Alamat E-mail Komisi 8 DPR

spirit

Mod
Wah! Soal Email Komisi VIII DPR Jadi Lelucon di Youtube
Rabu, 04/05/2011 16:42 WIB Gagah Wijoseno - detikNews

youtub10.jpg

Jakarta - Kunjungan anggota Komisi VIII DPR ke Australia menjadi lelucon di Youtube. Salah satu yang menjadi pangkal sebabnya yakni alamat email Komisi VIII @yahoo.com. Bagaimana ceritanya?

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan juga di Youtube, Rabu (4/5/2011), rombongan Komisi VIII DPR melakukan studi banding ke Australia pada 26 April-2 Mei 2011 kemarin.

Di negeri Kanguru itu, Komisi VIII beralasan hendak melakukan studi banding dalam rangka menggodok RUU Fakir Miskin. Anggaran kunjungan ditaksir mencapai Rp 800 juta. Nah, protes atas kunjungan ini sempat datang dari para pelajar Indonesia di Australia, hingga kemudian akhirnya Komisi VIII membuat audiensi.

Cerita dimulai, bertempat di KJRI Melbourne, pada Rabu 27 April malam waktu setempat, dengan percaya diri Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding membuka diskusi. Sejumlah program dan tujuan kunjungan dipaparkan politisi PKB itu.

Hingga akhirnya sampai kepada sesi tanya jawab. Seperti sudah dipaparkan PPI Australia dalam siaran persnya, mereka mempersoalkan agenda kunjungan dan waktu kunjungan. Saat kunjungan DPR dilakukan, Parlemen Australia tengah berlibur, ditambah lagi Komisi VIII sama sekali tidak mengagendakan bertemu dengan pihak pemerintah Federal Australia yang menangani langsung urusan kemiskinan.

Pertanyaan-pertanyaan datang mengalir ke Komisi VIII. Hingga akhirnya dengan alasan waktu habis, diskusi diakhiri. Namun saat itu banyak pertanyaan yang belum dijawab.

"Prinsipnya kita anggota Komisi VIII terbuka atas semua masukan," kata seorang pria yang berdiri di depan dan memegang mike.

Saat itu, tiba-tiba seorang pelajar memotong ucapan anggota Komisi VIII tersebut. Dia meminta alamat email para anggota dewan. Anggota DPR itu pun menjawab, kepada para pelajar akan diberi alamat email Komisi VIII.

Ada juga celetukan yang meminta agar tiap anggota dewan memberi alamat email masing-masing. Namun anggota Komisi VIII sepertinya sudah sepakat. Alamat email yang diberikan alamat resmi Komisi VIII.

Dalam video di Youtube bertajuk 'Email resmi Komisi 8 DPR RI' juga terlihat, anggota DPR berjaket hitam sibuk meminta kepada stafnya dan juga rekannya, apakah alamat email Komisi VIII. Hingga akhirnya keluar ucapan dari seorang anggota DPR perempuan, "Alamat email Komisi VIII @yahoo.com."

Dalam video yang diunggah PPI Australia pada 30 April itu, ucapan soal alamat email ini diulang beberapa kali. Diselipkan kata-kata "What??" dan "Sekali lagi, Bu?", atas penyebutan alamat email itu. Seolah tidak percaya, parlemen Indonesia memakai alamat email gratisan bukan 'go.id' seperti lazimnya.

"Komisi 8 @yahoo.com," ucap ibu itu. Keriuhan sempat terjadi. Para pelajar meminta kejelasan alamat email, hingga kemudian seorang pria mengulang dengan keras alamat email itu.

"Ya itu, alamat staf ahli Komisi," imbuh pria yang memegang mike.

Video yang diunggah di youtube itu sejatinya dipakai sebagai alat sindiran. Hingga kini sudah ada 6.178 orang yang melihat video itu. Lalu apakah alamat email resmi Komisi VIII DPR? Belum ada yang tahu.

Persoalan muncul, ternyata alamat email itu tidak ada. Detikcom yang juga mencoba berbagai kombinasi alamat email KomisiVIII@yahoo.com, Komisi8@yahoo.com, juga Komisidelapan@yahoo.com memastikan tidak ada alamat email itu yang dipegang anggota dewan yang terhormat.

Hanya saja, dari satu alamat email yakni Komisi8@yahoo.com memberikan balasan. Isinya menegaskan email itu tidak dipegang oleh anggota dewan.

