spirit
Mod

Sampai hari ini, Selat Bali masih memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Bali. Kalau mau, mungkin sudah sejak dulu Jembatan Giliwangi (Gilimanuk Banyuwangi, sebutan penulis) sudah kokoh melintasi Selat Bali. Jembatan Suramadu saja bisa, Giliwangi kenapa tidak. Banyak alasan mengemuka untuk tidak membangun jembatan penghubung antara Bali dan ujung Timur Pulau Jawa itu. Mungkin salah satunya akan menghilangkan rejeki Anak Logam. Pemburu koin di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi yang juga bisa ditemui di Pelabuhan Gilimanuk, Bali.
Anda yang akan menyeberang ke Pulau Bali atau ke Pulau Jawa pasti sering bertemu dengan Anak Logam ini. Mereka masih bocah. Usianya belasan. Kisaran 10-15 tahun. Fisiknya, tak berbeda dengan anak-anak seusianya. Mungkin sedikit kurusan. Hanya rambutnya yang membedakan dengan anak biasa. Pigmen rambutnya cenderung memerah. Ya tentu saja, wong tiap saat harus mencebur ke laut, menyelam di air laut yang dingin. Setelah Kapal Ferry bertolak meninggalkan dermaga, barulah bocah-bocah itu naik ke dermaga. Mengeringkan dirinya termasuk rambutnya sambil menunggu “sasaran” berikutnya. Proses basah kering yang terus menerus ini yang menimbulkan warna merah pada rambut.
Nyali si Anak Logam luar biasa. Mereka unjuk kebolehan dengan terjun dari jendela Kapal Ferry yang sedang merapat di dermaga. Saat berenang di air, tangannya menggapai-gapai. Sambil sesekali berteriak minta para penumpang untuk melempar koin ke laut. Satu dua penumpang iseng melempar uang logam limaratusan dan seribuan. Jleb, uang tenggelam. Segera anak-anak logam berebut meyelam, manggapai uang logam sebelum sampai dasar laut. Sesegera mungkin dia kembali ke permukaan mengambil nafas. Uang logam pun disimpan di mulutnya. Lagi-lagi, tangannya menggapai-gapai mengajak penumpang untuk melempar koin nya. Dia akan membuktikan kepiawaian untuk berenang dan menyelam demi sebiji koin yang di rumah kita kadang enggan untuk memungutnya.
Suatu ketika saya dalam Kapal Ferry yang akan menyeberang dari Bali ke Jawa. Saya naik ke geladak atas tempat Kapten Kapal. Disana bertemu 2 orang Anak Logam yang sedang duduk-duduk di atap Kapal. Saya dekati mereka.
“Kok nggak sekolah?” tanya saya.
“Libur Pak!” jawab mereka serempak sambil senyum-senyum.
“O0o…, ” saya percaya saja.
“Om… minta Lima Ribu. Saya akan loncat dari sini!” salah seorang dari mereka melontarkan tantangan.
Saya pandangi mereka. tatapan mereka serius. Tadi panggil pak sekarang Om, kata saya dalam hati. Saya menoleh ke arah bawah. Tinggi amat. Sekitar 12 meter. Saya bergidik. Mereka akan melompat dan jatuh di laut. Ya kalau jatuhnya pas. Kalau ngeplek (tidak dalam posii sempurna) kan bisa berabe mereka ini, pikir saya.
“Ayo Om, kapal mau berangkat nih!” rengek salah satu anak.
“Ok.. Ini lima ribu, tapi saya nggak nyuruh kalian nyebur dari sini lho. Ikhlas saya berikan untuk beli jajan.,”
“Makasih Om … beressss!”.
Dan…..Byurrrr…..byurrrrr. Sesaat sebelum Kapal Ferry berangkat, tanpa komando, dua bocah ini telah loncat dari atap kapal. Mereka jatuh di laut dengan posisi yang aman. Dari jauh mereka melambai-lambaikan tangannya, menunjukkan kalau baik-baik saja. Sebelumnya saya ngeri juga. Tapi setelahnya jadi agak lega. Ah, Anak Logam, nyalimu luar biasa. Mungkin kalau diperhatikan dan dilatih kemampuan berenang dan menyelamnya akan menjadi luar biasa anak-anak ini. Siapa tahu jadi jawara renang atau diving?Mudah-mudahan ada yang memperhatikan nasib anak-anak pemberani ini.

Meloncat

Jatuh…. sambil eksyen

Mendarat… Byurrr

Berenang merapat ke dermaga

Kapal Ferry penghubung Jawa Bali mendekati dermaga
Saat turun dari geladak atas saya baru tahu dari tukang pijat di Kapal, walau nggak diberi Lima Ribu pun, Anak Logam tetap akan loncat. Lha kalau nggak meloncat, memangnya mau ikut menyeberang. He he he! Saya juga diberi tahu klau Anak Logam kebanyakan juga tidak sekolah. Mereka lebih asyik mengisi hari-harinya dengan bermain air menunggu belas kasihan penumpang. Konon, sehari mereka bisa mengumpulkan koin antara 20 ribu-25 ribu bahkan lebih. Lumayan buat membantu kebutuhan orangtua yang sehari-hari jadi buruh di pelabuhan.
Catatan pribadi: Teguh Heriawan - Kompasiana