umangvirmaker
New member
Ini adalah sedikit bocoran ebook "Aku dan Wihdatul Wujud"
Postingan ini bukan postingan ebook, jadi mohon tidak dipindahkan kesana-sini, terima kasih...
Halaman 15-18 (intisarinya aja...)
Wihdatul Wujud
Berawal dari Maksud Allah untuk Dikenal
Allah telah menciptakan mahlukNya dengan beberapa tingkatan niat.
Mula-mula Allah menciptakan makhluk dengan niat sebagaimana tertuang
dalam hadits qudsi:
“Aku adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi, Aku ingin dikenal,
maka Kuciptakan makhluk dan denganKu mereka mengenalKu.”
Allah merupakan Al-Awwal yang tidak diawali, Dia bersifat Ada Sedia
(Wujud). Kehendak Allah adalah untuk dikenali (untuk dima’rifati).
“Kesendirian” Allah merupakan kebenaran mutlak yang tak bisa ditolak, karena
jika ada sesuatu selain Allah, maka Allah bukanlah Yang Awal. Dalam kitab
Daqaaiqul Akhbar disebutkan bahwa sebelum Allah menciptakan para malaikat
yang bertugas untuk menyebut dan memuji diriNya, Allah memuji diriNya
sendiri yang Maha Indah dan Elok. Allah ingin dikenal, sebagai Yang Maha
Esa dan itulah yang menjadi misi setiap nabi yang turun dimuka bumi, yaitu
memperkenalkan Allah Yang Maha Esa, misalnya surat Hud ayat 84.
Dengan demikian, mengenal Allah merupakan tugas utama makhluk,
terutama manusia. Mengenal Allah lebih signifikan dari pada mengenal hukumhukumNya.
Hal ini saya sebutkan karena dengan mengenal Allah maka kitapun
segera mengetahui apa yang diinginkanNya dan apa yang tidak diinginkanNya.
Mengenal Allah haruslah secara kaffah, secara totalitas. Syekh Siti Jenar
mengutamakan hal ini dalam persoalan ibadah, dimana dia menyatakan bahwa
ibadah tanpa ma’rifat adalah syirik. Bagaimana bisa anda beribadah kepada
Allah dengan niat lillahi ta’ala, sementara anda belum mengenal siapa Allah?
Bahkan jika ditanyakan apakah “Allah” adalah namaNya, bagaimana anda
menjelaskannya? Jika anda mengatakan “Ya” maka bagaimana mungkin anda
memanggil-manggil namaNya dengan namaNya, sedangkan anda begitu
menghormati dosen anda dang memanggilnya dengan “pak” atau “prof.” Ini
adalah tanda bahwa anda melakukan ibadah tanpa ma’rifat.
Jika anda bersaksi “Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah” apakah
benar anda menyaksikannya? Atau anda hanya menyebutnya sebagai formalitas
masuk Islam saja? Apa benar anda menyaksikan bahwa Allah adalah Esa?
Jangan-jangan selama ini kita hanya melakukan persaksian palsu semata.
Syekh Siti Jenar menekankan bahwa bisa jadi kita selama ini
menyembah akal budi saja, artinya, pengenalan Tuhan itu tidak bersumber dari
kesadaran ruhaniah tetapi karena spekulasi akal budi saja. Ini sangat berbahaya,
karena ini sudah termasuk syirik. Yang bisa membawa makhluk (manusia) pada
ma’rifatullah secara kaffah adalah dengan melalui pengalaman ruhani, karena
Allah tidak akan pernah bisa dikenal dengan logika saja.
Wihdatul Wujud, jangan hanya dipandang dari segi terminologinya saja,
menyatunya hamba dengan Tuhan. Lihat makna lebih dalam, hanya dengan
“menghilangkan diri” dan segala sesuatu selain Allah barulah kita bisa
menggapai ma’rifat. Setelah itu, Allah akan senantiasa berada dalam hati, dan
ibadah akan menjadi lebih sejuk. Arti hakiki dari ma’rifat juga bukan sematamata
mengenal Allah, tetapi Allah memperkenalkan DiriNya kepada kita,
sebagai rahmat, buah dari upaya keras kita melakukan perjalanan menuju dia.
