tiaseptiani
New member
AKU MENCINTAIMU
Karya Tri Cahyana Nugraha
Kutemukan siluetmu dalam memoarku. Dikala senja kemuning menyelusup pekatnya kesedihan. Waktu adalah luka terbesar dalam hidup. Luka, bagi mereka yang hidup dalam kenangan. Termasuk aku. Aku ingat, senja lalu tak pernah seperih ini. Tak ada potongan-potongan kecil memori yang mengiris hati yang rapuh. Aku mencintaimu. Dulu, kini dan nanti. Aku tidak memilih mencintaimu. Namun takdir telah memutuskan, aku akan hidup untuk mencintaimu. Meski kau tak hidup untuk menerima cintaku.
Aku masih mengingatnya. Tiga tahun yang lalu. Kala itu kau masih berupa putri kecil yang mencoba tumbuh dewasa. Sedang aku pria biasa yang kekanak-kanakan. Aku tidak pernah tahu, dari sekian banyak pria di bumi ini. Kenapa kau harus menitipkan sedikit cintamu padaku. Pada pria yang baru kau temui 4 hari. Pada pria yang baru satu jam kau ajak berbincang melalui pesan singkat. Dan entah mengapa akupun menerimanya. Mungkin ini yang dinamakan rencana tuhan.
“aku sayang kamu”
“hm gombal”
“serius”
“hm iya iya”
“kamu sayang aku ga ?”
“gatau”
“iih serius”
“hehe iya aku sayang kamu”
Kau pun berlalu dengan senyum manis berpendar di bibir tipismu. Meninggalkanku tertinggal di pekatnya jalan cipaganti. Tak banyak waktu berdua yang kau habiskan bersamaku. Satu-satunya waktu itu adalah setiap hari sebelum kita berangkat sekolah. Berbagai alasan pun muncul, sekedar mengerjakan pr, menunggu waktu sekolah, atau mempelajari sedikit materi ketika akan ujian. Namun itu tak lebih dari sekedar alasan agar aku bisa menghabiskan waktu berdua. Mendekapmu dalam bisu, atau mencumbu bibir tipismu dalam rindu.
Hari ini. Tepat tujuh tahun sejak janji itu. Aku bukan remaja kekanak-kanakan lagi. Kini aku telah menjelma pria dewasa yang siap bersaing di tengah masyarakat. Dengan gelar sarjana pendidikan yang sebentar lagi aku dapatkan, aku siap membuka sebuah cabang baru restoranku. Cukup membingungkan bukan. Cita-citaku dari kecil memang membuka sebuah restoran. Selain karena aku menyukai makanan, faktor ayahku yang seorang koki pun mendorong cita-citaku untuk menjadi kenyataan. Sehari yang lalu aku memberanikan diri memfollow twitternya. Sekaligus memention untuk memintanya hadir di acara wisudaku. Namun Tidak ada balasan dari dia. Entah dia tidak membacanya atau dia memang malas untuk membalasnya.
Hari ini aku dengan togaku bersanding dengan ibuku yang mengenakan kebaya merah berpadu kerudung krem. Sedang ayahku. Ayahku melihatku dari sana, dari dunia tempat mereka yang tiada. Dalam riuhnya susasana wisuda, aku membalas ucapan selamat dari kawan-kawanku. Diselingi sekali, dua kali jepretan dari tukang foto. Hingga acara wisuda itu selesai. Dia tak datang. Entah apa alasannya. Namun aku pun tidak terlalu mengharapkannya. Aku mengerti, enam tahun tidak berkomunikasi. Lalu tiba-tiba hadir hanya untuk memintanya datang ke acara wisuda pria yang pernah menyakiti hatinya. Ya dua kali aku menduakannya. Namun aku hanya pria kekanak-kanakan waktu itu. berbeda kini yang mengerti artinya sebuah ketulusan.
Melalui silir senja, matahari pun kembali ke belahan lain. Meninggalkan malam sebagai gantinya. Iseng-iseng aku membuka twitter. “selamat ya udah jadi sarjana. Maaf aku ga bisa dateng” sebuah balasan darinya menghiasi muka laptopku. Jujur saja, aku sangat bahagia waktu itu. Sepertinya dia sudah mulai melupakan kesalahanku dulu. “makasih ya. Iya gapapa hehe” jawabku dengan sigap. Malam itupun terasa indah seperti dulu. Malam yang tak pernah kudapatkan selama enam tahun ini.
Sejak hari itu, kamipun berbalas pesan. Aku rasakan canda tawanya yang dulu riuh diantara kita. Meski tak melihat wajahnya, namun setiap balasan yang ia buat slalu membawaku kepada memori dia tujuh tujuh tahun lalu. Sepertinya cemeti cinta mulai mengiris hatiku lagi. Dan aku bahagia. Sebulan sudah kami berkomunikasi lagi. Tidak lagi di twitter, namun kini sudah melalui pesan singkat bahkan sesekali menelfon. Tak jarang pula kami menghabiskan waktu berdua berkeliling mendatangi tempat-tempat hiburan di bandung. Dan aku rasa hubunganku pun sudah lebih membaik dengannya, dan aku pun berharap akan semakin membaik. Semoga saja ada kesempatan dimana aku bisa mengulang kembali kenangan bersamanya.
Namun malam itu aku berharap aku tak pernah bisa berkomunikasi lagi dengannya. Malam itu dia menelfonku dengan tersedu, aku sendiri bingung dengan tingkahnya. Namun tak lama kebingungan itu pun berubah menjadi kebencian dan kepedihan. Sedikit penjelasan lalu dia mengundangku untuk menghadiri acara pernikahannya esok hari. Tanpa banyak kata aku mengiyakan dan langsung menutup telfonnya. Aku kehabisan kata, malam itu aku habiskan dengan melamun sepanjang malam. Entah apa yang aku lamunkan. Hanya kosong yang ada dipikiranku. Sebulan yang lalu ketika aku mengundangnya di acara wisudaku, dia bertunangan. Bertunangan dengan pria yang sudah menjadi kekasihnya enam tahun sejak kepergianku. Sakit memang, namun inilah kenyatannya. Inilah rencana tuhan. Rencana untuk menjadikanku gangguan sebelum dia menikah dengan kekasihnya. Ya memang banyak yang bilang, ketika akan menikah akan ada gangguan yang kuat, yaitu orang dari masa lalu. Tetapi aku tidak pernah berpikir jika akulah yang akan menjadi orang masa lalu itu.
Esoknya aku datang ke pernikahannya. Menggenakan celana dan jaket jeans. Aku terlihat mencolok dibandingkan orang lain yang mengenakan batik ataupun jas. Aku terlihat lebih urakan. Di depan pintu masuk aku melihatnya tersenyum menyalami orang-orang yang datang. Senyum penuh kebahagiaan menurutku. Tapi entahlah. Sedikit demi sedikit senyum itu mulai memudar dari bibirnya, seiring dengan tubuhku yang mulai mendekat. Setiap langkahku kurasakan hatiku semakin sakit, terasa seperti dikoyak ribuan kesakitan. Aku tarik nafas sedalam-dalamnya, lalu aku tersenyum sembari menjabat tangan mempelai prianya. Ketika aku akan menyalaminya, kulihat embun dimatanya menetes. Riuh, membuat orang yang melihatnya keheranan. Sontak aku berbisik ditelinganya “kau jangan menangis, ini sudah rencana tuhan. Jika kita tak bisa bersatu di dunia, mungkin kita akan bersatu di akhirat. Aku mencintaimu, dari awal hingga nanti. slalu”. Akhirnya diapun mengusap air mata di pipinya. Dan aku pergi melihatkan diriku yang mulai membias dari kerumunan orang-orang.
