fajarsany
New member
Malam ini adalah hari Sabtu, tanggal 21 Juni 2008, pukul 20.35 waktu Indonesia barat.
Aku berlari kecil menuju angkot yang baru saja kutunjuk; hujan mulai turun, aku tidak mau badanku basah kuyup. Hari ini begitu melelahkan, setelah seharian berkeliling kota Bandung.
Aku duduk di depan, disamping pak sopir yang ekspresi mukanya datar, tak menunjukkan rasa lelah sedikitpun. Jarang-jarang di malam hari seperti ini aku menemukan sopir angkot yang tidak berwajah lelah. Radio di mobil menyiarkan berita tentang pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan dilaksanakan tahun depan.
Aku menengok ke belakang, ada sepasang suami-istri beserta anak laki-lakinya, seorang bapak-bapak, dua orang pemuda, dan seorang perempuan berusia 40 tahunan. Anak kecil tadi terlihat sedang mengantuk dalam apitan kedua orangtuanya.
Radio pun memutar sebuah lagu yang sekarang menjadi pembicaraan banyak orang.
“Pernah ada, rasa cinta
Antara kita, kini tinggal kenangan
Ingin kulupakan, semua tentang dirimu
Namun tak lagi, kan seperti dirimu
oh bintangku…”
Grrr… lagu ini, aku jadi merinding. Pertama kalinya aku mendengar lagu ini ketika sedang berkumpul bersama teman-teman. Salah seorang temanku berkata, jika menyanyikan lagu ini sendirian di malam hari, maka akan didatangi oleh seorang hantu perempuan yang bernama Gabby; bukan dalam wujud kuntilanak, tetapi dalam wujud seorang gadis bermuka pucat.
“Terang teu lagu ieu?” (“Tahu tidak lagu ini?”) Tiba-tiba pak sopir berbicara menggunakan bahasa Sunda.
“Muhun terang mang, saur réréncangan abdi mah, mun lagu ieu ditembangkeun nyalira wengi-wengi, bakal didatangan ku jurig awéwé. Ngan wujudna sanés kuntilanak, tapi awéwé biasa nu beungeutna sepa. Cenah éta gé, abdi mah teu acan pernah nyobian.” (“Iya tahu pak, kata teman saya, kalau lagu ini dinyanyikan sendirian di malam hari, akan didatangi oleh hantu perempuan. Tapi wujudnya bukan kuntilanak, melainkan seorang perempuan biasa yang wajahnya pucat. Itu juga masih katanya, saya belum pernah mencobanya.”) Jawabku.
Pak sopir hanya tersenyum sebentar mendengar jawabanku, kemudian wajahnya kembali datar.
“Nu ku abdi dangu ti réréncangan mah, lagu na téh ditembangkeun ku awewe ngora, SMA-an lah jigana mah, maké gitar; aya sora keprok jelema na ogé, jiga nu keur ditongton ku lobaan." (“Yang saya dengar dari teman, lagu ini dinyanyikan oleh seorang perempuan muda, SMA-an lah sepertinya, menggunakan gitar; ada suara tepuk tangan orang-orangnya juga, seperti yang sedang ditonton oleh banyak orang.”) Kataku lagi.
Pak sopir hanya diam tidak menjawab kata-kataku.
Diluar hujan turun cukup deras. Jarang-jarang air turun dari langit di musim kemarau ini, malam hari pula. Semoga saja turunnya tidak lama.
Pemandangan kota ini di malam hari sungguh indah, cahaya lampu yang berwarna-warni menghiasi sepanjang jalan yang aku lewati. Aku larut dalam lamunanku.
Tiba-tiba…
Aku merasakan kantuk yang luar biasa. Entah kenapa, rasanya seperti baru menelan obat tidur. Ah, mungkin ini efek perutku saja yang terisi penuh oleh makanan.
Namun akhirnya aku tidak mampu melawannya dan tertidur.
Perlahan, pendengaranku kembali pulih, begitu pula penglihatanku, aku mendapatkan kesadaranku kembali.
Hujan masih turun cukup deras, tapi aku tidak tahu sedang berada di mana sekarang. Jalanan yang gelap, hanya terlihat beberapa cahaya lampu dari kejauhan. Seperti berada di perkampungan. Ini bukan jalur yang seharusnya dilewati.
“Mang, ieu naha…” (“Pak, ini kenapa…”) sambil kutengokan mukaku ke kanan, tapi…
Pak sopir tidak ada, begitu pula penumpang-penumpang yang dibelakang. Baru kusadari pula bahwa roda mobil ini tidak menyentuh tanah, tapi melayang!