Upaya para sufi adalah untuk bisa mengenal diriNya secara hakiki,
bukan hanya hasil pemikiran dan logika saja. Karena secara logika, Allah hanya
bisa dikenali perbuatanNya saja, tetapi untuk mengenali secara hakiki, maka
kita harus mengenaliNya dari nama, sifat, perbuatan, hingga dzat. Ini memang
hanya bisa ditemukan dalam tasawuf, dan ini merupakan hasil perjalanan
spiritual dan bukan semata-mata spekulasi filsafat saja.
Untuk bisa ma’rifatullah secara kaffah, seperti yang telah disebutkan,
manusia harus mampu “menolak” segala sesuatu selain Allah. Ini hanya bisa
dilakukan dengan zuhud, dan kemudian melakukan perjalanan spiritual dengan
cara bertarikat. Tarikat maksudnya jalan, dan ibadah merupakan tarikat. Jalan
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Suatu ketika Sayidina Ali bertanya
kepada Rasul tentang jalan dekat menuju Allah dan Rasul bersabda “Dzikir.”
Ini merupakan landasan sufi untuk bertarikat, yakni dengan melakukan ritual
dzikrullah. Mengingat Allah dengan cara khusus, sebagaimana yang Rasulullah
lakukan selama berada di Gua Hira atau di kamar khusus yang disebut dengan
kamar khalwat; kemudian perjalanan tarikat ini disebut dengan berkhalwat,
yakni bersunyi diri untuk berdzikir kepada Allah.
Bagi anda yang suka menafsirkan kalimat sepotong-potong untuk
mencari kesalahan orang lain, saya ingatkan, khalwat disini bukan hanya duduk
dengan tasbih di tangan, tetapi disertai dengan zuhud, saya sudah menyebutnya
di depan. Bersunyi diri agar tidak terganggu, dan para sufi kebanyakan
menjauhi keramaian sosial bukan untuk mengisolasi dirim tetapi mengisolasi
hati dari segala sesuatu selain Allah. Pada tingkatan tertentu, bahkan diri yang
mengingat pun sudah dilupakan, sehingga yang ada hanya yang diingat saja,
yakni Allah semata. Mendekat, mendekat, lebih dekat, hingga hakikat melebur;
inilah fana’. Apakah selamanya seperti itu? Tidak, pengenalan dan penyatuan
itu begitu singkat. Bagaimana bisa kita tahu bahwa itu Allah? Ini tidak mungkin
dijelaskan, karena hanya yang mengalaminya saja yang memahaminya; bisa
jadi iblis yang datang? Hakikat iblis tidak setara dengan Allah dan hanya Allah
tujuan kita. Dengan demikian, iblis tidak mungkin mampu menembus hijab
dzikrullah. Mengapa para sufi tidak dapat menjelaskan hal tersebut secara rinci
sehingga dituduh mengada-ngada? Itu karena fana’ diawali dengan lumpuhnya
ilmu bahkan diri sendiri. Hanya Nurullah semata yang dapat menjelaskannya
kepada anda. Jika semua yang dipaparkan benar (dan memang benar), maka
sungguh celaka tangan-tangan yang menuduh para sufi (waliyullah) sesat,
bahkan membunuh mereka, karena yang mereka tuduh dan bunuh adalah para
kekasih Allah, para pemegang rahasia ketuhanan terbesar dan terpenting bagi
ummat manusia. Alhasil, korupsi kiri-kanan, prostitusi kiri-kanan, intimidasi
dan peperangan sana-sini, karena kebenaran sudah diputarbalikkan menjadi
kesesatan; manusia tidak lagi menggenggam kebenaran, karena pemegang
kebenaran sudah dibunuh, dari karakter hingga jiwa. Mungkin kelak saya juga
akan dibunuh karena menganut faham Wihdatul Wujud, Alhamdulillah karena
saya juga termasuk daftar orang-orang yang menyampaikan kebenaran tersebut.
Info:
Judul "Aku dan Wihdatul Wujud: Uraian Singkat tanpa Rahasia"
Penulis:...
Penerbit: Majelis Dzikir al-Jabbar Ternate
Webblog: http://majelisaljabbar.wordpress.com
Tampilan cover depan:
Postingan ini bukan postingan ebook, jadi mohon tidak dipindahkan kesana-sini, terima kasih...
Halaman 15-18 (intisarinya aja...)
Wihdatul Wujud
Berawal dari Maksud Allah untuk Dikenal
Allah telah menciptakan mahlukNya dengan beberapa tingkatan niat.
Mula-mula Allah menciptakan makhluk dengan niat sebagaimana tertuang
dalam hadits qudsi:
“Aku adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi, Aku ingin dikenal,
maka Kuciptakan makhluk dan denganKu mereka mengenalKu.”
Allah merupakan Al-Awwal yang tidak diawali, Dia bersifat Ada Sedia
(Wujud). Kehendak Allah adalah untuk dikenali (untuk dima’rifati).
“Kesendirian” Allah merupakan kebenaran mutlak yang tak bisa ditolak, karena
jika ada sesuatu selain Allah, maka Allah bukanlah Yang Awal. Dalam kitab
Daqaaiqul Akhbar disebutkan bahwa sebelum Allah menciptakan para malaikat
yang bertugas untuk menyebut dan memuji diriNya, Allah memuji diriNya
sendiri yang Maha Indah dan Elok. Allah ingin dikenal, sebagai Yang Maha
Esa dan itulah yang menjadi misi setiap nabi yang turun dimuka bumi, yaitu
memperkenalkan Allah Yang Maha Esa, misalnya surat Hud ayat 84.
Dengan demikian, mengenal Allah merupakan tugas utama makhluk,
terutama manusia. Mengenal Allah lebih signifikan dari pada mengenal hukumhukumNya.
Hal ini saya sebutkan karena dengan mengenal Allah maka kitapun
segera mengetahui apa yang diinginkanNya dan apa yang tidak diinginkanNya.
Mengenal Allah haruslah secara kaffah, secara totalitas. Syekh Siti Jenar
mengutamakan hal ini dalam persoalan ibadah, dimana dia menyatakan bahwa
ibadah tanpa ma’rifat adalah syirik. Bagaimana bisa anda beribadah kepada
Allah dengan niat lillahi ta’ala, sementara anda belum mengenal siapa Allah?
Bahkan jika ditanyakan apakah “Allah” adalah namaNya, bagaimana anda
menjelaskannya? Jika anda mengatakan “Ya” maka bagaimana mungkin anda
memanggil-manggil namaNya dengan namaNya, sedangkan anda begitu
menghormati dosen anda dang memanggilnya dengan “pak” atau “prof.” Ini
adalah tanda bahwa anda melakukan ibadah tanpa ma’rifat.
Jika anda bersaksi “Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah” apakah
benar anda menyaksikannya? Atau anda hanya menyebutnya sebagai formalitas
masuk Islam saja? Apa benar anda menyaksikan bahwa Allah adalah Esa?
Jangan-jangan selama ini kita hanya melakukan persaksian palsu semata.
Syekh Siti Jenar menekankan bahwa bisa jadi kita selama ini
menyembah akal budi saja, artinya, pengenalan Tuhan itu tidak bersumber dari
kesadaran ruhaniah tetapi karena spekulasi akal budi saja. Ini sangat berbahaya,
karena ini sudah termasuk syirik. Yang bisa membawa makhluk (manusia) pada
ma’rifatullah secara kaffah adalah dengan melalui pengalaman ruhani, karena
Allah tidak akan pernah bisa dikenal dengan logika saja.
Wihdatul Wujud, jangan hanya dipandang dari segi terminologinya saja,
menyatunya hamba dengan Tuhan. Lihat makna lebih dalam, hanya dengan
“menghilangkan diri” dan segala sesuatu selain Allah barulah kita bisa
menggapai ma’rifat. Setelah itu, Allah akan senantiasa berada dalam hati, dan
ibadah akan menjadi lebih sejuk. Arti hakiki dari ma’rifat juga bukan sematamata
mengenal Allah, tetapi Allah memperkenalkan DiriNya kepada kita,
sebagai rahmat, buah dari upaya keras kita melakukan perjalanan menuju dia.
Upaya para sufi adalah untuk bisa mengenal diriNya secara hakiki,
bukan hanya hasil pemikiran dan logika saja. Karena secara logika, Allah hanya
bisa dikenali perbuatanNya saja, tetapi untuk mengenali secara hakiki, maka
kita harus mengenaliNya dari nama, sifat, perbuatan, hingga dzat. Ini memang
hanya bisa ditemukan dalam tasawuf, dan ini merupakan hasil perjalanan
spiritual dan bukan semata-mata spekulasi filsafat saja.
Untuk bisa ma’rifatullah secara kaffah, seperti yang telah disebutkan,
manusia harus mampu “menolak” segala sesuatu selain Allah. Ini hanya bisa
dilakukan dengan zuhud, dan kemudian melakukan perjalanan spiritual dengan
cara bertarikat. Tarikat maksudnya jalan, dan ibadah merupakan tarikat. Jalan
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Suatu ketika Sayidina Ali bertanya
kepada Rasul tentang jalan dekat menuju Allah dan Rasul bersabda “Dzikir.”
Ini merupakan landasan sufi untuk bertarikat, yakni dengan melakukan ritual
dzikrullah. Mengingat Allah dengan cara khusus, sebagaimana yang Rasulullah
lakukan selama berada di Gua Hira atau di kamar khusus yang disebut dengan
kamar khalwat; kemudian perjalanan tarikat ini disebut dengan berkhalwat,
yakni bersunyi diri untuk berdzikir kepada Allah.
Bagi anda yang suka menafsirkan kalimat sepotong-potong untuk
mencari kesalahan orang lain, saya ingatkan, khalwat disini bukan hanya duduk
dengan tasbih di tangan, tetapi disertai dengan zuhud, saya sudah menyebutnya
di depan. Bersunyi diri agar tidak terganggu, dan para sufi kebanyakan
menjauhi keramaian sosial bukan untuk mengisolasi dirim tetapi mengisolasi
hati dari segala sesuatu selain Allah. Pada tingkatan tertentu, bahkan diri yang
mengingat pun sudah dilupakan, sehingga yang ada hanya yang diingat saja,
yakni Allah semata. Mendekat, mendekat, lebih dekat, hingga hakikat melebur;
inilah fana’. Apakah selamanya seperti itu? Tidak, pengenalan dan penyatuan
itu begitu singkat. Bagaimana bisa kita tahu bahwa itu Allah? Ini tidak mungkin
dijelaskan, karena hanya yang mengalaminya saja yang memahaminya; bisa
jadi iblis yang datang? Hakikat iblis tidak setara dengan Allah dan hanya Allah
tujuan kita. Dengan demikian, iblis tidak mungkin mampu menembus hijab
dzikrullah. Mengapa para sufi tidak dapat menjelaskan hal tersebut secara rinci
sehingga dituduh mengada-ngada? Itu karena fana’ diawali dengan lumpuhnya
ilmu bahkan diri sendiri. Hanya Nurullah semata yang dapat menjelaskannya
kepada anda. Jika semua yang dipaparkan benar (dan memang benar), maka
sungguh celaka tangan-tangan yang menuduh para sufi (waliyullah) sesat,
bahkan membunuh mereka, karena yang mereka tuduh dan bunuh adalah para
kekasih Allah, para pemegang rahasia ketuhanan terbesar dan terpenting bagi
ummat manusia. Alhasil, korupsi kiri-kanan, prostitusi kiri-kanan, intimidasi
dan peperangan sana-sini, karena kebenaran sudah diputarbalikkan menjadi
kesesatan; manusia tidak lagi menggenggam kebenaran, karena pemegang
kebenaran sudah dibunuh, dari karakter hingga jiwa. Mungkin kelak saya juga
akan dibunuh karena menganut faham Wihdatul Wujud, Alhamdulillah karena
saya juga termasuk daftar orang-orang yang menyampaikan kebenaran tersebut.
Info:
Judul "Aku dan Wihdatul Wujud: Uraian Singkat tanpa Rahasia"
Penulis:...
Penerbit: Majelis Dzikir al-Jabbar Ternate
Webblog: http://majelisaljabbar.wordpress.com
Tampilan cover depan: