MahmudinSyahadat
New member
Tragedi Bintaro adalah peristiwa tabrakan hebat dua buah kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Tangerang, pada tanggal 19 Oktober 1987 yang merupakan kecelakaan terburuk dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia. Peristiwa ini juga menyita perhatian publik dunia.
Pada waktu kejadian tersebut aku berusia 10 tahun duduk di kelas 3 SD Caringin III desa Legok-Tangerang.
Hari sebelum tragedi Bintaro adalah Minggu, rambutku sudah mulai gondrong.Hari Sabtu dari sekolah aku ditegur guru agar rambutku dipotong, bila senin masih gondrong juga maka akan dipangkas paksa oleh guru dengan cara asal potong.
Malang, ekonomi keluarga kami adalah pas-pasan dan untuk pangkas rambut ke salon jauh dari pikiran kami. Kalau kebetulan ada tetangga atau saudara yang 'bisa' baru kami dapat minta tolong. Maka terpaksa ibuku turun tangan untuk memotong rambutku, karena keterpencilan lingkungan kami ditengah pesawahan.
Alhasil, pangkasan rambut ibuku 'grepesan....' Terang aku kecewa dan malu. Tanganku gatal untuk merapikan sendiri didepan cermin. Hasilnya? Tambah ancur!
Esok paginya adalah hari Senin 19 Oktober 1987, benakku masih membayangkan bagaimana nanti rambutku dikomentari oleh teman-temanku.
Senin 19 Oktober, bangun subuh kami biasa shalat berjama'ah dan dilanjut ngaji diterangi dengan lampu minyak tanah, maklum saat itu kampung belum masuk listrik. Sementara ibuku pegawai negeri jabatan menengah di P&K Kebayoran Lama. Lampu satu-satunya sedang kupakai ngaji, sedangkan beliau harus mencari pakaian seragam Korpri di lemari, namun beliau memilih ngalah hingga terbuang waktu untuk mengejar kereta api pertama dari stasiun Parung Panjang.
Masih ada kesempatan untuk mendapat kereta api yang kedua (Bakal Kereta Nahas Tragedi Bintaro). Beliau telah mengenakan seragam wajib Korpri, dan hari Senin adalah hari sangat wajib untuk masuk kantor, alasan apapun beliau tidak ingin memiliki record alpa di hari senin.
Aku masih bergelut dengan malu pada rambutku yang ancur. Aku masih bisa beralasan ikut ke Jakarta untuk dapat merapikan di sana. Tapi aku berbohong, aku bilang aku sakit dan mau berobat di klinik kantor ibuku yang konon gratis.
Gratis, memang... Dasar rakyat miskin... Kami terbentur masalah ongkos untuk berangkatnya, menimbang, bila bawa aku anak kecil harus punya uang jajan juga untuk di jalan.
Terang, ibuku sewot atas permintaan aku yang spontan tersebut. Lalu seraya pasrah beliau membatalkan keberangkatannya ke kantor dan merebahkan diri di tempat tidur sambil menahan sabar.
Akupun merajuk dan menangis karena alasanku untuk tidak berangkat sekolah karena malu oleh rambutku, telah kandas. Alasan apa lagi? Akupun ikut tiduran disamping ibuku.
Sementara waktu bergulir tak terasa, kami terbangun sekitar pk.08 pagi. Kami telah mengabaikan pertengkaran untuk berangkat, karena kereta api pagi diperhitungkan telah meninggalkan kami. Kami memilih beraktifitas ke sumur di ladang untuk cuci pakaian. Dari situlah kami mendapat kabar dari tetangga yang mendapat informasi tentang Tragedi Bintaro lebih dini. Ibuku terkulai lemas, membayangkan sekiranya beliau berangkat, sudah pasti menggunakan Kereta api nahas tersebut.
