KABUL, SELASA - Majelis Tinggi Parlemen Afganistan, Selasa (20/2) di Kabul, menyetujui sebuah rancangan undang-undang kontroversial yang akan membebaskan para "penjahat perang" negara itu dari proses hukum.
Persetujuan Majelis Tinggi itu memperkuat keputusan Majelis Rendah parlemen yang sudah menyetujui rancangan undang- undang (RUU) tersebut sekitar satu bulan lalu. Namun, RUU itu dikritik keras oleh sejumlah kelompok pembela hak asasi manusia dan kelompok oposisi di parlemen.
RUU itu masih harus mendapatkan persetujuan Presiden Hamid Karzai sebelum diberlakukan resmi sebagai undang-undang. Seorang juru bicara kepresidenan belum lama ini mengatakan, presiden tampaknya tidak akan menerima RUU tersebut.
Penegasan sikap Pemerintah Afganistan yang tidak setuju dengan parlemennya itu juga disampaikan Menteri Luar Negeri Rangin Dadfar Spanta, kemarin. "Kita mempunyai kewajiban-kewajiban internasional. Menurut hukum internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kekerasan sistematik adalah melanggar hak asasi manusia dan bukan yang bisa diberi pengampunan," papar Spanta.
Kelompok-kelompok HAM internasional mengatakan bahwa menghukum mereka yang bersalah atas kejahatan perang merupakan unsur penting untuk menciptakan perdamaian di Afganistan, yang sepanjang tahun lalu mengalami tahun paling berdarah sejak Taliban disingkirkan dari kekuasaan pada 2001.
"Mereka membiarkan orang- orang yang melakukan kejahatan memegang kekuasaan. Sebuah amnesti itu berlaku permanen, tidak bisa ditarik kembali," kata Komisaris Tinggi HAM PBB Louise Arbor.
Pastikan stabilitas
Parlemen Afganistan yang di dalamnya juga berunsurkan para mantan pemimpin mujahidin, para mantan tokoh senior komunis, dan mantan anggota Taliban memang menyetujui pemberian amnesti besar-besaran kepada seluruh warga Afganistan untuk memulai babak baru hubungan antarwarga negara itu. Amnesti itu juga berlaku bagi pemimpin Taliban dalam pelarian, Mullah Mohammad Omar, dan anggota-anggota parlemen yang dituduh terlibat dalam berbagai aksi pelanggaran.
Dalam terjemahan pasal-pasal dalam RUU yang disetujui parlemen tertulis bahwa "seluruh partai politik dan kelompok yang terlibat dalam pertempuran satu sama lain dalam dua setengah dekade terakhir tidak akan diproses secara legal maupun yudisial".
Ditambahkan, mereka harus "dimasukkan dalam proses rekonsiliasi nasional, untuk mewujudkan perdamaian di antara segmen-segmen masyarakat yang berbeda, memastikan perdamaian dan stabilitas, untuk melaksanakan dan memperkuat sebuah kehidupan baru dalam sejarah politik modern Afganistan".
RUU itu menyebutkan, mereka yang bertempur karena jihad harus dihormati dan dihargai, dan "selayaknya kebal terhadap seluruh jenis rasa permusuhan".
HRW mengkritik
Atas putusan parlemen itu, Human Rights Watch (HRW) yang bermarkas di New York menuduh Presiden Karzai dan sekutu-sekutunya melakukan kesalahan dengan berusaha mengajak para penjahat perang ke dalam pemerintahan, sebagai sebuah cara untuk memastikan stabilitas di negara itu.
"Dalam lima tahun terakhir, Pemerintah Afganistan, PBB, dan masyarakat internasional yang dipimpin AS melakukan kebijakan kontraproduktif dengan mengandalkan para penjahat perang, para pelanggar HAM, dan para pengedar obat bius ketimbang mendakwa mereka," ungkap HRW.
PBB dan Badan HAM Afganistan juga menegaskan, hanya para korban yang berhak memaafkan para pelanggar HAM.
Persetujuan Majelis Tinggi itu memperkuat keputusan Majelis Rendah parlemen yang sudah menyetujui rancangan undang- undang (RUU) tersebut sekitar satu bulan lalu. Namun, RUU itu dikritik keras oleh sejumlah kelompok pembela hak asasi manusia dan kelompok oposisi di parlemen.
RUU itu masih harus mendapatkan persetujuan Presiden Hamid Karzai sebelum diberlakukan resmi sebagai undang-undang. Seorang juru bicara kepresidenan belum lama ini mengatakan, presiden tampaknya tidak akan menerima RUU tersebut.
Penegasan sikap Pemerintah Afganistan yang tidak setuju dengan parlemennya itu juga disampaikan Menteri Luar Negeri Rangin Dadfar Spanta, kemarin. "Kita mempunyai kewajiban-kewajiban internasional. Menurut hukum internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kekerasan sistematik adalah melanggar hak asasi manusia dan bukan yang bisa diberi pengampunan," papar Spanta.
Kelompok-kelompok HAM internasional mengatakan bahwa menghukum mereka yang bersalah atas kejahatan perang merupakan unsur penting untuk menciptakan perdamaian di Afganistan, yang sepanjang tahun lalu mengalami tahun paling berdarah sejak Taliban disingkirkan dari kekuasaan pada 2001.
"Mereka membiarkan orang- orang yang melakukan kejahatan memegang kekuasaan. Sebuah amnesti itu berlaku permanen, tidak bisa ditarik kembali," kata Komisaris Tinggi HAM PBB Louise Arbor.
Pastikan stabilitas
Parlemen Afganistan yang di dalamnya juga berunsurkan para mantan pemimpin mujahidin, para mantan tokoh senior komunis, dan mantan anggota Taliban memang menyetujui pemberian amnesti besar-besaran kepada seluruh warga Afganistan untuk memulai babak baru hubungan antarwarga negara itu. Amnesti itu juga berlaku bagi pemimpin Taliban dalam pelarian, Mullah Mohammad Omar, dan anggota-anggota parlemen yang dituduh terlibat dalam berbagai aksi pelanggaran.
Dalam terjemahan pasal-pasal dalam RUU yang disetujui parlemen tertulis bahwa "seluruh partai politik dan kelompok yang terlibat dalam pertempuran satu sama lain dalam dua setengah dekade terakhir tidak akan diproses secara legal maupun yudisial".
Ditambahkan, mereka harus "dimasukkan dalam proses rekonsiliasi nasional, untuk mewujudkan perdamaian di antara segmen-segmen masyarakat yang berbeda, memastikan perdamaian dan stabilitas, untuk melaksanakan dan memperkuat sebuah kehidupan baru dalam sejarah politik modern Afganistan".
RUU itu menyebutkan, mereka yang bertempur karena jihad harus dihormati dan dihargai, dan "selayaknya kebal terhadap seluruh jenis rasa permusuhan".
HRW mengkritik
Atas putusan parlemen itu, Human Rights Watch (HRW) yang bermarkas di New York menuduh Presiden Karzai dan sekutu-sekutunya melakukan kesalahan dengan berusaha mengajak para penjahat perang ke dalam pemerintahan, sebagai sebuah cara untuk memastikan stabilitas di negara itu.
"Dalam lima tahun terakhir, Pemerintah Afganistan, PBB, dan masyarakat internasional yang dipimpin AS melakukan kebijakan kontraproduktif dengan mengandalkan para penjahat perang, para pelanggar HAM, dan para pengedar obat bius ketimbang mendakwa mereka," ungkap HRW.
PBB dan Badan HAM Afganistan juga menegaskan, hanya para korban yang berhak memaafkan para pelanggar HAM.