Ya ampun, apa yang sebenarnya terjadi? Ini tidak nyata… ini tidak nyata… aku pasti bermimpi. Aku menampar wajahku, dan terasa sakit… ternyata aku tidak bermimpi.
Dengan cepat mobil naik ke atas seperti pesawat jet yang menanjak. Jelas saja darahku langsung mengalir deras ke bawah, membuat pandanganku menjadi gelap dan tidak sadarkan diri.
Akhirnya aku mendapatkan kesadaranku kembali. Badanku rasanya berat sekali, setiap persendian pun sulit untuk digerakkan.
Aku bisa melihat pemandangan kota yang warna-warni di malam hari layaknya dari dalam pesawat terbang. Ya! Aku sedang berada di udara, mobil angkot ini melayang entah berapa meter diatas permukaan tanah, mungkin sekitar 4000 meter. Kemudian mobil menghadap vertikal ke atas, menuju sebuah benda berwarna hitam berbentuk oval.
Radio pun kembali berbunyi dan menangkap banyak sekali frekuensi, tapi berhenti di frekuensi yang menyiarkan lagu “Tinggal Kenangan” yang dinyanyikan Gabby tadi.
“Jauh kau pergi meninggalkan diriku
Disini aku, merindukan dirimu
Kini kucoba mencari penggantimu
Namun tak lagi kan seperti dirimu
Oh kekasih…”
Kemudian pesawat tersebut membukakan pintunya yang memancarkan cahaya putih menyilaukan dari dalam, membutakan penglihatanku; kemudian aku merasa seperti berada didalam sebuah ruangan; terdengar suara dengungan halus seperti mesin.
Cahaya tadi masih membutakan penglihatanku, namun aku bisa merasakan ada yang membuka pintu kiri mobil.
Cahaya pun menghilang, kini aku bisa memulihkan penglihatanku. Dan apa yang kulihat?
Sesosok robot tinggi seperti manusia berwarna abu-abu metalik menyodorkan sesuatu berbentuk senapan dari dadanya, kemudian menembakkan cahaya berwarna biru yang membuat sekujur tubuhku seperti disetrum listrik bertegangan tinggi. Semuanya kembali menjadi gelap, aku kembali tak sadarkan diri.
“Tidak… aku tidak boleh mati sekarang. Aku tidak ingin meninggalkan orang-orang yang kucintai dan mencintaiku, masih banyak urusan yang belum kuselesaikan, dan ada seorang perempuan yang ingin kutemui, itu belum terlaksanakan….” Kataku dalam hati.
Aku berlari kecil menuju angkot yang baru saja kutunjuk; hujan mulai turun, aku tidak mau badanku basah kuyup. Hari ini begitu melelahkan, setelah seharian berkeliling kota Bandung.
Aku duduk di depan, disamping pak sopir yang ekspresi mukanya datar, tak menunjukkan rasa lelah sedikitpun. Jarang-jarang di malam hari seperti ini aku menemukan sopir angkot yang tidak berwajah lelah. Radio di mobil menyiarkan berita tentang pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan dilaksanakan tahun depan.
Aku menengok ke belakang, ada sepasang suami-istri beserta anak laki-lakinya, seorang bapak-bapak, dua orang pemuda, dan seorang perempuan berusia 40 tahunan. Anak kecil tadi terlihat sedang mengantuk dalam apitan kedua orangtuanya.
Radio pun memutar sebuah lagu yang sekarang menjadi pembicaraan banyak orang.
“Pernah ada, rasa cinta
Antara kita, kini tinggal kenangan
Ingin kulupakan, semua tentang dirimu
Namun tak lagi, kan seperti dirimu
oh bintangku…”
Grrr… lagu ini, aku jadi merinding. Pertama kalinya aku mendengar lagu ini ketika sedang berkumpul bersama teman-teman. Salah seorang temanku berkata, jika menyanyikan lagu ini sendirian di malam hari, maka akan didatangi oleh seorang hantu perempuan yang bernama Gabby; bukan dalam wujud kuntilanak, tetapi dalam wujud seorang gadis bermuka pucat.
“Terang teu lagu ieu?” (“Tahu tidak lagu ini?”) Tiba-tiba pak sopir berbicara menggunakan bahasa Sunda.
“Muhun terang mang, saur réréncangan abdi mah, mun lagu ieu ditembangkeun nyalira wengi-wengi, bakal didatangan ku jurig awéwé. Ngan wujudna sanés kuntilanak, tapi awéwé biasa nu beungeutna sepa. Cenah éta gé, abdi mah teu acan pernah nyobian.” (“Iya tahu pak, kata teman saya, kalau lagu ini dinyanyikan sendirian di malam hari, akan didatangi oleh hantu perempuan. Tapi wujudnya bukan kuntilanak, melainkan seorang perempuan biasa yang wajahnya pucat. Itu juga masih katanya, saya belum pernah mencobanya.”) Jawabku.
Pak sopir hanya tersenyum sebentar mendengar jawabanku, kemudian wajahnya kembali datar.
“Nu ku abdi dangu ti réréncangan mah, lagu na téh ditembangkeun ku awewe ngora, SMA-an lah jigana mah, maké gitar; aya sora keprok jelema na ogé, jiga nu keur ditongton ku lobaan." (“Yang saya dengar dari teman, lagu ini dinyanyikan oleh seorang perempuan muda, SMA-an lah sepertinya, menggunakan gitar; ada suara tepuk tangan orang-orangnya juga, seperti yang sedang ditonton oleh banyak orang.”) Kataku lagi.
Pak sopir hanya diam tidak menjawab kata-kataku.
Diluar hujan turun cukup deras. Jarang-jarang air turun dari langit di musim kemarau ini, malam hari pula. Semoga saja turunnya tidak lama.
Pemandangan kota ini di malam hari sungguh indah, cahaya lampu yang berwarna-warni menghiasi sepanjang jalan yang aku lewati. Aku larut dalam lamunanku.
Tiba-tiba…
Aku merasakan kantuk yang luar biasa. Entah kenapa, rasanya seperti baru menelan obat tidur. Ah, mungkin ini efek perutku saja yang terisi penuh oleh makanan.
Namun akhirnya aku tidak mampu melawannya dan tertidur.
***
Perlahan, pendengaranku kembali pulih, begitu pula penglihatanku, aku mendapatkan kesadaranku kembali.
Hujan masih turun cukup deras, tapi aku tidak tahu sedang berada di mana sekarang. Jalanan yang gelap, hanya terlihat beberapa cahaya lampu dari kejauhan. Seperti berada di perkampungan. Ini bukan jalur yang seharusnya dilewati.
“Mang, ieu naha…” (“Pak, ini kenapa…”) sambil kutengokan mukaku ke kanan, tapi…
Pak sopir tidak ada, begitu pula penumpang-penumpang yang dibelakang. Baru kusadari pula bahwa roda mobil ini tidak menyentuh tanah, tapi melayang!
Ya ampun, apa yang sebenarnya terjadi? Ini tidak nyata… ini tidak nyata… aku pasti bermimpi. Aku menampar wajahku, dan terasa sakit… ternyata aku tidak bermimpi.
Dengan cepat mobil naik ke atas seperti pesawat jet yang menanjak. Jelas saja darahku langsung mengalir deras ke bawah, membuat pandanganku menjadi gelap dan tidak sadarkan diri.
Akhirnya aku mendapatkan kesadaranku kembali. Badanku rasanya berat sekali, setiap persendian pun sulit untuk digerakkan.
Aku bisa melihat pemandangan kota yang warna-warni di malam hari layaknya dari dalam pesawat terbang. Ya! Aku sedang berada di udara, mobil angkot ini melayang entah berapa meter diatas permukaan tanah, mungkin sekitar 4000 meter. Kemudian mobil menghadap vertikal ke atas, menuju sebuah benda berwarna hitam berbentuk oval.
Radio pun kembali berbunyi dan menangkap banyak sekali frekuensi, tapi berhenti di frekuensi yang menyiarkan lagu “Tinggal Kenangan” yang dinyanyikan Gabby tadi.
“Jauh kau pergi meninggalkan diriku
Disini aku, merindukan dirimu
Kini kucoba mencari penggantimu
Namun tak lagi kan seperti dirimu
Oh kekasih…”
Kemudian pesawat tersebut membukakan pintunya yang memancarkan cahaya putih menyilaukan dari dalam, membutakan penglihatanku; kemudian aku merasa seperti berada didalam sebuah ruangan; terdengar suara dengungan halus seperti mesin.
Cahaya tadi masih membutakan penglihatanku, namun aku bisa merasakan ada yang membuka pintu kiri mobil.
Cahaya pun menghilang, kini aku bisa memulihkan penglihatanku. Dan apa yang kulihat?
Sesosok robot tinggi seperti manusia berwarna abu-abu metalik menyodorkan sesuatu berbentuk senapan dari dadanya, kemudian menembakkan cahaya berwarna biru yang membuat sekujur tubuhku seperti disetrum listrik bertegangan tinggi. Semuanya kembali menjadi gelap, aku kembali tak sadarkan diri.
“Tidak… aku tidak boleh mati sekarang. Aku tidak ingin meninggalkan orang-orang yang kucintai dan mencintaiku, masih banyak urusan yang belum kuselesaikan, dan ada seorang perempuan yang ingin kutemui, itu belum terlaksanakan….” Kataku dalam hati.
Last edited: