nurcahyo
New member
1.000 Hari Bangun Taman Koi
Roy Andre Da Costa
Oleh admin
Dalam ending cerita Loro Jonggrang dikisahkan Bandung Bondowoso gagal membuat 1.000 candi karena termakan muslihat Loro Jonggrang. Candi itu genap berjumlah 1.000 buah setelah Bandung Bondowoso yang murka alih-alih mengutuk Loro Jonggrang menjadi candi. Sebaliknya, taman koi milik Roy sudah selesai dibangun dalam kurun 2 tahun sejak survei pertama dilakukan. Setahun berikutnya dihabiskan Roy untuk mempercantik taman koi lewat sentuhan-sentuhan kreasi: menghadirkan beragam tanaman hias dan klangenan.
Taman kolam koi berkapasitas 3.000 ton itu sungguh indah. Kolam berukuran 60 m x 20 m berkedalaman 3 m itu dirancang melengkung seperempat putaran jarum jam ke arah sebuah sungai dengan air terjun mini setinggi 1,5 m. Sebuah jembatan kayu setengah melengkung dibangun melintasi tengah kolam. Pemandangan di kolam yang berisi sekitar 50 koi jumbo, di atas 70 cm, itu semakin eksotis. Tembok-tembok bersudut yang dibuat mengitari sebagian sisi kolam menggunakan batu-batu kali bercorak gelap.
Taman seluas 3.000 m2 itu dipermanis dengan 2 sangkar besar berisi jenis-jenis burung nuri dan lovebird. Kembang sepatu dan palem-paleman tampak ditanam mengelilingi kolam. Sebuah gazebo seluas 20 m2 berjarak sekitar 5 m dari kolam dibangun di atas tanah yang lebih tinggi. “Itulah impian saya selama bertahun-tahun,” ujar Roy.
Baturaden
Menurut pengacara dan konsultan hukum hak cipta dan merek dagang di Bandung itu, ide membuat taman koi mulai menemukan titik terang pada akhir 1999. Waktu itu ia secara tidak sengaja singgah di Purwokerto sehabis mengurus pemakaman sang mertua di Yogyakarta. “Saya ingat punya teman sesama hobiis di sana. Setelah ditemani berputar-putar kok sepertinya cocok membangun kolam di sini,” ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Kristen Parahyangan Bandung itu.
Empat pekan berselang, Roy sudah rajin bolak-balik—minimal sebulan 4 kali—dari Bandung ke Kota Satria itu. Sebelas bulan lamanya pencarian lokasi itu dilakukan hingga akhirnya Roy menemukan 3 lokasi di Baturaden yang dianggap cocok. Semua tempat itu memiliki ciri pertemuan antara saluran irigasi dan sungai. Setelah disurvei ulang, pilihan jatuh di Desa Kemutugkidul, Purwokerto. Lokasi itu dipilih karena dekat sungai yang memiliki air melimpah.
Semula lokasi itu berupa sawah yang dikelilingi semak belukar dan bambu tinggi. Meski demikian tidak sangka selama pembersihan dilakukan didapati sungai itu memiliki 2 air terjun berdekatan dengan ketinggian air 1,5 m dan 10 m. Dua air terjun itu kemudian menjadi milik Roy setelah bertahap ayah 3 putra itu memperluas kepemilikan lahan dari semula 3.000 m2 menjadi 6 ha. “Bila digabung dengan jurang-jurang yang ada, luas tempat itu mencapai 10 ha,” ujarnya.
Dua tahun
Kolam pertama dibangun pada 2000. Kolam berkapasitas 3.000 ton itu dikerjakan 40 tenaga kerja selama hampir setahun penuh. Lamanya pengerjaan itu lantaran pondasi kolam berukuran 60 m x 20 m itu harus dibuat sekokoh mungkin. Maklum selain rawan terkikis akibat bersebelahan dengan sungai, posisi dasar kolam sedalam 2,5 m itu lebih rendah daripada dasar sungai. Agar aman, ketebalan dinding dan dasar kolam mencapai 80 cm dan 30 cm. Pengerjaan itu menyedot biaya Rp800.000/m2.