"Terima kasih untuk email anda tapi mohon maaf ini bukan email resmi Komisi VIII DPR-RI sebagaimana disebutkan dalam pertemuan Komisi VIII dengan PPIA di Melbourne. Namun jika anda tetap ingin menyampaikan masukan, keluhan, atau apapun saya akan kompilasi meskipun belum tahu caranya bagaimana untuk menyampaikannya ke Komisi VIII DPR-RI," demikian isi balasan email itu.





sumber: detiknews.com
 
haah bokis tuh lagian itu pak kumis yang pake jaket item kok rempong benersih?? gelagapan gitu kaya orang mau nipu aja tapi ternayata malah ketawan
 
Ini setidaknya mengerti apa itu email...walaupun terlihat bodoh dan lucu, tapi pernah ada anggota dewan yang lebih bodoh dan lucu ketimbang dari komisi 8 itu....

Coba baca berita ini, yang aku kutip dari Kaltim Post....

"Pernah Punya, Tapi Dijual"
Anggota DPRD Gagap Teknologi, E-mail Disangka Barang


ANGGOTA DPRD Samarinda ternyata tergolong ketinggalan kemajuan dan gagap teknologi, khususnya dalam pemanfaatan surat elektronik (electronic mail atau e-mail) dalam berkomunikasi. Teknologi yang memanfaatkan komputer dan jaringan internet dan sudah dikenal bahkan oleh pelajar SMM inii bahkan tidak dikenal sebagian anggota Dewan. Sehingga ketika ditanya sudahkah punya e-mail, jawabannya justru mengundang tawa.

"Saya pernah punya, tapi sudah dijual," ujar Didik Sugiarto, anggota Komisi D dari Fraksi AKU dengan gaya meyakinkan seolah-olah e-mail adalah barang berwujud fisik yang bisa dipindahtangankan. Wakil Ketua Dewan, Hairul Anwar setali tiga uang. Awalnya jawabannya terasa wajar, namun belakangan sama sekali tidak 'nyambung.

"Secara pribadi saya belum memilikinya. Bukannya saya tidak mampu untuk memilikinya, namun saya masih cinta produk dalam negeri," katanya seolah-seolah e-mail adalah barang dari luar negeri. "Buat apa kita membanggakan produk luar, lihat saja HP (handphone) saya masih model lama," tuturnya sok yakin.

Tak hanya Didik dan Hairul, 9 anggota Dewan lainnya pun tak kenal atau tidak punya e-mail. Jika itu terjadi di generasi tua seperti H Nichlan yang usianya sudah 70-an, mungkin masih wajar. Namun yang muda-muda seperti Sukardi Surbakti dan Blasius Watu pun tak menyentuh sarana informasi yang efisien dan efektif ini. Begitu juga A Marcus Incau, Mardiah Mulyani, Sabri, Riyanto Rais, Arifin Idris dan Hamzah.

Padahal mereka sebenarnya tak harus memiliki komputer dan langganan internet secara pribadi, sebab lembaga legislatif ini pasti bisa menyediakannya. Baik secara fraksi maupun komisi. Bila memiliki e-mail, interaksi dengan masyarakat secara umum dan konstituen partainya bisa lebih berkembang dan aktif.

Berikut tanggapan anggota Dewan saat ditanya apakah punya e-mail, dan apakah mereka paham kegunaannya di era informasi sekarang.

H Nichan: Apa itu email? Saya belum punya e-mail karena masih kurang paham teknologi macam itu. Kalau keinginan punya ada, cuma untuk mengoperasikan komputer saja saya mesti tanya sana sini. Di lingkungan Dewan ini sebenarnya sudah ada, tapi sampai sekarang tidak dioperasikan karena tidak ada yang menggunakan.

Didik Sugiarto: Saya dulu pernah punya e-mail, namun saya jual.

Blasius Watu: Sekarang ini belum punya, sebab saya tidak ingin punya nafsu besar untuk memilikinya namun tidak ada waktu untuk melihatnya

Riyanto Rais: E-mail memang perlu dan ini akan menjadi masukan buat kami untuk secepatnya mengadakan internet di tempat kami. Dulu sempat pasang di sekretariat tapi nggak tahu kemudian tidak bisa di akses lagi.

Sedangkan Sabri dan Sukardi Surbakti yang mengakui memang penting memiliki e-mail, dan keinginan membuatnya, namun di rumah keduanya tidak ada akses telepon. "Di Palaran memang belum ada," kata Sukardi menyebut domisilinya. (*/gs)

Ada yang mau beli emailku nggak??....



-dipi-
 
The question is :
Apakah kita masih mau mempercayakan suara kita pada orang-orang bloon seperti itu?
Orang-orang yang jadi anggota dewan sekarang ini sebaiknya dikumpulkan dalam satu ruangan untuk dimusnahkan dengan cara dibakar, lalu diganti dengan generasi baru yang lebih muda dan fresh dari generasi selanjutnya.
 
The question is :
Apakah kita masih mau mempercayakan suara kita pada orang-orang bloon seperti itu?
Orang-orang yang jadi anggota dewan sekarang ini sebaiknya dikumpulkan dalam satu ruangan untuk dimusnahkan dengan cara dibakar, lalu diganti dengan generasi baru yang lebih muda dan fresh dari generasi selanjutnya.

sebenarnya kita tak memilih mereka
pemimpin partailah yg menempatkan mereka d DPR
 
Ronald Rofiandri: Insiden Email Komisi VIII DPR Hanya Puncak Gunung Es
Jumat, 06/05/2011 19:16 WIB Nurvita Indarini - detikNews

rr10.jpg

Jakarta - Anggota Dewan kerap menjadi sorotan publik. Dari tingkah mereka saat rapat, hingga saat mereka melakukan studi banding ke negara lain. Pun ketika ada insiden email Komisi VIII DPR saat studi banding ke Australia. Insiden ini hanyalah puncak gunung es.

"Ini hanya insiden kecil saja. Ini seperti gunung es yang hanya nampak puncaknya saja. Soal seriusnya adalah soal tata kelola, ada nggak sih manual mengelola aspirasi yang diperoleh dari masyarakat dan bagaimana DPR mempublikasikannya lagi," ujar Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri.

Berikut ini wawancara detikcom dengan Ronald, Jumat (6/5/2011):

DPR menuai kritikan terkait studi banding. Menurut Anda ini lebih karena biaya besar atau tidak sesuainya tempat tujuan?

Saya coba merujuk ke tata tertib. Pasal 143 Peraturan DPR No 1/2009 tentang Tata Tertib, ada kewajiban setiap alat kelengkapan seperti komisi atau pansus yang akan melakukan studi banding harus mengajukan term of reference (TOR) kepada pimpinan DPR. Nah dari pimpinan akan mempertimbangkan 3 hal, soal urgensi, relevansi dan keterkaitan dengan negara tujuan.

Dari aturan ini, pilihan negara akan dipertimbangkan. Kalau kita temukan fakta, negara tujuan studi banding mungkin ada yang cocok dan tidak, dan tergantung analisis pimpinan DPR terhadap TOR. Apakah analisisnya dangkal? Kalau iya, ketahuan nanti negara tujuannya nggak nyambung. Atau kalau analisisnya mendalam dan tepat, tujuan studi banding tepat pula. Yang dianalisia TOR-nya.

Jadi terkait TOR ini, alat kelengkapan DPR yang mengajukan TOR terkait kelayakan studi banding. Sedangkan biaya tidak ikut dipertimbangkan pimpinan. Karena kegiatan di 2011, anggarannya kan disetujui 2010. Jadi anggaran sudah ada.

Melihat studi banding yang dilakukan dan dikritik selama ini, tidak melalui analisis yang mendalam?

Selama ini dipersoalkan pelaksanaan studi banding, bukan hanya kalkulasi angka saja yang perlu dipastikan lagi tapi mari kita lihat praktik perencanaan. Dalam kegiatan, pasti ada perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Sampai hari ini, jangankan DPR yang sekarang, yang periode lalu juga bermasalah.

Yang disayangkan, lebih dari satu tahun ini, DPR tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan dari perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Ada sih yang studi bandingnay sesuai dan mendukung. Misalnya saja saat proses RUU Akuntan Publik. Seingat kita, ada publikasi terkait rencana studi banding. Lalu kita lihat apakah studi banding itu malah memperlambat, ternyata tidak. Ternyata tepat waktu dan tuntas.

Namun ada yang tidak menyampaikan ke media dan menghabiskan durasi RUU yang ada di tata tertib. Tapi yang efektif sedikit ketimbang yang bermasalah. Saya bisa katakan RUU Bantuan HUkum dan RUU Kepramukaan tidak sesuai alur legislasi. Kegiatan ini dilaksanakan saat pembahasan dan bahkan ada yang saat pembahasan sudah mau selesai. Hasilnya dilihat, ternyata studi banding tidak terlalu berpengaruh dengan materi UU-nya.

