elbar
New member
MUSIBAH tenggelamnya bangkai KM Levina I di Perairan Muara Gembong, Bekasi, diakibatkan kurang tegasnya petugas saat proses penyelidikan atau olah tempat kejadian perkara (TKP).
Menurut Wakapolri Komjen Pol Makbul Padmanagara, dalam sebuah olah TKP, tidak boleh ada yang ikut selain petugas. ?Bagi kami, ini adalah pelajaran berharga. Dalam menghadapi masalah, harus dengan tegas,? kata Makbul dalam jumpa pers di Markas Polair Pondok Dayung, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dalam proses penyelidikan di bangkai KM Levina I, tercatat 24 orang ikut naik ke atas kapal.
Setelah kapal karam, satu orang wartawan ikut menjadi korban karena tenggelam, tiga yang lain hilang,serta dua orang luka-luka. Menurut Makbul, dalam ketentuan, hanya petugas yang diperkenankan masuk ke TKP. Biasanya,TKP dikelilingi police lineuntuk mencegah hilangnya barang bukti.?Kalau ada wartawan yang memasuki KM Levina I, itu menjadi persoalan kami, karena ketentuannya tidak boleh dan persoalan juga bagi rekan wartawan,? terang Makbul. Menurut Makbul,terdapat ketentuan khusus saat memasuki tempat berbahaya.
Dia menambahkan, pada saat pemberangkatan juga sudah diadakan briefing dan diberi tahu bahwa tempattempat berbahaya tidak boleh didatangi. Pernyataan senada juga dilontarkan Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Setio Rahardjo.Menurut dia, yang diperbolehkan masuk kapal hanya orang-orang terkait dengan olah TKP, dalam hal ini Polri dan KNKT. ?Yang jelas, TKP khusus untuk KNKT dan Polri. Selain itu, tidak ada yang boleh masuk, kemungkinan para wartawan memaksa masuk,? kata Setio. Ketika ditanya penyebab kapal itu tenggelam, Setio mengaku tidak mengetahuinya dan hanya mengatakan bahwa kemungkinan alat keseimbangan KM Levina I terganggu.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Dephub Sri Untung menjelaskan,KM Levina I perlu ditarik ke Perairan Muara Gembong untuk diperiksa. ?Jadi, kapal itu ditarik ke lay up kapal-kapal, yaitu 2,5 mil sebelah timur Tanjung Priok. Mungkin di sana akan discrap. Di situ memang tempatnya,? terang dia. Sri menambahkan,seharusnya orang-orang yang naik ke kapal berkoordinasi terlebih dulu dengan pihak Administratur Pelabuhan (Adpel) Tanjung Priok untuk menginformasikan kondisi armada, apakah aman dimasuki atau tidak.
Sedangkan yang terjadi, Adpel tidak mengetahui orang-orang yang masuk ke KM Levina I karena tidak ada yang melapor. Meski begitu, menurut dia, selama ini memang tidak pernah ada aturan tertulis yang melarang seseorang untuk naik kapal pascakecelakaan. ?Tapi, orang itu memang harus tahu kondisi kapal. Karena itu, minimal koordinasi dengan Adpel,? imbuh Sri. Menurut Sri, setelah merapat, stabilitas KM Levina I masih baik meski sudah tidak laik laut.
Dia menduga, kapal tenggelam karena massa air yang masuk ke kapal melebihi tinggi garis batas keselamatan (margin line). Kemungkinan, lanjut dia,petugas terlalu banyak menyemprotkan air untuk memadamkan titik-titik api. Mengenai pilihan untuk menenggelamkan kapal,Sri menjelaskan bahwa aturan seperti itu tidak diperbolehkan menurut undangundang (UU) salvage dan pekerjaan bawah air.
