Amangkurat I

langit_byru

New member
Amangkurat I adalah sultan Mataram yang bertahta pada tahun 1646 sampai dengan 1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo. Saat naik tahta, ia berusaha untuk menciptakan kestabilan politik jangka panjang di wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram, yang meskipun luas tetapi terus-menerus mengalami pemberontakan.

Awal pemerintahan
Amangkurat I dianggap telah memerintahkan penyingkiran terhadap penguasa-penguasa lokal yang dianggapnya tidak terlalu berguna, dalam hal ini termasuk Pangeran Pekik dari Surabaya yang tak lain adalah mertuanya sendiri. Ia juga menutup pelabuhan dan menghancurkan kapal-kapal di kota-kota pesisir, untuk mencegah berkembangnya kekuatan mereka karena kesejahteraan yang meningkat. Demi meningkatkan kemashuran, Amangkurat I memilih untuk meninggalkan istana Sultan Agung di Kartasura (terbuat dari kayu), serta memindahkan ibukota dan mendirikan istana baru (terbuat dari bata merah) yang lebih megah di Plered.

Pada pertengahan 1670, ketidak-puasan terhadap Amangkurat I telah berubah menjadi pemberontakan terbuka, yang diawali dari daerah Jawa Timur dan terus ke daerah pedalaman Jawa. Putra mahkota yang bernama Adipati Anom (nantinya menjadi Amangkurat II), merasa bahwa jiwanya terancam di lingkungan istana setelah ia mengambil salah seorang selir ayahnya dengan bantuan Pangeran Pekik dari Surabaya. Dipihak lain, kejadian tersebut menimbulkan kecurigaan Amangkurat I terhadap adanya konspirasi antara anaknya dengan pihak Surabaya, yaitu dengan memanfaatkan posisi penting sang putra mahkota yang juga merupakan cucu dari Pangeran Pekik.

Pemberontakan Trunajaya

Untuk menghadapi kecurigaan tersebut, Adipati Anom kemudian bekerjasama dengan Panembahan Rama dari Kajoran, yaitu letaknya di sebelah barat Magelang. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai menantunya, yaitu Raden Trunajaya seorang pangeran dari Madura, untuk melakukan pemberontakan. Amangkurat I dan Adipati Anom kemudian melarikan diri dari ibukota, dan meninggalkan Pangeran Puger untuk memimpin perlawanan. Trunajaya dan pasukannya, yang juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong, ternyata akhirnya dapat menguasai istana kerajaan di Mataram pada pertangahan 1677. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom sebagaimana yang direncanakan sebelumnya dan malah melakukan penjarahan terhadap istana Kartasura.

Wafatnya Amangkurat I

Setelah mengambil rampasan perang dari istana, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur. Kesempatan ini diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu terpecahlah kerajaan Mataram. Tak lama setelah kejadian tersebut, Amangkurat I meninggal dunia dalam pelariannya dan kemudian dimakamkan di Tegalarum pada tahun 1677 itu juga. Ia kemudian digantikan oleh sang putra mahkota dengan gelar Amangkurat II.
 
bagus banget informasinya .....

Bagi saya, nama ini hanya membangkitkan gambaran tentang kekejaman, nafsu berahi, dan "egoisme cinta" dari laki-laki penguasa yang berjiwa kerdil.
Begini, kawan, di sebelah timur dusun saya, Tambalan Pleret, ada sebuah kompleks makam yang terletak di puncak sebuah bukit. Bukit Kelir atau Bukit Sentana namanya. Konon, makam, di puncak bukit itu adalah Makam Ratu Malang atau Kanjeng Ratu Truntum. Dia adalah selir Amangkurat I.
Ratu Malang ini sebelumnya adalah istri seorang dalang wayang Gedok yang bernama Ki Dalem dari Kranon. Malang benar, istri dalang ini terlalu cantik dan pada suatu kesempatan kecantikannya ketahuan oleh Amangkurat I. Dan, kawan tahu, raja itu berkuasa. Juga atas istri kawulanya.
Singkat cerita, Amangkurat I merebut Truntum dari Ki Dalem. Truntum dijadikannya selir. Tak cukup itu, Amangkurat I juga membunuh sang dalang. Truntum menderita di Keputren Mataram meski Amangkurat sayang benar padanya. Truntum sakit-sakitan dan akhirnya mati merana. Konon, menurut babad-babad, menjelang kematiannya, Truntum menyebut-nyebut kata Dalem. Maksudnya adalah memanggil nama suaminya Ki Dalem. Tapi Amangkurat I yang terlalu cinta pada Truntum itu menyangka bahwa selirnya itu sedang mengadu padanya perihal sebab-sebab sakitnya. Amangkurat I menyimpulkan bahwa Truntum sakit karena racun dan guna-guna selir-selir lain yang iri di Dalem Keputren. Raja ini marah bukan kepalang, maka seluruh penghuni keputren kemudian dikurungnya tanpa diberi makan dan dibiarkan sampai mati.
Truntum sendiri kemudian dibuatkannya mausoleum di Puncak Bukit Kelir, yang diberi nama Antakapura. Namun konon, jasad Truntum tak langsung dikubur. Karena begitu cintanya pada Truntum, Amangkurat I melarang orang mengubur kekasihnya itu. Ia menunggunya siang malam. Barulah ketika jenazah itu membusuk, pangeran Purbaya berhasil mebujuknya untuk menguburkanm Truntum.
Amangkurat I memang sungguh lain perangainya dengan ayahndanya, Sultan Agung.

er_widada@yahoo.co.id
 
Begitulah dik sejarah kakek moyang kita, raja-raja Mataram. Ada yang patriotik seperti Sultan Agung (tapi ini paling hanya beberapa gelintir saja). Selebihnya, dan banyak sekali, yang seperti adik katakan, kakek moyang raja-raja kita tidak jauh dari sex, pesta dan ****. Nanti kalau melarat dan ada pemberontakan, lari lah mereka ke orang asing (VOC; Belanda) utk minta bantuan dengan konsesi-konsesi tertentu yang secara jangka panjang akan menyengsarakan rakyat dan bangsanya. Kepepetnya kalau gak bisa bayar hutang, ngemplang dan karena kepept balik berperang dg VOC.

Apa yang dikatakan Amin Rais (Maaf bukan karena tokoh PAN, tapi sebagai intelektual pencetus reformasi) ketika Ultah Reformasi ke10? Ketika ia diwawancarai MetroTV, Mengapa bangsa kita setelah 10 tahun reformasi, masih saja sengsara?
Apa jawab AMin? Generasai sekarang ini kasian sekali. Hanya mewarisi "amangkurat-amangkurat".
Ia secara implisit mengatakan, bahwa pejabat-pejabat negara Indonesia sekaranag ini, baik di tkt kabupaten s.d pusat, baik yang di yudikatif, eksekutif, dan yudikatif, hampir semua mewarisi karakter "amangkurat" yang ada dalam sejarah dan yang adik ceritakan itu. Artinya, patriotisme (jiwa membela bangsa dan negara) sudah tidak ada. Mereka dengan mudahnya menjual, menggadaikan kekayaan dan aset bangsa hanya demi imbalan finansial pribadi dan keluarganya saja.
Banyak pejabat jaman Suharto yang masih bercokol, berapa banyak perusahaan, hutan dan tambang digadaikan murah-murah pada modal asing? Lihat Freeport, Newmont, tambang-tambang minyak. Pada scope kecil (pengembanagan propert), berapa hektar tanah-tanah dan sawah produktif di pulau Jawa yang dijadikan pabrik, rumah mewah, lapangan golf mewah. Milik siapa kalau bukan bangsa bermata sipit dari Singapura, Hongkong, Taiwan? Waktu dekat dengan kekuasaan dan masih jaya (kecurangan masih bisa ditutup) mereka bilang, kami juga waraga negara Indonesia yang membangun ekonomi bangsa. Tahu sekrang dengan ksus BLBI? Bandit semua kaaan? Mana tampang mereka ada di Indonesia sekaranga ini (entah kalau sudah ada "face operation") Lihat Freeport!
Nah, pejabat-pejabat lama kini masih kita lihat "tingkrang-tingkring" dan masih ada sifat "pongah, rakus" (itulah salahnya Reformasi; seharusnya Golkar/ penguasa orde baru disikat semua)
Jaman Megawati, dua tankler besar baru jadi belum sempat dipakai, dijual dengan harga murah. Adik tahu Indosat/Telkom. Lihat saja, orang Siapa pemgang sahan yang besar, cukong-cukong Singapur.

Apalagi sdekarang ini, dengan adanya otonomi daerah di mana bupati berkuasa, maka "wabah amangkurat yang tadinya hanya di pusat", menyebar dengan cepat ke daerah. Adik tahu kan berapa pulau terluar di Kep. Riau terjual untuk mengurug dan menambah daratan negara Singapura yg berhadapan dengan Indonesia? (Kalau yang menghadap Malaysia saat itu, mereka takut berhadapan dengan Mahathir). Anda masih bisa melihat lebatnya hutan Sumatera dan Kalimantan? No, no! Sudfah dibakar habis dan ditanamai kelapa sawait. SIapa yang punya? Apakah Yusuf Ka;a? Apakah para bupati yang jual hutan? Tidak. Yg punya orang Malaysia. Pejabat-pejabat itu diberi uanag dan mungkin diberi saham yang kecil (tapi sbg pribadi tentu besaaar).
Osi hamngat sekarang ini, pemerintah mau menjual Krakatau Steel (KS). Memang kalau hanya dipandang sebagai pabrik pembuat besi beton bangunan, atau plat kaleng mobil, KS tidak ada artinya. Hanya penghasil komoditi. Tapi, negara mana sih yang maju dan kuat tanpa memiliki industri baja secara mandiri? Jepang saja tidakmpunya batubara dan bijih besi, tapi kuat industri bajanya, sehinga dapat bikin kapal, pesawat, mobil sendiri. Hal ini disadari ratusan tahun yg lalu ketika Kaisar Meiji memimpin negara. Lja koq, negara Indoensia yang luas, pemduduku besar, kaya raya akan batu bara dan pasir besi, eh cuma bikin besi beton untuk cor. Mesin mobil? Beli. Kapan mau mulai belajar? Eh, malah dijual. Yah itulah mentalitas amangkurat para pejabat kita.

Nah, generasi ,uda Indonesia, maukah Nada melawan amangkurat-amangkurat itu? A Maukah Anda mencari pimpinan yang berani seperti Mahathir (menentang USA dan IMF), Putin (menghantam konglomerat korup), dan seperti yang terjadi di bebeapa negara AMerika Latin untuk berani melawan IMF dan peruhaan multi nasional dengan menasionalisasi kembali aset negara?

Ataukah generasi adik hanya mau gontok-gontokan dengan masalah primordial seperti di Monas yang memalukan itu? Kalau gak mau, ya gapapa. Mari kita ramai-ramai jadi kuli dan begundal (baik berdasi atau tidak) orang-orang (modal) asing.
 
Back
Top