah suka mulut lancangku, tapi salahnya sendiri cerita-cerita soal percintaan mereka sudah sampai ke second base alias menjangkau payudara.

“Ya, udah! Kita samperin!” tanggapan murka tersebut berarti Salva telah terbakar total.

“Gitu, dong!” kuacungkan jempol padanya. “Ntar gue telepon Ed ….”

Mendadak perutku bergejolak dan mata berkunang-kunang. Naluri serta-merta memaksaku menarik tubuh dan menjulurkan kepala ke sisi sofa. Perasaan menjijikkan itu terus menanjak hingga ke kerongkongan, sampai akhirnya ….

Yang terakhir kali kudengar sebelum semua berubah menjadi gelap adalah jeritan cempreng kembaranku, “Mbok Darmiiiiiii! Vara muntah!”


***


Sekali lagi kuperiksa dandanan di cermin tinggi yang memantulkan bayangan sekujur tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelan celana panjang dan blazer hitam Armani berpadu blus putih kasual yang secara keseluruhan memudahkan pergerakan dan tidak mudah robek? Classy. Sepatu hak stiletto Manolo Blahnik sebagai senjata rahasia seandainya terdesak? Mantap. Sarung tangan cerpelai untuk memastikan manikur tidak rusak? Seksi. Rambut ikal disanggul cepol modern agar tidak dijambak? Oke. Riasan tipis natural berikut lipgloss merah muda serta smoky eyes? Cek. Anting-anting platina sebagai pelengkap? Sempurna!

Aku tersenyum sembari menyemprotkan Acqua Fiorentina ke sekitar leher dan membatin, Street chic.

Vara masuk ke kamar dan langsung menghambur ke meja rias, “Va, bagi parfum, dong. Punya gue abis.”

Kuamati dia ketika datang menghampiri. Adikku mengenakan busana super simpel. Jaket kulit hitam, okelah dari Michael Kors, dipadu celana jin dan sepatu bot. Rambut cokelat lurusnya pun tak memberi nilai lebih karena cuma dikucir kuda biasa. Dandanan? Minimum dan sekadar untuk menyembunyikan ekspresi kusut, namun tertolong fakta bahwa Vara telah tidur seharian dengan meletakkan irisan mentimun di kedua matanya.

Saat menyerahkan botol parfum yang kupegang padanya, dalam hati aku turut memberikan penilaian terhadap penampilannya, Biker lesbian.

Mungkin seharusnya aku lebih berhati-hati dengan pikiranku karena Vara memberikan pandangan menyelidik. Dan, masih dengan tatapan ‘gue-tau-lu-mikir-aneh-soal-baju-gue’, secara brutal dia menyemprotkan wewangian tersebut ke seluruh badannya.

Sadar aku harus mengikhlaskan produk mahal itu, kuputuskan untuk menanyakan hal yang lebih penting, “Lu yakin udah seger?”

Dia mengacungkan jempol sambil mematut diri di depan cermin, “Sip! Jahe anget bikinan Mbok Darmi paling top, deh!”

“Tapi kalo badan lu masih nggak enak ….”

Vara menyelaku, “Apa, sih? Lagian ada Ed ini.”

Baru saja aku hendak memaksanya mengurungkan niat untuk ikut, terdengar deru khas sebuah mobil berkecepatan tinggi memasuki halaman rumah.

“Panjang umur, tuh, orang,” gumamku lalu beralih ke saudariku, “Udah siap?”

Anggukannya mengiringi langkah kami keluar kamarku dan turun ke lantai dasar. Langkah kami menggema di wastu yang luas dan kosong ini, memantul di dinding marmernya yang indah dan mewah. Agak sedih juga karena bangunan megah ini berikut segala fasilitas serta perabotnya tak lebih dari pengingat konstan betapa hidup kami serupa dengannya, hampa. Mama dan Papa entah di mana, sibuk dengan segala urusan mereka. Tidak apa, karena sejak dulu aku selalu memiliki Vara.

Dan Vara selalu punya Salva … selalu …. bisikan seorang anak perempuan seolah menggema dari tempat dan waktu yang sangat jauh.

Aku tercekat dan seketika menoleh ke belakang, mencari-cari si pemilik suara. Kesunyian aula ruang tamu balik menatapku. Tidak ada siapa-siapa.

“Va?” Vara mengamit tanganku, “Kenapa?”

“Nggak,” aku menggeleng dan kembali melangkah, pasti gue masih teler.

Dalam keremangan senja, sebuah Ford Mustang GT/CS hitam keluaran 1968 telah terparkir di lintasan depan pintu utama rumah kami. Berdiri bersandar pada pintu penumpangnya adalah Edward, teman sekampus Vara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kesempatan ini kugunakan untuk memperhatikan busananya. Nuansa kelabu dari celana panjang dan rompi sutra beritsleting dikombinasikan dengan sepatu kulit hitam. Vonis pun kujatuhkan, Macho fashionista.

Memang begitulah adanya. Pemuda sebaya kami ini keriting, kekar, berkulit gelap dengan garis wajah tegas akibat tulang rahang menonjol. Ditambah kendaraan keren dan selera mode kelas atas, Ed boleh dikatakan sempurna … kecuali tentu saja tingginya yang hanya 160 sentimeter.

“Berangkat,” Vara memberikan instruksi.

Dia mengernyih, “Baik, Nyonya,” lalu membukakan pintu dan melipat kursi depan agar aku bisa masuk ke kursi tengah. “Silakan, Nona.”

Setelah kami semua naik, kendaraan ini melaju meninggalkan kawasan hunian mewah Sentul sementara di kursi penumpang depan, Vara mulai mengaduk-aduk kumpulan kaset Ed di laci dasbor, “Sumpe lu, hari gini masih make kaset? Mana jadul semua lagi!”

“Anjing!” sang pengemudi memaki. “Masih untung gue mau nemenin!”

Sekeras apa pun kata-katanya, aku tahu Edward takkan pernah menolak permintaan Vara. Terus terang, mereka serasi. Andai saja adikku lebih peka ….

“Jadi?” Vara mencondongkan badan ke arahku, “Laki lu kita labrak aja? Atau perlu dihajar juga?”

Otomatis mukaku cemberut mendengar caranya menyebut si keparat itu, “Tolong jangan sebut dia laki gue, ngebetein tau!”

Saudariku cengengesan tanpa penyesalan, “Ya, maap. Jadi? Labrak aja atau hajar juga?”

Aku mengangkat bahu, malas memikirkannya meski telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, “Gimana nanti aja, deh.” Kuputuskan untuk mengubah topik, “Ed, lu beneran tau Ara lagi di mana?”

“Bentar,” Edward memencet tombol di setir, “tadi siang udah disiapin semuanya,” dan sebuah tablet LCD perlahan mencuat keluar dari dasbor.

Alis Vara terangkat, “Lu masang ginian, tapi nggak masang CD Mp3 player?”

Jari supir kami menekan pilihan menu bertuliskan ‘Unified GPS-GPRS Tracking System’ di monitor, “Bukan gue yang masang, tapi temen gue.”

Perangkat itu kemudian menampilkan peta digital lengkap dengan nama jalan. Di salah satu bagiannya, sebuah titik berkelap-kelip merah biru.

“Apaan, tuh?” tanyaku.

“Lokasi mobil sama HP Ara,” jawab Ed.

“Anjrit!” seru adikku takjub. “Lu make pelacak?”

Jujur, aku juga kagum, “Dapet dari mana?”

“Dari temen.”

“Canggih banget temen lu. Intel Omen aja kalah kali,” rasa ingin tahu Vara tergolong wajar karena institusi Kepolisian Republik Indonesia yang dikepalai paman kami tersebut mungkin tidak punya yang seperti ini.

Si pemuda hitam mendesah, “Gak usah dipikirin, yang penting kita dateng, selesain urusan, pulang. By the way, Non, lu kenal daerah itu, nggak?”