Memang, bila dihitung-hitung, tingkahku yang spontan dan aneh merupakan keajaiban penuh hikmah. Aku bersyukur Allah Mengaruniakan aku begini hingga sekarang, hidupku penuh keajaiban luarbiasa.
Pada waktu kejadian tersebut aku berusia 10 tahun duduk di kelas 3 SD Caringin III desa Legok-Tangerang.
Hari sebelum tragedi Bintaro adalah Minggu, rambutku sudah mulai gondrong.Hari Sabtu dari sekolah aku ditegur guru agar rambutku dipotong, bila senin masih gondrong juga maka akan dipangkas paksa oleh guru dengan cara asal potong.
Malang, ekonomi keluarga kami adalah pas-pasan dan untuk pangkas rambut ke salon jauh dari pikiran kami. Kalau kebetulan ada tetangga atau saudara yang 'bisa' baru kami dapat minta tolong. Maka terpaksa ibuku turun tangan untuk memotong rambutku, karena keterpencilan lingkungan kami ditengah pesawahan.
Alhasil, pangkasan rambut ibuku 'grepesan....' Terang aku kecewa dan malu. Tanganku gatal untuk merapikan sendiri didepan cermin. Hasilnya? Tambah ancur!
Esok paginya adalah hari Senin 19 Oktober 1987, benakku masih membayangkan bagaimana nanti rambutku dikomentari oleh teman-temanku.
Senin 19 Oktober, bangun subuh kami biasa shalat berjama'ah dan dilanjut ngaji diterangi dengan lampu minyak tanah, maklum saat itu kampung belum masuk listrik. Sementara ibuku pegawai negeri jabatan menengah di P&K Kebayoran Lama. Lampu satu-satunya sedang kupakai ngaji, sedangkan beliau harus mencari pakaian seragam Korpri di lemari, namun beliau memilih ngalah hingga terbuang waktu untuk mengejar kereta api pertama dari stasiun Parung Panjang.
Masih ada kesempatan untuk mendapat kereta api yang kedua (Bakal Kereta Nahas Tragedi Bintaro). Beliau telah mengenakan seragam wajib Korpri, dan hari Senin adalah hari sangat wajib untuk masuk kantor, alasan apapun beliau tidak ingin memiliki record alpa di hari senin.
Aku masih bergelut dengan malu pada rambutku yang ancur. Aku masih bisa beralasan ikut ke Jakarta untuk dapat merapikan di sana. Tapi aku berbohong, aku bilang aku sakit dan mau berobat di klinik kantor ibuku yang konon gratis.
Gratis, memang... Dasar rakyat miskin... Kami terbentur masalah ongkos untuk berangkatnya, menimbang, bila bawa aku anak kecil harus punya uang jajan juga untuk di jalan.
Terang, ibuku sewot atas permintaan aku yang spontan tersebut. Lalu seraya pasrah beliau membatalkan keberangkatannya ke kantor dan merebahkan diri di tempat tidur sambil menahan sabar.
Akupun merajuk dan menangis karena alasanku untuk tidak berangkat sekolah karena malu oleh rambutku, telah kandas. Alasan apa lagi? Akupun ikut tiduran disamping ibuku.
Sementara waktu bergulir tak terasa, kami terbangun sekitar pk.08 pagi. Kami telah mengabaikan pertengkaran untuk berangkat, karena kereta api pagi diperhitungkan telah meninggalkan kami. Kami memilih beraktifitas ke sumur di ladang untuk cuci pakaian. Dari situlah kami mendapat kabar dari tetangga yang mendapat informasi tentang Tragedi Bintaro lebih dini. Ibuku terkulai lemas, membayangkan sekiranya beliau berangkat, sudah pasti menggunakan Kereta api nahas tersebut.
Memang, bila dihitung-hitung, tingkahku yang spontan dan aneh merupakan keajaiban penuh hikmah. Aku bersyukur Allah Mengaruniakan aku begini hingga sekarang, hidupku penuh keajaiban luarbiasa.