Lalu soal pertanggungjawabannya, tidak semua disampaikan hasilnya ke publik baik melalui media atau disampaikan di website DPR. Kelengkapan DPR yang melakukan studi banding pertama adalah Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) yang melakukan pada sekitar Februari atau Maret 2010. Nah itu publikasinya belum ada di website DPR. Mungkin ini yang kemudian ditiru oleh kelengkapan lainnya. Kalaupun ada yang bisa mengakses hasilnya, itu melalui proses bersengketa atau ketika diminta oleh ICW baru ada.

Apa yang harus dievaluasi dari studi banding ini?

Kalaupun ke depan ada rencana memangkas anggaran sampai 50 persen atau kemudian, populernya moratorium, harus dipastikan pelaksanaannya seperti apa. Kalau hanya menahan dan menggeser jadwal, tidak berarti apa-apa. Kalau hanya bermain di tingkat angka dan tidak melihat akarnya juga tidak akan menjadi penyelesaian.

Mari kita kaitkan studi banding dengna alur legislasi. Mencari pembanding dilakukan seharusnya dilakukan saat penyusunan naskah akademik dan penyusunan langkah awal RUU, bukan saat pembhasan atau di akhir pembahasan. Ini memang terpengaruh pola penganggaran. Sudah menjadi rahasia umum juga kalau studi banding begitu masif karena anggaran tersedia atau mereka punya mindset perlu studi banding untuk tiap RUU. Kalau sudah jadi mindset, memang harus pelan-pelan mengubahnya.

Selama ini bagaimana pelaksanaan studi banding?

Trennya seperti itu, dilakukan di tengah pembahasan. Untuk RUU, kan ada yang siapkan DPR dan ada pula yang disiapkan pemerintah. Biasanya yang disiapkan pemerintah itu sudah ada kajian dan kadang sudah dilakukan studi banding, ternyata studi banding dilakukan juga oleh DPR.

Ini misalnya terjadi di RUU Bantuan Hukum. Memang inisiatif dari DPR, tapi pemerintah sudah menyiapkan naskah RUU, banyak kajian telah dilakukan Kemenkum HAM. Bahkan Kemenkum HAM sudah studi banding ke Afsel. Artinya info pembanding sudah ada. Tapi karena Dewan merasa harus ada studi banding, maka dilakukan lagi. Padahal data pembanding bisa dibaca dari yang dilakukan Kemenkum HAM.

Studi banding ini bukanlah hal yang dilarang. Apa saja yang harus diperhatikan?

TOR itu sendiri sudah cukup menjawab standar minimal soal urgensi, juga relevansi dengan apa yang sedang dipersiapkan. Disebutkan di TOR, negara yang dijadikan tujuan, tapi juga ada hal yang tidak boleh diabaikan. Ini terkait klasifikasi data dan informasi yang diperoleh. Mungkin ada data yang bisa diperoleh di website dan literatur atau dari kedubes. Ini di tahap perencanaannya.

Di tahap pelaksanaan, banyak desain aktivitas yang bisa dilakukan, di mana tidak mengharuskan anggota Dewan harus berangkat ke negara lain. Jadi untuk menghimpun data bisa memanfaatkan tenaga ahli atau video conference. Kan sekarang ada skype, bisa menggunakan itu. Bisa pula mengundang narsum yang dianggap pakar untuk hadir di DPR. Ini pernah dipraktikkan di Kementerian Keuangan dan Bappenas. Meskipun mengunjungi negara dilakukan juga kalau dirasa perlu. Tapi yang penting kan efisiensinya.

Lalu kalau misalnya anggota DPR harus berangkat ke negara lain, harus jelas dalam situasi apa. Jelas pula dalam situasi apa yang berangkat staf ahlinya saja. Kalau hanya untuk mencari data, staf ahli saja cukup. Beda untuk pertemuan konferensi atau kunjungan balasan dari parlemen yang lain.

Lalu di pertanggungjawaban, ini penting agar masyarakat diyakinkan apa yang telah dilakukan dalam menghabiskan dana sekian miliar rupiah. Harus diyakinkan tidak ada penyimpangan. Selain itu, publikasi sebagai wujud pertanggungjawaban, bisa mengundang inisiatif dari perguruan tinggi atau pakar penelitian untuk melengkapi. Tidak ada ruginya untuk transparan dan akuntabel, malah mengundang inisiatif masyarakat untuk memperkuatnya.
 
Back
Top