Sadar dia tidak mau membahasnya lebih lanjut, aku lantas mengamati detail-detail di layar, “Daerah Kemang, Jalan Kemang Raya ….” Sebuah lampu menyala dalam kepalaku, “Ah, gue tau! Dia di Café Exotica.”

Seketika itu pula hatiku berubah kelam. Café Exotica adalah tempat aku dan Aradea biasa nongkrong, sekadar buang waktu dengan menikmati kebersamaan satu sama lain. Betapa muluknya kenangan itu, tapi pasti akan kutebus sangat setimpal setibanya kami di sana!

“Kemang,” kembaranku bersedekap, “harusnya, sih, nggak macet-macet banget hari Minggu malem kayak gini.”

Vara benar, dan berkat Edward yang mengemudi gila-gilaan, kurang dari sejam kami telah sampai. Selama itu tak sedikit pun indikator keberadaan Ara berpindah tempat. Ah, dia memang suka kafe tersebut dan betah berlama-lama di sana menikmati suasananya.

Betul saja, kami langsung disambut atmosfer yang nyaman dan apik ketika memasukinya. Bagian depannya adalah restoran dan diisi kursi-kursi serta meja-meja makan yang tertata rapi di bawah pencahayaan lembut. Makin ke belakang, melewati sekat kaca transparan berhiaskan pola-pola flora berwarna putih, suasana makin remang-remang karena di sanalah bar berada, lengkap dengan pendar ungu pada panel gerainya.

Seorang pelayan wanita menghampiri kami dengan senyum sopan karena mengenaliku, “Selamat malam, Mbak Salva. Mau makan bertiga?”

Sadar bahwa keadaan nantinya bisa berkembang sangat buruk, sedapat mungkin kubalas keramahtamahannya, “Kita ada janji sama Aradea. Dia di sini, kan?”

“Silakan,” dia lalu memandu kami ke arah bar melewati keramaian kafe yang baru terisi setengahnya.

Setelah memasuki area bar yang melebar pada kedua sisinya, kutolehkan kepala ke sayap kiri. Di sana terdapat panggung kecil tempat para pemusik menghibur pengunjung. Penampil kali ini adalah grup yang melantunkan “Don’t Cry” milik Guns N’ Roses dalam versi bossa nova. Didukung perkusi, piano, gitar akustik dan elektrik, bas serta seruling, suara si vokalis perempuan mengudara, mendayu-dayu nan menghanyutkan, menambah sendunya perasaanku.

Gue nggak akan nangis! batinku sambil melangkah ke sayap kanan yang berisi bilik-bilik berisi sofa setengah lingkaran untuk para tamu yang datang berkelompok.

Di salah satu kompartemen agak tertutup tersebut, kami mendapati Aradea ditemani dua pria anggota band-nya dan sepasang gadis remaja sekitar 17-19 tahun, salah satunya adalah yang kulihat di acara gosip pagi ini. Kondisi yang kurang terang membuatku tak bisa mengamati si berengsek secara jelas, tapi tampaknya dia mengenakan gaun malam one-shoulder berwarna biru. Parasnya? Biasa-biasa saja, bulat dengan mata agak sipit, hidung sedang dan rambut multilayer.

“Jadi ini maenan baru lu?” kuajukan pertanyaan itu agak lantang meski masih bernada tenang.

“Salva?” kekasihku tercinta berdiri, jelas-jelas terkejut oleh kedatanganku.

Edward menepukkan kedua tangannya, “Oke, yang laen tolong keluar dulu, ya. Non Salva mau ngobrol sebentar sama Ara dan pereknya.”

Rekan Aradea yang duduk paling pinggir bangkit, “Bangsat! Jaga mulu ….”

Ucapannya disela oleh pukulan Vara yang mendarat telak di rahang. Berdasarkan kilau yang mengikuti gerak cepat tangan saudariku, aku memperkirakan tinjunya telah dilapisi roti kalung alias brass knuckle.

Sang korban sempoyongan dan Ed melemparnya ke samping lalu menyeret temannya yang masih duduk agar keluar dari tempat sempit tersebut. Di sisi lain, Vara menarik gadis yang satunya lagi. Kegaduhan dimulai sudah dan musik berhenti mengalun, menyisakan jeritan berikut keriuhan baku hantam tak jauh di belakangku.

Sekarang hanya ada Ara dan pacar barunya di sofa tersebut serta aku yang terhalang sebuah meja bundar dari mereka.

Kuulurkan tangan kananku ke si remaja, “Kenalin, gue Salva,” begitu dia menjabatnya agak takut-takut, aku menambahkan, “pacarnya Ara.” Ah, betapa ekspresi tidak setuju di wajah kedua orang ini atas ucapanku barusan sangat enak dilihat, “Seinget gue, Ara belum mutusin gue dan gue juga belum mutusin dia, makanya tadi pagi gue agak kaget aja ngeliat lu berdua di acara gosip.”

Kulepaskan tawa pura-pura sementara ABG itu mulai merintih. Kalau mau, bisa saja aku meremukkan tangannya, tapi kuputuskan untuk membuatnya menderita lebih lama. Dasar cablo!

“Tapi tenang, gue cuma mau resmiin aja kalo abis ini gue sama Ara udah nggak ada hubungan lagi, biar lu bisa puas sama dia!”

Cengkeramanku makin keras dan dia pun menangis histeris sambil mencakar dan berupaya melepaskan tanganku. Sudah kuduga baju lengan panjang dan sarung tangan bisa mengurangi risiko kulit tergores kuku.

Ketika Ara hendak ikut campur, teriakan Vara terdengar, “Salva!”

Dengan tangan kiri, aku menangkap dan mengenakan roti kalung yang dilemparkan kembaranku. Tak sampai 2 detik kemudian senjata tersebut telah melengkapi jotosanku ke wajah Aradea. Hidungnya remuk dan mengocorkan darah segar.

Kulepaskan genggamanku dan sementara wanita muda itu jatuh terduduk ke sofa, aku beralih ke laki-laki yang dalam waktu singkat akan kuberhentikan sebagai kekasihku secara tidak hormat, “Kalo lu mau putus, lu tinggal bilang baik-baik, kita omongin baik-baik, terus kita cari jalan keluar yang terbaik, tapi karena lu nggak punya nyali, terpaksa gue yang nentuin.” Sambil berkacak pinggang, kutunjuk mukanya yang kini berantakan, “Aradea Ahmad, mulai detik ini kita putus!”

Aku berbalik dan berlalu. Sudah cukup sampai di situ. Tidak perlu ada penjelasan. Tak perlu ada tangisan.

Namun, “Lu kira lu siapa?” Dara itu telah melakukan kesalahan terbesar, tapi tak menyadarinya sama sekali karena mulutnya terus merepet, “Jangan mentang-mentang bokap lu cukong, om lu Kapolri, lu bisa seenak jidat! Sini kalo berani!”

Mendadak semua orang terdiam. Aku membalikkan badan dan mendapati dia telah berdiri, masih memegang tangannya, tapi kemarahan di wajahnya menggelegak di tengah air mata.

“Jangan, Na,” Ara meletakkan tangannya yang basah oleh darah di bahu kekasih barunya, berusaha mencegah ribut lebih panjang, tapi Nana atau siapalah namanya malah menyentak melepaskan diri.

Seringaiku menyeruak melihat adegan tadi, “Lu kira kita seenak jidat cuma gara-gara punya bokap cukong atau om Kapolri?” dan mulai mendekatinya.

“Lu salah,” Vara menimpali sambil mengiringi langkahku.

Banyak orang yang bilang keserasian gerakan kami kadang menakutkan, mungkin itulah yang terjadi sekarang. Para hadirin seolah membeku dan lamat-lamat aku dapat mendengar napas tertahan. Baguslah, kurasa tak ada salahnya memberi tontonan istimewa bagi mereka.

