JAKARTA— Rais Aam PBNU KH Ma’rufAmin menegaskan, agama dan politik adalah dua hal yang saling menguatkan. Kiai Ma’ruf membenarkan pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengeluarkan pernyataan bahwa politik dan agama berhubungan..
Menurut dia, agama memang harus dipahami secara moderat, bukan radikal. “Kalau agama dipahami secara ‘moderat maka akan menguatkan, tetapi jika agama dipahami secara radikal maka akan berbenturan,” kata dia kepada Republika, Ahad
(9/4).
Kiai Ma’rufjuga membantah pernyataan Presiden Jokowi terkesan plinpian. Hal itu dinilainya lebih pada sebuah pernyataan yang belum tuntas. Agama dan politik saling menguatkan kata dia, karena keduanya saling memengaruhi. Politik di Indonesia harus mendapatkan pembenaran dan agama. Namun, ketika agama dipahami secara radilcal, maka paham agama dapat menimbulkan masalah.
Dalam pernyataannya, Presiden Jokowi menegaskan, agama sangat penting, terutama dalam dinamika politik. Agama dan politik
bersambungan tetapi dalam konteks yang benar. Menurut Jokowi,
keputusan kebijakan dilandasi
spiritualitas yang selalu diajarkan dalam Islam.
“Itu sambungannya, jadi jangan dibelokkan. Masa, politik tidak boleh behubungan dengan agama?” tutur Jokowi di Sukoharjo, Sabtu (8/4).
Kapuspininas Kementenian Agama, Mastuki, membenarkan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa agatna sangat penting terutama dalam dinamika politik. “Pernyataan Presiden benar. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius. Segala hal terkait dengan kehidupannya mendasarkan pada nilai-nilai agama,” kata dia.
Menurut Mastuki, bukan hanya urusan politik saja, bahkan makan, minum, bertransaksi, menikah, mengobati sakit, berhubungan dengan orang lain hingga urusan memilih pemimpin semua didasarkan atas pertimbangan nilai-nilai agama. Pada posisi ini antara agama dan politik tidak dapat dipisahkan. Jadi, tidak
yang salah ketika mencampurkan agama dan politik.
Namun, pernyataan sebelumnya terkait tidak mencampurkan kepentingan politik dengan agama adalah membawa atau mengatas namakan
agama.
ini seharusnya menjadi pemersatu, bukan pemecah belah. “Itu yang harus dihindari. Jadi, dipisah mana nilai agama yang luhur dengan politik yang bisa mendegradasi agama,” tegas dia.
Mastuki menambahkan, konteks pernyataan Jokowi adalah khawatir munculnya sentimen politik yang dapat merusak keberagamaan. Persatuan bangsa lebih utama dan harus diutamakan dari pada orientasi politik apalagi dengan dalih agama yang dapat memecah belah persatuan.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud menjelaskan, agama tidak sebagai komoditas maksudnya adalah agama tidak menjadi barang jualan dan malah tidak dilaksanakan. Nilai agama tetap menjadi patokan dasar hidup. Dalam politik praktis pun, agama harus dibumikan menjadi kultur atau budaya.
Budaya menjadi hukum adat dan kebiasaan. Ketaatan terhadap kultur terkadang lebih tinggi dari pada aturan positif. Seluruh aturan positif yang dijiwai nilai agama tidak akan bertentangan dengan agama.
“Dalam konteks praktis pun, nilai-nilai agama pun harus dibawa. Misalnya membuat program, tentu program yang bisa dijalankan, bukan untuk membohongi,” kata Marsudi.
Ia menutunkan, posisi Indonesia menurut para bapak bangsa adalah negara demokrasi Pancasila. Artinya, nilai-nilai agama masuk dalam kehidupan sosial melalui nilai-nilai. Dan
nilai agama i, disepakati Pancasila sebagai nilai kultur budaya yang bersumber dan nilai agama. “Kita bisa analisis, Pancasila bertentangan dengan nilai agama atau tidak,” kata Marsudi.
NU melihat Indonesia adalah negara berdasarkan nilai agama. NU melihat agama dan negana seperti dua sisi mata uang. Agama adalah nilai dasan yang jika tidak ada maka hangunan negara akan mudah roboh. Pemermntah adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada penjaganya makin mudah hilang.
“Maka keduanya hams menyätu. Nilai uniyersal ini tidak bertentangan dengan sjiariah,” kata Marsudi.
Sementana itu, ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Albertus Patty menjelaskan, politik, tidak bisa dipisahkan dan agama. Agama juga harus berpolitik.
PGI sepakat dengan pernyataan Jokowi yang tidak ingin agama menjadi instrumen politik. “Instnumentasi agama oleh oknum politisi untuk mengejan kekuasaan ini yang tidak benar,” kata Pdt Albertus.
Pdt Albertus menambahkan, agama harus berpolitik, terutama politik pelayanan. Fungsi agama adalah alat kontrol. Agama juga memberi kontribusi di negara yang plural ini agar tetap harmonis dengan tetap menjaga keadilan dan kesetanaan.
“Sehingga fungsi politik agama adalah membeni kontribusi positif
semua,” tegas dia.
• ed:
Sumber : Republika
Menurut dia, agama memang harus dipahami secara moderat, bukan radikal. “Kalau agama dipahami secara ‘moderat maka akan menguatkan, tetapi jika agama dipahami secara radikal maka akan berbenturan,” kata dia kepada Republika, Ahad
(9/4).
Kiai Ma’rufjuga membantah pernyataan Presiden Jokowi terkesan plinpian. Hal itu dinilainya lebih pada sebuah pernyataan yang belum tuntas. Agama dan politik saling menguatkan kata dia, karena keduanya saling memengaruhi. Politik di Indonesia harus mendapatkan pembenaran dan agama. Namun, ketika agama dipahami secara radilcal, maka paham agama dapat menimbulkan masalah.
Dalam pernyataannya, Presiden Jokowi menegaskan, agama sangat penting, terutama dalam dinamika politik. Agama dan politik
bersambungan tetapi dalam konteks yang benar. Menurut Jokowi,
keputusan kebijakan dilandasi
spiritualitas yang selalu diajarkan dalam Islam.
“Itu sambungannya, jadi jangan dibelokkan. Masa, politik tidak boleh behubungan dengan agama?” tutur Jokowi di Sukoharjo, Sabtu (8/4).
Kapuspininas Kementenian Agama, Mastuki, membenarkan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa agatna sangat penting terutama dalam dinamika politik. “Pernyataan Presiden benar. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius. Segala hal terkait dengan kehidupannya mendasarkan pada nilai-nilai agama,” kata dia.
Menurut Mastuki, bukan hanya urusan politik saja, bahkan makan, minum, bertransaksi, menikah, mengobati sakit, berhubungan dengan orang lain hingga urusan memilih pemimpin semua didasarkan atas pertimbangan nilai-nilai agama. Pada posisi ini antara agama dan politik tidak dapat dipisahkan. Jadi, tidak
yang salah ketika mencampurkan agama dan politik.
Namun, pernyataan sebelumnya terkait tidak mencampurkan kepentingan politik dengan agama adalah membawa atau mengatas namakan
agama.
ini seharusnya menjadi pemersatu, bukan pemecah belah. “Itu yang harus dihindari. Jadi, dipisah mana nilai agama yang luhur dengan politik yang bisa mendegradasi agama,” tegas dia.
Mastuki menambahkan, konteks pernyataan Jokowi adalah khawatir munculnya sentimen politik yang dapat merusak keberagamaan. Persatuan bangsa lebih utama dan harus diutamakan dari pada orientasi politik apalagi dengan dalih agama yang dapat memecah belah persatuan.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud menjelaskan, agama tidak sebagai komoditas maksudnya adalah agama tidak menjadi barang jualan dan malah tidak dilaksanakan. Nilai agama tetap menjadi patokan dasar hidup. Dalam politik praktis pun, agama harus dibumikan menjadi kultur atau budaya.
Budaya menjadi hukum adat dan kebiasaan. Ketaatan terhadap kultur terkadang lebih tinggi dari pada aturan positif. Seluruh aturan positif yang dijiwai nilai agama tidak akan bertentangan dengan agama.
“Dalam konteks praktis pun, nilai-nilai agama pun harus dibawa. Misalnya membuat program, tentu program yang bisa dijalankan, bukan untuk membohongi,” kata Marsudi.
Ia menutunkan, posisi Indonesia menurut para bapak bangsa adalah negara demokrasi Pancasila. Artinya, nilai-nilai agama masuk dalam kehidupan sosial melalui nilai-nilai. Dan
nilai agama i, disepakati Pancasila sebagai nilai kultur budaya yang bersumber dan nilai agama. “Kita bisa analisis, Pancasila bertentangan dengan nilai agama atau tidak,” kata Marsudi.
NU melihat Indonesia adalah negara berdasarkan nilai agama. NU melihat agama dan negana seperti dua sisi mata uang. Agama adalah nilai dasan yang jika tidak ada maka hangunan negara akan mudah roboh. Pemermntah adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada penjaganya makin mudah hilang.
“Maka keduanya hams menyätu. Nilai uniyersal ini tidak bertentangan dengan sjiariah,” kata Marsudi.
Sementana itu, ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Albertus Patty menjelaskan, politik, tidak bisa dipisahkan dan agama. Agama juga harus berpolitik.
PGI sepakat dengan pernyataan Jokowi yang tidak ingin agama menjadi instrumen politik. “Instnumentasi agama oleh oknum politisi untuk mengejan kekuasaan ini yang tidak benar,” kata Pdt Albertus.
Pdt Albertus menambahkan, agama harus berpolitik, terutama politik pelayanan. Fungsi agama adalah alat kontrol. Agama juga memberi kontribusi di negara yang plural ini agar tetap harmonis dengan tetap menjaga keadilan dan kesetanaan.
“Sehingga fungsi politik agama adalah membeni kontribusi positif
semua,” tegas dia.
• ed:
Sumber : Republika