UU itu justru mewajibkan agar pemilik kapal mengangkat setiap kerangka yang terbenam di air. ?Kalau dikaramkan, mengganggu alur pelayar, juga mengganggu biota laut,?jelas dia. Presiden Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Hanafi Rustandi beranggapan, seharusnya Departemen Perhubungan (Dephub) tidak perlu merapatkan KM Levina I ke Pelabuhan Tanjung Priok. Langkah Dephub ini dinilai sebagai tindakan sia-sia dan memakan biaya. ?Pemeriksaan kapal seperti itu perbuatan sia-sia.
(Kapal) tidak perlu ditarik karena selain sulit, biayanya juga mahal. Lagi pula, saksi hidup itu lebih berarti daripada saksi mati,?ujar Hanafi kepada SINDO di Jakarta, tadi malam. Dia menjelaskan, penarikan itu menyebabkan rongga-rongga kedap air kapal terisi sehingga mengganggu stabilitasnya. Menurut Hanafi, lebih efektif jika KM Levina I dikandaskan di Kepulauan Seribu dan sekaligus dilakukan pemeriksaan. Hanafi menilai musibah ini sebagai bentuk berulangnya kecerobohan dari regulator dan minimnya pengawasan yang akhirnya menambah jumlah korban.
Petugas di pelabuhan, ujar dia, tidak mengizinkan sembarang orang untuk naik kapal. ?Kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab. Jika ini diketahui dunia internasional, kita bisa semakin terpuruk,? imbuh dia. Direktur Polisi Air Mabes Polri Brigjen Pol Nengah Sutisna mengatakan, bangkai kapal Levina I berada dalam otoritas pemilik perusahaan pemilik kapal. ?Tentu, (pemiliknya) yang punya kapal,? tukasnya. Namun, kata Nengah, bangkai kapal tersebut ada dalam otoritas Dirjen Perhubungan Laut saat terkait masalah lalu lintas laut,seperti saat bangkai kapal mengganggu jalur pelayaran dan sebagainya. Mengenai siapa yang memberi izin wartawan ikut masuk ke bangkai kapal, Nengah tidak mengetahuinya. ?Tanya Polda Metro Jaya, yang ada di sana sebagai penyidik. KNKT juga, kita saling mendukung dalam penyelidikan,? kilahnya. (meutia rahmi/dian widiyanarko dari Koran SINDO)
Menurut Wakapolri Komjen Pol Makbul Padmanagara, dalam sebuah olah TKP, tidak boleh ada yang ikut selain petugas. ?Bagi kami, ini adalah pelajaran berharga. Dalam menghadapi masalah, harus dengan tegas,? kata Makbul dalam jumpa pers di Markas Polair Pondok Dayung, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dalam proses penyelidikan di bangkai KM Levina I, tercatat 24 orang ikut naik ke atas kapal.
Setelah kapal karam, satu orang wartawan ikut menjadi korban karena tenggelam, tiga yang lain hilang,serta dua orang luka-luka. Menurut Makbul, dalam ketentuan, hanya petugas yang diperkenankan masuk ke TKP. Biasanya,TKP dikelilingi police lineuntuk mencegah hilangnya barang bukti.?Kalau ada wartawan yang memasuki KM Levina I, itu menjadi persoalan kami, karena ketentuannya tidak boleh dan persoalan juga bagi rekan wartawan,? terang Makbul. Menurut Makbul,terdapat ketentuan khusus saat memasuki tempat berbahaya.
Dia menambahkan, pada saat pemberangkatan juga sudah diadakan briefing dan diberi tahu bahwa tempattempat berbahaya tidak boleh didatangi. Pernyataan senada juga dilontarkan Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Setio Rahardjo.Menurut dia, yang diperbolehkan masuk kapal hanya orang-orang terkait dengan olah TKP, dalam hal ini Polri dan KNKT. ?Yang jelas, TKP khusus untuk KNKT dan Polri. Selain itu, tidak ada yang boleh masuk, kemungkinan para wartawan memaksa masuk,? kata Setio. Ketika ditanya penyebab kapal itu tenggelam, Setio mengaku tidak mengetahuinya dan hanya mengatakan bahwa kemungkinan alat keseimbangan KM Levina I terganggu.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Dephub Sri Untung menjelaskan,KM Levina I perlu ditarik ke Perairan Muara Gembong untuk diperiksa. ?Jadi, kapal itu ditarik ke lay up kapal-kapal, yaitu 2,5 mil sebelah timur Tanjung Priok. Mungkin di sana akan discrap. Di situ memang tempatnya,? terang dia. Sri menambahkan,seharusnya orang-orang yang naik ke kapal berkoordinasi terlebih dulu dengan pihak Administratur Pelabuhan (Adpel) Tanjung Priok untuk menginformasikan kondisi armada, apakah aman dimasuki atau tidak.
Sedangkan yang terjadi, Adpel tidak mengetahui orang-orang yang masuk ke KM Levina I karena tidak ada yang melapor. Meski begitu, menurut dia, selama ini memang tidak pernah ada aturan tertulis yang melarang seseorang untuk naik kapal pascakecelakaan. ?Tapi, orang itu memang harus tahu kondisi kapal. Karena itu, minimal koordinasi dengan Adpel,? imbuh Sri. Menurut Sri, setelah merapat, stabilitas KM Levina I masih baik meski sudah tidak laik laut.
Dia menduga, kapal tenggelam karena massa air yang masuk ke kapal melebihi tinggi garis batas keselamatan (margin line). Kemungkinan, lanjut dia,petugas terlalu banyak menyemprotkan air untuk memadamkan titik-titik api. Mengenai pilihan untuk menenggelamkan kapal,Sri menjelaskan bahwa aturan seperti itu tidak diperbolehkan menurut undangundang (UU) salvage dan pekerjaan bawah air.
UU itu justru mewajibkan agar pemilik kapal mengangkat setiap kerangka yang terbenam di air. ?Kalau dikaramkan, mengganggu alur pelayar, juga mengganggu biota laut,?jelas dia. Presiden Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Hanafi Rustandi beranggapan, seharusnya Departemen Perhubungan (Dephub) tidak perlu merapatkan KM Levina I ke Pelabuhan Tanjung Priok. Langkah Dephub ini dinilai sebagai tindakan sia-sia dan memakan biaya. ?Pemeriksaan kapal seperti itu perbuatan sia-sia.
(Kapal) tidak perlu ditarik karena selain sulit, biayanya juga mahal. Lagi pula, saksi hidup itu lebih berarti daripada saksi mati,?ujar Hanafi kepada SINDO di Jakarta, tadi malam. Dia menjelaskan, penarikan itu menyebabkan rongga-rongga kedap air kapal terisi sehingga mengganggu stabilitasnya. Menurut Hanafi, lebih efektif jika KM Levina I dikandaskan di Kepulauan Seribu dan sekaligus dilakukan pemeriksaan. Hanafi menilai musibah ini sebagai bentuk berulangnya kecerobohan dari regulator dan minimnya pengawasan yang akhirnya menambah jumlah korban.
Petugas di pelabuhan, ujar dia, tidak mengizinkan sembarang orang untuk naik kapal. ?Kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab. Jika ini diketahui dunia internasional, kita bisa semakin terpuruk,? imbuh dia. Direktur Polisi Air Mabes Polri Brigjen Pol Nengah Sutisna mengatakan, bangkai kapal Levina I berada dalam otoritas pemilik perusahaan pemilik kapal. ?Tentu, (pemiliknya) yang punya kapal,? tukasnya. Namun, kata Nengah, bangkai kapal tersebut ada dalam otoritas Dirjen Perhubungan Laut saat terkait masalah lalu lintas laut,seperti saat bangkai kapal mengganggu jalur pelayaran dan sebagainya. Mengenai siapa yang memberi izin wartawan ikut masuk ke bangkai kapal, Nengah tidak mengetahuinya. ?Tanya Polda Metro Jaya, yang ada di sana sebagai penyidik. KNKT juga, kita saling mendukung dalam penyelidikan,? kilahnya. (meutia rahmi/dian widiyanarko dari Koran SINDO)