Setahun adalah waktu yang dirasa tuhan cukup untukku denganmu. Namun enam tahun masih dirasa tuhan belum cukup untukku melupakanmu. Dan entah mengapa aku masih berharap bisa merasakan cinta yang dulu pernah kau berikan. Mereka slalu menanyakan, kenapa kau harus berhenti di wanita pendek, gendut dan lebih tua darimu. Sedangkan diluar sana masih banyak wanita yang lebih cantik dan lebih segalanya dari dia. Bahkan wanita yang telah kau sia-siakan pun lebih darinya bukan ? namun mereka tidak pernah mengerti. Cinta tidak perlu sebuah alasan, hanya perlu sebuah ketulusan
Karya Tri Cahyana Nugraha
Kutemukan siluetmu dalam memoarku. Dikala senja kemuning menyelusup pekatnya kesedihan. Waktu adalah luka terbesar dalam hidup. Luka, bagi mereka yang hidup dalam kenangan. Termasuk aku. Aku ingat, senja lalu tak pernah seperih ini. Tak ada potongan-potongan kecil memori yang mengiris hati yang rapuh. Aku mencintaimu. Dulu, kini dan nanti. Aku tidak memilih mencintaimu. Namun takdir telah memutuskan, aku akan hidup untuk mencintaimu. Meski kau tak hidup untuk menerima cintaku.
Aku masih mengingatnya. Tiga tahun yang lalu. Kala itu kau masih berupa putri kecil yang mencoba tumbuh dewasa. Sedang aku pria biasa yang kekanak-kanakan. Aku tidak pernah tahu, dari sekian banyak pria di bumi ini. Kenapa kau harus menitipkan sedikit cintamu padaku. Pada pria yang baru kau temui 4 hari. Pada pria yang baru satu jam kau ajak berbincang melalui pesan singkat. Dan entah mengapa akupun menerimanya. Mungkin ini yang dinamakan rencana tuhan.
“aku sayang kamu”
“hm gombal”
“serius”
“hm iya iya”
“kamu sayang aku ga ?”
“gatau”
“iih serius”
“hehe iya aku sayang kamu”
Kau pun berlalu dengan senyum manis berpendar di bibir tipismu. Meninggalkanku tertinggal di pekatnya jalan cipaganti. Tak banyak waktu berdua yang kau habiskan bersamaku. Satu-satunya waktu itu adalah setiap hari sebelum kita berangkat sekolah. Berbagai alasan pun muncul, sekedar mengerjakan pr, menunggu waktu sekolah, atau mempelajari sedikit materi ketika akan ujian. Namun itu tak lebih dari sekedar alasan agar aku bisa menghabiskan waktu berdua. Mendekapmu dalam bisu, atau mencumbu bibir tipismu dalam rindu.
Hari ini. Tepat tujuh tahun sejak janji itu. Aku bukan remaja kekanak-kanakan lagi. Kini aku telah menjelma pria dewasa yang siap bersaing di tengah masyarakat. Dengan gelar sarjana pendidikan yang sebentar lagi aku dapatkan, aku siap membuka sebuah cabang baru restoranku. Cukup membingungkan bukan. Cita-citaku dari kecil memang membuka sebuah restoran. Selain karena aku menyukai makanan, faktor ayahku yang seorang koki pun mendorong cita-citaku untuk menjadi kenyataan. Sehari yang lalu aku memberanikan diri memfollow twitternya. Sekaligus memention untuk memintanya hadir di acara wisudaku. Namun Tidak ada balasan dari dia. Entah dia tidak membacanya atau dia memang malas untuk membalasnya.
Hari ini aku dengan togaku bersanding dengan ibuku yang mengenakan kebaya merah berpadu kerudung krem. Sedang ayahku. Ayahku melihatku dari sana, dari dunia tempat mereka yang tiada. Dalam riuhnya susasana wisuda, aku membalas ucapan selamat dari kawan-kawanku. Diselingi sekali, dua kali jepretan dari tukang foto. Hingga acara wisuda itu selesai. Dia tak datang. Entah apa alasannya. Namun aku pun tidak terlalu mengharapkannya. Aku mengerti, enam tahun tidak berkomunikasi. Lalu tiba-tiba hadir hanya untuk memintanya datang ke acara wisuda pria yang pernah menyakiti hatinya. Ya dua kali aku menduakannya. Namun aku hanya pria kekanak-kanakan waktu itu. berbeda kini yang mengerti artinya sebuah ketulusan.
Melalui silir senja, matahari pun kembali ke belahan lain. Meninggalkan malam sebagai gantinya. Iseng-iseng aku membuka twitter. “selamat ya udah jadi sarjana. Maaf aku ga bisa dateng” sebuah balasan darinya menghiasi muka laptopku. Jujur saja, aku sangat bahagia waktu itu. Sepertinya dia sudah mulai melupakan kesalahanku dulu. “makasih ya. Iya gapapa hehe” jawabku dengan sigap. Malam itupun terasa indah seperti dulu. Malam yang tak pernah kudapatkan selama enam tahun ini.
Sejak hari itu, kamipun berbalas pesan. Aku rasakan canda tawanya yang dulu riuh diantara kita. Meski tak melihat wajahnya, namun setiap balasan yang ia buat slalu membawaku kepada memori dia tujuh tujuh tahun lalu. Sepertinya cemeti cinta mulai mengiris hatiku lagi. Dan aku bahagia. Sebulan sudah kami berkomunikasi lagi. Tidak lagi di twitter, namun kini sudah melalui pesan singkat bahkan sesekali menelfon. Tak jarang pula kami menghabiskan waktu berdua berkeliling mendatangi tempat-tempat hiburan di bandung. Dan aku rasa hubunganku pun sudah lebih membaik dengannya, dan aku pun berharap akan semakin membaik. Semoga saja ada kesempatan dimana aku bisa mengulang kembali kenangan bersamanya.
Namun malam itu aku berharap aku tak pernah bisa berkomunikasi lagi dengannya. Malam itu dia menelfonku dengan tersedu, aku sendiri bingung dengan tingkahnya. Namun tak lama kebingungan itu pun berubah menjadi kebencian dan kepedihan. Sedikit penjelasan lalu dia mengundangku untuk menghadiri acara pernikahannya esok hari. Tanpa banyak kata aku mengiyakan dan langsung menutup telfonnya. Aku kehabisan kata, malam itu aku habiskan dengan melamun sepanjang malam. Entah apa yang aku lamunkan. Hanya kosong yang ada dipikiranku. Sebulan yang lalu ketika aku mengundangnya di acara wisudaku, dia bertunangan. Bertunangan dengan pria yang sudah menjadi kekasihnya enam tahun sejak kepergianku. Sakit memang, namun inilah kenyatannya. Inilah rencana tuhan. Rencana untuk menjadikanku gangguan sebelum dia menikah dengan kekasihnya. Ya memang banyak yang bilang, ketika akan menikah akan ada gangguan yang kuat, yaitu orang dari masa lalu. Tetapi aku tidak pernah berpikir jika akulah yang akan menjadi orang masa lalu itu.
Esoknya aku datang ke pernikahannya. Menggenakan celana dan jaket jeans. Aku terlihat mencolok dibandingkan orang lain yang mengenakan batik ataupun jas. Aku terlihat lebih urakan. Di depan pintu masuk aku melihatnya tersenyum menyalami orang-orang yang datang. Senyum penuh kebahagiaan menurutku. Tapi entahlah. Sedikit demi sedikit senyum itu mulai memudar dari bibirnya, seiring dengan tubuhku yang mulai mendekat. Setiap langkahku kurasakan hatiku semakin sakit, terasa seperti dikoyak ribuan kesakitan. Aku tarik nafas sedalam-dalamnya, lalu aku tersenyum sembari menjabat tangan mempelai prianya. Ketika aku akan menyalaminya, kulihat embun dimatanya menetes. Riuh, membuat orang yang melihatnya keheranan. Sontak aku berbisik ditelinganya “kau jangan menangis, ini sudah rencana tuhan. Jika kita tak bisa bersatu di dunia, mungkin kita akan bersatu di akhirat. Aku mencintaimu, dari awal hingga nanti. slalu”. Akhirnya diapun mengusap air mata di pipinya. Dan aku pergi melihatkan diriku yang mulai membias dari kerumunan orang-orang.
Setahun adalah waktu yang dirasa tuhan cukup untukku denganmu. Namun enam tahun masih dirasa tuhan belum cukup untukku melupakanmu. Dan entah mengapa aku masih berharap bisa merasakan cinta yang dulu pernah kau berikan. Mereka slalu menanyakan, kenapa kau harus berhenti di wanita pendek, gendut dan lebih tua darimu. Sedangkan diluar sana masih banyak wanita yang lebih cantik dan lebih segalanya dari dia. Bahkan wanita yang telah kau sia-siakan pun lebih darinya bukan ? namun mereka tidak pernah mengerti. Cinta tidak perlu sebuah alasan, hanya perlu sebuah ketulusan