Setelah kolam utama jadi, 4 kolam lain berjarak 50 m dibangun secara berturutan. Sebuah kolam berkapasitas 200 ton, sisanya masing-masing 100 ton. Kolam-kolam itu dipakai sebagai tempat menyeleksi koi yang akan dipindahkan ke kolam utama dan tempat lelang ikan apkir. “Koi-koi yang ditaruh di sini gampang sekali tumbuh besar. Dari ukuran 20 cm sampai mencapai 60 cm hanya membutuhkan waktu setahun. Itu bukan jenis jumbo,” papar suami Ria Mulyati Irawan itu. Normalnya jika bukan jumbo dalam setahun ia hanya mencapai panjang 50—51 cm.
Kualitas air kolam bagus, pH 6,5—7 dan dH kurang dari 1. Meski demikian untuk berjaga-jaga perangkat fi lter tetap disiapkan. Kolam utama mengandalkan air sungai yang jernih. Sebuah pipa berdiameter 6 inci tersambung langsung ke air terjun sungai. Karena posisi sungai di atas, sekitar 50% air di kolam terus-menerus terganti setiap hari. Kolam lain berkapasitas kecil memanfaatkan air tanah.
Menurut pria berdarah Portugis itu kini seluruh koleksi koi-koi di taman itu mencapai 300 ekor. Tujuh puluh persen di antaranya didominasi kelompok gosanke. Mereka rata-rata sudah berukuran 40—80 cm. Bahkan koi terbesar berukuran panjang 97 cm. Koi-koi yang dibeli seharga Rp13-juta—Rp45-juta per ekor saat berukuran 15—25 cm semua impor. Maklum setahun 2—3 kali, kakek 1 cucu itu rajin mengunjungi penangkar besar di Jepang untuk melengkapi isi kolamnya.
Kini koleksi Roy Andre Da Costa sudah bertambah berkat kolam alam nan indah di Purwokerto. Nasibnya tidak seperti Bandung Bondowoso yang gagal mempersunting Loro Jonggrang gara-gara 1.000 candinya tidak selesai dibuat. (Dian Adijaya S)
Roy Andre Da Costa
Oleh admin
Dalam ending cerita Loro Jonggrang dikisahkan Bandung Bondowoso gagal membuat 1.000 candi karena termakan muslihat Loro Jonggrang. Candi itu genap berjumlah 1.000 buah setelah Bandung Bondowoso yang murka alih-alih mengutuk Loro Jonggrang menjadi candi. Sebaliknya, taman koi milik Roy sudah selesai dibangun dalam kurun 2 tahun sejak survei pertama dilakukan. Setahun berikutnya dihabiskan Roy untuk mempercantik taman koi lewat sentuhan-sentuhan kreasi: menghadirkan beragam tanaman hias dan klangenan.
Taman kolam koi berkapasitas 3.000 ton itu sungguh indah. Kolam berukuran 60 m x 20 m berkedalaman 3 m itu dirancang melengkung seperempat putaran jarum jam ke arah sebuah sungai dengan air terjun mini setinggi 1,5 m. Sebuah jembatan kayu setengah melengkung dibangun melintasi tengah kolam. Pemandangan di kolam yang berisi sekitar 50 koi jumbo, di atas 70 cm, itu semakin eksotis. Tembok-tembok bersudut yang dibuat mengitari sebagian sisi kolam menggunakan batu-batu kali bercorak gelap.
Taman seluas 3.000 m2 itu dipermanis dengan 2 sangkar besar berisi jenis-jenis burung nuri dan lovebird. Kembang sepatu dan palem-paleman tampak ditanam mengelilingi kolam. Sebuah gazebo seluas 20 m2 berjarak sekitar 5 m dari kolam dibangun di atas tanah yang lebih tinggi. “Itulah impian saya selama bertahun-tahun,” ujar Roy.
Baturaden
Menurut pengacara dan konsultan hukum hak cipta dan merek dagang di Bandung itu, ide membuat taman koi mulai menemukan titik terang pada akhir 1999. Waktu itu ia secara tidak sengaja singgah di Purwokerto sehabis mengurus pemakaman sang mertua di Yogyakarta. “Saya ingat punya teman sesama hobiis di sana. Setelah ditemani berputar-putar kok sepertinya cocok membangun kolam di sini,” ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Kristen Parahyangan Bandung itu.
Empat pekan berselang, Roy sudah rajin bolak-balik—minimal sebulan 4 kali—dari Bandung ke Kota Satria itu. Sebelas bulan lamanya pencarian lokasi itu dilakukan hingga akhirnya Roy menemukan 3 lokasi di Baturaden yang dianggap cocok. Semua tempat itu memiliki ciri pertemuan antara saluran irigasi dan sungai. Setelah disurvei ulang, pilihan jatuh di Desa Kemutugkidul, Purwokerto. Lokasi itu dipilih karena dekat sungai yang memiliki air melimpah.
Semula lokasi itu berupa sawah yang dikelilingi semak belukar dan bambu tinggi. Meski demikian tidak sangka selama pembersihan dilakukan didapati sungai itu memiliki 2 air terjun berdekatan dengan ketinggian air 1,5 m dan 10 m. Dua air terjun itu kemudian menjadi milik Roy setelah bertahap ayah 3 putra itu memperluas kepemilikan lahan dari semula 3.000 m2 menjadi 6 ha. “Bila digabung dengan jurang-jurang yang ada, luas tempat itu mencapai 10 ha,” ujarnya.
Dua tahun
Kolam pertama dibangun pada 2000. Kolam berkapasitas 3.000 ton itu dikerjakan 40 tenaga kerja selama hampir setahun penuh. Lamanya pengerjaan itu lantaran pondasi kolam berukuran 60 m x 20 m itu harus dibuat sekokoh mungkin. Maklum selain rawan terkikis akibat bersebelahan dengan sungai, posisi dasar kolam sedalam 2,5 m itu lebih rendah daripada dasar sungai. Agar aman, ketebalan dinding dan dasar kolam mencapai 80 cm dan 30 cm. Pengerjaan itu menyedot biaya Rp800.000/m2.
Setelah kolam utama jadi, 4 kolam lain berjarak 50 m dibangun secara berturutan. Sebuah kolam berkapasitas 200 ton, sisanya masing-masing 100 ton. Kolam-kolam itu dipakai sebagai tempat menyeleksi koi yang akan dipindahkan ke kolam utama dan tempat lelang ikan apkir. “Koi-koi yang ditaruh di sini gampang sekali tumbuh besar. Dari ukuran 20 cm sampai mencapai 60 cm hanya membutuhkan waktu setahun. Itu bukan jenis jumbo,” papar suami Ria Mulyati Irawan itu. Normalnya jika bukan jumbo dalam setahun ia hanya mencapai panjang 50—51 cm.
Kualitas air kolam bagus, pH 6,5—7 dan dH kurang dari 1. Meski demikian untuk berjaga-jaga perangkat fi lter tetap disiapkan. Kolam utama mengandalkan air sungai yang jernih. Sebuah pipa berdiameter 6 inci tersambung langsung ke air terjun sungai. Karena posisi sungai di atas, sekitar 50% air di kolam terus-menerus terganti setiap hari. Kolam lain berkapasitas kecil memanfaatkan air tanah.
Menurut pria berdarah Portugis itu kini seluruh koleksi koi-koi di taman itu mencapai 300 ekor. Tujuh puluh persen di antaranya didominasi kelompok gosanke. Mereka rata-rata sudah berukuran 40—80 cm. Bahkan koi terbesar berukuran panjang 97 cm. Koi-koi yang dibeli seharga Rp13-juta—Rp45-juta per ekor saat berukuran 15—25 cm semua impor. Maklum setahun 2—3 kali, kakek 1 cucu itu rajin mengunjungi penangkar besar di Jepang untuk melengkapi isi kolamnya.
Kini koleksi Roy Andre Da Costa sudah bertambah berkat kolam alam nan indah di Purwokerto. Nasibnya tidak seperti Bandung Bondowoso yang gagal mempersunting Loro Jonggrang gara-gara 1.000 candinya tidak selesai dibuat. (Dian Adijaya S)