Kalina
Moderator
WASHINGTON - Jika direstui kongres, dalam waktu dekat Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) akan menjual rudal buatan Raytheon Co. ke Taiwan. Tak kurang dari 453 rudal berbagai jenis siap dikirim ke Taiwan dengan harga USD 421 juta (sekitar Rp 3,8 triliun). Proposal tersebut kini sedang dibahas kongres, yang punya waktu 30 hari untuk memutuskan menolak atau menerima.
Menurut laporan Defense Security Cooperation Agency (DSCA), rudal buatan perusahaan AS itu memang sengaja ditawarkan ke Taiwan sebagai sarana perlindungan menghadapi Tiongkok. "Penjualan rudal itu dimaksudkan untuk membantu mewujudkan keamanan di wilayah tersebut. Selain itu, senjata-senjata tersebut juga bisa dipakai sebagai sarana pendukung dalam menciptakan stabilitas politik, militer, dan ekonomi di kawasan tersebut," tulis DSCA dalam pernyataannya.
Proposal Dephan juga menyebutkan, rudal yang akan dijual kepada pemerintah Taiwan itu terdiri atas 218 rudal jenis AIM-120C-7 Advanced Medium Range Air-to-Air Missiles (AMRAAMs) plus 235 AGM-65G2 Maverick. Penjualan itu termasuk perlengkapan rudal, suku cadang, dan peluncurnya. "Taiwan sendiri yang menginginkan dua jenis rudal tersebut. Pernyataan itu disampaikan wakil mereka di AS," kata seorang pejabat DSCA, yang merupakan lembaga pengawas penjualan senjata ke luar negeri.
Menurut rencana, rudal-rudal produksi AS itu akan dipakai untuk mempersenjatai armada F-16 Taiwan. Selama ini, armada itulah yang menjadi tulang punggung Angkatan Udara Taiwan. "Bila disetujui, proposal penjualan rudal itu akan membantu Taiwan lebih siap menghadapi Beijing. Rudal-rudal tersebut akan meremajakan persenjataan militer Taiwan. Dengan demikian, mereka lebih siap menghadapi ancaman dari udara dan darat," papar DSCA.
Masih menurut DSCA, transaksi senjata dengan Taiwan itu merupakan bagian dari kesepakatan kedua negara yang tertuang dalam Taiwan Relations Act. Salah satu komitmen AS berdasar Taiwan Relations Act adalah memberikan bantuan militer kepada Taiwan. "Penjualan rudal ke Taiwan itu tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di negara ini," kata seorang pejabat DSCA seperti dikutip Central News Agency (CNA).
Sejak 1979, AS mengubah kebijakan diplomatiknya atas Taiwan dan Tiongkok. Negeri Paman Sam itu tidak lagi menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan dan mengalihkan kepada Tiongkok. Namun, dengan meneken Taiwan Relations Act, AS harus memberikan dukungan militer dan senjata ke kawasan yang diklaim sebagai provinsi ke-23 Tiongkok itu. Pemerintah Tiongkok terus melayangkan protes terhadap AS terkait kebijakan penjualan senjata tersebut.
Transaksi senjata antara AS dan Taiwan berawal pada 2000. Saat itu, Taiwan membeli 120 rudal AIM-120 yang mampu menjangkau target berjarak 50 km. Namun, pengiriman rudal yang dilengkapi sistem kendali jarak jauh itu tertunda hingga 2003. Sebab, pada saat yang sama, Tiongkok juga memesan rudal serupa dari Rusia, yakni AA-12. Hingga saat ini, Taiwan masih mempertimbangkan proposal penjualan 12 pesawat antikapal selam P3-C, delapan kapal selam, dan enam baterai antirudal PAC-III yang sudah disetujui Presiden AS George W. Bush.
Menurut laporan Defense Security Cooperation Agency (DSCA), rudal buatan perusahaan AS itu memang sengaja ditawarkan ke Taiwan sebagai sarana perlindungan menghadapi Tiongkok. "Penjualan rudal itu dimaksudkan untuk membantu mewujudkan keamanan di wilayah tersebut. Selain itu, senjata-senjata tersebut juga bisa dipakai sebagai sarana pendukung dalam menciptakan stabilitas politik, militer, dan ekonomi di kawasan tersebut," tulis DSCA dalam pernyataannya.
Proposal Dephan juga menyebutkan, rudal yang akan dijual kepada pemerintah Taiwan itu terdiri atas 218 rudal jenis AIM-120C-7 Advanced Medium Range Air-to-Air Missiles (AMRAAMs) plus 235 AGM-65G2 Maverick. Penjualan itu termasuk perlengkapan rudal, suku cadang, dan peluncurnya. "Taiwan sendiri yang menginginkan dua jenis rudal tersebut. Pernyataan itu disampaikan wakil mereka di AS," kata seorang pejabat DSCA, yang merupakan lembaga pengawas penjualan senjata ke luar negeri.
Menurut rencana, rudal-rudal produksi AS itu akan dipakai untuk mempersenjatai armada F-16 Taiwan. Selama ini, armada itulah yang menjadi tulang punggung Angkatan Udara Taiwan. "Bila disetujui, proposal penjualan rudal itu akan membantu Taiwan lebih siap menghadapi Beijing. Rudal-rudal tersebut akan meremajakan persenjataan militer Taiwan. Dengan demikian, mereka lebih siap menghadapi ancaman dari udara dan darat," papar DSCA.
Masih menurut DSCA, transaksi senjata dengan Taiwan itu merupakan bagian dari kesepakatan kedua negara yang tertuang dalam Taiwan Relations Act. Salah satu komitmen AS berdasar Taiwan Relations Act adalah memberikan bantuan militer kepada Taiwan. "Penjualan rudal ke Taiwan itu tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di negara ini," kata seorang pejabat DSCA seperti dikutip Central News Agency (CNA).
Sejak 1979, AS mengubah kebijakan diplomatiknya atas Taiwan dan Tiongkok. Negeri Paman Sam itu tidak lagi menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan dan mengalihkan kepada Tiongkok. Namun, dengan meneken Taiwan Relations Act, AS harus memberikan dukungan militer dan senjata ke kawasan yang diklaim sebagai provinsi ke-23 Tiongkok itu. Pemerintah Tiongkok terus melayangkan protes terhadap AS terkait kebijakan penjualan senjata tersebut.
Transaksi senjata antara AS dan Taiwan berawal pada 2000. Saat itu, Taiwan membeli 120 rudal AIM-120 yang mampu menjangkau target berjarak 50 km. Namun, pengiriman rudal yang dilengkapi sistem kendali jarak jauh itu tertunda hingga 2003. Sebab, pada saat yang sama, Tiongkok juga memesan rudal serupa dari Rusia, yakni AA-12. Hingga saat ini, Taiwan masih mempertimbangkan proposal penjualan 12 pesawat antikapal selam P3-C, delapan kapal selam, dan enam baterai antirudal PAC-III yang sudah disetujui Presiden AS George W. Bush.