Anicca;Motivasi Hidup

singthung

New member
Anicca;Motivasi Hidup


Oleh: Samanera Dhammasiri​



Beberapa sarjana Barat -bahkan mungkin juga umat Buddha sendiri- menyatakan bahwa agama Buddha adalah agama yang pesimistik atau dengan kata lain agama yang tak memiliki motivasi hidup. Para sarjana Barat berkesimpulan bahwa agama Buddha adalah agama yang pesimistik karena mereka menemukan konsep dukkha yang secara salah mereka pahami atau di pihak lain mungkin karena mereka tidak memahami arti pessimism dalam konteks yang benar. Sedangkan dari umat Buddha sendiri mengapa mereka tidak bersemangat menghadapi hidup ini - selain menemukan konsep dukkha - adalah karena mereka menemukan ajaran bahwa untuk mencapai kebahagian yang ideal kita harus melepaskan (give up) segala bentuk kemelekatan terhadap apa yang kita miliki.

Pesimisme VS Motivasi

Pertama-tama marilah kita melihat definisi dari kata pesimisme agar kita mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan pesimisme. Menurut Oxford Advanced Learner's Dictionary, pessimism adalah "kecenderungan (tendency) untuk menjadi sedih dan khawatir serta percaya bahwa hal yang paling buruk akan terjadi."[1] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada tiga kata yang berasal dari pesimisme yang menarik untuk disimak. Ketiga kata tersebut adalah pesimis, pesimisme, dan pesimistis. Pesimis -menurut Kamus tersebut- adalah "orang yang bersikap atau berpandangan tidak mempunyai harapan baik (khawatir kalah, rugi, celaka dan sebagainya); orang yang mudah putus (tipis) harapan." Di pihak kedua kata pesimisme diartikan sebagai "paham yang beranggapan atau memandang segala sesuatu dari sudut buruknya saja." Sedangkan, "bersikap atau berpandangan tidak mempunyai harapan baik atau mudah putus harapan; bersikap tidak mengandung harapan baik; (sikap) ragu akan kemampuan atau keberhasilan suatu usaha" adalah arti yang diberikan terhadap kata pesimistik.

Tentu definisi tersebut di atas dapat diterapkan (applicable) dalam ajaran Sang Buddha, apabila Sang Buddha hanya mengajarkan tentang dukkha. Namun sesungguhnya, Sang Buddha tidak hanya mengajarkan dukkha. Beliau juga mengajarkan dan menjelaskan bahwa setiap dukkha yang muncul ada sebabnya. Dukkha akan lenyap dan kebahagiaan akan timbul bila sebab dukkha dieliminir. Jalan menuju lenyapnya dukkha juga dengan jelas diajarkan oleh Sang Buddha. Dengan demikian, konsep pesimisme yang dilontarkan oleh beberapa sarjana Barat tidak dapat diterapkan dalam ajaran Sang Buddha.

Dalam konsep agama Buddha, sebagai antonim kata pesimisme adalah motivasi - sebab beberapa sarjana Buddhis enggan untuk mengatakan bahwa agama Buddha adalah agama yang optimistik. Memang pada umumnya sarjana Buddhis menggunakan kata realistis untuk merujuk antonim dari kata pesimisme. Namun, sesungguhnya semua itu tergantung dalam konsep apa kata tersebut akan dihubungkan.

Di kalangan para psikolog sendiri, masih ada kesimpangsiuran dalam mengartikan kata motivasi. Akan tetapi, mereka sepakat bahwa ada tiga hal yang membuat seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu. Ketiga hal tersebut adalah 1. kondisi yang memotivasi tindakan, 2. tindakan yang dimotivasi oleh kondisi tersebut, dan 3. tujuan akhir dari tindakan tersebut. Tiga hal ini sering kali disebut sebagai "sirkulasi bertingkat". Orang yang haus (kondisi), sebagai contohnya, akan berusaha untuk mencari air (tindakan), hilangnya rasa dahaga adalah tujuan akhir dari pencarian air dan minum (tujuan). Pengulangan tindakan akan dilakukan jika rasa haus itu muncul dan akan terus-menerus demikian.

Motivasi dalam literatur Buddhis

Jika kita melihat aspek-aspek motivasi, tentunya hal tersebut adalah hal yang lazim terjadi pada semua makhluk hidup, tidak hanya manusia. Binatang termotivasi untuk melakukan suatu tindakan juga karena aspek-aspek tersebut.

Di dalam literatur agama Buddha kita dapat menemukan dua bentuk motivasi, yaitu motivasi yang masih diliputi oleh kepentingan pribadi (selfish-expectation), dan motivasi yang tidak lagi dilandasi oleh kepentingan pribadi. Motivasi yang rendah (selfish-expectation) adalah motivasi yang masih dilandasi oleh keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha) atau seringkali disebut sebagai akusalakamma. Sedangkan motivasi yang luhur (kusalakamma) adalah motivasi yang tidak lagi dilandasi oleh keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha).

Dalam konteks motivasi yang rendah, seseorang melakukan sesuatu karena mengharapkan imbalan di masa yang akan datang. Sebagai contoh, kita berdana, membantu orang lain, dan sebagainya karena kita ingin terlahir di alam-alam yang berbahagia atau karena ingin mendapatkan pujian. Tindakan semacam ini, jika ditinjau dari sisi psikologi Buddhis adalah tindakan yang masih dilandasi oleh tanha, di mana bhava tanha (keinginan untuk terlahir kembali) berperanan sangat kuat. Inilah alasannya mengapa tindakan semacam ini disebut sebagai tindakan yang didasari kepentingan pribadi (selfish-expectation), dan pada umumnya tindakan semacam ini dilakukan oleh mereka yang masih belum mencapai kebebasan secara total.

Dalam konteks motivasi yang luhur, seseorang melakukan suatu tindakan semata-mata demi kebahagiaan orang banyak. Ia melakukan suatu kebajikan bukan karena keinginan untuk terlahir di surga atau karena ingin mendapatkan pujian tetapi pemahaman yang benar bahwa setiap makhluk membutuhkan kebahagiaan. Ia yang melindungi diri sendiri berarti melindungi orang lain, dan ia yang melindungi orang lain berarti melindungi diri sendiri (attana9m rakkhanto param rakkhati, param rakkhanto attanam rakkhati), adalah prinsip yang mereka pegang dengan teguh. [2] Memang tidak menuntup kemungkinan bahwa orang yang belum mencapai kebebasan secara total dapat melakukan tindakan semacam ini. Akan tetapi, tindakan semacam ini akan terlihat dengan jelas pada diri orang yang telah mencapai kebebasan secara total (Arahat).

Tentu tidak semua orang mampu mempraktikkan tindakan yang tidak lagi didasari oleh kepentingan pribadi. Oleh karena itu, Sang Buddha pun masih mentolerir mereka yang melakukan kebajikan namun masih didasari oleh motivasi yang rendah (self-expectation). Vyagghapajja Sutta serta sutta-sutta yang lainnya menunjukkan bukti dengan jelas akan hal ini. Dalam Vyagghapajja Sutta, Sang Buddha menjelaskan tentang hal yang menunjang kesejahteraan bagi perumahtangga dalam kehidupan ini dan hal yang menunjang dalam kehidupan yang akan datang. Empat hal yang menunjang kesejahteraan dalam kehidupan sekarang adalah memiliki semangat dan keuletan dalam bekerja (upphanasampada), menjaga dengan baik apa yang telah didapatkan (arakkhasampada), memiliki sahabat sejati (kalyanamitta), dan menggunakan kekayaan yang didapat dengan cara yang benar (samajivita). Empat hal yang menunjang kesejahteraan di masa yang akan datang adalah memiliki keyakinan (saddhasampada), memiliki moralitas (silasampada), mempraktikkan kedermawanan (cagasampada), dan memiliki kebijaksanaan (pannasampada).[3]

Empat hal penunjang kesejahteraan di masa yang akan datang adalah yang mengkondisikan kita terlahir di alam surga. Dengan demikian bahwa pandangan perumahtangga juga harus berlatih melepaskan secara total kemelekatannya pada kebahagiaan duniawi kurang tepat diterapkan dalam hal ini. Memang, kita semua hendaknya melatih diri untuk melepaskan kemelekatan kita pada sesuatu. Namun, bila kita belum mampu secara total, kita dapat melakukannya secara bertahap.

Orang yang telah mencapai kesucian tidak punya motivasi?