“Kita kayak gini karena emang kita kayak gini,” ucap kami serempak seirama setibanya di hadapan lawan yang mematung dengan raut pucat pasi bak anemia akut. “Lu tadi nanya siapa kita, kan? Kenalin,” tapi kini tak ada tangan yang terulur.

“Gue Varanus,” kata Vara dingin.

“Gue Salvator,” tambahku keji.

“Kita,” sepasang lengan kami terayun kencang, “biawak!” dan tamparan keras itu mendarat bersamaan di kedua pipi musuh, membuatnya ambruk dan harus ditangkap oleh Ara agar tidak jatuh ke lantai.

Kutatap mereka, “Lain kali ajarin bokin lu untuk tutup mulut kalo berurusan sama gue dan Vara.”

Dia mengangguk lemah dan aku bergerak menuju bar. Di mejanya kuletakkan dua kartu nama.

“Kalo lu-lu pengen minta ganti rugi,” aku berseru sambil berjalan ke pintu, “minta sama bokap gue. Kalo lu mau ngadu ke polisi, sekalian aja langsung ke om gue. Kartu namanya ada di meja bar.”

Gontai aku memasuki mobil Ed dan duduk di kursi belakang. Bagiku Café Exotica dan Ara sudah tamat. Aku takkan pernah lagi kembali pada keduanya. Beberapa saat kemudian para pengawalku pun naik bersama celotehan riang mereka.

“Kira-kira kita bakal kena pasal apa aja, nih?” tanya Vara ceria, entah apa sebabnya.

Ed nyengir lebar, “Paling 170, 335, sama 351. Maksimal 5 tahun penjara potong masa tahanan.”

Ocehan anak-anak Fakultas Hukum. Entahlah, aku tidak mengerti. Lahir batinku lelah, aku butuh istirahat. Maka kurebahkan tubuhku.

Sayup-sayup terngiang nyanyian sepasang anak perempuan, Vara dan Salva bertarung bersama, Vara dan Salva melepas angkara murka ….

Enggan memikirkan apa pun, kupejamkan mata … dan kubiarkan tangisan itu mengalir dalam kesunyian.
 
Last edited:
@uRaN & lelly: Terima kasih dan salam kenal yaaaaa Lanjutannya segera menyusul :D


@serigalahitam: Yep, itung-itung cari masukan dan pembaca baru
 
Bab 2: Hic Sunt Dracones


Jenderal Polisi Drs. H. Edi Budiman, alias Omen, menggebrak meja, “Kalian udah gede! Udah 21 taun! Masak masih berantem kayak ABG? Cuma gara-gara cowok lagi!”

“Sabar, Mas,” Tante Lus berupaya menenangkan Beliau di sisinya.

Tidak seperti Vara yang terus menunduk, aku sembunyi-sembunyi mencuri pandang terhadap pasangan di sofa di depanku. Dua orang ini bersahaja. Paman kami mengenakan batik merah kecokelatan bercorak Manok Swari, sangat sesuai dengan kulit cerah, perawakan tinggi langsing serta wajahnya yang lembut meski rambut bergelombangnya mulai beruban. Sang istri tampil keibuan dalam balutan kebaya brokat putih panjang, riasan ringan berikut rambut disasak tinggi demi menutupi posturnya yang agak gemuk pendek.

Sungguh, betapa ingin aku memanggil mereka sebagai “Mama-Papa”, dan hal itu pernah hampir jadi kenyataan. Dulu sekali, saat kondisi keluarga jauh lebih buruk dibandingkan sekarang, suami istri yang tak bisa punya anak ini pernah meminta izin mengadopsi salah satu dari kami. Permohonan tersebut tentu saja ditolak dan kini aku hanya bisa membayangkan bahwa mungkin aku atau adikku akan jadi insan yang lebih berbudi di bawah asuhan mereka.

Mendengar ucapan Tante Lus, Omen mendengus, “Ini akibatnya kalo anak-anak nggak ada yang ngawasin.” Dia lalu berpaling ke Ed di sisi kami, “Kamu juga! Kenapa malah ikut-ikutan? Mau sok jagoan? Mau cari perhatian?”

“Maaf, Om,” yang didamprat hanya bisa menjawab singkat.

Adik Mama tersebut kemudian mulai berceramah panjang lebar soal tanggung jawab, kedewasaan berpikir, dan lain-lain, dan sebagainya, dan seterusnya. Sebenarnya cukup membahagiakan karena setidaknya masih ada yang peduli untuk menegur serta memarahi kami yang sudah keluar jalur. Lihat saja mereka, langsung pulang dari resepsi pernikahan anak seorang menteri dan tergopoh-gopoh ke sini setelah dikabari Polda Metro Jaya tentang insiden Café Exotica. Sedangkan Mama dan Papa? Peduli setan ada di mana.

“Sekarang,” dari nada tegasnya, Beliau tampaknya telah memutuskan hukuman yang akan dijatuhkan. “kalian bertiga harus minta maaf sama mereka dan tanggung semua biaya pengobatan.”

Harus kuakui, Omen tahu benar bahwa Vara dan aku takkan suka menelan harga diri hanya untuk minta maaf pada musuh. Pastilah di matanya itu sebuah pelajaran berharga bagi kami.

“Urusan lain-lain biar Omen yang tangani,” katanya lagi.

Cukup adil kurasa. Aku dan Vara minta maaf dan sebagai gantinya, Beliau akan memastikan peristiwa tadi takkan diperkarakan. Semua orang menang walau belum tentu semua orang senang.

“Tapi kalo besok-besok kalian berulah lagi, Omen sendiri yang jeblosin kalian ke sel. Terus, tiap kali Mama Papa sama-sama keluar kota, kalian nginep di rumah kami. Ke mana-mana harus jelas dan jam malam berlaku!”

Pada akhirnya, ini cuma semakin menunjukkan betapa orang tua kandung kami tidak kompeten. Omen berhak mengambil keputusan itu karena dia sedikit banyak telah mengambil alih peran sebagai ayah sejak kami berdua baru belajar berjalan dan Papa terlalu sibuk mencari uang. Ketika kami beranjak remaja, Mama makin getol membantu bisnis Papa dan alhasil hanya Tante Lus yang mengisi kekosongan itu.

Ya, Paman dan Bibi selalu ada di setiap momen kecil dalam hidup kami: sekadar menghadiri resital pianoku, melatih Vara bertinju, serta mengajak kami berpariwisata ke tempat-tempat mengasyikkan. Dan semuanya berujung pada pertanyaan-pertanyaan pahit. Jika Omen dan Tante Lus bisa meluangkan waktu, kenapa orang tua kandung kami tidak bisa? Apakah Omen dan Tante Lus bisa karena tidak punya anak?

“Kemasi baju!” instruksi Omen keras dan jelas. “Kita ke Rumah Sakit Fatmawati terus pulang ke Pattimura.”

Diam-diam aku bersyukur. Dengan begini, kami berdua dapat memiliki sebuah keluarga utuh. Dan nun jauh di relung hati, aku turut berharap Mama dan Papa tak usah kembali lagi … selamanya.

Saat aku mulai melangkah, suara anak perempuan misterius seperti kudengar tadi sore mengudara kembali, Keinginan durjana, tidak lengkap tanpa naga.

Aku langsung celingak-celinguk, menyapukan pandangan ke semua penjuru. Ruang keluarga ini lapang dan dilengkapi jendela-jendela kaca berukuran besar, menampilkan pemandangan halaman belakang yang luas nan asri bermandikan cahaya lampu-lampu taman. Furnitur-furnitur berwarna netral seolah berpendar di bawah penerangan kandil klasik yang menggantung dari langit-langit. Semua itu dilengkapi oleh kehadiran orang-orang yang kusayangi. Yang absen hanyalah pemilik bisikan lirih tadi.

“Va?” Vara mengamatiku lekat-lekat, “Kenapa lagi?”

Kugelengkan kepala, “Nggak, gue cuma ….”

Naga, naga, naga, naga, naga, naga, naga, naga, naga.

“Naga?” aku hanya bisa kebingungan sendiri sementara semua orang menatapku keheranan.

Bagus, tinggal yang satu lagi, kali ini suaranya agak berbeda.

Adikku mengernyit penasaran,“Apa, Va? Naga?”

Dan sepasang pembisik identik itu terkikik girang, benar-benar selaras dan senada, Terpanggil!

Seketika itu pula angin dingin berembus entah dari mana. Bulu kudukku meremang. Vara dan Ed seketika menengok ke kiri dan kanan diiringi ekspresi tegang. Omen serta Tante Lus bangkit dari tempat duduk dengan muka penuh tanda tanya. Mereka juga merasakannya. Sesuatu tengah terjadi di sini.

Yang pertama kali bergerak adalah Edward. Pemuda keling itu melesat, menerjang Omen dan Tante Lus hingga menabrak sofa, membuat mebel tersebut terbalik bersama ketiganya. Belum sempat aku bereaksi atas tindakannya, langit-langit bergemuruh lantas jebol begitu saja. Reruntuhan dan kandil menimpa meja berikut lantai tempat Paman dan Bibi berdiri tadi.

Masih terpaku akibat kaget sekaligus ketakutan, aku sangat menyadari bahwa semuanya baru saja dimulai. Dalam keremangan ini dan dari lubang di atas sana, aku mendengar tarikan napas yang kasar dan teratur ditingkahi geraman tertahan. Namun yang paling membuatku ciut adalah ketika mataku menangkap siluet benda panjang menjulur masuk dari celah berdiameter sekitar 3 meter tersebut.

Rentetan kejadian berikutnya berlangsung cepat … terlalu cepat. Kilatan halilintar melintasi langit mengekspos sisik kecokelatan pada permukaan objek asing tadi. Selanjutnya, ketika semburan api membakar para ajudan Omen yang menyerbu masuk, tampak jelaslah kepala kadal bermata keemasan, bertanduk runcing serta deretan taring menghiasi moncong panjang yang menganga lebar sebagai sumber pancaran maut membara.

“Lari!” Vara menyambar lenganku dan menghambur ke pintu kaca.


***​


“Lepasin, Var!” Salva meronta saat aku terus berlari sambil menariknya ke deretan cemara yang memenuhi taman belakang. “Kita harus nolong Omen!”

“Bodoh! Ini kita lagi nyelamatin mereka!” pekikku di sela rintik gerimis.

Aku tak perlu menjelaskan padanya bahwa kami tengah mengalihkan perhatian makhluk itu dari Omen dan Tante Lus. Aku juga tak perlu menjelaskan padanya bahwa sesungguhnya kami tengah mempertaruhkan nyawa demi mereka yang kami sayangi. Aku tak perlu menjelaskan apa pun … karena tetes air yang sejenak terhalang ketika sesuatu mengibas dan melintas di atas merupakan penanda yang sangat jelas.

Benar saja. Dia mendarat berdebam agak jauh di depan, merobohkan beberapa pohon lalu membalikkan badan. Berhadapan langsung dengannya, kini wujudnya terlihat lebih mengerikan. Makhluk itu besar dan meski merayap seperti buaya atau komodo, tinggi punggungnya sekitar 3-4 meter. Sepasang tungkai depannya kuperkirakan merangkap sebagai sayap karena ada tonjolan panjang dari tiap sikunya. Di bagian belakang, ekor reptil melecut pelan mengikuti tiap gerakannya.

Entah kakakku sudah pingsan atau masih sadar, namun aku terlalu takut untuk menengok ke arahnya, karena itulah kubisikkan, “Jangan bergerak.”

Si monster makin mendekat, menggesek cemara di kedua sisinya, tapi mendadak dia mendongak. Sedetik kemudian aku mengetahui penyebabnya. Edward meluncur dari atas, menghantamkan bogem mentahnya ke kepala sang kadal besar. Musuh tersungkur, sobatku mendarat semulus kucing hutan.

Ed menoleh, “Omen di halaman depan! Cepetan!”

Kali ini giliran Salva yang menarik tanganku. Mau tak mau aku mengikutinya berlari kembali ke rumah. Belum apa-apa, rekan seangkatanku terpental melewati kami lalu menghantam batang kasuarina diiringi derak mengerikan. Kakak langsung melepaskan pegangannya dan menghampiri Ed yang terkapar tak siuman.

Di saat bersamaan, panas yang amat sangat dan cahaya keemasan berkiblat dari belakang. Seketika aku menyadari napas api sang naga sudah di punggungku. Mungkin itu sebabnya aku berbalik. Jika harus mati, aku tak mau mati sebagai pengecut! Akan kuhadapi maut secara empat mata.

Kurang dari sedetik lagi semburan neraka itu menjangkauku … tapi tidak. Lidah api tersebut seolah membeku di udara. Panasnya pun sirna meski cahayanya tetap terang-benderang. Begitu pula tetesan air, mereka mengambang begitu saja di udara.

Di dalam api, takdir menanti, dari tempat yang bukan di sini dan waktu yang bukan sekarang, kata-kata seorang anak perempuan memandu lenganku ke gelombang bara, anehnya terasa hangat nan lembut, tanpa sedikit pun membakar.

Masih diliputi keheranan, tanganku menarik keluar sebuah pedang, seakan tahu benar senjata itu ada di sana, tersembunyi di balik nyala inferno. Dan betapa aku takjub melihatnya. Bilahnya yang bermata ganda berkilau biru cerah, dengan panjang melebihi 1,5 meter dan lebar sekitar sejengkal. Lebih aneh lagi, peganganku di gagangnya terasa mantap serta familiar, seolah ini bukan yang pertama kali ... seolah aku memang terlahir untuk menggenggamnya.

Suara tadi mengudara lagi, Tengoklah sang kesatria berpusaka kencana, aduhai gagah perkasa, tapi apalah guna jika masa pula berjaya?

Sudah jelas itu adalah sebuah peringatan. Tak pelak aku meningkatkan kewaspadaan karena aliran waktu berangsur normal. Gelombang panas tersebut pun kembali melaju. Enteng saja tubuhku bergerak mengayunkan pedang secara vertikal hingga menghantam tanah, membuat semburan api terbelah dua bak arus sungai melewati karang.

Di belakangku, kakakku menjerit ketika serangan itu melintas. Kendati demikian, aku tahu aku telah membelahnya cukup lebar hingga takkan melukai Salva dan Ed. Tetap saja akhirnya pancaran ganda tadi menghantam rumah, menghasilkan dentuman sedang berpadu bunyi kaca jendela berderak pecah.

Ketika mengembalikan badan ke posisi tegak, benakku mendadak dipenuhi kelebat gambaran aspek-aspek pertarungan pedang: berbagai cara menggenggam gagang baik satu tangan atau dua, beragam kuda-kuda ofensif, defensif atau tipuan, bermacam pola pergerakan kaki untuk menebas, menusuk, menangkis, dan menghindar. Ditambah variasi penerapan dalam pertarungan melawan satu musuh atau lebih, kesemuanya memberiku opsi tak terhingga.

Sebagai pelengkap, sebuah sensasi aneh menjalari otot-ototku, membangunkan mereka dari segala kejemuan rutinitas membosankan. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi dan apa penyebabnya, tapi kurasa aku tak peduli. Satu hal sudah jelas bahwa aku jauh lebih kuat, lebih cepat dan lebih mematikan daripada aku beberapa menit lalu. Dan sekarang, aku ingin membantai seekor naga.

“Bawa Ed jauh-jauh,” aku terkesima sendiri merasakan gelegar dahsyat di balik ucapanku.

Meski takut dan bingung menghias parasnya, anggukan Salva membuatku kembali memfokuskan diri pada lawan. Pandangan kami beradu. Dari balik sepasang mata keemasan itu, dia tengah mengukur kekuatanku. Jika begitu, kupastikan penampilanku takkan mengecewakan.

Petir membelah langit menjadi penanda dimulainya duel kami. Kedua kakiku menyentak, mengirimku melaju ke arahnya dengan kecepatan luar biasa. Meski begitu, tak sesaat pun aku kehilangan kendali, terbukti dari betapa mudahnya aku bersalto menghindari terkaman moncongnya.

Target pendaratanku adalah punggung lehernya. Bukan hal sulit karena kini aku telah menungganginya. Tanpa buang waktu, dia berupaya menggarukku dengan salah satu tungkai depan. Organ tersebut langsung merasakan bacokan pedang dan senjata itu kemudian kubenamkan dalam-dalam di sisi lehernya. Yang bisa kulakukan berikutnya hanyalah berpegangan erat pada tanduknya karena sang naga meraung dan berontak dalam kesakitan, persis hewan rodeo.

“Salva, awas!” aku menjerit panik karena monster ini makin meronta-ronta mendekati saudariku yang masih menyeret Edward.

Ketakutanku hampir menjadi kenyataan, namun di detik terakhir sayap selaputnya terentang dan dia pun mengudara membawaku bersamanya. Si kadal raksasa terbang ugal-ugalan, berguling, menanjak dan meliuk sembari terus menggoyangkan leher untuk menjatuhkanku.

Sadar keadaan bisa memburuk seandainya dia terus menambah ketinggian, aku mengambil tindakan drastis. Dengan tangan kanan, kucabut pedang lalu kutusukkan lagi berulang kali. Lengkingan perihnya terdengar, lalu sunyi karena sepasang sayapnya berhenti mengepak. Kami pun mulai menukik deras ke bawah.

Aku tak tahu apa dia pingsan atau mati, tapi aku takkan jatuh bersamanya. Sigap kuposisikan kedua kaki di atas lehernya, membuatku kini sedikit berjongkok menyamping dengan tangan kiri masih memegang tanduk. Ini agak mirip naik papan seluncur, hanya saja papannya bersisik, besar, berdarah-darah dan kini meluncur ke Bumi dengan kecepatan tinggi. Meski begitu aku sama sekali tak cemas karena yakin sepenuhnya timing-ku pasti sempurna.

Begitulah. Sekitar 2 meter dari tanah, aku meloncat tinggi sementara dia terhempas keras dan terjungkal menghantam pepohonan. Bagiku duel ini sudah selesai.

Namun mendadak tubuhku mematung di udara sementara suara misterius itu kembali berkumandang, Bunuh si buruk rupa, selamatkan si cantik.

Tapi, meski mirip, aku yakin pemilik ucapan ini berbeda dari yang tadi, bagaimana jika si buruk rupa ada dua?

Ketika itulah angin menderu di depanku dan seekor naga lain menyeruak menembus kegelapan. Aku sempat mengadu pedangku dengan cakar-cakar tungkai belakangnya. Dan aku terkesiap kala menyadari dia terbang tepat ke arah Salva.

“Salva!” jeritku sambil mendarat ketika pilar panas keemasan terbentuk sempurna sampai ke tanah, membakar barisan cemara dan makin mendekati Salva serta Edward.

Semua sudah terlambat. Tiada yang bisa kuperbuat. Embusan api itu melewati keduanya tanpa ampun, menyisakan jejak kobaran bara yang tinggi dan bergejolak.

Tangisanku mengalir, hatiku menolak percaya, tapi nalarku memastikan tak perlu ada pemikiran muluk tentang betapa Salva pasti selamat, lari atau apa. Saudariku sudah mati! Cengkeramanku di gagang pedang mengencang untuk satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang.

Baru saja aku hendak menerjang demi membalaskan dendam, bisikan-bisikan keparat itu mencegahku, Mudah sekali.

Minta saja si cantik ikut bertarung.

Pada saat itulah tembok api bergolak sebelum tercerai-berai ke segala penjuru. Salva berdiri tanpa terluka sedikit pun dan tangan kirinya mengusung sesuatu yang menyerupai sepucuk senapan besar. Matanya pun bersinar keperakan sedangkan rambut ikalnya melambai-lambai. Sungguh kecantikan yang sempurna.

Dengan senyum manis terkembang, dia melangkah anggun ke tempatku. Kubalas senyumannya sembari turut berjalan mendekat. Ketika kami akhirnya berhadap-hadapan, aku bisa melihat jelas senjata Salva. Tak salah lagi, itu senapan hitam panjang berlaras ganda, satu di atas yang lain. Masing-masing mulutnya sekitar sekepalan tangan, membuatku agak bertanya-tanya soal kaliber dan jenis peluru yang digunakan. Satu lagi keunikannya adalah di ujung popor terdapat rangkaian bilah belati, sambung-menyambung membentuk seutas cambuk logam.

Biawak lawan naga.

Siapa yang akan menang?


Salva mengangkat senapannya ke samping tanpa menoleh sedikit pun dan kami menjawab serempak, “Biawak.”

Seberkas sinar sewarna darah melesat dahsyat dari senjata tersebut dibarengi letusan serupa lengkingan orang mati. Getaran ledakan kencang yang terjadi sesaat kemudian menandakan serangan tadi telah meluluhlantakkan naga pertama.

Kami mendongak sementara naga kedua meraung getir di atas sana, mungkin sadar dirinya kini tak lebih dari seekor mangsa. Kembaranku melompat kecil dan tubuh langsingnya melayang gemulai. Senjatanya membidik angkasa. Aku tahu, aksinya pasti seru!

Dan terjadilah. Setelah tembakan pertama, saudariku lenyap dari pandangan dan seketika muncul di sisi langit yang lain. Tembakan kedua disusul yang ketiga dari tempat berbeda. Begitu terus, makin lama makin cepat hingga kini muncul belasan Salva, menembakkan senjatanya bersamaan. Hasilnya adalah hujan cahaya merah dari bawah ke atas ditingkahi lolongan-lolongan alam lain, mustahil dihindari target kami.

Aku sendiri telah meluncur di antara kilatan-kilatan maut. Liukan terbang dan akselerasi kecepatanku benar-benar mulus. Sekian banyak proyektil energi Salva mudah saja kuhindari. Seperseratus detik kemudian, pedangku menebas lehernya dan apa pun yang tersisa dari naga itu dihancurleburkan oleh serangan kakakku.

Kami berdua mendarat bersamaan, saling memberi penghormatan dengan mengangkat senjata masing-masing di depan wajah. Seringai kemenangan turut pula mencuat di wajahku dan Salva.

Ah, betapa digdaya para penakluk, mendadak tubuh kami ambruk begitu saja, kehilangan daya dan terbebani letih luar biasa.

“Tetapi tetap saja terkungkung jasad fana nan busuk,” bisikan itu menjelma menjadi sesuatu yang nyata … dan dewasa, amat berbeda dari lirih suara anak perempuan yang kami dengar sebelumnya.

Dari tempatku terkulai, akhirnya aku melihatnya. Sepasang siluet tersebut tampak familiar, tinggi langsing proporsional berikut lekuk kewanitaan sempurna, menandakan absennya busana. Rambut mereka tergerai, juga terasa akrab: yang satu lurus, yang lain ikal.

Si rambut lurus mendekat lalu mudah saja membopongku, “Waktu yang dijanjikan telah tiba.”

Mulutku terkunci dan aku hanya bisa membelalak melihat parasnya. Wajah oval itu, sepasang mata bulat itu, hidung bangir itu, rambut lurus kecokelatan itu, semuanya sama persis dengan yang selalu kulihat dalam cermin.

Dia mengangguk, mungkin membenarkan apa yang kulihat, “Saatnya pulang ke dunia kita.”

Sementara aku masih bingung soal kemiripan luar biasa ini dan makna di balik kata-katanya, segumpal cahaya terang meliputi kami. Dia pun membubung membawaku. Sadar aku terlalu lemah untuk berontak, aku menengok dan mendapati Salva juga tengah dibawa mengangkasa oleh wanita yang sama persis dengannya.

Meski jaraknya agak jauh, aku dan saudariku berpandangan. Tatapan sendunya mengungkapkan isi benaknya, bahwa kami takkan pernah kembali.
 
Lanjut lagi aaaaahhh :D


Bab 3: Coram Deo

Halaman belakang yang porak poranda ini kosong. Pemadam kebakaran serta para penyelidik baik dari kepolisian atau dari organisasi tempatku bernaung sudah lama pergi. Begitu pula penyebab kekacauan ini. Apa pun makhluk tersebut, dia lenyap tanpa jejak sama sekali … begitu pula Vara dan Salva.

“Ed, lu yakin itu bukan buruan kita?” Anjas bertanya dari belakang.

Kuamati jejak raksasa di permukaan tanah, ukurannya sekitar tiga kali lipat lebih besar dari telapak tanganku, “Iya, baunya beda.”

Aku bangkit lantas menginspeksi keadaan. Hanya beberapa batang cemara yang tetap berdiri utuh, sebagian hangus, sedangkan sisanya tumbang. Lampu-lampu taman juga bernasib serupa, cuma satu satu dua saja yang masih berfungsi, mengakibatkan suasana nyaris gelap gulita.

Monster yang menghasikan kerusakan di sini memang berukuran besar, bersayap pula. Meski demikian, aku tahu dia bukan dari spesies yang biasa kami buru. Selain baunya, ada satu hal lagi yang meneguhkan keyakinanku.

Kubalikkan badan, “Njas, lu inget soal riak yang pernah gue ceritain?”

Siluet itu mencabut rokok dari mulutnya, “Kekuatan lu, kan?”

“Iya.”

Aku dan saudara-saudaraku memiliki bakat istimewa. Adikku yang satu ini, Anjas, memiliki kekuatan telekinesis di luar akal sehat. Punyaku lebih unik yaitu kemampuan merasakan riak aneh melintasi sela-sela jariku, gelombang transparan menerpa wajahku, juga kecipak misterius yang kadang dihasilkan langkahku. Aku selalu merasa kekuatanku sia-sia karena tidak jelas apa kegunaannya, tapi rangkaian kejadian malam ini telah menunjukkan hal yang sangat menarik.

“Memangnya kenapa?” tanyanya santai sambil mengembuskan asap.

“Gue ngerasain riak yang sama sebelum monster itu muncul,” kataku.

Dia bengong sesaat, “Maksud?”

Meski tidak gatal, kugaruk kepalaku, “Gimana, ya? Gue gak ngeliat langsung, tapi kayaknya dia keluar dari riak itu.”

Anjas bengong lagi, “Maksud?”

Malas meladeni ketololannya, aku menjelaskan sebisaku, “Gini, selain di sekitar badan gue, gue gak pernah ngedeteksi keberadaan riak di tempat lain, tapi malam ini beda. Gue bisa ngerasainnya, jelas, sama kayak gue ngerasain itu kampret keluar dari sana.” Melihat adikku masih mematung, aku menambahkan, “Kalo lu tanya ‘maksud’ lagi, sumpah, gue tonjok!”

Lawan bicaraku terkekeh, “Kesimpulannya?”

Nah, aku jadi ragu sendiri, “Kayaknya ... kayaknya, sih, dia dari tempat atau dunia lain terus Vara sama Salva dibawa ke sana.”

“Kenapa mikir gitu?”

Telunjukku mengarah langit, “Sampe sekarang, sekitar 10 meter di atas kita masih ada riak yang gede banget dan bau Vara Salva juga putus di sana. Asumsi gue, riak ini ada hubungannya sama teleportasi, dimensi atau apalah.”

Kepalanya mendongak, tapi pasti dia tidak melihat apa pun di sana, “Terus lu mau ngapain sekarang?” selidiknya sambil kembali mengisap rokok.

“Gue mau nyusul. Kekuatan gue pasti ada gunanya untuk hal-hal kayak gini,” jawabku mantap.

“Gue ikut,” enteng saja Anjas menanggapiku.

Respons yang demikian sudah kuperkirakan, “Lu percaya sama ocehan gue?”

Bayangan di depanku mengangkat bahu, “Nggak ada alasan untuk nggak percaya.”

Baiklah kalau begitu, “Gak boleh,” suaraku menegas, “gue aja gak tau risikonya buat gue, apalagi buat lu yang gak bisa ngedeteksi riak.”

“Memangnya lu mau nyusul kayak gimana?” tanyanya skeptis, mungkin kesal karena kularang.

“Gue mau coba-coba dulu, siapa tau bisa.” Kuambil kunci mobilku dari saku celana lalu kulempar padanya, “Kalo berhasil, tolong jagain mobil gue.”

Ditangkapnya benda itu, “Kalo berhasil dan lu nggak balik-balik, mobil lu gue jual.”

Kami tertawa. Aku mulai berkonsentrasi. Gelombang yang melintasi tanganku pelan-pelan mengumpul. Sejak dulu aku bisa memanipulasinya dengan pikiran, tapi selalu gagal menemukan kegunaannya. Mungkin kali ini aku bisa tahu tujuan dari kekuatan yang kumiliki.

Saat aliran tembus pandang tersebut kian cepat mengumpar di sekitar jemariku, Anjas membuang puntung rokoknya, “Cih, rasanya nggak enak, pait.”

Aku menyeringai, “Lah, kenapa juga lu pilih keretek? Coba yang mentol.”

Pemuda 19 tahun itu menggeleng, “Gue udah ilang minat sama rokok.”

Kini jari-jari tanganku bagaikan dibungkus tornado tak kasatmata. Untuk melengkapinya, cakar-cakarku mengeras menajam. Aku siap, tapi sebelum itu, “Njas,” kuutarakan kegelisahanku, “gue udah bilang, kan, tadi gue pingsan?”

“Iya, dan gue yakin bukan gara-gara nabrak pohon doang,” kecemasan memenuhi suaranya.

“Gue juga mikir gitu. Rasanya kayak ada yang ngintervensi terus mutusin otak gue.”

“Kalo lu mau gue ikut, bilang aja,” katanya datar.

Kutatap adikku yang sayangnya lebih tinggi 13 sentimeter dariku, “Gak, gue cuma mau minta izin untuk …” inilah bagian terberatnya, “make kekuatan gue seandainya dibutuhin.”

Dia menghela napas, tentunya memahami maksudku, “Lakuin apa yang perlu lu lakuin, gue percaya sama penilaian lu. Itu aja.”

Mau tak mau aku tersenyum, “Thanks, Bro.

Pandanganku beralih ke atas. Aku tak bisa melihatnya, tapi jika kupejamkan mata, di sana riak-riak mewujud dalam kegelapan, berpusat pada satu titik.

Sekarang atau gak sama sekali!

Setelah mengambil ancang-ancang dan memusatkan kekuatan pada pijakan, aku meloncat. Kini cakar kananku menghujam deras tepat menuju titik tersebut. Entah apa ekspektasiku sampai ke sini atau tidak, yang jelas, seranganku menembus sesuatu yang nyata; tidak terlihat, tapi ada. Aura dingin langsung menjalari badanku. Selain itu aku bisa merasakan riak-riak merapat, menjepit kencang jemariku seolah hendak memutuskannya demi menutup diri secara paksa.

Dengan satu lengan tergantung di langit, pilihanku cuma mengirimkan cakar kiri untuk menggedor riak itu habis-habisan. Lambat laun, indraku mendeteksi sebuah celah membuka dan aroma parfum kedua bersaudari itu menguar dari dalamnya.

Tungguin gue, Var! Gue dateng!


***


Kehangatan menyapu wajahku dan riuh kicau burung menyapa telinga. Sepoi-sepoi angin turut membelai kulit sedangkan wangi bunga menggoda hidung. Cahaya redup itu pun memenuhi pandangan, namun kelopak mata terus terkatup erat.

“Tuan,” seorang gadis berkata dari sebelah kanan, “sepertinya dia mau bangun.”

“Kalau begitu, bukakan kelambunya,” di tempat agak jauh, pria yang dimaksud memberi tanggapan, sopan dan ramah.

Dengung halus diiringi suara rel tirai disingkap teratur. Kehangatan kian menjadi dan sinar tadi bertambah terang. Meski begitu, aku tetap terpejam.

“Tuan, pelupuknya berkedut, apa saya harus membantu membukakannya?”

“Biarkan saja.”

Sesaat kemudian, “Tuan, saya bosan. Saya bukakan.”

“Sabar sedikit, Ri. Jika bangun saja tidak bisa, apa gunanya dia hidup?”

Ucapan laki-laki itu dingin, membangkitkan sebuah ketakutan yang amat nyata. Bagaimana jika aku harus menghabiskan sisa hidup seperti ini, terbujur tak berdaya dan tanpa kendali atas tubuhku sendiri? Tidak bisa begitu! Aku harus terjaga!

“Tuan, detak jantung dan rasio respirasinya meningkat.”

“Salva,” mengabaikan ucapan si gadis, sang lelaki memanggilku, menenangkanku, “pelan-pelan saja, jangan buru-buru.”

Bak mematuhi permintaannya, lapisan kulit yang menutupi pandanganku perlahan membuka. Awalnya kabur, hanya tampak kabut kelabu, menaungi dan melingkupi penglihatanku.

“Ciri, tolong set ranjangnya.”

“Baik, Tuan.”

Mulai dari bagian punggung ke kepala, tempat tidurku melipat ke atas, membuatku duduk bersandar nyaman. Sesosok bayangan putih dengan mata biru besar muncul di sampingku. Makhluk itu mengamatiku, lantas mengantarkan salah satu jarinya menyusuri pipiku. Kubiarkan aksi tersebut karena sepertinya dia penasaran, tapi mustahil aku tak merasakan betapa sentuhannya dingin, sama sekali berbeda dari manusia.

“Hantu?” aku bertanya-tanya, bukannya takut atau apa, cuma heran.

Figur tersebut terkikik, “Bukan, matamu belum fokus,” tangannya kemudian hati-hati memegang daguku, “perlu dirangsang sedikit,” dan mengarahkan kepalaku agar menatap lurus ke depan, persis yang dilakukan kapster salon langgananku.

Dalam posisiku sekarang, pancaran kemerahan yang lembut dan tidak menyilaukan menerpaku. Itu pasti matahari terbit. Dan benar, lambat laun semuanya menjadi jelas.

Sedikit ke kiri dari hadapanku, seseorang duduk di kursi besar berlapis kulit kecokelatan. Yang bisa kulihat hanyalah siku berbalut pakaian putih pada sandaran lengan. Dugaanku dia adalah pemilik suara laki-laki tadi.

Di latar belakang, tampak lembah membentang hingga pegunungan berselimut gumpalan awan jingga. Itu dan bibir jurang beberapa langkah dari furnitur tempat sang pria menikmati paginya meyakinkanku bahwa kami sedang berada di sebuah dataran tinggi.

Kutolehkan kepalaku ke kanan untuk lebih mendapat gambaran mengenai lingkungan sekitarku serta gadis hantu tadi. Dia di sisi tempat tidur, berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang seolah menyuruhku mengamatinya baik-baik. Dan itulah yang kulakukan.

Selain perut dan persendiannya yang hitam berkilap, sekujur tubuhnya putih metalik, persis cat mobil. Perawakannya seperti gadis remaja, lengkap dengan tonjolan serupa payudara di dada. Bagian pinggang sampai pangkal pahanya sedikit melebar, menimbulkan impresi dia mengenakan rok mini. Wajahnya rata tanpa hidung, mulut dan telinga, hanya ada sepasang mata besar nihil pupil dan berpijar biru laksana lampu neon. Selain itu, dari ubun-ubunnya, dua lempeng logam menjuntai mendekati panggul, sekilas mirip rambut dikucir dua.

Lengannya terulur, “Perkenalkan,” suaranya jernih, seolah tidak teredam atau terhalang sesuatu, “namaku Ciri.”

“Salva,” balasku sambil menjabat tangannya seraya memberi penilaian, Gadis aneh berkostum robot … atau robot betulan.

Setelah bersalaman, dia mengamatiku, “Kau tidak bertanya apakah ini kostum ataukah aku benar-benar robot?”

Aku bengong.

Si ‘robot’ mencerocos, “Biasanya, sih, orang-orang langsung nanya, ‘Eh, itu kostum, kan?’” Dia bersedekap, “Gue paling benci kalo ditanya kayak gitu, emangnya gue ….”

“Ciri, perhatikan bahasamu,” pria itu menyelanya.

“Baik, Tuan,” dia membungkuk dan berbisik, “jangan didengerin, dia emang kayak gitu, kaku, nggak asyik.”

Cengar-cengir aku dibuatnya. Terserah dia robot atau maniak kostum, pembawaannya yang ceria bersahabat membuatku langsung menyukainya.

“Ciri, aku bisa dengar,” tambah sang tuan.

Yang bersangkutan terkikik lagi, “Ya, sudahlah. Kau sudah kuat untuk turun?”

Pertanyaannya membuatku sadar bahwa badanku bugar dan pikiranku enteng, “Ya,” jawabku sambil melakukan apa yang dimintanya, di saat yang sama mendapati piyama biru polos melekat di tubuh.

Mungkin sadar aku mengamati pakaianku, Ciri angkat bicara, “Tuan sendiri yang memilihkannya untukmu. Suka?”

Meski agak sederhana untuk seleraku, aku tersenyum, “Ya,” jawabku jujur sambil mengenakan selop yang sepertinya disediakan untukku, “enak di kulit.” Pandanganku beralih ke kursi besar itu, “Kayaknya gue harus ngucapin terima kasih.”

Tangannya mengibas, “Sebenarnya tidak perlu, tapi, yah, sudah saatnya kalian bertatap muka.” Dipersilakannya aku ke arah majikannya, “Mari,” ajaknya.

Kuikuti Ciri ke kursi besar itu. Yang duduk di sana adalah seorang pria berkulit cerah dan berpakaian serba putih. Usianya kutaksir sekitar 30-35 tahun. Rambutnya cokelat, disisir menyamping, klop dengan berewok rapi yang membuat wajah perseginya nan halus mulus tampak jantan sekaligus terpelajar.

Walau begitu, ada satu hal yang agak menganggu, matanya. Hijau dan enak dipandang, tapi entah kenapa terasa kosong, seolah tiada jiwa di baliknya. Pikiran itu membuatku sedikit merinding, dan langsung terganti anggapan bahwa dia hanya tidak tertarik terhadap vista di depan kami.

“Tuan,” Ciri memanggilnya.

Sang tuan menoleh menghadapku. Sepasang bola mata tersebut seketika menyala oleh ketertarikan, minat … dan hasrat. Dalam kata lain, dia menelanjangiku dengan pandangannya, membuatku risih bukan kepalang.

“Lu nggak pernah diajarin untuk nggak melototin cewek?” tanyaku ketus.

Senyumnya terkembang, “Maaf.” Dirinya sekali lagi menikmati pemandangan dengan tatapan yang kembali hampa, menyiratkan kondisi mental yang terlepas sepenuhnya dari lingkungannya. “Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu.”

Otomatis aku tidak enak sendiri, “Bukan begitu, gue ….”