Apakah Anda beranggapan bahwa orang yang telah mencapai kesucian tertinggi (Arahat) tidak lagi mempunyai motivasi? Kalau memang jawaban Anda adalah "Ya", sesungguhnya jawaban itu adalah jawaban yang tidak sesuai dengan teks Tipitaka Pali. Berdasarkan catatan-catatan yang ada dalam Tipitaka Pali maupun Kitab Komentar (Atthakatha), orang yang telah mencapai kesucian tertinggi adalah orang yang memiliki motivasi yang luar biasa (great motivation). Hanya saja, seperti telah dijelaskan di atas, motivasi mereka tidak lagi dilandasi oleh kepentingan pribadi (selfish-expectation). Para Arahat melakukan segala tindakan semata-mata karena rasa cinta kasihnya pada dunia ini.

Banyak kasus yang dapat dijadikan bukti bahwa mereka yang telah mencapai tingkat kesucian memiliki motivasi yang luar biasa. Pertama-tama, kita bisa melihat Sang Buddha -yang merupakan figur bagi kita semua- sebagai contohnya. Selama 45 tahun, Beliau bekerja tanpa lelah membabarkan Dhamma demi kesejahteraan dan manfaat bagi umat manusia serta para dewa. Siang dan malam, Beliau memanfaatkan waktunya untuk membantu mereka yang membutuhkan bantuan dan bimbingan spiritual. Bahkan, berdasarkan catatan yang ada dan keyakinan para sarjana, dalam kurun waktu 24 jam, Beliau hanya tidur selama satu jam. Sisa waktu selama 23 jam Beliau gunakan untuk bermeditasi, melayani umat, memberikan bimbingan kepada bhikkhu dan pada dini hari melayani para dewa yang datang kepada Beliau.

Melihat realita bahwa Dhamma sangat berguna bagi kesejahteraan dan ketentraman baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam pencapaian kebebasan dari samsara, Sang Buddha termotivasi untuk mengirim 60 siswa-Nya ke arah yang berbeda di daratan India - yang juga dikenal sebagai missioner pertama di dunia. Missioner-missioner tersebut juga bekerja keras tanpa lelah, sama seperti Sang Buddha. Bahkan, di antaranya tidak terlalu menghiraukan bahaya yang datang dari luar. Kita bisa melihat bagaimana Y.M. Punna berani mengambil resiko untuk bervassa di Negara Sunaparanta - daerah yang masyarakatnya dikenal sangat kasar. Ketika diinterogasi oleh Sang Buddha bahwa Negara tersebut sangat kasar masyarakatnya, jawaban-jawaban Y.M. Punna selalu menunjukkan adanya pengembangan kesabaran -yang merupakan cermin dari kedewasaan kondisi mental- meskipun masyarakat tersebut akan membunuh Beliau. Pada akhirnya Y.M. Punna sukses sebagai missioner di negara tersebut, memiliki murid yang cukup banyak baik perumahtangga maupun mereka yang menjalani kehidupan selibat.[4]

Masih banyak kasus dan cerita yang dapat kita gunakan, bahwa mereka yang telah terbebas dari belenggu noda duniawi, memiliki semangat dan motivasi yang luar biasa. Karena semangat serta motivasi mereka untuk menciptakan kesejahteraan dan ketentraman, baik di dalam masyarakat maupun dalam batin kita masing-masing, kita sekarang bisa menikmati dan mempraktikkan Dhamma.

Kemudian, ini adalah kasus yang terjadi pada abad yang lalu. Namun perlu dicatat bahwa penulis tidak menganggap beliau yang diceritakan adalah orang yang telah mencapai kesucian. Di Sri Lanka pada abad yang silam ada seorang bhikkhu yang selalu bersemangat untuk belajar dan mengajar. Beliau adalah Y.M. Balangoda Ananda Maitreya yang juga merupakan Mahanayaka (pemimpin tertinggi) dari Sangha Amarapura. Beliau mengenal teknologi pada usia yang senja dan dengan penuh semangat mulai belajar komputer pada usia 94 tahun. Pada usianya itu, beliau tidak pernah merasa sudah terlalu tua untuk belajar komputer. Kemampuannya dalam mengoperasikan komputer sempat digunakan selama beberapa tahun kemudian.

Anicca: kunci motivasi

Kita telah melihat bahwa mereka yang telah terbebaskan justru memiliki great motivation dalam menghadapi hidup ini, meskipun ditinjau secara spiritual mereka adalah bukan orang-orang yang masih berlatih untuk mencapai kebebasan (sekkha-puggala), tetapi merupakan orang-orang yang telah bebas dari latihan (asekkha-puggala). Sekarang, yang menjadi permasalahan, mengapa kita sebagai orang yang belum terbebaskan dari noda mental (ordinary-people) tidak memiliki motivasi atau dengan kata lain pesimis dalam menghadapi hidup ini? Sungguh tak ada alasan untuk merasa pesimis maupun putus asa dalam menghadapi kehidupan yang dikatakan penuh perjuangan.

Adalah layak dan wajar kita merasa pesimis dan putus asa kalau kita adalah penganut ajaran Makkhali Gosala, Pakkuda Kaccayana atau Niganta Nattaputta. Makkhali Gosala mengajarkan bahwa usaha manusia adalah sia-sia, betapapun besarnya usaha tersebut tidak membawa manfaat, semua yang ada tak dapat diubah, dan manusia akan dengan sendirinya menjadi suci. Oleh karena itu, Makkhali Gosala sering disebut sebagai aviriya vadin (orang yang tidak memiliki semangat) atau akiriya vadin (orang yang pasif, tidak melakukan sesuatu). Di dalam Tipitaka, kritikan Sang Buddha kepada enam guru besar yang ada di India saat itu yang paling kuat adalah kepada Makkhali Gosala. Ajarannya membuat orang menjadi pasif, tidak mau melakukan usaha sama sekali, dan akan membuat seseorang atau suatu masyarakat memiliki masa depan yang suram.

Pakkuda Kaccayana adalah guru yang mengajarkan penolakan terhadap nilai-nilai moral dan menganggap 7 hal, yaitu unsur tanah, api, udara, dan air (mahabhuta), kebahagiaan (sukha), penderitaan (dukkha) dan roh (jiva) adalah hal yang permanen, kekal, tidak dapat diubah. Sedangkan Niganta Nattaputta mengajarkan bahwa segala bentuk kebahagiaan dan penderitaan disebabkan karena kamma atau tindakan masa lampau (pubbe kata hetu vada).

Agama Buddha adalah agama yang sama sekali kontras dengan agama-agama yang mereka ajarkan. Oleh karena itu agama Buddha dikenal sebagai viriya vadin (energik, dinamik dan bersemangat menghadapi kehidupan) dan kiriya vadin (aktif, semua tindakan yang didasari cetana/kehendak akan membuahkan hasil). Bahkan, membuang sampah atau barang yang kita anggap tidak berguna sekalipun yang penting didasari niat untuk didanakan kepada makhluk yang masih dapat menikmatinya. Hal itu tetap akan memberikan akibat bagi kita.

Dalam mengkritisi dan menolak dua ajaran lainnya yang diajarkan oleh Pakkuda Kaccayana dan Niganta Nattaputta, Sang Buddha mengajarkan konsep anicca, yang pada umumnya diterjemahkan sebagai perubahan, atau ketidakkekalan. Konsep anicca, perubahan, hukum alam yang diajarkan oleh Sang Buddha, lebih dari 25 abad yang silam, adalah kunci yang efektif agar kita selalu memiliki motivasi dalam menghadapi hidup ini. Karena adanya hukum perubahan, kita mempunyai kesempatan untuk mengubah kondisi yang sekarang menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, memahami segala fenomena sebagai perubahan amat penting artinya menurut pandangan agama Buddha.

Karena kita berharap bahwa segalanya, terutama hal-hal yang menyenangkan selalu kekal, kita menjadi menderita ketika apa yang kita harapkan selalu kekal mengalami perubahan. Motivasi sekalipun tidak akan selalu kekal, tetap, dan terus menerus seperti semula. Ada kalanya motivasi yang kita miliki akan mengalami masa-masa kritis di mana motivasi seakan-akan hilang sama sekali. Dalam kondisi seperti ini, kita harus segera membangun motivasi itu kembali agar kehancuran ke arah yang lebih parah tidak terjadi.

Seringkali kita beranggapan, bahwa apa yang kita alami sekarang ini adalah semata-mata karena kamma lampau kita. Pandangan semacam ini adalah pandangan yang ditolak oleh Sang Buddha. Penolakan ini bisa kita lihat dengan jelas dalam Sivaka Sutta. Sutta ini menjelaskan, ada delapan sebab yang mungkin membuat kita mengalami kondisi seperti sekarang ini -terutama penderitaan. Delapan sebab itu adalah empedu (pittasamupphanani), lendir (semhasamupphanani), udara (vatasamupphanani), ketidakseimbangan ketiganya dalam tubuh kita (sannipatikani), perubahan musim (utuparinamajani), karena ketidakhati-hatian (visamapariharajani), karena serangan dari luar (opakkamikani), dan karena kamma (kammavipakajani).[5] Lebih lanjut dalam Lonaphala Sutta dijelaskan bahwa tidak ada akibat yang pasti dari suatu perbuatan. Jika perbuatan A akan menghasilkan A dan perbuatan B menghasilkan B, menurut Sang Buddha, tidak ada kesempatan untuk meraih kesuksesan yang lebih besar, usaha tidak ada gunanya, dan kesucian tak mungkin dicapai. Yang pasti, setiap kejahatan akan mengakibatkan penderitaan dan setiap kebajikan akan mengakibatkan kebahagiaan.[6]

Akibat dari suatu perbuatan juga tidak kekal atau dengan kata lain dapat diubah. Suatu perbuatan -buruk atau baik- tidak akan memberikan hasil yang maksimal jika kita melakukan tindakan yang kontras dengan perbuatan tersebut. Oleh sebab itu, sudah selayaknya kita tidak pessimis menghadapi hidup ini. Yang terpenting adalah melakukan dan melakukan lebih banyak kebajikan agar setidak-tidaknya kejahatan yang pernah kita lakukan tidak memberikan akibat yang maksimal.

Kesimpulan

Pada dasarnya setiap makhluk ingin mendapatkan kebahagiaan. Motivasi utama dari semua tindakan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan. Orang menyiksa diri, melakukan kejahatan, dan berbagai tindakan yang serupa lainnya juga untuk mencari kebahagiaan meskipun kebahagiaan itu adalah kebahagiaan yang sementara. Oleh karena itu, memiliki motivasi yang benar sangat dibutuhkan demi tercapainya kebahagiaan yang lebih tinggi baik kebahagiaan surgawi maupun kebahagiaan luhur, Nibbana.

Mereka yang telah merealisasi kebebasan tertinggi juga masih memiliki motivasi. Karenanya, kita sebagai orang yang belum mencapai kondisi semacam itu juga sudah sewajarnya memiliki motivasi yang tinggi dalam menghadapi hidup ini, sebab kita adalah orang-orang yang masih berjuang bukan orang yang telah bebas dari perjuangan.


Catatan Kaki:

Oxford Advanced Learner's Dictionary, Oxford University Press, 1995, p. 865
Translated by Bhikkhu Bodhi, The Connected Discourses of the Buddha, A New Translation of Samyutta Nikâya, Wisdom Publication, Boston, 2000, p. 1649.
Translated by E. M. Hare, The Book of the Gradual Sayings (Anguttara Nikâya) Vol. IV, P.T.S, London, 1965, p. 187-191
Translated by Bhikkhu Ñânamoli and Bhikkhu Bodhi, The Middle Length Discourses of the Buddha (Majjhima Nikâya), BPS, Kandy, 1995, p.1118-1119
Translated by Bhikkhu Bodhi, The Connected Discourses of the Buddha, A New Translation of Saæyutta Nikâya, Wisdom Publication, Boston, 2000, p. 1279.
Translated by F.L. Woodward, M.A, The Book of the Gradual Sayings (Anguttara Nikâya) Vol. I, P.T.S, London, 1970, p.227-230

 
salam .........sy sdh membaca banyak semua nya sangat bermanfaat.detil sekali jd kita bs mengerti memahami meresapi dan melakukan nya. terima kasih
 
Namo Buddhaya,

Tulisan Ta Se Siung emang tidak ada duanya {mungkin juga karena Ta Se Siung cuman 1-1-nya penulis disini........sayang sekali ummat Buddha disini kurang aktif...setidaknya tidak seperti forum tetangga yang diasuh avuso roughtorer ......tapi setidaknya tulisan Ta Se Siung selalu memberikan pencerahan dimanapun Ta Se Siung berada.....salut deh
 
Back
Top