“Perkenalkan,” tangan kanannya tiba-tiba tersodor, “namaku Halesi.” Ketika aku menjabatnya, ucapannya tersambung, “dan sebelum kau menanyakan apa yang terjadi, di mana kau sekarang, bagaimana keadaan Vara, Edward, Omen, dan Tante Lus, ketahuilah bahwa kau sekarang berada di rumah sendiri.”

Mendadak otakku bekerja di luar kendali. Serta merta aku teringat pertarungan melawan naga serta sepasang penculik yang benar-benar menyerupai aku dan Vara. Sontak aku bingung soal tempatku berada sekarang. Tiba-tiba aku mencemaskan keselamatan orang-orang yang kusayangi. Ada apa ini? Kenapa aku bisa lupa semua itu?

“Jangan cemas,” lagi-lagi Halesi menenangkanku, “Edward, Omen dan Tante Lus baik-baik saja. Vara juga, dan kau akan segera berjumpa dengannya.” Diakhirinya salaman antara kami, “Tapi kalian berdua takkan bisa menemui mereka lagi.”

“Kenapa?” sergahku.

Tanpa jawaban, dia menunjuk lembah. Mataku otomatis mengikuti. Bentangan hijau kini tampak jelas berikut puluhan batang pohon yang jauh lebih besar dan menjulang lebih tinggi dibanding yang lain.

Mulutku menganga, “A … apa ini?”

Pada tetumbuhan raksasa tadi terdapat pencakar langit sejenis yang biasa kulihat di kota-kota besar di seluruh penjuru dunia, menyatu sempurna bagaikan diukir langsung pada batangnya. Bentuk tiap bangunan berbeda: ada yang mengusung gaya arsitektur Yunani kuno berikut pilar-pilar berwujud patung wanita, ada yang persegi biasa saja namun beratap kubah, ada pula yang serupa katedral gotik berjendela-jendela besar melengkung dihias kaca mozaik warna-warni. Persamaan mereka adalah semuanya memiliki celah-celah tempat begitu banyak dahan dan cabang berukuran masif menjulur memanjang.

Tak hanya itu, di seluruh penjuru lembah aku dapat melihat puncak dari gedung-gedung lain yang lebih kecil menyembul dari sela-sela kerimbunan. Jalan-jalan layang pun tampak seperti jembatan yang pangkal dan ujungnya terbenam lautan dedaunan. Sinar ratusan atau bahkan ribuan lampu turut pula menerobos dari balik lebatnya hutan. Kawanan burung beterbangan, suara-suara satwa asing serta deru baling-baling yang mungkin dari helikopter di kejauhan makin memperkuat nuansa kemegahan metropolis berpadu keliaran rimba.

“Ini adalah Kota Bumi,” kata Halesi.

Antara ragu dan tak percaya, kugaruk kepala, “Kita di Lampung? Yang bener aja.”

Ciri mengikik. Halesi berdeham. Suasana kembali sunyi.

“Aku tidak membantah bahwa memang ada tempat bernama Kotabumi di negara tempat tinggalmu, di dunia sana.” Dia melirik dan sekilas tatapannya kembali berapi-api, “Sayangnya, kita sekarang berada di dunia yang sama sekali berbeda. Itu sebabnya kalian tidak bisa bertemu mereka lagi.”

Ucapannya sangat berbelit-belit dan membingungkan, “Beda dunia? Maksud lu apa, sih?”

“Maksudku, kalian takkan kembali ke sana, tapi seperti yang sudah kubilang tadi, di sinilah kau seharusnya berada.”

Penjelasannya makin membuatku kesal, “Lu udah gila kali, ya? Mentang-mentang lu ngebawa gue ke tempat aneh kayak gini, lu ….”

“Cukup,” pria itu memotong lalu bangkit, “sudah kuduga kau takkan mendengarkan atau menyimak jika wujudku seperti ini.”

Saat dia mulai berjalan ke arah jurang, tahu-tahu Ciri berbisik, “Hebat, ini rekor baru. Biasanya Hal paling sabar kalo lagi ngasih penjelasan.”

Aku menengok, “Maksud lu?”

Si robot putih menunjuk majikannya, “Lu boleh kaget, boleh nangis, boleh pingsan juga kalo mau, tapi tolong jangan sampe pipis di celana, itu nggak banget.”

“Hah?” masih belum memahami ucapannya, otomatis aku memandang pria itu.

Apa yang kusaksikan sungguh mengejutkan. Matahari kini bulat sempurna, panas dan cemerlang sementara awan hitam berpusar cepat mengelilinginya sambil terus-menerus menyemburkan halilintar. Kendati demikian, fenomena luar biasa itu bagaikan remeh dibandingkan figur yang melayang anggun di pusatnya.

Tanpa bisa kukendalikan, air mataku mengucur menyaksikan transformasi Halesi. Posturnya yang maskulin kini melembut, menonjolkan karakteristik kewanitaan. Rambutnya tumbuh mengombak sedangkan cambangnya sirna. Kemeja dan celananya meleleh melebur, membentuk gaun lurus panjang dengan permainan renda di sekitar dada serta draperi pada bagian pinggang yang mengembang laksana sayap bidadari.

Sosok tersebut memancarkan keagungan yang bahkan melebihi bola api raksasa di belakangnya, membuat jiwaku seakan nyaris melayang hanya melihat dan merasakannya. Anehnya, entah bagaimana benakku mengenali dirinya. Kekuatannya, kelembutannya, kekejamannya, kasih sayangnya, kemurniannya, korupnya. Semua mendefinisikan keberadaannya dalam cara yang sama sekali di luar pemahamanku.

Namun, ada satu hal yang mustahil terbantahkan. Wajahnya … wajahku.

Sangat perlahan, kedua lengannya terentang dan bersamaan aku merasakan tangan-tangan perkasa tak kasatmata di pipiku. Tangisanku makin menjadi-jadi terdorong oleh ketakutan dan perasaan lemas yang menyesakkan. Walau begitu, aku tidak bisa berpaling sedikit pun dari sepasang matanya yang keperakan, yang kuyakini melihat segala.

Salva, bisikannya halus, tapi mendera seperti cambuk tajam tipis … dan aku tahu suara itu serupa dengan yang selalu keluar dari mulutku, takutkah engkau padaku?

Aku gagal menjawab. Separuhnya karena terlalu takut, separuhnya lagi karena sadar Halesi tidak membutuhkan jawaban karena maha mengetahui.

Pantang bagiku untuk melukaimu, karena itu, tolonglah percaya padaku. Apakah engkau percaya padaku, Salva?

Susah payah aku mengangguk sekilas saja. Jujur, tak terpikir olehku untuk memberikan respons lain.

Terima kasih, senyuman menghiasi parasnya, memberiku kelegaan luar biasa.

Lambat laun awan hitam menelan dirinya dan menutupi matahari. Seketika aku tersadar. Sekujur tubuhku dibanjiri keringat dingin sedangkan sisa tangisan masih membekas di pipiku. Aku menoleh dan mendapati Halesi, dalam wujud pria, duduk di kursinya, seolah tidak pernah beranjak dari sana.

“Apakah sekarang kau mau mendengarkan penjelasanku?” tanyanya sopan meski tidak repot-repot melepaskan pandangannya dari lembah.

Kepalaku mengangguk lemah. Kurasa aku tidak punya pilihan.

“Sebelum itu,” lirikan yang dilemparkannya kepadaku agak mengganggu, “Ciri, tolong siapkan pakaian ganti untuk Salva.”

Secara naluriah aku mengecek apa yang dilihat oleh Hal. Wajahku mendadak panas sampai telinga. Jeritan histerisku terlepas begitu saja sementara Ciri terbahak-bahak. Penyebabnya sederhana yaitu sebuah noda basah besar ditemani kehangatan memuakkan … di selangkanganku.
 
Back
Top